part 4

(ノ*゚ー゚)ノ

"Lari-lari. Dibilang lari, jangan jalan"

Bina dengan tas berisi segala keperluan berlari pelan, sambil memeluk botol berisi 1 liter air, salah satu hal yang wajib ia bawa hari ini. Nafasnya putus-putus. Setelah turun dari angkutan umum tadi, ia dan beberapa anak lain, yang mengira tak akan terlambat, berlari menuju gerbang. Matanya tak lepas dari objek yang kini menjadi tujuannya, dadanya berdebar, sebentar berlari sebentar berjalan, berusaha menetralkan nafas.

Gerbang ditutup oleh beberapa anak osis, padahal hanya membutuhkan lima langkah lagi ia mencapai gerbang. Ini hari MPLS nya (masa perkenalan lingkungan sekolah), ia sudah diinfokan untuk datang jam 06.00 pagi tepat waktu. Dengan setengah berlari putus asa, Bina melirik sedikit pada ponsel yang ia bawa, melihat pada jam di ponselnya yang ia nyalakan, tepat jam menunjukan pukul 06.00. Sepertinya sekolah ini tidak mentolerir waktu terlambat sedetik pun.

"Baris yang rapi, dipakai topinya." Tegur beberapa OSIS.

Bina meletakkan botol air nya yang sedari tadi setia Ia peluk, di atas tanah. Kemudian membuka tasnya, mengobrak-abrik isinya untuk mencari topi, lalu memakainya. Ia berbaris rapi, dengan tangan yang kembali setia memeluk botol air.

"Kenapa telat? Kan kemarin sudah diinfokan, datang sebelum jam enam."

Hening tak ada yang berani menjawab sepertinya. Bina juga tak berminat, ia sudah tahu Jika mereka menjawab, beberapa OSIS pasti akan menyerangnya balik, entah Itu jawaban yang benar ataupun salah, mereka tak mau dibantah.

"Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku...." Nyanyian itu terdengar dari dalam gerbang. Sepertinya anak-anak yang tidak terlambat sudah memulai acara mereka.

"Bending satu seri! Yang gak bawa topi bendingnya kali dua."

Bina melakukannya, 'apes bet, hari pertama sekolah ya Allah.' Setelah menyelesaikan hukuman, dan mendapat ceramah dari para osis, akhirnya mereka diperbolehkan untuk masuk

"Nah ini nih, yang telat nih." Lihat udah kayak di ospek aja nih. "Baris disini di depan." Bina melongo, 'lah lanjut nih hukumannya.' Mereka menurut, mengikuti arahan para osis. Dibariskan dengan rapi, menghadap para anak-anak lain yang kini menatap mereka.

Setelah diajarkan yel-yel, main game, dan baris-berbaris dengan posisi yang sama. Mereka semua diminta untuk duduk bersila, di atas lapangan. Cuaca masih dingin, matahari juga belum waktunya menyombong.

"Semuanya udah bawa bekal kan? Silakan dikeluarkan bekalnya, kita makan bareng-bareng di sini," sang ketua OSIS kembali bersuara. Anak-anak mpls mulai membuka tas mereka, mengeluarkan bekal yang mereka bawa. "Kakak kasih waktu untuk kalian habiskan makanan kalian, lima menit."

"Yaaaah." Sorakan itu berasal dari anak-anak mpls, terutama lelaki.

"Gak ada bantahan."

Bina mengedikkan bahu, siapa peduli dengan itu. Beralih membuka bekalnya, nasi goreng dengan bawang goreng, juga irisan wortel dan beberapa potong timun di sebelahnya terlihat. Hasil usaha Bina, bangun jam empat pagi, grasak-grusuk buru-buru didapur, sampai-sampai wajan dan piring juga belum ia cuci. Aroma nya menggoda Bina dan beberapa anak lain yang juga menoleh padanya. Bina membuka botol minumnya, minumnya sedikit kemudian mulai menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Bina memejamkan mata, 'nikmat mana lagi yang kau dustakan.'

"Wih wangi banget, bawa apa?" Suara berat di samping Bina berucap. Sepertinya bukan hanya teman-temannya saja yang mencium aroma nasi gorengnya, tapi juga seorang pemuda yang beberapa saat lalu berdiri di depan memegang mikrofon, kini berada disampingnya.

Bina menoleh, "ini... Nasi goreng kak, mau? Bina bawa dua sendok kebetulan." Memperlihatkan sendok yang ia bawa.

"Boleh?" Pemuda dengan seragam osis itu menaikan alisnya, bertanya.

"Boleh, ini kak," ucap Bina, sembari memberikan sendok lainnya. Pemuda itu menyendok nasi goreng Bina, lalu memakannya.

"Hmm hmm hmm enak."

"Beneran kak?" Pemuda itu mengangguk, lalu menyodorkan sendok yang telah Ia gunakan pada Bina.

"Nih makasih ya." Ucapnya dengan senyum. "Namanya Bina ya?" Lelaki itu menunjuk pada papan nama yang ada di seragam Bina. Dengan mulut penuh Bina mengangguk, tersenyum. "Saya wahyu," pemuda itu mengulurkan tangannya, seraya tersenyum. Bina menyambutnya. Kemudian pemuda itu pamit berlalu.

"Oke stop waktunya habis, yang makanannya belum habis, silahkan dibantu temannya, untuk habiskan, kakak kasih waktu 2 menit lagi."

Sedang Bina, ia buru-buru menutup bekal yang isinya baru setengah ia makan, memasukkannya ke dalam tas dengan cepat, mumpung para osis sedang berkeliling di area lelaki yang berbaris. Lagi, siapa peduli, toh mana mungkin para osis yang jumlahnya tidak ada seperempat pun dari para anggota mpls, mengecek mereka satu-persatu.

"Oke sudah? Sudah habis? Silahkan naik ke aula lantai tiga, yang laki laki di aula gedung sebelah selatan dan yang perempuan di gedung sebelah barat, mengerti?"

"Siap mengerti," jawaban serempak.

Bina berdiri mengikuti anak-anak mpls lain untuk naik ke gedung sesuai arahan osis.

"Halo boleh kenalan?" Suara melengking itu, berasal dari gadis di sebelah Bina, gadis berkulit pucat itu, mengulurkan tangannya ke arah Bina.

Kini Bina sudah duduk di salah satu kursi yang berada di aula gedung, menanti para kakak-kakak osis, yang tadi pamit menyuruh mereka istirahat setelah makan. Bingung tak punya teman. Bina hanya duduk sendiri.

Hingga gadis ini, mengulurkan tangan padanya. Bina bingung, menoleh kanan kiri namun tak menemukan orang lain selain dirinya, akhirnya Bina menunjuk dirinya sendiri. Gadis itu mengangguk seraya tersenyum.

"Oh halo, boleh kok, aku Bina." Bina menerima uluran tangannya, tersenyum canggung.

"Aku Sila," balas gadis itu tersenyum. Gadis bernama Sila itu menggoyangkan tautan tanganya dengan Bina. "Tadi aku cium aroma sedap dari bekel kamu, kamu bawa apa?" tanyanya.

"Oh aku, bawa nasi goreng, kamu mau?" Tawar Bina.

Gadis itu mengangguk antusias. "Masih ada?" Tanyanya mendekatkan wajahnya pada Bina, berbisik.

"Masih, mau?" Bina ikut mendekatkan wajahnya. Berbalik membuka tasnya, mengeluarkan bekal dari dalam.

"Emang boleh?" Sila menatap ragu, suaranya masih berbisik.

Bina menggeleng. "Gak tau, siapa peduli, lagian gak di cek juga." Bina mengulurkan bekalnya pada Sila. Gadis itu, tak langsung menerimanya. Ia menatap Bina, kemudian berbalik membuka tasnya.

"Aku kira, aku doang," Sila menatap Bina dengan tangan menunjukkan bekal, yang hanya separuh ia makan. Disaat yang lain cepat-cepat menghabiskan sarapan mereka, Sila justru cepat-cepat memasukan bekalnya ke dalam tas. Ia kira hanya dirinya yang melakukan kecurangan disini, ternyata gadis dihadapannya juga melakukan hal yang sama.

Mereka berdua, Bina dan Sila saling menatap satu sama lain. Senyum perlahan terbit dari bibir keduanya, kemudian terkekeh bersama. Tak menyangka bahwa mereka, melakukan hal yang sama.

"Boleh ku coba bekalnya?" Ucap Sila, masih terkekeh.

"Boleh, tapi syaratnya, aku cobain bekel kamu."

"Oke."

Mereka bertukar bekal, saling mencicipi bekal masing-masing.

"Kamu masak sendiri?" Bina bertanya. "Enak"

"Itu mama yang masak, aku gak bisa masak," ucap Sila menggeleng sambil mengunyah menikmati nasi goreng Bina. "Kalo kamu? Masak sendiri?"

Bina mengangguk, "heem aku masak sendiri."

"Waaah keren," Sila menoleh pada Bina, bertepuk tangan walau tak ada suara yang muncul dari tangannya.

"Biasanya ibu yang masak, tapi sekarang harus sendiri."

"Oooh," Sila mengangguk paham, tak mau bertanya lebih.

Dua orang osis masuk keruangan mereka. Salah satu nya ada pemuda yang sempat mencicipi bekal buatannya. Pemuda itu masih setia memegang mik di tangannya, berdiri didepan semua orang, mengucapkan kata demi kata dengan lantang tanpa bingung dan malu. Keren, hanya itu yang muncul di kepala Bina sejak ia melihatnya pertama kali di lapangan tadi. Pemuda itu kadang menciptakan lelucon yang membuat semua orang tertawa, memandu permainan dengan seru, dan kadang tegas diwaktu yang bersamaan, luar biasa. Jarang sekali ada orang seperti dirinya. Padahal ia hanya memperkenalkan dirinya sebagai anggota osis, bukan ketua osis.

"Hueek"

Semua orang menatap pada seorang gadis di samping Bina. Sila terlihat menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya terlihat lebih pucat. Bina segera memegang tubuh Sila, panas, tubuh Sila panas. Gadis ini sepertinya sudah tak enak badan sendari tadi. Bina mengangkat tanganya, berharap osis didepan memberinya bantuan.

"Panas." Seorang osis perempuan menghampiri mereka. "Panggilin PMR, Yu." Pemuda bernama Wahyu itu keluar ruangan, bertujuan memanggil PMR.

"Masih mual Sil?" Tanya Bina pelan, memberinya minum. Sila menggeleng, meminum sedikit air, tubuhnya lemas, kepalanya berputar.

Tak lama anggota PMR masuk, menghampiri mereka.

"Udah sarapan dek?" seorang perempuan dengan seragam PMR, bertanya. Sila mengangguk. "Minum obat ya?" Tanyanya lagi. Sila menggeleng.

"Sakit harus minum obat Sil." Bina bersuara, tatapannya tak lepas memandangi Sila, khawatir. Sila tetap menggeleng.

"Minyak anget aja, ada kak?" Bina mendongak, menatap pada si perempuan PMR. Perempuan itu berdiri menghampiri pemuda yang sedang membawa kotak obat, di belakangnya. Bina menatap pemuda itu, pemuda dengan seragam osis itu juga mantapnya, sekilas.

"Yang, ini minyak nya mana sih?" Perempuan yang kini sedang mengobrak-abrik kotak obat bersuara. Bina kembali menatap pemuda yang kini juga menatapnya. Mereka bertatapan cukup lama.

"Yang?" Suara itu memutuskan tatapan mereka. Bina menunduk, mengalihkan tatapannya pada Sila.

"Kamu carinya yang bener." Pemuda itu bersuara. Mencari sendiri minyak yang dimaksud, memberikannya pada si perempuan.

"Ini dek," si perempuan berbalik, menyerahkan minyak pada Bina. "Nanti dioles ke temannya ya." Bina hanya mengangguk mengerti.

"Kak," seorang dibelakang Bina bersuara. "Mau minta obat pusing dong."

"Obat pusing apa?" Pemuda itu bertanya.

"Paracetamol Irgi." Osis perempuan yang sendari tadi bersama mereka kini bersuara, gemas. "Pacarnya PMR, tapi gak tau obat pusing." Lanjutnya mencibir.

Pemuda bernama Irgi itu hanya tersenyum menanggapi, "ya maap" ucapnya, sedang sang pacar hanya terkekeh. Pemuda itu berjalan menghampiri seorang yang tadi meminta obat pusing katanya.

"Ini, minta berapa?"

"Satu aja kak."

"Masih ada yang sakit lagi?" Suara dari pengeras suara mengalihkan atensi mereka. Wahyu, pemuda itu kembali berdiri di depan, seraya setia memegang mik.

"Ka, mau obat," suara itu berasal dari barisan paling belakang, disusul dengan barisan depan dan tengah.

"Minta obat kak apa aja, yang penting kaka kesini." Celetukan itu berhasil membuat anak-anak mpls bersorak, mengumandangkan kata cie beramai-ramai.

"Waah kak Irgi laris manis nih." Wahyu menggoda pemuda yang kini berkeliling, memberikan obat pada para siswa mpls yang meminta. Yang digoda hanya tersenyum.

"Awas ges, udah ada pawang nya." Si pemegang mik kembali bersuara. "Awas cemburu Gi."

"Gak akan." Irgi tertawa melihat Wahyu, kemudian ia mengalihkan atensinya pada si perempuan PMR, "ya kan?" Tersenyum lembut padanya. Perempuan itu tersenyum, menunduk malu.

(* ̄(エ) ̄*)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!