(✿◕‿◕✿)
Ujian telah selesai, libur panjang juga sudah Bina lewati. Bina berkeliling, melihat sekitar. Setelah perjalanan yang menghabiskan waktu yang lumayan, Bina dan keluarganya, sudah sampai di kota tempat tujuan mereka. Teman ayahnya yang juga tamu sebulan lalu datang kerumah, juga ada disini. Ibu dan tante Tisa, mereka juga sedang melihat-lihat sekitar, sedang para lelaki sedang memindahkan barang-barang Bina, kedalam kost.
"Pindah sini teh?" Perempuan yang tanpa sengaja berjalan melewati Bina, menyapa.
"Iya teh," Bina mengangguk sopan membalas.
Banyak lalu lalang mahasiswa disini, karena ini juga kost strategis dekat dengan kampus. Walau agak sedikit memasuki gang, kost ini dekat dengan sejumlah kafe, dan tempat makan. Sekolah Bina juga tak terlalu jauh dari sini. Walau kost campur, kost ini sangat aman dengan jam tutup tertentu.
Sepertinya Bina sekarang siap untuk hidup lebih mandiri, hidup tanpa dampingan orang tua disisinya. Selama ini Bina memang melakukan semuanya sendiri kecuali urusan rumah. Ia tak pernah meminta banyak hal pada orang tuanya, seperti kebanyakan anak. Ia hanya menerima apapun yang mereka beri, tak pernah meminta sedikit pun.
Dulu ketika Bina baru memasuki sekolah dasar, ekonomi keluarganya merosot turun. Bina yang waktu itu juga masih anak-anak merengek meminta suatu mainan, namun orang tuanya tak sanggup membelinya. Bina mengamuk, mogok makan juga ia lakukan. Akhirnya, Lilis sang ibu, berhutang pada salah satu tetangga mereka. Dan sebulan kemudian, tetangga itu datang kerumah Bina, menagih hutang pada ibunya, caranya kasar, orang itu bahkan hampir memukul ibunya, jika ibunya tak menghindar. Dari situlah Bina tak pernah menuntut apapun pada orang tuanya, dan mereka juga selalu memberikan apa yang Bina butuhkan, tanpa Bina minta.
"Gimana Bin suasananya?" pertanyaan itu terlempar dari Tina, wanita yang kini sudah berada di belakangnya, tersenyum lembut.
Bina berbalik. "Adem tante, enak sejuk," jawabnya, membalas senyum.
"Disini kayaknya selalu sejuk ya Tin?" Lilis menyusul, menghampiri mereka, dengan Apin yang selalu anteng, digendongannya.
"Iya adem terus, sering hujan juga. Tapi sekarang lagi jarang sih." Ucap Tina.
"Bin, udah beres nih, mau liat gak?" Suara itu berasal dari arah belakang.
Ketiga perempuan berbeda generasi itu menengok kebelakang mereka. Tampak di depan pintu kamar kost Bina berdiri tiga laki-laki tengah melihat ke arah mereka. Sepertinya mereka sudah baru saja menyelesaikan tugas mereka. Kardi ayah Bina, melambaikan tangan, meminta mereka untuk menghampirinya. Ketiga perempuan itu berjalan menghampiri.
"Udah rapi kan yah?" Tanya Bina, ketika ia sudah berada di hadapan sang ayah.
"Udah beres semua. Ya kan Gi" Jawab Kardi, menengok pada pemuda yang berada di belakangnya. Irgi mengangguk, tak merespon berlebihan.
"Yang bener," tanya Bina sanksi, sedikit menengok pada pintu yang setengahnya tertutup badan seorang remaja, yang tengah menyenderkan badannya pada samping pintu, dengan dahi penuh keringat. Bina mengerutkan dahinya mengerut. 'Gak keliatan ih, minggir napa'.
"Masuk aja Bin, liat sendiri sok," pria lain yang seumuran ayahnya, memberi saran dengan lembut.
Bina menuruti saran nya. Melangkahkan kakinya memasuki kost yang akan ia tinggal tiga tahun kedepan. Ketika melewati pintu, remaja lelaki yang tadinya menyender disamping pintu, menggeser tubuhnya, agar Bina lewat dengan mudah.
"Sok, masuk," ucapnya. Bina melirik pemuda itu, mengangguk sopan.
Bina melihat sekeliling. Pertama memasuki kost ini, Bina disambut dengan ruangan kosong yang hanya terdapat karpet karakter yang sempat ia bawa dari rumahnya, masih dalam keadaan tergulung di pojokan, tentu saja itu pemikiran sang ibu, katanya 'nanti buat makan, masa dilantai yang gak ada alasnya. Terus temanmu juga nanti kalo main kerumah, mereka duduk dimana' begitu. Ya mungkin ini akan berfungsi nanti.
Di depannya, yang masih satu ruangan dengan ruang kosong ini, terdapat dapur. Disana ada tiga piring, tiga pasang sendok dan garpu, tiga pasang sumpit, dan tiga gelas, ada juga seperangkat wajan dan pasanganya, panci kecil, dan peralatan dapur lainya. Yang pasti ini ide ibundanya.
Beralih pada satu pintu yang berada di tengah sebelah kanan ruangan. Bina membukanya, ini kamarnya, ada kasur dan juga lemari yang sudah disediakan di kost ini, beberapa barang Bina dan kopernya. Di sebelah kiri ruangan ada pintu lagi, ini kamar mandi. Bina memasukinya, ia mengangguk, kamar mandinya bersih dan wangi. Pasti sang pemilik kost membersihkannya sebelum ditempati oleh penyewa.
"Gimana? Rapi kan? Rapi lah pasti." Sang ayah jumawa.
"Biasa aja, barang Bina masih banyak yang harus di beresin lagi, peralatan dapur juga gak di beresin"
"Dih, tidak menghargai perjuangan orang tua." Kardi menyilangkan tangannya didepan dada, melengoskan kepalanya ke kanan, tak menatap Bina.
"Dih orang iya kok." Bina juga menyilangkan tangannya mengikuti sang ayah.
"Dih Bina gak seru, gak cuaks." Oke, cuaks nya mulai.
"Dih," balas Bina.
"Yaudah nanti om bantu beresin lagi, sama Irgi, ya Gi?" Andi menyahut, menyenggol pundak anak nya. Pemuda itu menggerutu kecil.
"Gak usah om, Bina nanti beresin sendiri aja," ucap Bina sopan, menurunkan tangan nya yang tadi terlipat.
"Gapapa nanti biar latihan interaksi sama mertua."
"Gak usah om bina bisa sendiri." Bina tersenyum canggung.
"Yahh Bina mah ngak cuaks." Andi menyilangkan tangannya di dada, mengikuti temannya.
Bina melongo melihat kejadian itu 'kok.... Oh pantes temenannya awet banget' awalnya Bina bingung kenapa orang sekeren Andi ini mau berteman dengan ayahnya yang super cuaks, ternyata sesame cuaks juga toh. Sekarang Bina sudah tak heran lagi dengan ini. Disisi lain, Irgi menatap jijik pada papanya.
"Ayah sama ibu mau nginep disini malam ini?" Tanya Bina mengalihkan atensinya dari dua manusia cuaks.
"Gak deh kayaknya, ayah ada kerjaan, ibu gimana?" Kardi Kembali pada mode non cuaks.
"Ibu pengen tapi ibu gak bawa perlengkapan Apin Bin," ucap Lilis.
"Yaudah gak papa."
Setelah berbincang, berkeliling dan membantu membereskan barang-barang Bina, Kardi dan Lilis serta Apin yang berada di gendongannya, kini berdiri di depan pintu kost Bina. Jam sudah menunjukan jam 3 sore, matahari sudah berada di barat, menunggu untuk tenggelam. Karena membutuhkan perjalanan yang lumayan memakan waktu, belum menghadapi macet dan sebagainya, mereka bertiga memutuskan untuk pulang.
"Ayah sama ibu pamit, jaga diri baik-baik. Walaupun kamu perempuan tetap harus kuat, yang mandiri," Kardi mengelus puncak kepala putrinya dengan tulus. Terharu tak menyangka bahwa putri kecilnya dulu, yang selalu ia gendong kemana, memamerkannya pada tetangga. Kini sudah besar dan sudah punya pemikiran sendiri, mandiri, dan tumbuh menjadi gadis yang baik.
"Kalau ada apa-apa langsung hubungi ibu, oke," kini Lilis sang ibu menghampiri Bina, memeluknya lembut. Mungkin ia tak akan bisa bertemu Bina dalam beberapa bulan kedepan.
Bina membalas memeluk sang ibu, "iya Bina janji." Pelukan erat itu kalau bisa, tak mau ia lepas. Ia masih butuh ibunya untuk waktu yang lama, sampai kapanpun tak ada yang bisa menggantikannya.
Apin tampak berceloteh, mengayunkan tangan menggapai Bina. Bina menerima ulurannya, beralih menggendong sang adik dalam dekapannya. Tampaknya manusia kecil mereka itu mengerti apa yang sedang terjadi disini.
"Jagain Bina yah Gi, kalau ada apa-apa telpon om." Kardi memegang pundak pemuda yang diam memperhatikan, menatapnya penuh harapan. Irgi, pemuda itu membalas tatapan penuh pengharapan yang sangat besar, mengarah padanya.
"Saya akan berusaha om," Irgi menunduk, tak sanggup terlalu lama menatap mata bersinar yang seolah menenggelamkannya kedalam. Terlalu banyak harapan disana, harapan yang bagi Irgi begitu berat. Harapan yang mungkin saja tak bisa Irgi penuhi.
"Kita jagain kok tenang aja." Andi menepuk pundak Kardi.
"Makasih deh" Kardi membalas tepukan temannya.
Mobil yang membawa tiga manusia yang sangat berharga bagi Bina, kini meninggalkannya. Bina berdiri di balik pagar depan kost masih menatap kepergian mobil ayahnya.
"Bin beres-beres lagi yuk, gak papa itung-itung Latihan buat hidup mandiri, yah." Tina menepuk pundak Bina, ketika mobil yang Bina perhatikan menghilang di tikungan. Tersenyum hangat.
"Iya tante," Bina mengangguk, mengikuti Tina membereskan barang lainnya.
"Ma, pulang yuk papa ada kerjaan, butuh mama juga." Andi bersuara.
"Loh ini nanti Bina beresinnya sendirian, papa sendiri aja," Tina menggeleng.
"Butuh mama, ini ada masalah sama resto, restonya kan atas nama mama."
"Bina nya gimana? Masa ditinggal, ini aja belum beres."
Bina menggeleng, "gapapa tante Bina bisa sendiri." Tak enak juga.
"Iiih jangan dong ini lumayan banyak, nanti kamu sakit badanya gimana?"
'Lebay sih, tapi ya Allah baik banget ni orang.' Bina kembali menggeleng, membuka mulutnya ingin mengatakan tak perlu.
"Ada Irgi, ya Gi nanti bantu Bina." Andi berucap cepat, menyela Bina. Ia tampak buru-buru, sepertinya masalah serius.
Pemuda bernama Irgi yang berada di belakang Andi, tersentak saat namanya disebut. Menatap papanya seolah bertanya.
"Kamu disini dulu ya, bantuin Bina beres-beres, gak ada urusan kan? Papa sama mama ada urusan, tinggal dulu, nanti papa jemput kalo sempet, kalo gak sempet, kamu naik ojek." Andi merangkul bahu istrinya memasukkannya ke mobil.
Sedang dua remaja itu, menatap melongo pada mobil yang baru saja pergi meninggalkan halaman. Mereka menengok ke samping saling menatap satu sama lain bersamaan, untuk beberapa saat dengan posisi yang sama. Sadar saling bertatapan, mereka cepat-cepat mengalihkan pandangan, bersama pula.
"Aku beres-beres dulu kak," Bina berbalik badan memasuki kostnya. Berniat membereskan dapur terlebih dahulu yang terlihat sangat berantakan.
"Kamu, kenapa nerima perjodohan ini," suara itu berasal dari arah pintu. Suara Langkah kaki mulai mendekat. Bina menengok, terlihat Irgi mengambil panci dari dalam kardus, berniat membantu Bina.
"Aku.... Gak tau," Bina berbalik lagi, melanjutkan pekerjaannya. Tentang pertanyaan itu, ia juga tak tau jawabannya apa. Ayahnya hanya bilang ia harus mencoba, itu saja. Jika ia menolak, juga tidak apa-apa kan? Ini adalah kemauan orang tuanya, tapi Kardi bilang semuanya masih tetap ada dalam kendali Bina.
Irgi berjalan ke samping Bina, meletakan panci yang ada di tangannya ke dalam sana. "Papa bilang ini untuk masa depan, saya juga gak tau masa depan bagaimana." Suaranya kecil, terdengar seperti ngumaman.
"Masa depan memang gak jelas bagaimana. Ibu bilang takdir itu sudah ditulis rapi, tinggal kita milih yang mana aja, selagi itu tidak melenceng semua akan indah." Bina menyaut.
"Jadi kamu nerima perjodohan ini karena alasan itu?" Irgi menoleh pada Bina.
Bina menggelang, "karena ayah ibu." Ucap Bina menatap Irgi. "Aku juga gak mau dijodohin, tapi kata ibu, jalani aja dulu." Bina tersenyum. Semua sudah ia pikirkan. Benar kata sang ibu semua sudah diatur, ditulis dengan rapi.
Irgi menatap Bina yang kini melanjutkan pekerjaannya. "Saya punya pacar."
✍️(◔◡◔)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments