NovelToon NovelToon

Bercerita Tentang Kita

part 1

ƪ(‾.‾“)┐

“Assalamualaikum, Bu, Yah.” Teriakan melengking itu mengagetkan seisi ruang tamu. Pintu utama terbuka lebar dari luar, menampakan manusia berjenis kelamin perempuan berdiri di tengah pintu, menutup mata dan melebarkan tangan nya bak Rose di film Titanic.

“Waalaikumsalam,” sautan serempak dari orang didalam rumah tampak ramai.

Gadis berseragam pramuka, dengan tas besar yang hampir menenggelamkan tubuhnya itu membuka mata. Semua manusia yang berada di ruang tamu menoleh menatap sang gadis dengan wajah kaget masing masing.

Gadis itu tersenyum meringis menampakkan giginya, ia tak tahu bahwa sekarang ruang tamunya sedang ramai dengan segerombol manusia yang entah sedang membicarakan apa. Gadis itu berjalan perlahan mendekati sepasang suami istri yang sangat ia kenal sedang duduk terdiam menatapnya, meraih tangan keduanya untuk disalimi. “Mari Tante, Om.” Ia menyapa sepasang suami istri lain yang asing di matanya, setelahnya berlari kedalam kamar nya. Bodo amat dengan keadaan atau sopan santun, yang terpenting ia menghilang dulu dari ruangan itu daripada menanggung malu.

“Waduh ada apaan sih ini, ya Allah maafkan hamba baru pulang udah bikin malu keluarga.” Setelah menutup pintu dengan rapat, gadis itu menjatuhkan kedua lututnya, mengadahkan kedua tangan nya berdoa agar diampuni dosa yang baru saja ia perbuat.

“Bina, ibu boleh masuk.” Ketukan pintu dan suara dibaliknya membuat gadis itu berdiri terburu, melemparkan tas besarnya ke kasur dengan sembarang. Berdiri tegak bak anak pramuka sejati menghadap pintu.

“Yaaa Buuu.” 'Aduuh ibu tadi denger gak yaah.' Pintu terbuka, menampilkan wanita bernama Lilis dengan senyum manisnya. Gadis bernama Bina itu membalasnya dengan cengiran.

“Tamunya sudah pulang Bu?” Bina bertanya, ia mendapat anggukan sebagai jawaban.

Wanita dengan sebutan ibu itu masuk menutup pintu dan berjalan untuk duduk di kasur Bina.

“Bina kemarin bilang sama ayah ibu, mau sekolah di kota kan?” Tanya nya memulai pembicaraan.

Bina mengangguk, berjalan mendekat dan duduk mengikuti sang ibu. “Iya kemarin Bina ngomong gitu, soalnya Bina mau tinggal di kota.”

“Kenapa?” Wanita itu bertanya.

“Bina pengen ikut ekskul basket bu, biar bisa lomba lagi. Organisasi basket Bina kemaren udah dibubarin, susah cari organisasi baru. Jadi Bina mau ikut ekskul aja, tapi disini juga jarang ada sekolah SMA yang ada ekskul basketnya.” Jelas Bina panjang lebar.

Sang ibu mengangguk, “Ibu sama ayah, semalam juga membicarakan itu. Dan kita sudah dapat solusinya.”

“Iya? Berarti Bina boleh sekolah di kota kan?” Mata Bina tampak berbinar mendengarnya. Ia yang tadinya dibombardir akan rasa malu, kini menampilkan wajah sumringah bak mendapat jackpot.

Lilis mengangguk sebagai jawaban, “iya, tapi malam ini ayah kayanya mau ngomong sesuatu sama kamu, ada sesuatu yang ingin ayah sampaikan ke kamu.”

“Tentang?” Tanya Bina memiringkan kepalanya.

“Yahh ada lah, nanti juga tau. Sekarang kamu mandi gih dah sore, bauuu,” ucap sang ibu menutup hidung seolah kebauan, kemudian bangkit berdiri meninggalkan kamar Bina.

“Iiibuuuu.” Bina memasang wajah kesal. Membaui dirinya sendiri, kemudian mengernyit kan dahi nya, “hihi bau,” ucap Bina menyengir, berdiri dan menggapai handuk untuk mandi.

....

Selesai sholat isya Bina duduk di sebelah kiri sang ayah, menghadap sang ibu yang kini sedang berdiri mengambilkan nasi untuk sang suami, sesekali menoleh meladeni ocehan manusia mini berusia 3 tahun, bernama Apin, adik Bina, yang terduduk di samping wanita itu.

“Kata ibu, Ayah mau ngomong sama Bina,” Bina menolehkan kepalanya pada sang ayah, menatap dengan penuh tanya.

“Makan dulu Ka.” Pria bernama Kardi, yang Bina sebut ayah itu berucap.

Bina mengangguk, kemudian keluarga kecil itu makan diatas meja dengan tenang. Sesekali tertawa, mendengar ocehan manusia mini mereka.

Beberapa saat setelah makan, sang ayah berdiri dari duduknya. Mengambil piring-piring kotor dan membawanya ke wastafel untuk dicuci, Bina ikut berdiri membantu ayahnya. Sedang sang ibu berdiri mengambil adiknya untuk digendong, entah pergi kemana.

“Jadi? Ayah mau ngomong apa?” Tanya Bina, tangannya dengan lincah membilas piring, sedang sang ayah bertugas menyabuninya.

“Selesaikan dulu,” sahutnya, kemudian mencuci tangan. “Selamat menyelesaikan pekerjaan cuaks.” Dan pergi meninggalkan Bina dengan pekerjaannya.

Bina menoleh pada sang ayah. ‘Ya Allah gini amat punya bapak, kenapa dulu hamba memperkenalkan tok-tok pada ayah hamba ya Allah.’ Rasanya ingin sekali Bina memeperkan sisa sabun di tangannya pada wajah sang ayah, jika melakukannya tidak dosa.

Ayahnya itu akan serius ketika ia tidak memahami etika, tidak sopan, berbicara suatu hal yang serius, atau hal yang melanggar aturan lainnya. Selain itu, cuaks terus hidupnya, tak ada hari tanpa cuaks.

Setelah selesai membilas piring yang tersisa, Bina berjalan menuju ruang tamu yang merangkap juga sebagai ruang keluarga. Menemukan ayah nya sedang menonton pertandingan sepak bola, Bina menghampirinya, duduk disebelah sang ayah.

“Jadi, Ayah mau ngomong apa?” Tanya Bina.

Sang ayah menoleh, “tunggu ibumu dulu,” kemudian ia mengalihkan pandangannya kembali pada layar yang menyala menampilkan tayangan kesukaannya.

"Iishh ditunda-tunda mulu,” gerutu Bina.

“Sabar cuaks.” Kan cuaks lagi.

“Apasih?” Suara wanita dari belakang menyapa mereka berdua. Sang ayah langsung mematikan layar yang sedari tadi ia tatap, beralih menatap sang istri yang kini mendudukan dirinya di kursi single samping. Sepertinya ia baru saja menidurkan si Apin.

“Pindah kamu, biar ibu yang duduk disini.” Sang ayah mendorong pelan bahu putri sulungnya, menyuruhnya pindah untuk duduk di kursi lain.

“Ishh Ayah, Ayah aja yang pindah.” Bina tampak tak terima, membalas mendorong tubuh sang ayah.

“Kamu yang pindah.” Sang ayah tak mau kalah, kembali mendorong bahu putrinya.

“Ayah aja sana.” Bina lebih tak mau kalah sepertinya. Adegan saling mendorong itu berlangsung.

“Huuusss.” Ratu dirumah ini pun berdiri, seketika ruangan yang tadinya ramai kini senyap tak bersuara. “Ayah pindah, pindah sini,” ucapnya tegas. Oke kalau sudah begini tak ada yang bisa membantah. Bahkan cuaks sekali pun. Kedua manusia berbeda jenis itu terdiam dan menurut.

Akhirnya kini formasi nya sudah rapi tersusun. Dimana sang ayah sebagai kepala keluarga, duduk di kursi single. Sedang sang ibu dan putrinya kini duduk di kursi yang cukup untuk diduduki berdua.

“Bina, kamu pernah bilang mau sekolah di kota kan?” Kardi, sang kepala keluarga membuka pembicaraan.

“Iya, Bina pengen sekolah di kota,” saut Bina.

“Ayah dan ibu, izinkan.”

Bina bangkit berdiri, menatap pada kedua orang tuanya. “Bener?” Tanyanya antusias.

“Iya, tapi duduk dulu, ada hal lain yang mau ayah bicarakan.” Bina menuruti sang ayah, ia duduk kembali dengan wajah yang masih menampakan bahagia.

“Bina ujian nya kapan?” Tanya sang ibu yang sedari tadi diam mendengarkan.

“Minggu depan bu,” jawab Bina sumringah. “Nanti di kota Bina mau tinggal dimana?” Sang ayah kembali bersuara.

“Ya… ngekos? Emang Ayah sama Ibu punya saudara di kota? Atau gimana?” Tanya Bina.

“Ayah berencana, nanti Bina ayah titipkan ke temannya ayah.”

“Tinggal di rumah nya gitu?” Bina memiringkan kepalanya.

“Iya gitu, demi keamanan Bina juga”

“Gak ah, ngekos aja ya, Yah. Bina malu, masa mumpang sih.” Hening tak ada yang bersuara. “Atau Ayah punya rencana lain yah? Ayah sama Ibu mau jual Bina yah? Atau Bina mau dikasih ke orang? Diadopsi gitu? Iiih jahat.” Bina merengek memeluk sang ibu, yang kini berwajah datar biasa saja. Sudah terdeteksi bahwa ini sudah biasa terjadi pemirsa.

“Hus ngomong apa kamu ini.” Sang ayah menggelepak tangan putrinya pelan.

Lilis melepaskan rangkulan sang putri. “Yah langsung aja lah,” ucapnya.

“Langsung apa? Tuh kan mau dijual kan?” Bina kembali merengek.

“Sebenarnya kamu dijodohin,” ceplos sang ibu tak merasa bersalah sama sekali. Membuat Bina tak bergerak seperti patung.

“WHAT? Yang bener aja dong, Bina masih piyik gini,” ucap Bina tak terima. Lihatlah wajah ibunya, santai sekali rupanya.

“Ya nikahnya gak sekarang, tapi setelah kamu lulus.” Sang ayah.

“Iiih Bina kan udah bilang, Bina gak mau nikah.” Bina merengek.

Sang ibu menoleh, menggeplak pelan paha putrinya. “Huus ngomong apa kamu, nikah itu ibadah."

"Tapi Bina gak mau.” Astaga Bina tak habis pikir dengan kedua orangtuanya, apakah ia benar anak mereka? Kok bisa mereka bersikap begitu pada Bina.

“Calon kamu itu juga sekolah di tempat kamu mau sekolah nanti. Dia kakak kelas kamu, sekarang mau naik kelas dua belas, anak temen ayah, anaknya baik, sopan, aktif organisasi. Kamu udah pernah liat kan? Pas tadi sore?” Ayahnya panjang lebar.

“Mana Bina tau, gak liat, pokoknya Bina gak mau nikah titik.” Bina melipat tangan melengos.

“Bina menikah itu ibadah, pahalanya besar, jaminannya surga,” ibu Bina menasehati.

“Tapi gak mau.”

“Gimana kalo kenalan dulu sama orang nya, nanti hasil akhirnya Bina pilih sendiri, mau lanjut atau gak. Gimana?” ucap sang ayah.

“Ayah sama Ibu mau Bina juga membangun rumah tangga, kaya ayah sama ibu.”

“Bin, takdir itu sudah ditulis dengan rapi oleh yang menuliskan, gak perlu takut akan banyak hal, kita hanya perlu berusaha mengejar dan memilih jalan yang sudah dirancang Nya.” Sang ibu.

“Bina gak boleh nolak, pilihan orang tua itu baik, walau gak semuanya. Setidaknya Ayah kasih pilihan, yang menurut Ayah sebagai orangtua itu baik. Kalau Bina tetap ngak mau, ngak papa asal coba dulu.” Sang ayah tetap membujuk.

Bina sudah berulang kali berkata pada mereka, bahwa ia tak mau menikah. Mungkin menurut Bina menikah itu menakutkan, entah hal apalagi yang bisa mematahkan statement itu dari dalam kepala Bina. Keluarga mereka tak menyakitkan, malah terkesan, kalo bisa dibilang cemara. Keluarga mereka baik-baik saja. Mungkin pengaruh dari luar, terutama mungkin teman, mungkin banyak teman Bina yang tak bisa seberuntung Bina dalam keluarga.

“Bina… oke,” Bina menunduk. Walau bagaimana pun, kebahagiaan mereka adalah cita-cita Bina.

Sepasang suami istri itu tersenyum. Akhirnya.

“Tapi Bina tetep gak mau tinggal bareng mereka Bina tetep pengen ngekos, sekalian belajar mandiri. Ya ya?”

“Okee, ayah pertimbangkan."

“Besok hari sabtu kan?” Tanya sang ibu. “Ayah dan ibu mau kamu ketemu sama keluarga temannya ayah, didiskusikan mau nya kamu apa, dan mereka maunya gimana. Nanti biar dapet jalan tengahnya.”

“Harus ketemu? Gak bisa perwakilan aja gitu?” Tanya Bina.

“Ya nggak bisa, kan walau bagaimanapun harus didiskusikan, nanti disana biar kamu juga aman.” Lanjut sang ibu. “Nanti dicarikan kos yang bagus, aman dan sejahtera.”

“Yaudah,” Bina pasrah. Sebenarnya ia adalah tipe orang yang terima-terima saja akan sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Ibaratnya life goes on, ya berjalan aja dan Bina menerima semuanya dengan lapang dada, kalau terjadi ya sudah, kalau gak terjadi juga ya sudah. Tapi tidak dengan pernikahan, Bina tidak mau dan tak akan pernah mau. Tak tega rasanya melihat anak-anak seumuranya bahkan ada yang lebih muda, mendapat sesuatu yang mereka tidak harus dapatkan, dan sebaliknya sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan, mereka tidak dapatkan.

love

klo ad typo komen yak ( ˘ ³˘)❤

part 2

(o゜▽゜)o☆

Kini ruang tamu rumah Bina sudah terisi dengan dua keluarga. Hasil rundingan tadi malam, membuahkan hasil seperti ini. Bina si iya-iya aja tapi ngak mau nikah ini, akhirnya mengiyakan untuk mencoba dulu. Kini ia duduk di kursi yang semalam ia duduki bersama sang ibu yang memangku Apin, dan ayahnya di tempat yang sama pula. Bedanya kursi dihadapan mereka yang semalam kosong kini diduduki oleh keluarga kecil lain.

Sepasang suami istri yang tempo hari Bina lihat ketika ia pulang eskul, kini berada duduk dahadapannya dengan meja sebagai sekat. Setelah perkenalan singkat tadi, sekarang ia mengetahui, lelaki yang tampaknya seumuran dengan sang ayah dan terlihat sangat tidak sungkan, bernama Andi, teman lama ayahnya. Disampingnya seorang wanita yang tampak sedikit lebih muda dari pada ibu, adalah istrinya bernama Tina. Dan mereka adalah teman ayahnya, yang artinya 'calon mertua' Bina.

Dua pasang suami istri ini sudah saling berbincang sendari tadi, entah basa-basi sekedar bertanya kabar dan membahas bisnis keluarga atau lainnya. Bina tak mengerti dan tak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Ia terus menunduk, sesekali melirik mereka, terutama pada remaja lelaki yang ia ketahui bernama Irgi, hasil perkenalan tadi. Bina perkirakan umurnya lebih tua beberapa tahun darinya. Lelaki itu juga diam, sesekali tersenyum menanggapi seperlunya.

"Jadi Bina mau ngekos aja?"

Bina mengangkat kepalanya, merasa namanya disebut. Sang ibu menyentuh pahanya, menoleh pada sang putri, kemudian tersenyum. Bina balas menatap, bertanya lewat mata apa yang sedang di dibicarakan ini.

"Semalam sih bilangnya begitu, katanya mau lebih mandiri, terus ngak enak katanya masa numpang, takut kalian keberatan." Kardi sebagai kepala keluarga menyauti, sedikit mengarang agar lebih sopan.

"Sebenarnya kita ngak keberatan, yang pengen Bina tinggal di rumah om dan tante ya kita. Masa kita yang minta, kita yang keberatan sih." Tina menyahut.

"Gimana?" Tanya Kardi, menoleh pada putrinya. Bina menyauti dengan menggelengkan kepalanya pelan.

"Yudah kalo begitu, nanti om carikan kos yang khusus putri, kalau ada, terus yang aman juga, disana." 'Calon mertua' laki-laki Bina membuka suara. Bina mengangguk.

"Nanti tolong dijagain ya Gi, Bina nya." Kardi menolah pada remaja lelaki yang sendari tadi diam menunduk. Remaja itu tak menanggapi berlebihan, responya sama dengan Bina, hanya mengangguk.

"Bina ada dream wedding ngak? Buat nanti, masih tiga tahun lagi sih nunggu Bina lulus sekolah, tapi nanti biar ngak dadakan banget. Biar kita cari nya pelan-pelan yang merinci, biar ngak berantakan. Gimana ada ngak? Kayak dekor atau apa gitu?" Tina membuka pertanyaan untuk Bina, nada nya lembut seperti ibunya.

Bina gelagapan tak tau harus merespon bagaimana. Ia melirik ayahnya yang kini juga sedang menatap nya, memberi kode mata. 'Ayah aja yang jawab, Bina ngak mau jawab,' kurang lebih itu lah hal yang Bina sampaikan pada sang ayah. Dan ini yang dikodei malah diam menatap seolah tak mengerti, atau hanya berpura-pura tak mengerti kode anaknya.

Tak mendapat jawaban dari sang ayah. Bina beralih pada sang ibu, memberikan kode yang sama. Entah ini karena sang ibu tak mengerti kodenya atau mereka bersekongkol mengerjai Bina. Sama, hasilnya sama. Mereka berdua hanya menatapnya seolah menunggu respon dari Bina.

Menyerah, Bina sudah tak lagi mengharap pada orang tuanya. Lagian acara nya kan akan berlangsung tiga tahun lagi, kenapa tanyanya sekarang sih. Bina mengangkat wajahnya, menatap keselilingnya. 'kok dejavu.' Kini Bina melihat semua orang yang tengah berada diruang tamunya menatap dirinya. Bahkan anak remaja tadi yang sempat Bina lihat hanya menunduk kini menatapnya juga. 'Kok jadi horror, kayak lagi diintrigasi'. Kejadian yang sama persis dengan kemaren sore.

"Kayanya belum ada tante," jawab Bina pelan. 'Ya lah belum ada, orang rencana nikah nya aja ngak ada.'

Wanita itu mengangguk. "Yaudah nanti kalo ada bilang tante ya," ucapnya tersenyum lembut.

'Kayanya beliau ini baik deh, aduh nanti aku bisa ngak ya nolaknya. Tante, semoga tante kuat akan semua cobaan yah.'

"Nanti Bina mau masuk IPA atau IPS?" Pertanyaan itu terucap dari Andi.

"Kayanya, IPA om."

"Oooh, kalo Irgi jurusan IPS, ya Gi?" Remaja bernama Irgi yang hanya duduk terdiam itu terhenyak, ketika namanya disebut, kemudian hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. "Mau ikut eskul apa?" Ia beralih lagi pada Bina.

"Kayanya PMR om, atau basket."

"Bina suka basket?" Tanya Tina sedikit terkejut.

"Iya tante."

"Waah keren banget," sautnya.

"Ya ini, karena alasan ini Bina mau sekolah di kota, pengen ikut eskul basket katanya. Disini ngak ada sekolah yang ada eskul basketnya, paling juga adanya sepak bola sama voli katanya." Kardi menjelaskan.

"Yaudah ngak papa, bagus biar satu sekolah, biar lebih deket juga sama Irgi, biar saling kenal dulu." Saut Andi.

Kardi mengangguk menyetujui. Ia dan Andi sudah berteman dari jaman mereka berdua duduk dibangku sekolah dasar. Dari SD, SMP, SMA, hingga mereka berpisah saat akan mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Kardi di jawa timur, sedang Andi di jawa barat. Terlepas mereka yang terpisah jarak, mereka masih saling berbagi kabar satu sama lain, hingga sekarang.

Dari pertemanan mereka yang sudah seperti saudara inilah, muncul perjanjian yang akan membuat mereka benar-benar dekat, yaitu menjodohkan anak mereka nanti. Alasan klasik bagi orang lain, tapi tidak bagi mereka. Mereka sudah saling berjasa dihidup masing-masing. Saling menemani, saling menjaga. Disaat orang lain, teman lain, bahkan disaat orang tua dari keduanya sudah tiada, mereka masih saling memiliki satu sama lain.

Karena itulah mereka melakukannya.

"Nanti Bina kalo ada apa-apa, butuh sesuatu, atau minta bantuan bilang tante aja yah," ucap Tina.

Seperti biasa Bina hanya mengangguk seperlunya. Mereka sangat baik padanya, tapi entah mengapa membayangkan atau menyebutnya 'calon mertua', oh Bina tak mau menyebutnya calon mertua, itu membuat Bina engan berbicara atau melakukan hal yang lebih untuk mereka. Ia terlalu takut akan banyak hal tentang pernikahan terutama 'mertua'.

Bukan bagaimana, contoh mertua di sekeliling rumahnya sangat menyeramkan. Mereka menjelekan, menghina, memarahi tanpa konteks, atau bahkan memukuli menantu mereka sendiri. Seseram itu bayangan Bina, tak hanya bayangan, bahkan tetangga Bina melakukan salah satu sikap itu.

Sedang orangtuanya sendiri, mereka sama-sama sudah tak memiliki orangtua. Nenek satu-satunya yang masih hidup ketika kedua orangtuanya menikah, bahkan sudah meninggal sebelum Bina lahir.

"Yasudah kita pamit, sudah mau gelap." Andi sang tamu pria berdiri dari duduknya.

Bina mengangkat kepalanya, tersadar dari lamunannya, 'loh sudah?'

"Ya sudah, nanti keburu gelap takutnya bahaya." Saut kardi.

...

"Mereka orang sana asli yah?" Setelah berpamitannya keluarga itu Bina bertanya.

"Ngak, aslinya orang solo kaya ayah, Cuma dia pindah dan netep disana karena pekerjaan. Ayah juga pindah kesini karena punya usaha disini, ketemu ibu terus nikah, punya kamu, punya Apin." Jelas sang ayah panjang lebar.

"Bina ngak nanya tentang ayah, makasih," ucap Bina.

"Kamu emang ngak nanya, ayah cuma kasih info, makasih," balas ayahnya.

"Dih, ngak minta inpo tuh."

"Dih yaudah tuh." Kardi menirukan gaya bicara sang anak. Berjalan menuju pintu, membukanya, kemudian ia berbalik menatap Bina yang masih memperhatikannya. "Inpo-inpo cuakss," ucapnya dengan gaya yang sering ia lihat di tok-tok. Kemudian melengos pergi keluar, entah ingin berbuat apa.

"Dih bapak-bapak tok-tok," teriak Bina agar sang ayah yang sudah berada diluar bisa mendengarnya.

Sang ibu yang sendari tadi menjadi penonton hanya bisa menggelang diikuti Apin yang hanya meniru apa yang ibunya lakukan. "Udah ketemukan, gimana cakep ngak pilihan ayah ibu?" Kini sang ibu yang membuka pertanyaan, ketika melihat Bina duduk disampingnya.

"Biasa aja."

"Dih orang cakep gitu."

"Orang biasa aja."

"Cakep."

"Bina mau ngerjain tugas dulu ah, dadah ibu," ucap Bina berlalu pergi.

Setelah menutup pintu kamar, Bina berbalik menghadap pintu. "Aduh ini beneran? Masa abis lulus nikah, masa sih nikah. Masa sih, iih masa. Ya Allah, preng kan ini ya Allah tolong jawab, eh jangan deh serem juga tetiba ada yang nyaut."

Bina si anak manja ini masa sih harus nikah. Selain Bina tak mengenal siapa calonnya, ia juga masih ingin kuliah, berjuang untuk mendapat pekerjaan atau bekerja sesuai keinginannya. Keinginan untuk membahagiakan orang tuanya juga besar. Ia masih ingin menolaknya, ingin berucap tak mau dengan keras pada orang tua, dengan alasan terkuat yaitu tak ingin menikah. Tapi sepertinya harus ia jalani dulu semua, percayakan semua pada sang pencipta. Yang bisa ia lakukan hanya berdoa agar semua tak melenceng dari jalanya.

"Semoga ini yang terbaik"

Tapi ini lah kepribadian Bina 'ya sudah jalani saja.' Ia tau semua hal sudah dipersiapkan, selajutnya kita sendiri yang menentukan ingin menyusuri jalan yang yang mana. Ia akan berusaha percaya pada pernikahan, percaya pada orang tuanya, mereka akan memberikan yang terbaik pada anaknya. Walau mungkin tak semudah yang ia bayangkan.

Ψ( ̄∀ ̄)Ψ

part 3

(✿◕‿◕✿)

Ujian telah selesai, libur panjang juga sudah Bina lewati. Bina berkeliling, melihat sekitar. Setelah perjalanan yang menghabiskan waktu yang lumayan, Bina dan keluarganya, sudah sampai di kota tempat tujuan mereka. Teman ayahnya yang juga tamu sebulan lalu datang kerumah, juga ada disini. Ibu dan tante Tisa, mereka juga sedang melihat-lihat sekitar, sedang para lelaki sedang memindahkan barang-barang Bina, kedalam kost.

"Pindah sini teh?" Perempuan yang tanpa sengaja berjalan melewati Bina, menyapa.

"Iya teh," Bina mengangguk sopan membalas.

Banyak lalu lalang mahasiswa disini, karena ini juga kost strategis dekat dengan kampus. Walau agak sedikit memasuki gang, kost ini dekat dengan sejumlah kafe, dan tempat makan. Sekolah Bina juga tak terlalu jauh dari sini. Walau kost campur, kost ini sangat aman dengan jam tutup tertentu.

Sepertinya Bina sekarang siap untuk hidup lebih mandiri, hidup tanpa dampingan orang tua disisinya. Selama ini Bina memang melakukan semuanya sendiri kecuali urusan rumah. Ia tak pernah meminta banyak hal pada orang tuanya, seperti kebanyakan anak. Ia hanya menerima apapun yang mereka beri, tak pernah meminta sedikit pun.

Dulu ketika Bina baru memasuki sekolah dasar, ekonomi keluarganya merosot turun. Bina yang waktu itu juga masih anak-anak merengek meminta suatu mainan, namun orang tuanya tak sanggup membelinya. Bina mengamuk, mogok makan juga ia lakukan. Akhirnya, Lilis sang ibu, berhutang pada salah satu tetangga mereka. Dan sebulan kemudian, tetangga itu datang kerumah Bina, menagih hutang pada ibunya, caranya kasar, orang itu bahkan hampir memukul ibunya, jika ibunya tak menghindar. Dari situlah Bina tak pernah menuntut apapun pada orang tuanya, dan mereka juga selalu memberikan apa yang Bina butuhkan, tanpa Bina minta.

"Gimana Bin suasananya?" pertanyaan itu terlempar dari Tina, wanita yang kini sudah berada di belakangnya, tersenyum lembut.

Bina berbalik. "Adem tante, enak sejuk," jawabnya, membalas senyum.

"Disini kayaknya selalu sejuk ya Tin?" Lilis menyusul, menghampiri mereka, dengan Apin yang selalu anteng, digendongannya.

"Iya adem terus, sering hujan juga. Tapi sekarang lagi jarang sih." Ucap Tina.

"Bin, udah beres nih, mau liat gak?" Suara itu berasal dari arah belakang.

Ketiga perempuan berbeda generasi itu menengok kebelakang mereka. Tampak di depan pintu kamar kost Bina berdiri tiga laki-laki tengah melihat ke arah mereka. Sepertinya mereka sudah baru saja menyelesaikan tugas mereka. Kardi ayah Bina, melambaikan tangan, meminta mereka untuk menghampirinya. Ketiga perempuan itu berjalan menghampiri.

"Udah rapi kan yah?" Tanya Bina, ketika ia sudah berada di hadapan sang ayah.

"Udah beres semua. Ya kan Gi" Jawab Kardi, menengok pada pemuda yang berada di belakangnya. Irgi mengangguk, tak merespon berlebihan.

"Yang bener," tanya Bina sanksi, sedikit menengok pada pintu yang setengahnya tertutup badan seorang remaja, yang tengah menyenderkan badannya pada samping pintu, dengan dahi penuh keringat. Bina mengerutkan dahinya mengerut. 'Gak keliatan ih, minggir napa'.

"Masuk aja Bin, liat sendiri sok," pria lain yang seumuran ayahnya, memberi saran dengan lembut.

Bina menuruti saran nya. Melangkahkan kakinya memasuki kost yang akan ia tinggal tiga tahun kedepan. Ketika melewati pintu, remaja lelaki yang tadinya menyender disamping pintu, menggeser tubuhnya, agar Bina lewat dengan mudah.

"Sok, masuk," ucapnya. Bina melirik pemuda itu, mengangguk sopan.

Bina melihat sekeliling. Pertama memasuki kost ini, Bina disambut dengan ruangan kosong yang hanya terdapat karpet karakter yang sempat ia bawa dari rumahnya, masih dalam keadaan tergulung di pojokan, tentu saja itu pemikiran sang ibu, katanya 'nanti buat makan, masa dilantai yang gak ada alasnya. Terus temanmu juga nanti kalo main kerumah, mereka duduk dimana' begitu. Ya mungkin ini akan berfungsi nanti.

Di depannya, yang masih satu ruangan dengan ruang kosong ini, terdapat dapur. Disana ada tiga piring, tiga pasang sendok dan garpu, tiga pasang sumpit, dan tiga gelas, ada juga seperangkat wajan dan pasanganya, panci kecil, dan peralatan dapur lainya. Yang pasti ini ide ibundanya.

Beralih pada satu pintu yang berada di tengah sebelah kanan ruangan. Bina membukanya, ini kamarnya, ada kasur dan juga lemari yang sudah disediakan di kost ini, beberapa barang Bina dan kopernya. Di sebelah kiri ruangan ada pintu lagi, ini kamar mandi. Bina memasukinya, ia mengangguk, kamar mandinya bersih dan wangi. Pasti sang pemilik kost membersihkannya sebelum ditempati oleh penyewa.

"Gimana? Rapi kan? Rapi lah pasti." Sang ayah jumawa.

"Biasa aja, barang Bina masih banyak yang harus di beresin lagi, peralatan dapur juga gak di beresin"

"Dih, tidak menghargai perjuangan orang tua." Kardi menyilangkan tangannya didepan dada, melengoskan kepalanya ke kanan, tak menatap Bina.

"Dih orang iya kok." Bina juga menyilangkan tangannya mengikuti sang ayah.

"Dih Bina gak seru, gak cuaks." Oke, cuaks nya mulai.

"Dih," balas Bina.

"Yaudah nanti om bantu beresin lagi, sama Irgi, ya Gi?" Andi menyahut, menyenggol pundak anak nya. Pemuda itu menggerutu kecil.

"Gak usah om, Bina nanti beresin sendiri aja," ucap Bina sopan, menurunkan tangan nya yang tadi terlipat.

"Gapapa nanti biar latihan interaksi sama mertua."

"Gak usah om bina bisa sendiri." Bina tersenyum canggung.

"Yahh Bina mah ngak cuaks." Andi menyilangkan tangannya di dada, mengikuti temannya.

Bina melongo melihat kejadian itu 'kok.... Oh pantes temenannya awet banget' awalnya Bina bingung kenapa orang sekeren Andi ini mau berteman dengan ayahnya yang super cuaks, ternyata sesame cuaks juga toh. Sekarang Bina sudah tak heran lagi dengan ini. Disisi lain, Irgi menatap jijik pada papanya.

"Ayah sama ibu mau nginep disini malam ini?" Tanya Bina mengalihkan atensinya dari dua manusia cuaks.

"Gak deh kayaknya, ayah ada kerjaan, ibu gimana?" Kardi Kembali pada mode non cuaks.

"Ibu pengen tapi ibu gak bawa perlengkapan Apin Bin," ucap Lilis.

"Yaudah gak papa."

Setelah berbincang, berkeliling dan membantu membereskan barang-barang Bina, Kardi dan Lilis serta Apin yang berada di gendongannya, kini berdiri di depan pintu kost Bina. Jam sudah menunjukan jam 3 sore, matahari sudah berada di barat, menunggu untuk tenggelam. Karena membutuhkan perjalanan yang lumayan memakan waktu, belum menghadapi macet dan sebagainya, mereka bertiga memutuskan untuk pulang.

"Ayah sama ibu pamit, jaga diri baik-baik. Walaupun kamu perempuan tetap harus kuat, yang mandiri," Kardi mengelus puncak kepala putrinya dengan tulus. Terharu tak menyangka bahwa putri kecilnya dulu, yang selalu ia gendong kemana, memamerkannya pada tetangga. Kini sudah besar dan sudah punya pemikiran sendiri, mandiri, dan tumbuh menjadi gadis yang baik.

"Kalau ada apa-apa langsung hubungi ibu, oke," kini Lilis sang ibu menghampiri Bina, memeluknya lembut. Mungkin ia tak akan bisa bertemu Bina dalam beberapa bulan kedepan.

Bina membalas memeluk sang ibu, "iya Bina janji." Pelukan erat itu kalau bisa, tak mau ia lepas. Ia masih butuh ibunya untuk waktu yang lama, sampai kapanpun tak ada yang bisa menggantikannya.

Apin tampak berceloteh, mengayunkan tangan menggapai Bina. Bina menerima ulurannya, beralih menggendong sang adik dalam dekapannya. Tampaknya manusia kecil mereka itu mengerti apa yang sedang terjadi disini.

"Jagain Bina yah Gi, kalau ada apa-apa telpon om." Kardi memegang pundak pemuda yang diam memperhatikan, menatapnya penuh harapan. Irgi, pemuda itu membalas tatapan penuh pengharapan yang sangat besar, mengarah padanya.

"Saya akan berusaha om," Irgi menunduk, tak sanggup terlalu lama menatap mata bersinar yang seolah menenggelamkannya kedalam. Terlalu banyak harapan disana, harapan yang bagi Irgi begitu berat. Harapan yang mungkin saja tak bisa Irgi penuhi.

"Kita jagain kok tenang aja." Andi menepuk pundak Kardi.

"Makasih deh" Kardi membalas tepukan temannya.

Mobil yang membawa tiga manusia yang sangat berharga bagi Bina, kini meninggalkannya. Bina berdiri di balik pagar depan kost masih menatap kepergian mobil ayahnya.

"Bin beres-beres lagi yuk, gak papa itung-itung Latihan buat hidup mandiri, yah." Tina menepuk pundak Bina, ketika mobil yang Bina perhatikan menghilang di tikungan. Tersenyum hangat.

"Iya tante," Bina mengangguk, mengikuti Tina membereskan barang lainnya.

"Ma, pulang yuk papa ada kerjaan, butuh mama juga." Andi bersuara.

"Loh ini nanti Bina beresinnya sendirian, papa sendiri aja," Tina menggeleng.

"Butuh mama, ini ada masalah sama resto, restonya kan atas nama mama."

"Bina nya gimana? Masa ditinggal, ini aja belum beres."

Bina menggeleng, "gapapa tante Bina bisa sendiri." Tak enak juga.

"Iiih jangan dong ini lumayan banyak, nanti kamu sakit badanya gimana?"

'Lebay sih, tapi ya Allah baik banget ni orang.' Bina kembali menggeleng, membuka mulutnya ingin mengatakan tak perlu.

"Ada Irgi, ya Gi nanti bantu Bina." Andi berucap cepat, menyela Bina. Ia tampak buru-buru, sepertinya masalah serius.

Pemuda bernama Irgi yang berada di belakang Andi, tersentak saat namanya disebut. Menatap papanya seolah bertanya.

"Kamu disini dulu ya, bantuin Bina beres-beres, gak ada urusan kan? Papa sama mama ada urusan, tinggal dulu, nanti papa jemput kalo sempet, kalo gak sempet, kamu naik ojek." Andi merangkul bahu istrinya memasukkannya ke mobil.

Sedang dua remaja itu, menatap melongo pada mobil yang baru saja pergi meninggalkan halaman. Mereka menengok ke samping saling menatap satu sama lain bersamaan, untuk beberapa saat dengan posisi yang sama. Sadar saling bertatapan, mereka cepat-cepat mengalihkan pandangan, bersama pula.

"Aku beres-beres dulu kak," Bina berbalik badan memasuki kostnya. Berniat membereskan dapur terlebih dahulu yang terlihat sangat berantakan.

"Kamu, kenapa nerima perjodohan ini," suara itu berasal dari arah pintu. Suara Langkah kaki mulai mendekat. Bina menengok, terlihat Irgi mengambil panci dari dalam kardus, berniat membantu Bina.

"Aku.... Gak tau," Bina berbalik lagi, melanjutkan pekerjaannya. Tentang pertanyaan itu, ia juga tak tau jawabannya apa. Ayahnya hanya bilang ia harus mencoba, itu saja. Jika ia menolak, juga tidak apa-apa kan? Ini adalah kemauan orang tuanya, tapi Kardi bilang semuanya masih tetap ada dalam kendali Bina.

Irgi berjalan ke samping Bina, meletakan panci yang ada di tangannya ke dalam sana. "Papa bilang ini untuk masa depan, saya juga gak tau masa depan bagaimana." Suaranya kecil, terdengar seperti ngumaman.

"Masa depan memang gak jelas bagaimana. Ibu bilang takdir itu sudah ditulis rapi, tinggal kita milih yang mana aja, selagi itu tidak melenceng semua akan indah." Bina menyaut.

"Jadi kamu nerima perjodohan ini karena alasan itu?" Irgi menoleh pada Bina.

Bina menggelang, "karena ayah ibu." Ucap Bina menatap Irgi. "Aku juga gak mau dijodohin, tapi kata ibu, jalani aja dulu." Bina tersenyum. Semua sudah ia pikirkan. Benar kata sang ibu semua sudah diatur, ditulis dengan rapi.

Irgi menatap Bina yang kini melanjutkan pekerjaannya. "Saya punya pacar."

✍️(◔◡◔)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!