part 5

(●`・(エ)・´●)

"Masih pusing Sil?" Tanya Bina.

Karena kondisi Sila yang semakin parah, kini Bina berada di ruangan UKS. Menemani Sila, yang kini sedang berbaring menutup matanya.

Bina menyentuh dahi Sila, mengecek suhu tubuh temannya. Sila terlihat lemas tak berdaya, tubuhnya panas, wajah nya juga terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Bina khawatir, walaupun mereka baru saja berkenalan beberapa jam lalu, tapi Sila adalah teman pertamanya disini. Dan tampaknya Bina juga adalah teman pertama Sila, karena sedari tadi, ia tak melihat ada siswa lain yang menghampiri mereka, untuk sekedar melihat kondisi Sila. Selain beberapa osis yang tampak berlalu lalang mengambil obat, atau sekedar melihat Sila karena khawatir.

Sila tampak menggeliat, ia tak tidur, ia hanya memejamkan matanya, berusaha menahan rasa pusing pada kepala.

Bina yang melihat itu, segera meletakan handuk yang ia gunakan untuk mengompres Sila pada baskom berisi air.

"Pusing banget gak?" Tanyanya, mengusap bahu Sila.

Sila membuka matanya, menatap pada Bina. Kemudian mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia tak punya teman disini, tak ada teman SMP nya yang melanjutkan kesekolah yang sama dengannya. Ini adalah sekolah pilihan orang tua nya. Selain dekat dengan rumah, sekolah ini juga searah dengan kantor ayahnya, ia bisa setiap hari diantar oleh sang ayah untuk pergi ke sekolah.

Gadis itu kembali menutup matanya. Bina menatap khawatir pada Sila. Ia kembali mengambil handuk yang tadi ia telantarkan di dalam baskom. Meremasnya, kemudian meletakan nya pada dahi Sila.

"Masih pusing banget gak dek?"

Pertanyaan itu bukan dari Bina. Tapi dari perempuan berseragam PMR yang kini menyibak gorden yang menutup ranjang Sila, melongokan kepalanya.

Bina menoleh, menatap gadis yang kini juga menatap nya. Gadis ini adalah si perempuan PMR yang beberapa saat lalu memanggil Irgi dengan sebutan 'yang.'

"Masih kayanya kak," Bina menjawab. "Masih panas banget."

Gadis itu menghampiri Sila, mengangkat handuk yang diletakan Bina. Kemudian menempelkan tangannya di dahi Sila mengecek suhu.

"Panas banget, dek pulang aja ya." Gadis itu memegang lengan Sila. "Nanti kakak izinkan, gak ikut mpls juga gak papa. Takut kamu nya tambah parah." Gadis itu mengalihkan tangannya membelai kepala Sila, berkata dengan lembut.

Bina ikut mengangguk setuju, ia sangat khawatir dengan Sila. Bina melirik kembali pada si gadis PMR ini. Bina sedikit kagum pada tutur kata nya, gadis ini memiliki tutur kata yang sangat nyaman didengar. Sifatnya, Bina perkirakan, ia adalah perempuan yang lembut dan penuh perhatian. Kalem, sangat cocok dengan wajahnya yang teduh. Apa ini alasan Irgi juga tak bisa melepasnya, seandainya Bina menjadi Irgi, ia juga akan berat melepas orang seperti dia. Bina penasaran, bagaimana sikapnya ketika menerima ajakan berpacaran dari Irgi.

"Sil, telpon orang tua kamu ya." Bina berdiri, mengambil ponsel Sila.

Sila membuka matanya, mengangguk dengan lemas. Kepalanya sudah seperti akan pecah ia rasa.

Setelah meminta izin untuk membuka ponsel Sila. Bina segera mencari kontak orang tua Sila, menelponnya.

"Kamu balik aja ke aula, sebentar lagi aka nada pemilihan ekskul, setelah itu nanti bakal pulang. Biar kakak yang jaga Sila disini." Gadis itu berkata, kala Bina mengakhiri teleponnya.

Bina menatap Sila, khawatir. Sila menatap nya mengangguk dengan senyum tipis. Bina kemudian berbalik kembali kedalam aula bergabung dengan yang lain, melanjutkan kegiatan mpls.

"Ok sekarang isi data diri kalian, dan lingkari eskul-eskul yang kalian minati, di kertas yang kaka-kaka bagikan. Jangan lupa nomor teleponnya juga, biar nanti buat grupnya gampang."

Bina Kembali mendengar suara yang dari pagi hingga sore ini terus melewati telinganya. Didepan terlihat beberapa osis mulai membagikan kertas pada setiap anggota mpls. Tapi satu orang yang menurut Bina sangat mencolok dibandingkan yang lain. Disana berdiri seorang yang selalu setia dengan mik digenggamannya, mengucapkan kata dengan lantang dengan percaya diri, tanpa takut salah. Ini pertama kalinya Bina menemukan orang seperti dia.

Bina menerima uluran kertas padanya. Kemudian mengisi data diri nya diatas sana. Membaca beberapa ekskul disana. Tak ada ekskul wajib dan tidak wajib, tapi tulisan dengan gaya bold, berukuran besar, terpampang di bagian bawah ujung kertas, bertuliskan 'wajib ikut ekskul'. Membuat mata Bina, mau tak mau melihat ke arah sana. Ok setidaknya Bina sudah ada niat akan masuk ekskul yang mana.

"Loh gak ada basket?" Bina kembali membaca ulang eskul-eskul yang tertulis, namun tetap saja, untuk kedua kalinya, ia tak menemukan yang ia cari. Bina berulang kali membaca nya dengan teliti. Atas bawah ia telusuri dengan jari nya yang ikut menunjuk, kata-perkata Bina baca dengan pelan, berusaha tidak melewatkan satupun kata.

"Nyari apa?"

Bina mendongak, kaget melihat siapa yang baru saja bersuara, 'kenapa orang ini ada disini? Nanti kalau pacarnya liat gimana?' Bina terus menatapnya, kemudian tersadar buru-buru menunduk, sedikit menggeser duduknya, ke ujung kursi.

"Kamu nyari apa?" Irgi, pemuda yang kini berdiri disamping Bina kembali bertanya, ketika pertanyaan nya tak segera mendapat jawaban. Menyerngitkan dahi melihat tingkah Bina.

Tak mendapatkan respon, Irgi mencolek pelan bahu Bina.

Bina menoleh melihat bahunya, mendongak menatap sinis si pelaku. Mengusap bahunya pelan, seolah tangan Irgi baru saja memeperkan kotoran disana. Kemudian kembali menunduk, tidak menganggap manusia disampingnya. Bina takut akan ada yang melihat mereka berinteraksi, dan mengira ia merebut pacar orang.

Melihat itu, Irgi dengan senyum memegang bahu Bina, mengguncangnya, tidak pelan namun juga tidak terlalu kencang.

Diperlakukan begitu, Bina memukul bertubi pada tangan Irgi.

"Au au," ucap Irgi pelan.

"Kenapa Gi?" Suara lain bertanya, seiring langkah kaki yang mendekat.

Bina kembali menunduk, tak mendongak, ia hanya melirik pada sepatu pantofel yang perlahan mendekat ke arahnya. Sepatu itu berhenti di samping sepatu milik Irgi.

Irgi menggeleng, "saya cuma tanya dia lagi cari apa, soalnya saya liat dia kaya baca berulang kali kertasnya, takut ada yang gak jelas." Jelasnya.

"Oohh.. kenapa Dek Bina? Ada yang gak jelas?"

"Kamu kenal Yu?" Irgi menatap bertanya pada Wahyu, bagaimana bisa lelaki ini mengenal Bina.

"Tadi pagi gue cicipin nasi gorengnya Dek Bina, soalnya baunya sedep, pas dicobain enak." Ucap wahyu, tersenyum menampakan giginya kearah Irgi.

Irgi tak merespon berlebihan, ia hanya mengangguk seadanya. Beralih menatap Bina, yang kini masih setia menunduk. "Cari apa? Kalo ada yang bikin bingung tanya aja." Ucapnya.

"Gak papa Dek Bina, gak usah malu, gak dimarahin kok." Wahyu ikut bertanya.

Bina mendongak, ia tak mau menjawab, tapi melihat dua lelaki yang kini masih setia berada disampingnya ini, dan agaknya tak akan pergi sebelum Bina menjawab, ia jadi tak enak. Tolong ia hanya ingin menyelesaikan masalahnya tanpa bertanya, dan ditanya.

"Ngak papa, Kak," ucap Bina pelan.

"Gak papa Dek Bina, ngomong aja." Wahyu mengangguk, menyemangati Bina untuk mengutarakan keluhannya.

Irgi melirik Wahyu, merasa sedikit jijik akan panggilan yang Wahyu berikan pada Bina. 'Dek Bina katanya.'

Bina menghela nafas. Menunjuk pada kertas yang ada di tangannya. "Gak ada ekskul basket ya kak?" Tanyanya.

"Oooh ekskul basket? Ada, tapi cuma klub cowo, kalo klub cewe gak ada Dek Bina." Wahyu menjelaskan. Panggilan alay itu, membuat Irgi kembali melirik pada temannya.

"Yaudah kak makasih." Ucap Bina mengangguk.

"Masih ada yang mau ditanyain?" Wahyu kembali bertanya.

Bina menggeleng. "Gak kak makasih."

"Yaudah kakak tinggal ya." Wahyu menepuk pundak Irgi, kemudian berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua.

"Mau ikut ekskul basket?" Irgi bertanya, ketika melihat Wahyu sudah jauh dari mereka. Beralih menolah pada Bina.

Bina mengangguk, merespon. Ia sedikit memajukan bibirnya kesal.

"Kenapa?"

"Aku mau sekolah di kota, karena aku mau ikut ekskul basket, soalnya di kampung gak ada sekolah yang ada ekskul basketnya." Bina menjawab pelan, namun penuh emosi di setiap nada bicaranya.

Irgi diam, bingung ingin merespon bagaimana. Ia menatap Bina, gadis itu kini menunduk menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya. Irgi menoleh kanan kiri mencari kata untuk merespons Bina.

"Hei," Irgi memegang bahu Bina, ketika mendengar suara isakan kecil dari gadis itu. Apa tidak masuk ekskul basket bisa semenyedihkan itu untuk gadis ini, sampai-sampai ia menangis.

Panik, Bina tak kunjung berhenti. Irgi kembali melihat sekeliling, takut akan ada orang yang melihat ke arah mereka, takut ia dituduh macam-macam pada gadis ini, sampai membuat gadis ini menangis.

"Kan bisa ikut ekskul voli, yang eskul voli ada klub ceweknya kok." Irgi mencoba membujuk. Ia terus mengusap bahu Bina menenangkan.

Irgi bernafas lega, ketika melihat Bina akan menurunkan telapak tangannya. Kini gadis itu menatapnya, mengusap sisa-sisa air mata di wajahnya, matanya merah, Bina juga sesekali menyedot ingus nya agar tidak jatuh. Irgi masih setia mengelus bahu Bina, menatapnya, menunggu gadis ini mengeluarkan suara.

Bina menyedot ingusnya sekali. "Asal kak Irgi tau, aku tuh mau sekolah di kota karena mau ikut ekskul basket. Ayah sama ibu ngijinin tapi pake syarat." Bina menjeda, menyedot ingusnya sampai habis, menghirup nafas dalam-dalam. "Syaratnya, harus mau nikah, dijodohin, sama... kak Irgi.." Ucap Bina lirih, hampir tak terdengar. Bina kembali menutup wajahnya menggunakan telapak tangan.

Irgi diam, kaget akan alasan Bina menerima perjodohan mereka. Apa hanya karena basket? Hanya karena basket ia menerima perjodohan ini? Alasan lainnya memang Irgi sudah tau, tapi untuk alasan ini, basket? Apa basket sepenting itu, sampai ia menerima perjodohan ini. Maksudnya, ini perjodohan loh, bukan mainan, perjodohan artinya ia akan dinikahkan dengan orang yang bukan mereka sukai, pernikahan artinya mereka akan hidup seumur hidup dengan orang lain. Dan gadis ini hanya demi basket.

Walaupun Irgi tau, dengan alasan apapun mereka pasti akan tetap dijodohkan. Tapi tolonglah, Irgi pernah dengar dari Bina, bahwa gadis itu masih bisa memilih akan lanjut dengan perjodohan ini atau tidak. Sedang Irgi, papanya bilang keputusannya ada di gadis ini, jika Bina bilang ya, maka pernikahannya terjadi, dan sebaliknya. Dan lihat Bina, ia menerimanya hanya karena basket?

Kesal, Irgi mengelus bahu Bina pelan, kemudian berjalan menjauh dari Bina, tanpa mengucapkan apapun.

(● ̄(エ) ̄●)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!