part 2

(o゜▽゜)o☆

Kini ruang tamu rumah Bina sudah terisi dengan dua keluarga. Hasil rundingan tadi malam, membuahkan hasil seperti ini. Bina si iya-iya aja tapi ngak mau nikah ini, akhirnya mengiyakan untuk mencoba dulu. Kini ia duduk di kursi yang semalam ia duduki bersama sang ibu yang memangku Apin, dan ayahnya di tempat yang sama pula. Bedanya kursi dihadapan mereka yang semalam kosong kini diduduki oleh keluarga kecil lain.

Sepasang suami istri yang tempo hari Bina lihat ketika ia pulang eskul, kini berada duduk dahadapannya dengan meja sebagai sekat. Setelah perkenalan singkat tadi, sekarang ia mengetahui, lelaki yang tampaknya seumuran dengan sang ayah dan terlihat sangat tidak sungkan, bernama Andi, teman lama ayahnya. Disampingnya seorang wanita yang tampak sedikit lebih muda dari pada ibu, adalah istrinya bernama Tina. Dan mereka adalah teman ayahnya, yang artinya 'calon mertua' Bina.

Dua pasang suami istri ini sudah saling berbincang sendari tadi, entah basa-basi sekedar bertanya kabar dan membahas bisnis keluarga atau lainnya. Bina tak mengerti dan tak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Ia terus menunduk, sesekali melirik mereka, terutama pada remaja lelaki yang ia ketahui bernama Irgi, hasil perkenalan tadi. Bina perkirakan umurnya lebih tua beberapa tahun darinya. Lelaki itu juga diam, sesekali tersenyum menanggapi seperlunya.

"Jadi Bina mau ngekos aja?"

Bina mengangkat kepalanya, merasa namanya disebut. Sang ibu menyentuh pahanya, menoleh pada sang putri, kemudian tersenyum. Bina balas menatap, bertanya lewat mata apa yang sedang di dibicarakan ini.

"Semalam sih bilangnya begitu, katanya mau lebih mandiri, terus ngak enak katanya masa numpang, takut kalian keberatan." Kardi sebagai kepala keluarga menyauti, sedikit mengarang agar lebih sopan.

"Sebenarnya kita ngak keberatan, yang pengen Bina tinggal di rumah om dan tante ya kita. Masa kita yang minta, kita yang keberatan sih." Tina menyahut.

"Gimana?" Tanya Kardi, menoleh pada putrinya. Bina menyauti dengan menggelengkan kepalanya pelan.

"Yudah kalo begitu, nanti om carikan kos yang khusus putri, kalau ada, terus yang aman juga, disana." 'Calon mertua' laki-laki Bina membuka suara. Bina mengangguk.

"Nanti tolong dijagain ya Gi, Bina nya." Kardi menolah pada remaja lelaki yang sendari tadi diam menunduk. Remaja itu tak menanggapi berlebihan, responya sama dengan Bina, hanya mengangguk.

"Bina ada dream wedding ngak? Buat nanti, masih tiga tahun lagi sih nunggu Bina lulus sekolah, tapi nanti biar ngak dadakan banget. Biar kita cari nya pelan-pelan yang merinci, biar ngak berantakan. Gimana ada ngak? Kayak dekor atau apa gitu?" Tina membuka pertanyaan untuk Bina, nada nya lembut seperti ibunya.

Bina gelagapan tak tau harus merespon bagaimana. Ia melirik ayahnya yang kini juga sedang menatap nya, memberi kode mata. 'Ayah aja yang jawab, Bina ngak mau jawab,' kurang lebih itu lah hal yang Bina sampaikan pada sang ayah. Dan ini yang dikodei malah diam menatap seolah tak mengerti, atau hanya berpura-pura tak mengerti kode anaknya.

Tak mendapat jawaban dari sang ayah. Bina beralih pada sang ibu, memberikan kode yang sama. Entah ini karena sang ibu tak mengerti kodenya atau mereka bersekongkol mengerjai Bina. Sama, hasilnya sama. Mereka berdua hanya menatapnya seolah menunggu respon dari Bina.

Menyerah, Bina sudah tak lagi mengharap pada orang tuanya. Lagian acara nya kan akan berlangsung tiga tahun lagi, kenapa tanyanya sekarang sih. Bina mengangkat wajahnya, menatap keselilingnya. 'kok dejavu.' Kini Bina melihat semua orang yang tengah berada diruang tamunya menatap dirinya. Bahkan anak remaja tadi yang sempat Bina lihat hanya menunduk kini menatapnya juga. 'Kok jadi horror, kayak lagi diintrigasi'. Kejadian yang sama persis dengan kemaren sore.

"Kayanya belum ada tante," jawab Bina pelan. 'Ya lah belum ada, orang rencana nikah nya aja ngak ada.'

Wanita itu mengangguk. "Yaudah nanti kalo ada bilang tante ya," ucapnya tersenyum lembut.

'Kayanya beliau ini baik deh, aduh nanti aku bisa ngak ya nolaknya. Tante, semoga tante kuat akan semua cobaan yah.'

"Nanti Bina mau masuk IPA atau IPS?" Pertanyaan itu terucap dari Andi.

"Kayanya, IPA om."

"Oooh, kalo Irgi jurusan IPS, ya Gi?" Remaja bernama Irgi yang hanya duduk terdiam itu terhenyak, ketika namanya disebut, kemudian hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. "Mau ikut eskul apa?" Ia beralih lagi pada Bina.

"Kayanya PMR om, atau basket."

"Bina suka basket?" Tanya Tina sedikit terkejut.

"Iya tante."

"Waah keren banget," sautnya.

"Ya ini, karena alasan ini Bina mau sekolah di kota, pengen ikut eskul basket katanya. Disini ngak ada sekolah yang ada eskul basketnya, paling juga adanya sepak bola sama voli katanya." Kardi menjelaskan.

"Yaudah ngak papa, bagus biar satu sekolah, biar lebih deket juga sama Irgi, biar saling kenal dulu." Saut Andi.

Kardi mengangguk menyetujui. Ia dan Andi sudah berteman dari jaman mereka berdua duduk dibangku sekolah dasar. Dari SD, SMP, SMA, hingga mereka berpisah saat akan mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Kardi di jawa timur, sedang Andi di jawa barat. Terlepas mereka yang terpisah jarak, mereka masih saling berbagi kabar satu sama lain, hingga sekarang.

Dari pertemanan mereka yang sudah seperti saudara inilah, muncul perjanjian yang akan membuat mereka benar-benar dekat, yaitu menjodohkan anak mereka nanti. Alasan klasik bagi orang lain, tapi tidak bagi mereka. Mereka sudah saling berjasa dihidup masing-masing. Saling menemani, saling menjaga. Disaat orang lain, teman lain, bahkan disaat orang tua dari keduanya sudah tiada, mereka masih saling memiliki satu sama lain.

Karena itulah mereka melakukannya.

"Nanti Bina kalo ada apa-apa, butuh sesuatu, atau minta bantuan bilang tante aja yah," ucap Tina.

Seperti biasa Bina hanya mengangguk seperlunya. Mereka sangat baik padanya, tapi entah mengapa membayangkan atau menyebutnya 'calon mertua', oh Bina tak mau menyebutnya calon mertua, itu membuat Bina engan berbicara atau melakukan hal yang lebih untuk mereka. Ia terlalu takut akan banyak hal tentang pernikahan terutama 'mertua'.

Bukan bagaimana, contoh mertua di sekeliling rumahnya sangat menyeramkan. Mereka menjelekan, menghina, memarahi tanpa konteks, atau bahkan memukuli menantu mereka sendiri. Seseram itu bayangan Bina, tak hanya bayangan, bahkan tetangga Bina melakukan salah satu sikap itu.

Sedang orangtuanya sendiri, mereka sama-sama sudah tak memiliki orangtua. Nenek satu-satunya yang masih hidup ketika kedua orangtuanya menikah, bahkan sudah meninggal sebelum Bina lahir.

"Yasudah kita pamit, sudah mau gelap." Andi sang tamu pria berdiri dari duduknya.

Bina mengangkat kepalanya, tersadar dari lamunannya, 'loh sudah?'

"Ya sudah, nanti keburu gelap takutnya bahaya." Saut kardi.

...

"Mereka orang sana asli yah?" Setelah berpamitannya keluarga itu Bina bertanya.

"Ngak, aslinya orang solo kaya ayah, Cuma dia pindah dan netep disana karena pekerjaan. Ayah juga pindah kesini karena punya usaha disini, ketemu ibu terus nikah, punya kamu, punya Apin." Jelas sang ayah panjang lebar.

"Bina ngak nanya tentang ayah, makasih," ucap Bina.

"Kamu emang ngak nanya, ayah cuma kasih info, makasih," balas ayahnya.

"Dih, ngak minta inpo tuh."

"Dih yaudah tuh." Kardi menirukan gaya bicara sang anak. Berjalan menuju pintu, membukanya, kemudian ia berbalik menatap Bina yang masih memperhatikannya. "Inpo-inpo cuakss," ucapnya dengan gaya yang sering ia lihat di tok-tok. Kemudian melengos pergi keluar, entah ingin berbuat apa.

"Dih bapak-bapak tok-tok," teriak Bina agar sang ayah yang sudah berada diluar bisa mendengarnya.

Sang ibu yang sendari tadi menjadi penonton hanya bisa menggelang diikuti Apin yang hanya meniru apa yang ibunya lakukan. "Udah ketemukan, gimana cakep ngak pilihan ayah ibu?" Kini sang ibu yang membuka pertanyaan, ketika melihat Bina duduk disampingnya.

"Biasa aja."

"Dih orang cakep gitu."

"Orang biasa aja."

"Cakep."

"Bina mau ngerjain tugas dulu ah, dadah ibu," ucap Bina berlalu pergi.

Setelah menutup pintu kamar, Bina berbalik menghadap pintu. "Aduh ini beneran? Masa abis lulus nikah, masa sih nikah. Masa sih, iih masa. Ya Allah, preng kan ini ya Allah tolong jawab, eh jangan deh serem juga tetiba ada yang nyaut."

Bina si anak manja ini masa sih harus nikah. Selain Bina tak mengenal siapa calonnya, ia juga masih ingin kuliah, berjuang untuk mendapat pekerjaan atau bekerja sesuai keinginannya. Keinginan untuk membahagiakan orang tuanya juga besar. Ia masih ingin menolaknya, ingin berucap tak mau dengan keras pada orang tua, dengan alasan terkuat yaitu tak ingin menikah. Tapi sepertinya harus ia jalani dulu semua, percayakan semua pada sang pencipta. Yang bisa ia lakukan hanya berdoa agar semua tak melenceng dari jalanya.

"Semoga ini yang terbaik"

Tapi ini lah kepribadian Bina 'ya sudah jalani saja.' Ia tau semua hal sudah dipersiapkan, selajutnya kita sendiri yang menentukan ingin menyusuri jalan yang yang mana. Ia akan berusaha percaya pada pernikahan, percaya pada orang tuanya, mereka akan memberikan yang terbaik pada anaknya. Walau mungkin tak semudah yang ia bayangkan.

Ψ( ̄∀ ̄)Ψ

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!