Seminggu telah berlalu pasca kejadian yang hampir merenggut nyawa Guren. Hari ini tepatnya pukul sembilan malam, pria itu membuka mata setelah tujuh hari tidak sadarkan diri.
Di mana ini?
Saat Guren ingin bergerak pria itu langsung meringis sakit.
Keadaan itu berhasil membuat seorang gadis yang duduk di sofa menaruh perhatian, namun anehnya dia tidak bergerak dari tempatnya untuk melihat.
“Jangan banyak bergerak, kakimu patah,” katanya.
Guren menoleh ke samping, ternyata ada Ran di ruangan itu tengah mengerjakan tugas seorang diri.
“Ngapain kamu di kamarku?”
“Kamarmu? Ini rumah sakit.”
Selanjutnya Guren mencoba mengingat apa yang terjadi, perlahan dia ingat semuanya, Guren pun akhirnya paham situasi.
“Gara-gara kau aku jadi kecelakaan,” tuduh Guren menilik tajam wajah Ran.
Ran tentu saja bingung, waktu itu dia sedang sakit di rumah, itu pun gara-gara Guren. Tapi kenapa malah dia yang disalahkan atas kecelakaan yang menimpa Guren dan Pasya? Ran malas menanggapi Guren.
“Oh iya, Pasya! Dia baik-baik saja ‘kan?” panik Guren.
Ran mendenguskan napas berat, dengan malas dia menjawab, “Dia hanya luka ringan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dia.”
“Jadi di mana dia sekarang? Kenapa tidak dia saja yang menungguku?”
Otak Ran terkenang pada tujuh hari yang lalu.
Waktu itu, dalam keadaan masih sakit Ran mendapat kabar tentang Guren. Di saat Adit belum pulang sekolah, Ran dengan sendirinya bersusah payah datang ke rumah sakit.
Di situ sudah ada keluarga Guren dan juga mama papanya.
“Bagaimana keadaan mereka, Ma?” tanya Ran khawatir.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Ran, mereka semua mengabaikan keberadaan Ran.
Hati Ran tercubit, biarpun dia telah biasa menghadapi situasi seperti itu, tapi tetap saja sakitnya tidak berkurang.
Lalu datanglah Miztard dari belakang bersama kakek Tarmizi.
“Ran,” panggil Miztard.
Ran pun menoleh ke belakang. “Kak Miztard, Kakek, apa kabar?” Ran menyambut dengan Ramah.
Kakek dan Miztard mengamati tubuh Ran yang terdapat banyak memar serta kulit gadis itu yang pucat.
“Ran kau kenapa?”
Ran paham maksud Miztard dari tatapannya yang menyoroti lebam di tubuhnya. Gadis itu pun beralasan, “Aku tersenggol mobil yang melaju,” tipu Ran cengengesan seperti orang bodoh.
Miztard percaya, tapi tidak dengan kakek. Pria tua itu sepertinya mengerti apa yang terjadi dengan Ran, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah itu.
“Lebih baik kau istirahat Ran, sepertinya kau sakit.” Kekek tidak tega melihat Ran yang tampak lemah yang bahkan tetap berdiri saja memakan tenaga yang banyak.
Setelah itu Ran diantar pulang oleh Miztard atas perintah kekek, pria itu juga menjelaskan apa yang terjadi dan juga keadaan Pasya dan Guren karena Miztard adalah keluarga pertama yang tahu tentang kecelakaan itu.
Sedangkan Muti menangis terus, wanita itu ditemani oleh Salsa yang terus mengucapkan kata-kata semangat.
“Mut tenanglah, Guren pasti baik-baik saja.”
“Baik-baik apanya?!” bentak Muti.
“Bagaimana kalau kau makan dulu, ini sudah lewat waktu makan siang.” Kemudian Salsa celingak-celinguk mencari sosok Ran. “Di mana Ran tadi? Suruh dia beli nasi bungkus untuk kita.”
Kekek menoleh mendengar nada bicara Salsa yang kasar. “Dia sedang sakit, jadi dia pulang.”
“Kenapa dibiari, Kek? Orang di sini lagi susah dia malah enak-enak tidur di rumah, ini suaminya loh yang dioperasi ... Pah, telepon Ran suruh dia ke sini, kan kalau ada dia enak kita suruh-suruh dia.”
Pak Doni pun mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ran, tapi sebelum pria itu menekan nomor Ran, kakek Tarmizi bersuara, “Anak kalian sakit pun masih ingin kalian suruh-suruh, orang tua macam apa kalian?” tegas kakek.
Mereka membatu, Muti yang sedang menangis pun menjadi diam karena suara tegas papa mertuanya yang terlihat jelas sedang marah.
“Bu-bukan seperti itu maksudku, Kek.”
“Sa, diam,” tegur Muti agar Salsa tidak menyangkal kakek yang sedang marah.
Dua hari kemudian Ran sudah jauh lebih baik, mertuanya pun datang ke apartemen untuk bertemu dengan Ran.
“Ran, kemasi bajumu, sampai Guren sadar kau menginap saja di rumah sakit.”
“Kenapa tidak kak Pasya saja?” tanya Ran, yang ia tahu mertuanya ini menyukai Pasya bahkan mendukung hubungan Guren dan Pasya walaupun Guren sudah punya istri.
“Ya aku juga maunya begitu, tapi Pasya bilang tangannya masih sakit.”
Bohong, tangannya tidak separah itu, batin Ran.
“Apa yang kau tunggu! Cepat kekasih barangmu.”
“Iya, Ma.”
Kalau saja ada keluarga yang tidak sibuk mungkin saja Muti tak sudi meminta bantuan Ran, ini sama saja melukai harga dirinya. Tapi Muti tidak ada pilihan, dia juga sibuk karena dia merupakan wanita karier.
Sehabis dijemput Muti, Ran benar-benar menunggu Guren sampai-sampai dia tidak masuk kampus karena dilarang mertuanya untuk meninggalkan Guren.
Biarpun begitu Ran selalu mengerjakan tugas pemberian dosen berkat Risti yang selalu memberitahu tentang tugas juga meminjamkan catatan.
Ran tidak ikut kerja kelompok pun namanya tetap tertara di kertas.
“Ris, kak Pasya sudah masuk sekolah, ya?” tanya Ran ketika Risti datang memberikan laporan seputar sekolah.
“Sudah, bahkan dia tampak sangat sehat.”
“Kok dia enggak ada berkunjung sama sekali, ya? Katanya cinta sama kak Guren, tapi kok enggak perhatian?”
“Lah? Guren kan suami kamu, Ran. Kenapa berharap Pasya berkunjung?”
Ran terdiam.
Kembali lagi ke masa sekarang di mana Guren sudah sadar.
“Kenapa diam?” tanya Guren.
“Tidak apa-apa.”
“Pasya mana?”
Aku yang menjaganya malah Pasya yang ditanya. Asal kamu tahu ya, Pasya tidak pernah mengunjungimu. Ran menggeram dalam benak.
Ran bergerak mendekati Guren, seketika jantung Guren berpacu dengan sangat cepat.
“Kau mau apa? Mau balas dendam soal siksaan aku kemarin, ya?” tutur Guren ketakutan, ketakutan itu bukan soal takut Ran balas dendam, tapi jarak di antara mereka membuat jantung Guren ingin meledak hingga dia salah tingkah.
Bip.
Ternyata Ran hanya ingin menekan tombol pemanggilan yang ada di dekat Guren.
“Hmm?” Ran meneliti wajah Guren yang membeku. “Ada apa?” tanyanya.
“Pergi sana! Jangan mendekati aku satu jengkal sekali pun,” usir Guren.
“Sebegitu bencinya Kak Guren padaku?” balas Ran yang mundur perlahan, Guren memalingkan wajahnya ke arah lain agar detak jantungnya stabil.
Ran kembali berkutat dengan buku, Guren di sana seakan tidak ingin melihat Ran, pria itu selalu menghindari kontak mata dengan Ran sebisa mungkin.
Tak lama kemudian suster bersama dokter datang memeriksa keadaan Guren.
Setelah diperiksa mereka berkata, “Guren tidak boleh jalan dulu, kalau mau buang air besar atau kecil boleh panggil kami atau minta bantuan Ran, ya.”
“Aku panggil kalian saja nanti,” jawab Guren.
Mendengar hal itu, Ran menganggap bahwa kebencian Guren padanya sangat besar. Tidak apa-apa, itu bukan hal yang mengejutkan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments