Awan hitam yang sudah ada sejak pagi akhirnya meneteskan airnya, di bawah guyuran hujan Ran berjalan dengan tatapan kosong tidak tahu ke mana tujuan.
Dia yang rela mempermalukan diri demi melindungi keluarganya malah diusir dan dicaci maki dengan perkataan yang sangat menyakitkan. Perkataan Doni dan Salsa masih terngiang-ngiang di kepalanya. Tetesan hujan menyembunyikan air mata Ran, langit seakan mengerti bahwa gadis ini tidak ingin menunjukkan air matanya pada siapa pun.
“Sudah kuduga,” kata pria yang berada di dalam mobil hitam. Dia adalah Miztard, dari kejauhan dia melihat Ran yang berjalan sendiri membuat Miztard tertegun dengan ekspresi kelam Ran yang tidak pernah ia lihat.
Di saat Ran terus melangkah sosok pria berpayung hitam menghentikan langkahnya. Ran berbalik ketika merasakan bahunya tengah dipegang seseorang.
“Kak Miztard?” Seketika ekspresi yang tadinya kelam hilang digantikan dengan senyum khas Ran.
“Kenapa kau hujan-hujanan?”
“Aku suka hujan.” Ran berbalik ingin melanjutkan langkahnya, namun tangannya malah ditarik paksa oleh Miztard.
“Aku akan carikan kontrakan untukmu, sementara kau tinggallah di situ.”
Ran tertegun, ternyata Miztard tahu kalau dia diusir dari rumah. “Terima kasih.” Ran tersenyum lebar, tidak ada alasan untuk menolak tawaran Miztard.
Kini Ran dan Miztard dan Ran duduk di kursi kontrakan yang dibayar oleh Miztard, Ran masih dengan baju basahnya karena dia tidak membawa pakaian lain selain apa yang ia pakai.
“Aku akan suruh orang untuk membeli pakaian untukmu,” tawar Miztard.
“Tidak perlu, nanti aku suruh adikku saja untuk membawakan pakaianku.”
“Terlalu lama, kau bisa masuk angin.”
“Tidak apa-apa, masuk angin tidak membuatku mati.”
“Tapi-”
“Kak,” potong Ran sebelum Miztard menyangkalnya lagi.
“I-iya?”
“Kaka tidak jijik denganku?”
Ekspresi Ran datar, matanya menatap gelas yang sekarang ia pegang, hal itu malah terkesan memilukan bagi Miztard yang melihatnya.
“Kau diancam Arif, kan? Aku tahu itu, mana bisa aku menganggap gadis yang berkorban demi keluarganya menjijikkan.”
Ran tersentuh, ternyata Miztard mengetahui masalahnya sampai sejauh itu.
“Dari mana Kaka tahu?”
“Kalian berbicara di dekat mobilku waktu itu, kebetulan aku ada di dalamnya.”
“Mobil Kaka? Bukannya mobil Kaka berwarna silver, ya?”
“Mobilku rusak dibawa ke bengkel papanya Arif, aku membawa mobil lain. Makanya Arif tidak sadar kalau aku ada di dalam mobil itu.”
“Karena itu bukan mobil Kaka?”
“Iya, itu mobil mama.”
Ran mengangguk mengerti, entah suatu keberuntungan atau apa, tapi setidaknya dia mendapat pengertian walaupun hanya dari satu orang saja.
Sedangkan di tempat lain, Guren terus mengetuk pintu kamar Pasya. Gadis itu tidak mau membukakan pintu namun suara tangisnya terdengar begitu keras hingga membuat sumpah buruk untuk Ran.
“Pasya dengarkan aku.”
“Pergi!”
Guren sudah cukup lelah memanggil Pasya, sebelum ia kembali pulang setidaknya ada perkataan yang sedikit menenangkan Pasya.
“Aku akan cari cara untuk lepas dari Ran, kau sabarlah untuk sementara waktu.” Ya, hanya itu yang Guren katakan sebelum akhirnya ia kembali pulang.
Saat Guren ingin keluar, dia bertabrakan dengan Adit yang membawa koper besar.
“Aw, tidak ada mata, ya?” ketus Adit, dia benci sekali dengan Guren.
“Mau kau apa kan koper itu?”
“Ini baju kak Ran, dia diusir dari rumah gara-gara kamu. Apalagi tangisan cewek cengeng itu semakin membuat mama marah pada kak Ran, dia hanya tahu merengek saja, berbeda sekali dengan kak Ran. Seumur hidupku jangankan air mata, bahkan aku tidak pernah mendengar kak Ran mengeluh.” Adit berkata dengan kaki yang terus melangkah, malas sekali dia melihat wajah Guren.
“Kamu begitu sayang sama Ran?” tanya Guren yang penasaran karena Adit selalu saja membela Ran, bahkan dia jadi memusuhi Guren semenjak Guren tidak menghormati Ran yang membuat teh untuknya.
Adit berhenti dari langkahnya, Adit menjawab tanpa berbalik, “Sangat sayang, awas saja kalau kau menyakiti kak Ran, aku akan membuatmu bersimpuh di kakiku, ingat itu.”
“Memangnya kau bisa apa, aku tidak akan pernah bersimpuh di kakimu.” Guren berlagak sombong, dia langsung pergi begitu saja setelah berhasil membuat Adit semakin membencinya.
***
Tibalah hari di mana Guren akan mempersunting Ran, tamu undangan cukup ramai, mereka sudah tahu berita tentang pengantin wanita yang diganti, ini akan menjadi perbincangan yang menarik untuk mereka.
Ran sangat cantik, semua orang tahu itu namun Guren tampak tidak senang bersanding dengan gadis yang menjadi pusat kekaguman pria lain.
“Ran sangat cantik, aku pikir dia jauh lebih pantas bersanding dengan Guren dibandingkan dengan Pasya,” ucap salah satu teman di kampus.
“Wajahnya saja yang cantik tapi sikapnya itu tak jarang membuat orang geram, caper banget tahu!”
Hari yang cukup melelahkan telah dilalui oleh ke dua mempelai yang sebenarnya sama-sama terpaksa. Kini mereka berdua di kamar menjaga jarak satu sama lain, Ran di sofa dekat jendela sedangkan Guren berada di atas ranjang bertaburan kelopak mawar.
“Aku tidak mau tidur satu ranjang denganmu, kau tidur di situ saja,” ujar Guren tanpa menoleh Ran di sana.
“Baiklah.” Ran menyembunyikan senyumnya, tidak apa-apa tidur di sofa memang inilah yang Ran inginkan, pisah ranjang.
Guren cukup terheran, benarkah Ran menyukai Guren? Tapi kenapa gadis itu Terima begitu saja saat disuruh tidur terpisah? Apakah dia punya rencana lain.
Akhirnya Guren menoleh melihat gadis di sana yang tengah sibuk dengan tontonannya di ponsel.
“Kau punya rencana lain, ya?” Pria ini tidak akan bisa tidur jika dia sibuk memikirkan apa yang dilakukan Ran selanjutnya, lebih baik langsung tanyakan saja.
Ran menoleh. “Apa terlihat seperti itu?”
“Aneh.” Sudahlah, persetan memikirkan rencana Ran, dia sangat capek sebaiknya jangan terlalu dipikirkan.
Setelah Guren tidur Ran beranjak dari tempatnya, perut yang lapar mengundang Ran untuk pergi ke dapur, lagian masih pukul sembilan.
“Apa masih ada makanan? Aku lapar,” tanya Ran pada pembantu yang tengah mencuci piring.
Namun pembantu itu tidak menjawab, malah dia memasang wajah ketus seolah dia membenci Ran, atau pembantu itu memang membenci Ran?
“Hei, aku bertanya padamu, Bibi?”
“Kenapa kau tanya padaku? Kalau kau lapar ya masak sendirilah, aku tak punya waktu untuk melayani ular sepertimu.”
“Oh, ternyata pembantu yang tidak tahu diri.”
“Apa!” Soni, itulah nama wanita yang menunjukkan kebenciannya langsung terhadap Ran.
Ran tidak peduli, dia membuka kulkas untuk melihat bahan apa yang bisa ia masak. Dia mengambil telur saja, dia sangat lapar jadi tidak punya waktu untuk memasak masakan yang ribet, telur saja sudah enak bagi Ran.
Selagi Ran menggoreng telur, ternyata ada kakek Tarmizi yang datang dengan membawa tekonya yang kosong.
“Tuan,” Sambut Soni sedikit membungkukkan badan, namun Ran sama sekalian tidak berbalik walaupun tahu siapa yang datang.
Kakek Tarmizi melihat Ran yang termenung menatap telur ceplok di atas wajan. “Apa yang kau lakukan, Ran?” tanyanya.
“Menggoreng telur.” Ran menjawab tanpa berbalik, sontak jawaban biasa Ran membuat Soni panas.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments