Demi menemukan kebenaran yang disembunyikan oleh Ran, Guren bolos kelas hari ini. Dia sudah sampai di warnet tempat yang ia lacak tadi malam.
“Mau sewa berapa jam, Bang?” tanya penjaga menyambut kedatangan Guren yang berdiri di depan mejanya.
Guren mengabaikan pertanyaan itu, matanya sibuk meneliti lokasi CCTV yang tertara di warnet itu. “CCTV di sini lumayan banyak juga, ya,” ucap Guren tiba-tiba.
Penjaga mengikuti arah pandangan Guren kemudian menjawab, “Iya, Abang takut CCTV menangkap apa yang Abang buka, ya? Tenang saja kami juga ada menyediakan bilik khusus pelanggan yang mau menonton ‘ehem' ataupun berduaan dengan pacar.”
Guren beralih melihat penjaga. “Bukan itu, aku ada keperluan penting, bisa bantu aku untuk mengecek CCTV warnet pada tanggal 13 Januari?”
“I—itu?”
Menyadari penjaga yang ragu, Guren tahu cara untuk membuatnya yakin, kemudian dia mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah. “Ini untukmu.”
“Ok Bang, aku bantu,” jawab penjaga cepat.
Guren menjelaskan perincian waktu rekaman yang ia butuh 'kan. Namun, tidak ada sosok Ran dalam rekaman itu, walaupun begitu bukan berarti Guren tidak mendapat jawaban, dia menemukan sosok Arif di waktu yang berdekatan dengan waktu mengirim pesan.
“Apa dia menyewa bilik?” tanya Guren pada penjaga.
“Iya kayaknya, Bang. Dilihat dari tujuannya, itu arah ke bilik.”
Guren berpikir sejenak, dia tidak tahu mengapa sekarang dia malah mencurigai Arif sebagai rekan Ran.
“Aku ingin menyewa bilik yang sama dengan cowok itu,” putus Guren yang ingin membuktikannya sendiri.
“Kebetulan bilik itu lagi kosong, aku antarkan ya, Bang.”
Penjaga dan Guren pergi ke bilik yang sama yang disewa oleh Arif. Mungkin ada beberapa hal yang Guren temukan di komputer itu.
Pukul 17.15, Guren sudah kembali ke apartemen, dia duduk di sofa sengaja menunggu Ran pulang.
Waktu terasa lama ketika kita memperhatikan setiap detik pergerakan jarum jam, itulah yang Guren rasakan.
Penantian itu berakhir ketika pintu apartemen terbuka menampilkan sosok Ran yang masuk di sana. Guren berdiri mengejar langkah gadis itu.
“Ran!” panggil Guren.
Yang dipanggil pun menoleh, detik kemudian Guren sudah berada di hadapan Ran.
“Ada apa?” tanya Ran.
“...”
Bukannya menjawab Guren malah diam sambil menatap Ran lekat, hal itu malah membuat Ran mundur beberapa langkah dengan raut bingung.
“Kalau tidak ada apa-apa aku masuk kamar dulu.”
Guren mencekal tangan Ran dan berkata, “Kenapa kau tidak menggunakan nomor HP serta ponselmu sendiri saat mengancam keluargaku?”
“Maksudnya?”
“Kenapa malah ke warnet yang ada di selatan kota?”
Gantian Ran yang terdiam, dia sendiri tidak tahu lewat apa dan di mana Arif mengirim pesan ke keluarga Guren, Ran hanya mengikuti instruksi pria itu.
“Kau tidak tahu?” tebak Guren. “Jadi bukan kau yang mengancam keluargaku?”
Jantung Ran seakan ingin meledak, telapak tangannya bahkan sudah basah. Dia takut, sangat takut hanya dengan memikirkan jikalau Guren sudah tahu semuanya. “A—aku-”
Guren langsung menyela, “Kau dan Arif kerja sama, ya?”
Seketika Ran menenggak liur kasar, dia jadi salah tingkah akan ketakutan. Walaupun Guren tidak mengatakan dalam hal apa Ran dan Arif kerja sama, tapi Ran mengerti apa yang dimaksud pria itu.
“A—apa, yang Kak Guren katakan? Aku kerja sama Apa?”
“Kenapa kau ketakutan seperti itu?”
“Aku, aku tidak takut.” Ran berusaha tenang tapi dia kesulitan melakukannya, bagaimana cara mengembalikan sosok Ran yang bertopeng?
Guren menyunggingkan senyum akan tingkah Ran yang menunjukkan jawaban. “Ran tunjukkan video yang katanya kau simpan,” pinta Guren dengan senyum yang terkesan menyeramkan di mata Ran.
“Tidak! A—aku malu.”
“Tidak apa-apa, kan yang lihat aku, su-a-mi-mu. Tidak adil jika hanya kau yang mengingat malam itu sedangkan aku tidak ingat apa pun itu, setidaknya biarkan aku melihat rekamannya.”
Dada Ran terasa panas, terbesit di otaknya untuk melarikan diri karena dia sudah benar-benar terpojok.
“I—itu aku.” Ran langsung mendorong tubuh Guren hingga Guren terbentur dinding.
Selanjutnya terjadi kejar-kejaran di lorong apartemen, langkah Ran tidak secepat Guren, dalam hitungan detik dia pasti akan terkejar, Ran sadar itu.
Dengan napas yang terengah-engah Ran mencoba mencari akal agar setidaknya sesuatu menghambat Guren.
“Jangan kejar aku, Kak! Jangan kejar aku!” pinta Ran bersama kaki yang terus menapak secepat yang ia bisa.
“Berhenti Ran!” pekik Guren.
“Bagaimana aku bisa berhenti kalau Kak Guren mengejarku!”
“Aku mengejarmu karena kau lari.”
“Makanya jangan kejar aku maka aku akan berhenti lari.”
“Kalau kau berhenti lari aku akan berhenti mengejarmu!”
Mereka saling bersahut-sahutan tidak peduli jika tingkah mereka mengganggu penghuni lain.
Grep.
Guren memeluk Ran dari belakang untuk menghentikan langkah gadis itu. Untuk sesaat mereka sama-sama diam dalam posisi seperti itu, napas Guren dan Ran terengah-engah, diam mereka untuk mengatur napas agar kembali normal.
Posisi mereka terlihat mesra, beberapa orang yang lewat menutup muka karena malu.
“Kak lepas,” pinta Ran.
“Kau mau pergi ke mana?”
“Kerja.”
“Melayani om-om mesum?”
“Melayani semuanya, karena aku kasir indomaret.”
“Pembohong,” gumam Guren di telinga Ran. Yang Guren yakini Ran adalah sosok wanita murahan yang tidak punya harga diri, tidak mungkin wanita yang biasa menjual diri mau menyusahkan diri dengan bekerja keras.
Ran tersenyum getir membatin, “Percuma, Ran. Kau sangat buruk di matanya.”
“Aku belum mendapat apa yang aku mau Ran,” ucap Guren.
Ran melepaskan diri dari dekapan Guren, memang terlepas tapi lengannya dipegang erat oleh Guren.
Mata Ran sudah berkaca-kaca sekarang, saat gadis itu menatap mata Guren, genangan itu sudah hilang entah ke mana.
“Videonya sudah hilang, dan tentang Kak Arif, aku tidak pernah dekat dengannya, lebih baik Kak Guren langsung tanyakan saja padanya, jawab Ran, akhirnya dia bisa bersikap tenang lagi berkat Guren yang tidak mempercayainya tadi.
Guren melepas tangan Ran, dia akhirnya membiarkan Ran pergi begitu saja walaupun hatinya tidak puas dengan jawaban Ran.
Saat sampai di parkiran Ran menghadap dinding untuk menumpahkan air mata yang sempat ingin keluar.
“Padahal tadi aku sempat berpikir untuk memberitahu semuanya, aku ragu hanya gara-gara berpikir kalau dia bisa membantuku, haha. Dia tidak akan pernah bisa mempercayaimu, Ran.”
Tawa yang begitu menyedihkan, tidak ada yang lucu tapi Ran tertawa, dia menyesali kenapa dia begitu berharap ada seseorang yang bisa membantunya.
“Aku sendiri, selalu sendiri. Seharusnya aku tidak bermimpi.” Dia menghapus air mata, dengan penglihatan yang rabun karena genangan air matanya, Ran tetap menaiki sepeda dan mengayuh menyisir jalan.
Masih dengan baju yang sama, Ran yang tadinya pulang ingin mengganti pakaian kini tidak jadi.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments