Ketua Basket Incaran Inaya

Ketua Basket Incaran Inaya

Bab 1

“Kak Naya, bangun bangun bangun! Ini hari pertama kakak masuk SMA. Ayo buruan bangun, jangan sampai telat nanti dihukum lho,”

Inara membangunkan kakaknya yang masih tertidur lelap di bawah selimut. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Inara ditugaskan oleh Bundanya (Rieke) supaya membangunkan sang kakak. Berhubung ini hari pertama Inaya, si sulung, masuk SMA, jadi Rieke tidak akan membiarkan anaknya itu terlambat.

“Kakak, kok belum kedengeran suaranya sih? Udah bangun atau belum?”

Inara tidak mendengar suara apapun dari dalam kamar kakaknya. Jadi Ia putuskan untuk lebih garang lagi mengetuk pintu kamar Inaya.

“Kakak, buruan bangun ih! Nanti Bunda marah lho. Biasanya nggak susah bangun deh, kok sekarang susah? Ayo buruan bangun, Kak!”

Inaya mengernyitkan keningnya mendengar suara bising dari luar kamar. Kemudian matanya menatap ke arah jam dinding. Sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit.

“Astaghfirullah udah jam lima lewat? Udah subuh dong ya? Aku baru bangun, mana ini hari pertama kuliah,”

Inaya langsung buru-buru turun dari ranjang, karena terlalu tergesa, Inaya malah mendapat musibah. Kakinya tidak mendarat dengan sempurna dan akhirnya jatuh ke lantai.

Ia langsung meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang tak sengaja bersinggungan dengan divan sisi kiri tempat tidurnya.

“Kakak—“

“Iya bentar, Dek. Kakak lagi jatuh nih,” sahut Inaya dari dalam kamar sambil Ia berpegangan pada ranjang untuk Ia berdiri.

“Hah? Kakak jatuh? Ya Allah, kok bisa, Kak? Ya udah aku bilang ke ayah bunda dulu ya,”

“Eh nggak usah, Kakak nggak apa-apa kok, bentar ya kakak bangun dulu,”

“Okay-okay santai aja, Kak. Nggak usah buru-buru buka pintunya. Aku juga cuma mau bangunin kakak aja tadinya karena disuruh bunda, tapi berhubung kakak abis jatuh aku mau liat keadaan kaki kakak dulu deh,”

Inaya berjalan mendekati pintu kamarnya dan Ia segera memutar kunci. Setelah itu Ia tarik tuas pintu hingga terbuka.

Inara langsung mengamati kakaknya dari atas sampai bawah untuk mencari luka apa yang sekiranya diterima oleh Inaya ketika jatuh barusan.

“Kak, apa yang sakit? Kasih tau aku, ayah bunda juga harus tau, Kak,”

“Nggak apa-apa kok, cuma kepentok dikit tadi, sama mendaratnya lumayan kasar di lantai, jadi belakang kakak nyeri dikit nih,”

“Ya Allah, kakak nih kebiasaan deh. Nggak bisa hati-hati banget. Makanya buka mata yang benar dulu, Kak, baru bangun. Jangan begitu buka mata langsung mau berdiri. Akhirnya jadi kayak gitu ‘kan,”

“Aku kaget kok udah jam lima lewat sih?”

“Kakak belum sholat subuh ‘kan? Sholat gih sana, terus siap-siap, jangan sampai telat masuk sekolah. Hari ini ‘kan masa orientasi, disuruh kumpul jam setengah tujuh ‘kan?”

Inaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia beruntung dibangunkan oleh Inara. Kalau tidak, mungkin tidurnya akan berlanjut sampai nanti dan akhirnya Ia terlambat.

“Aku disuruh Bunda bangunin kakak. Sempat kesal tuh tadi karena kakak nggak jawab,”

“Maaf ya, kakak emang baru banget bangun. Kakak semalam tidurnya lumayan malam, jam sebelas lebih,”

“Lho kok tumben? Pantesan juga bangunnya agak susah, biasanya jam segini udah bangun tuh,”

“Karena kakak nggak bisa tidur, kepikiran hari ini terus deh,”

“Kenapa mikirin hari ini? Emang hari ini kakak bakal ngapain?”

Inara penasaran dengan alasan kakaknya tidur larut malam. Biasanya tidur telat waktu, bangun ketika adzan subuh berkumandang. Ini sudah lewat adzan subuh belum bangun, dibangunkan oleh Inara juga lumayan susah. Inara harus menahan sakit di tangan supaya kakaknya mau bangun.

“Kakak deg-degan mau masuk sekolah baru,”

“Ya ampun, jangan deg-degan lah kak. Santai aja, ‘kan kakak bakal ketemu teman-teman baru. Udah sana sholat terus mandi siap-siap! Ih kakak malah diam aja deh,”

Inaya menepuk keningnya. Seharusnya Ia sudah di kamar mandi mengambil air wudhu. Tapi sekarang malah berdiri di depan pintu berhadapan dengan adiknya, dan mengobrol.

Inaya langsung bergegas cepat menuju kamar mandi dan adiknya tak lupa mengingatkan “Kak, jangan buru-buru napa sih. Pelan aja, nanti jatuh lagi lho,”

“Iya, Dek,”

Setelah Inaya menjawab seperti itu, Inaya langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya. Inaya buang air kecil dan mengambil air wudhu setelahnya. Sementara sang adik sudah turun ke lantai dua memberikan laporan kepada Rieke yang sedang berada di dapur mempersiapkan sarapan.

“Bunda, kakak udah bangun ya, Bun,”

“Okay, Sayang. Makasih ya udah bangunin kakak,”

“Iya, Bun. Ternyata kaka belum bangun dan agak susah aku bangunin tuh karena kakak semalam tidurnya jam sebelas, Bun. Padahal ‘kan paling malam jam sembilan atau jam sepuluh biasanya, lah ini jam dua belas baru tidur. Setelah aku tanya, ternyata kakak nggak bisa tidur karena kepikiran mau masuk sekolah baru hari ini. Entah apa yang dipikirin, aku juga bingung. Udah kayak orang dewasa aja yang banyak beban pikiran,”

Rieke tertawa mendengar anak bungsunya membicarakan sang kakak. Jarak yang tak begitu jauh membuat Inara dan Inaya sudah selayaknya teman. Sering berdebat, saling mengolok satu sama lain, tapi kalau salah satu sedih, sakit, atau mengalami kesulitan pasti yang satu ya lagi tidak akan ragu mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan.

“Ya wajar kakaknya deg-degan, namanya juga mau masuk ke sekolah baru, ketemu teman baru, guru baru, lingkungan yang baru,”

“Aku mah nggak pernah deg-degan,”

“Kamu emang mental baja, tiada bisa tertandingi, beda sama kakak yang anaknya cepat gugup, cepat panik, teledor pula, pintar akademiknya tapi kalau ekstrakurikuler malas, walaupun gitu, harus apa—?”

“Sayang dong, Bun,”

“Sayang siapa?”

“Ya sayang kakak,”

“Nah pintar anak bontot bunda ya,”

Inara langsung mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada orang selain Ia dan bundanya di dapur.

“Kenapa sih?”

“Nggak ada kakak ‘kan ya?”

“Lho emang kenapa?”

“Takutnya dia dengar, aku ngomong gini,”

“Huh dasar gengsi!”

“Kakak juga gengsi, Bun. Sama aja udah,”

“Ya emang karakter yang sama dari kalian berdua tuh gengsian. Eh tapi kakaknya beneran udah bangun ‘kan, Nak? Lagi apa sekarang?”

“Tadi lagi ambil wudhu, udah aku suruh mandi dan siap-siap ke sekolah kok, Bun. Eh iya tadi kakak jatuh dari tempat tidur,”

“Astaghfirullah anak itu. Kok bisa sih? Nggak hati-hati banget. Mulai deh kalau udah kambuh teledornya. Baru juga dibilangin,”

“Iya kakak nggak hati-hati banget. Kayaknya kakak langsung bangun deh padahal matanya baru buka. Nah jadi olehng deh. Makanya aku bilang ke kakak, jangan langsung berdiri kalau mata abis dibuka tuh, kepala ‘kan masih suka pusing, akhirnya jatuh deh,”

“Ya Allah, terus gimana keadaan kakak sekarang? Apa yang luka?”

Rieke langsung membersihkan tangannya hendak ke kamar sang putri sulung namun anak bungsunya menahan lengannya.

“Bunda, Kakak nggak apa-apa kok. Jangan dimarahin kakaknya, kasian,”

“Nggak dimarahin dong, Nak. Bunda cuma mau liat keadaannya aja kok. Bunda khawatir takut ada yang luka

“Iya tapi kakak baik-baik aja, tadi udah langsung ke kamar mandi, aku juga udah liat nggak ada yang luka di badan kakak,”

“Beneran?”

“Iya bener kok, Bun,”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!