Ardy dan Inara ikut Inaya turun dari mobil setelah tiba di sekolah barunya Inaya. Di sana Inaya akan belajar kurang lebih selama tiga tahun sebagai siswa sekolah menengah atas.
“Semangat ya sekolahnya, Kak,”
“Iya makasih, Ayah,”
“Ingat selalu pesan Bunda, Kak. Hati-hati, jadi anak yang baik ya,”
“Iya, Dek,”
Inaya mencium tangan ayahnya setelah itu memutar badannya untuk berjalan masuk ke sekolah, akan tetapi Inara memanggil kakaknya itu dengan galak.
“Kakak ih! Aku belum salim,”
“Astaghfirullah, kakak lupa banget saking gugupnya,”
Inaya langsung berbalik menghadap adiknya yang belum sempat mencium tangannya karena Ia sudah terlanjur mau melangkah pergi tadi.
“Jangan gugup makanya, sampai lupa kalau aku belum salim ‘kan,”
“Iya maaf, nggak bisa kalau nggak gugup,”
“Tenang, Nak. Jangan gugup, di dalam sana kamu bakal dididik bukan diapa-apain, jadi kamu nggak perlu gugup, okay?” Pesan Ardy sambil mengusap puncak kepala anak sulungnya itu.
“Iya, Yah, Insya Allah nanti gugupnya juga hilang sendiri kalau udah masuk,”
“Ya udah masuk gih, semoga semuanya lancar ya. Ayah doain kakak terus,”
“Semangat, Kakak!”
“Iya makasih, Yah, Dek. Aku masuk dulu, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Inaya langsung berjalan masuk ke dalam sekolah, dan menghampiri kumpulan siswa-siswa perempuan yang duduk di pinggir lapangan.
“Ayo kita pergi, Yah,”
Setelah tak melihat kakaknya lagi, Inara langsung mengajak ayahnya untuk kembali ke dalam mobil. Ardy menganggukkan kepalanya dan langsung bergerak mendekati mobil dan masuk ke dalam menyusul Inara yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
“Ayah, aku nggak telat ‘kan ya?”
“Insya Allah nggak, kalau tenang ya Inara harus terima hukuman,”
“Jangan ngomong gitu, Yah. Apa ayah mau anaknya dapat hukuman?”
“Hahahah nggak dong, Nak. Insya Allah Inara nggak terlambat kok. Jangan takut gitu dong, santai aja,”
“Ya walaupun telat nggak apa-apa deh ‘kan cuma sesekali aja. Lagian nanti pulang sekolah mau dibeliin minuman boba sama kakak, mau diajakin ke mall juga pas sore sama Ayah,”
“Jadi nggak apa-apa kalau telat?”
“Iya ‘kan cuma sesekali, nggak apa-apa dihukum,”
“Tapi Ayah nggak mau anak ayah dihukum karena terlambat. Insya Allah ini nggak terlambat kok, tenang ya. Masih jam enam lewat, adek masuk jam tujuh ‘kan, apa aturan udah berubah?”
“Nggak, Yah, masih sama. Kalau aturan tiba-tiba ganti, aku mau demo lah, aku nggak terima dan nggak bakal tinggal diam,”
“Memang ada yang mau jadi pasukannya kamu kalau kamu demo, Dek?”
Inara diam sebentar memikirkan jawaban kemudian Ia menggelengkan kepalanya. “Kayaknya nggak sih, Yah. Tapi ‘kan jadi nggak baik ya, masa tiba-tiba ganti aturan tanpa pemberitahuan dulu sebelumnya,”
*******
“Hai, aku boleh duduk di sini ya?”
Inaya izin dulu sebelum bergabung di sebelah siswa perempuan yang sedang mengobrol dengan seorang temannya.
“Iya boleh kok silahkan. Kamu namanya siapa?”
“Aku Inaya, panggil Naya aja, aku boleh tau nama kamu sama kamu?”
Inaya tersenyum menatap teman di sebelahnya dan juga di depannya yang dimana tadi sempat mengobrol berdua.
“Aku Tari,” kata teman di sebelah Inaya.
“Aku Dita,” sambung teman Inaya yang satunya lagi.
“Hai, Tari, Dita. Kalian satu kelas ya nanti?”
“Iya sepuluh IPA 3,” jawab Dita.
“Kamu kelasnya apa, Nay?”
Mata Inaya langsung berbinar mendengar itu. Tanpa diduga sama sekali Inaya langsung dipertemukan dengan teman sekelasnya sekarang tanpa perlu Ia merasakan lelah mencari yang satu kelas.
“Aku sama kayak kalian. Yeay aku senang banget langsung ketemu sama yang satu kelas,”
“Berjodoh nit kita berarti, jodoh jadi sahabat, hehehe,” ujar Tari.
“Iya Alhamdulillah aku nggak perlu nyari yang satu kelas soalnya udah lumayan banyak nih yang udah datang, aku nggak mungkin ‘kan nanyain satu-satu ‘kamu kelas berapa?’ Aku asal aja duduk di sebelah kamu, Tar. Eh ternyata kita sekelas,”
“Senang banget aku ketemu yang sekelas, gugupnya aku berkurang deh,”
“Kamu gugup? Emang kenapa?”
“Karena mau ketemu lingkungan baru, teman dan guru-guru baru. Aku deg-degan dari semalam sampai susah tidur dan akhirnya tadi pagi hampir aja kesiangan tapi untungnya nggak sih, heheh,”
“Ngapain gugup? ‘Kan kita di sini mau belajar, bukan mau disiksa, Nay,”
“Iya sih kamu benar, cuma aku anaknya emang suka gugup, gampang panik, terus teledor juga lagi,” Inaya langsung memperkenalkan tentang dirinya sekilas. Ia adalah anak yang mudah gugup, panik, sering tidak hati-hati, orang di rumah sudah tahu soal itu, dan sekarang dua temannya juga sudah tahu.
“Pasti kamu pintar deh,”
“Nggak, kenapa kamu mikirnya gitu?”
Inaya tak mengakui bahwa memang Ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Langganan peringkat satu sejak menduduki bangku sekolah dasar, ketika masa kanak-kanak kecerdasannya bahkan mulai terlihat ketimbang teman-temannya yang lain. Disaat mereka semua belum bisa menulis dan membaca, Ia sudah bisa.
“Ya karena biasanya yang pintar itu kebiasaannya kayak yang kamu sebutin barusan. Dia pintar akademik, tapi suka lupa lah, suka teledor, gampang panik kalau ngeliat orang udah lebih dari kita sementara kita belum selesai apa-apa dalam hal kerjain tugas nih biasanya, suka gugup kalau dipanggil maju ke depan kelas misalnya, padahal ilmunya ada, pintar, tau cara ngerjain tugas yang udah disiapin di papan tulis tapi suka gugup, takut salah padahal belum nyoba,”
“Yang Tari sebutin itu emang aku banget sebenarnya,” batin Inaya.
“Adek-adek, kita baris yuk di lapangan. Karena bakal ada sambutan dulu dari kepala sekolah dan perwakilan guru,”
Salah seorang siswa yang mengenakan almamater dan kartu nama bertuliskan Elmira yang menggelantung di lehernya menginstruksi agar Inaya dan teman-teman seangkatannya pindah ke tengah lapangan dan berbaris.
“Ayo, yang sepuluh IPA satu paling ujung ya sebelah kiri kakak sekarang ya,” ujar Elmira yang berdiri menghadap barisan, sambil mengangkat tangan kirinya.
“Dua dan tiga ada di sebelah kanannya satu ya,”
Yang barisannya sedang ditata rapi sekarang ini, adalah sepuluh IPA. Sementara yang IPS diatur barisannya oleh Eka yang merupakan anggota OSIS juga dan saat ini bertugas menjadi penyelenggara masa orientasi siswa.
Mereka semua tidak ada yang sulit diatur sehingga cepat rapinya, tanpa panitia harus teriak-teriak dulu.
Setelah barisan tersusun dengan rapi, Elmira langsung menjelaskan agenda hari ini di hari pertama masa orientasi. Dibuka dengan sambutan dari kepala sekolah dulu, ada perwakilan guru juga yang memperkenalkan sekolah, ada sesi doa bersama, setelah itu para siswa di bawa ke aula untuk mulai menjalani masa orientasi.
Kurang lebih empat jam Inaya di sekolah menjalankan masa orientasi nya di sekolah baru yang ringan tanpa beban dan juga menyenangkan. Setelah keluar dari aula, Inaya langsung menghubungi Pak Sugeng untuk meminta tolong supaya Pak Sugeng menjemputnya di sekolah.
Inaya memutuskan untuk menunggu di depan gerbang sekolah saja supaya kalau Pak Sugeng datang, Ia bisa langsung melihatnya.
“Okay, aku sama Tari duluan ya,”
“Okay, hati-hati,”
“Kamu pulangnya sama siapa?” Tanya Tari.
“Aku nunggu jemputan,”
“Harusnya tadi sebelum keluar dari aula udah minta jemput, Nay, kayak aku, jadi nggak lama deh nunggunya,”
“Nggak apa-apa, tadi aku takut kalau udah minta jemput tapi ternyata pulangnya diundur atau ada pengumuman apalagi gitu ‘kan, jadi aku minta jemputnya setelah benar-benar keluar aula aja,”
“Ya udah hati-hati, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Dita dan Tari sudah dijemput sementara Inaya lagi menunggu gilirannya untuk dijemput oleh supir pribadinya yang biasa mengantar jemputnya ke sekolah sejak waktu masih sekolah dasar.
Suara bising antar lelaki dan juga hentakan bola membuat Inaya menoleh ke belakang tepatnya ke lapangan sekolah. Inaya langsung bisa melihat ada sekumpulan murid yangs edang mengenakan basket dengan seragam olahraga basket mereka masing-masing yang berwarna abu-abu dengan liat putih. Di punggung terdapat logo sekolah, nama, dan nomor punggung.
Inaya jadi senang menikmati permainan mereka tapi sebenarnya Inaya membagi fokus juga antara permainan dengan salah satu pemain bernama Marvin bernomor punggung tujuh belas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments