Bab 2

“Kak, kamu beneran jatuh tadi? Adik kamu yang cerita,”

Ditengah sarapan yang berlangsung di meja makan, Ardi bertanya pada putri pertamanya yang sedang menikmati nasi goreng dalam ketenangan. Ia pikir adiknya tak cerita, sehingga Ia santai-santai saja, tidak takut ditegur tidak hati-hati, teledor atau ceroboh oleh orangtuanya yang memang sudah hafal betul kebiasaannya itu.

Ternyata Inara bercerita pada kedua orangtuanya. Inaya langsung menatap sang adik dengan sorot mata kesal, sementara Inara tidak menyadari itu karena fokus dengan makanan di hadapannya.

“Kak, jawab pertanyaan ayah. Kamu jatuh?”

Inaya langsung menatap ayahnya dan mengangguk sambil tersenyum meringis. Setelah ini Ia pasti akan ditegur atau dinasehati seperti biasa.

“Hati-hati dong, Nak. Jangan sampai nyakitin diri sendiri karena perbuatan yang nggak disengaja,”

“Iya, Yah. Aku minta maaf tapi aku nggak apa-apa kok, Yah. Badan aku baik-baik aja, nggak ada yang luka. Tadi cuma nyeri dikit aja tapi habis itu udah hilang, Yah” ujar Inaya yang langsung menenangkan ayahnya supaya tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ia tahu ayahnya itu khawatir makanya menasehati supaya Ia lebih hati-hati.

“Kalau baru buka mata abis tidur, Nak, itu usahakan jangan langsung berdiri. Pasti masih pusing kepalanya. Jadi harus bertahap bangunnya. Duduk dulu bentar, abis itu baru deh berdiri. Jangan dari buka mata langsung berdiri. Badan kamu kaget,”

Gantian, Rieke yang menasehati anaknya. Inaya menganggukkan kepalanya sambil memasang sikap hormat.

“Siap, Bunda,”

“Siap, Ayah,”

“Kata Adek kamu, tidurnya semalam jam dua belas karena gugup mau masuk sekolah baru ya?”

“Iya bener, aku deg-degan, kepikiran di sana bakal gimana ya? Guru sama teman-teman baru aku pada baik nggak ya? Terus gimana sama lingkungannya? Apa bikin aku nyaman atau nggak. Pokoknya aku kepikiran gitu,”

“Insya Allah baik-baik lah, ayah yakin kok. Lingkungan juga semoga nyaman buat kamu. Belajar yang benar ya, Nak,”

“Iya, Yah,”

“Semoga masuk SMA, makin pintar, makin jadi anak yang baik, murid yang baik,”

“Aamiin,”

“Sini aku tambahin, Yah. Semoga kakak makin baik sebagai teman, makin baik pas jadi pacar,”

“Heh! Ngomong apa sih kamu? Ngelantur deh,”

Inara langsung terkekeh dan menutup mulutnya karena mendapat pelototan tajam dari sang kakak yang tidak terima dengan ucapannya.

“Lho, aku salah ya, Kak? Salahnya dimana?”

“Ih kamu tuh mulutnya ngelantur. Emang siapa coba yang punya pacar?”

“Ya maksudnya nanti kalau udah jadi pacar, mesti baik sebagai pacar,”

“Inara ini suka bener godain kakaknya ya. Nanti kalau berdebat di meja makan, ayah suruh masuk kamar masing-masing nih, nggak usah sekolah,”

“Eh jangan-jangan, Yah. Plis jangan gitu, Yah. Ayah sebagai orangtua nggak boleh melarang anaknya sekolah, Yah,”

Inaya menahan tawanya ketika sang adik, Inara menasehati ayahnya seolah sang ayah nya adalah anak kecil yang tidak tahu soal itu.

“Iya ayah tau emang orangtua harus dukung pendidikan anak, nggak boleh larang-larang. Tapi ‘kan kalau kalian debat, Ayah suruh masuk kamar nggak usah sekolah itu namanya hukuman, jadi harus diterima biar kapok, mau cobain nggak?”

“Nggak usah, Ayah. Makasih, nggak usah nyobain, aku nggak mau,”

Inara senang sekolah begitupun kakaknya, Inaya. Jadi ketika harus meninggalkan sekolah karena dihukum, mereka tidak terima, kecuali kalau memang waktunya libur.

“Ayah, aku diantar sama Ayah ‘kan? Ini hari pertama pengen diantar sama ayah, bukan Pak Sugeng boleh ‘kan, Yah?”

“Ih kakak masih manja banget deh. Emang kenapa nggak mau diantar sama Pak Sugeng? ‘Kan biasanya—“

Inaya langsung mendekatkan jari telunjuknya dengan bibir sang adik meminta supaya adiknya itu tidak cerewet mengomentari keinginannya saat ini yaitu diantar oleh sang ayah ke sekolah barunya.

“Kakak mau diantar sama ayah karena ini hari pertama masuk SMA. Biar nanti ayah kasih kata-kata semangat buat kakak, jadi bikin kakak tambah semangat deh,”

“Pak Sugeng juga bisa kasih kata-kata semangat kok, Kak. Ntar aku bilang deh ke Pak Sugeng,”

“Ih Inara nyerocos aja ya. Kakak maunya diantar ayah, titik, nggak pakai koma apalagi tanda tanya,”

“Biarin aja kakaknya mau diantar ayah, Dek. Kamu tuh jangan iseng ngeledekin kakak mulu,” ujar Rieke sebagai penengah.

Setelah nasi goreng habis masuk ke perut masing-masing, mereka kembali terlibat perdebatan kecil. Inara sengaja mengejek kakaknya manja, kakaknya tidak terima ketika permintaannya dikomentari.

“Iya, Kak. Ayah antar kakak ya,”

“Yess! Makasih, Ayah. Ya Allah, ayah aku baik banget. Sehatkan terus jiwa raganya, panjang umurnya, murahkan rezekinya, semua doa baik untuk Ayah,”

“Masya Allah, baik sekali doanya. Sampai terharu ayah dengarnya, makasih ya,”

Ardy mengusap puncak kepala putri pertamanya sambil beranjak meninggalkan tempat duduknya. Ia merapikan kemejanya yang jadi sedikit berantakan karena Ia duduk barusan, setelah itu Ardy pergi meninggalkan ruang makan untuk mengambil ponsel di kamarnya.

“Bunda, doain aku ya semoga sekolah hari pertama lancar-lancar aja,”

“Aamiin, pasti dong, Sayang. Bunda nggak pernah lupa doain dua bidadari surganya bunda, dan juga ayah supaya di luar rumah terus dapat penjagaannya Allah, apapun yang dilakukan lancar. Selalu begitu dia bunda setiap kalian keluar rumah untuk kegiatan masing-masing,”

“Makasih, Bunda. Kakak sayang banget deh sama Bunda,”

“Adek juga, Bun,”

“Ngikut aja kamu ah, kayak ekor,”

“Ya emang aku ekornya kakak. Aku ‘kan adik jadi ekor, kalau kakak jadi kepala,”

“Akur-akur deh kalian ya, debat dikit nggak apa-apa deh, asal tetap saling sayang walaupun nantinya udah punya jalan hidup masing-masing,”

“Makasih, Bunda sayang,”

“Ya udah tunggu ayah di depan gih,”

“Adek aja dianterin sama Pak sugeng, Dek,”

“Nggak, aku mau diantar ayah juga lah, masa cuma kakak aja yang diantar ayah? Itu namanya nggak adik. Lagian, aku emang biasanya ‘kan diantar sama ayah,”

“Kali ini sama Pak sugeng aja gimana?”

“Nggak, aku mau sama ayah, apa sih kaka nih? Nggak jelas deh nyuruh-nyuruh aku berangkat sama Pak Sugeng. Orang aku bakal diantar sama Ayah,”

“Siapa yang bakal diantar duluan, Dek?”

“Ya mana aku tau, tanya ayah aja,”

Rieke yang melangkah di belakang kedua anaknya langsung menjawab sebab Rieke tahu suaminya itu pasti mendahulukan anak tertuanya berhubung ini adalah hari pertama Inaya masuk ke SMA.

“Kakak dong yang duluan, Dek,”

“Iya nggak apa-apa. Aku mah rela demi kakak aku yang ternyebelin,”

“Tapi kalau kamu telat gimana, Dek?”

“Ya kakak tanggung jawab dong. Ntar pulang sekolah beliin aku minuman boba,”

Inaya merotasikan bola matanya. Ternyata ada ‘sesuatu’ dibalik kata demi dan rela. Tapi tidak apa-apa. Menyenangkan hati adik memang sudah tugasnya. Apalagi kalau caranya sederhana, yaitu hanya dengan membeli minuman boba untuk Inara. Adiknya itu memang sangat menyukai minuman boba.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!