NovelToon NovelToon

Ketua Basket Incaran Inaya

Bab 1

“Kak Naya, bangun bangun bangun! Ini hari pertama kakak masuk SMA. Ayo buruan bangun, jangan sampai telat nanti dihukum lho,”

Inara membangunkan kakaknya yang masih tertidur lelap di bawah selimut. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Inara ditugaskan oleh Bundanya (Rieke) supaya membangunkan sang kakak. Berhubung ini hari pertama Inaya, si sulung, masuk SMA, jadi Rieke tidak akan membiarkan anaknya itu terlambat.

“Kakak, kok belum kedengeran suaranya sih? Udah bangun atau belum?”

Inara tidak mendengar suara apapun dari dalam kamar kakaknya. Jadi Ia putuskan untuk lebih garang lagi mengetuk pintu kamar Inaya.

“Kakak, buruan bangun ih! Nanti Bunda marah lho. Biasanya nggak susah bangun deh, kok sekarang susah? Ayo buruan bangun, Kak!”

Inaya mengernyitkan keningnya mendengar suara bising dari luar kamar. Kemudian matanya menatap ke arah jam dinding. Sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit.

“Astaghfirullah udah jam lima lewat? Udah subuh dong ya? Aku baru bangun, mana ini hari pertama kuliah,”

Inaya langsung buru-buru turun dari ranjang, karena terlalu tergesa, Inaya malah mendapat musibah. Kakinya tidak mendarat dengan sempurna dan akhirnya jatuh ke lantai.

Ia langsung meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang tak sengaja bersinggungan dengan divan sisi kiri tempat tidurnya.

“Kakak—“

“Iya bentar, Dek. Kakak lagi jatuh nih,” sahut Inaya dari dalam kamar sambil Ia berpegangan pada ranjang untuk Ia berdiri.

“Hah? Kakak jatuh? Ya Allah, kok bisa, Kak? Ya udah aku bilang ke ayah bunda dulu ya,”

“Eh nggak usah, Kakak nggak apa-apa kok, bentar ya kakak bangun dulu,”

“Okay-okay santai aja, Kak. Nggak usah buru-buru buka pintunya. Aku juga cuma mau bangunin kakak aja tadinya karena disuruh bunda, tapi berhubung kakak abis jatuh aku mau liat keadaan kaki kakak dulu deh,”

Inaya berjalan mendekati pintu kamarnya dan Ia segera memutar kunci. Setelah itu Ia tarik tuas pintu hingga terbuka.

Inara langsung mengamati kakaknya dari atas sampai bawah untuk mencari luka apa yang sekiranya diterima oleh Inaya ketika jatuh barusan.

“Kak, apa yang sakit? Kasih tau aku, ayah bunda juga harus tau, Kak,”

“Nggak apa-apa kok, cuma kepentok dikit tadi, sama mendaratnya lumayan kasar di lantai, jadi belakang kakak nyeri dikit nih,”

“Ya Allah, kakak nih kebiasaan deh. Nggak bisa hati-hati banget. Makanya buka mata yang benar dulu, Kak, baru bangun. Jangan begitu buka mata langsung mau berdiri. Akhirnya jadi kayak gitu ‘kan,”

“Aku kaget kok udah jam lima lewat sih?”

“Kakak belum sholat subuh ‘kan? Sholat gih sana, terus siap-siap, jangan sampai telat masuk sekolah. Hari ini ‘kan masa orientasi, disuruh kumpul jam setengah tujuh ‘kan?”

Inaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia beruntung dibangunkan oleh Inara. Kalau tidak, mungkin tidurnya akan berlanjut sampai nanti dan akhirnya Ia terlambat.

“Aku disuruh Bunda bangunin kakak. Sempat kesal tuh tadi karena kakak nggak jawab,”

“Maaf ya, kakak emang baru banget bangun. Kakak semalam tidurnya lumayan malam, jam sebelas lebih,”

“Lho kok tumben? Pantesan juga bangunnya agak susah, biasanya jam segini udah bangun tuh,”

“Karena kakak nggak bisa tidur, kepikiran hari ini terus deh,”

“Kenapa mikirin hari ini? Emang hari ini kakak bakal ngapain?”

Inara penasaran dengan alasan kakaknya tidur larut malam. Biasanya tidur telat waktu, bangun ketika adzan subuh berkumandang. Ini sudah lewat adzan subuh belum bangun, dibangunkan oleh Inara juga lumayan susah. Inara harus menahan sakit di tangan supaya kakaknya mau bangun.

“Kakak deg-degan mau masuk sekolah baru,”

“Ya ampun, jangan deg-degan lah kak. Santai aja, ‘kan kakak bakal ketemu teman-teman baru. Udah sana sholat terus mandi siap-siap! Ih kakak malah diam aja deh,”

Inaya menepuk keningnya. Seharusnya Ia sudah di kamar mandi mengambil air wudhu. Tapi sekarang malah berdiri di depan pintu berhadapan dengan adiknya, dan mengobrol.

Inaya langsung bergegas cepat menuju kamar mandi dan adiknya tak lupa mengingatkan “Kak, jangan buru-buru napa sih. Pelan aja, nanti jatuh lagi lho,”

“Iya, Dek,”

Setelah Inaya menjawab seperti itu, Inaya langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya. Inaya buang air kecil dan mengambil air wudhu setelahnya. Sementara sang adik sudah turun ke lantai dua memberikan laporan kepada Rieke yang sedang berada di dapur mempersiapkan sarapan.

“Bunda, kakak udah bangun ya, Bun,”

“Okay, Sayang. Makasih ya udah bangunin kakak,”

“Iya, Bun. Ternyata kaka belum bangun dan agak susah aku bangunin tuh karena kakak semalam tidurnya jam sebelas, Bun. Padahal ‘kan paling malam jam sembilan atau jam sepuluh biasanya, lah ini jam dua belas baru tidur. Setelah aku tanya, ternyata kakak nggak bisa tidur karena kepikiran mau masuk sekolah baru hari ini. Entah apa yang dipikirin, aku juga bingung. Udah kayak orang dewasa aja yang banyak beban pikiran,”

Rieke tertawa mendengar anak bungsunya membicarakan sang kakak. Jarak yang tak begitu jauh membuat Inara dan Inaya sudah selayaknya teman. Sering berdebat, saling mengolok satu sama lain, tapi kalau salah satu sedih, sakit, atau mengalami kesulitan pasti yang satu ya lagi tidak akan ragu mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan.

“Ya wajar kakaknya deg-degan, namanya juga mau masuk ke sekolah baru, ketemu teman baru, guru baru, lingkungan yang baru,”

“Aku mah nggak pernah deg-degan,”

“Kamu emang mental baja, tiada bisa tertandingi, beda sama kakak yang anaknya cepat gugup, cepat panik, teledor pula, pintar akademiknya tapi kalau ekstrakurikuler malas, walaupun gitu, harus apa—?”

“Sayang dong, Bun,”

“Sayang siapa?”

“Ya sayang kakak,”

“Nah pintar anak bontot bunda ya,”

Inara langsung mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada orang selain Ia dan bundanya di dapur.

“Kenapa sih?”

“Nggak ada kakak ‘kan ya?”

“Lho emang kenapa?”

“Takutnya dia dengar, aku ngomong gini,”

“Huh dasar gengsi!”

“Kakak juga gengsi, Bun. Sama aja udah,”

“Ya emang karakter yang sama dari kalian berdua tuh gengsian. Eh tapi kakaknya beneran udah bangun ‘kan, Nak? Lagi apa sekarang?”

“Tadi lagi ambil wudhu, udah aku suruh mandi dan siap-siap ke sekolah kok, Bun. Eh iya tadi kakak jatuh dari tempat tidur,”

“Astaghfirullah anak itu. Kok bisa sih? Nggak hati-hati banget. Mulai deh kalau udah kambuh teledornya. Baru juga dibilangin,”

“Iya kakak nggak hati-hati banget. Kayaknya kakak langsung bangun deh padahal matanya baru buka. Nah jadi olehng deh. Makanya aku bilang ke kakak, jangan langsung berdiri kalau mata abis dibuka tuh, kepala ‘kan masih suka pusing, akhirnya jatuh deh,”

“Ya Allah, terus gimana keadaan kakak sekarang? Apa yang luka?”

Rieke langsung membersihkan tangannya hendak ke kamar sang putri sulung namun anak bungsunya menahan lengannya.

“Bunda, Kakak nggak apa-apa kok. Jangan dimarahin kakaknya, kasian,”

“Nggak dimarahin dong, Nak. Bunda cuma mau liat keadaannya aja kok. Bunda khawatir takut ada yang luka

“Iya tapi kakak baik-baik aja, tadi udah langsung ke kamar mandi, aku juga udah liat nggak ada yang luka di badan kakak,”

“Beneran?”

“Iya bener kok, Bun,”

Bab 2

“Kak, kamu beneran jatuh tadi? Adik kamu yang cerita,”

Ditengah sarapan yang berlangsung di meja makan, Ardi bertanya pada putri pertamanya yang sedang menikmati nasi goreng dalam ketenangan. Ia pikir adiknya tak cerita, sehingga Ia santai-santai saja, tidak takut ditegur tidak hati-hati, teledor atau ceroboh oleh orangtuanya yang memang sudah hafal betul kebiasaannya itu.

Ternyata Inara bercerita pada kedua orangtuanya. Inaya langsung menatap sang adik dengan sorot mata kesal, sementara Inara tidak menyadari itu karena fokus dengan makanan di hadapannya.

“Kak, jawab pertanyaan ayah. Kamu jatuh?”

Inaya langsung menatap ayahnya dan mengangguk sambil tersenyum meringis. Setelah ini Ia pasti akan ditegur atau dinasehati seperti biasa.

“Hati-hati dong, Nak. Jangan sampai nyakitin diri sendiri karena perbuatan yang nggak disengaja,”

“Iya, Yah. Aku minta maaf tapi aku nggak apa-apa kok, Yah. Badan aku baik-baik aja, nggak ada yang luka. Tadi cuma nyeri dikit aja tapi habis itu udah hilang, Yah” ujar Inaya yang langsung menenangkan ayahnya supaya tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ia tahu ayahnya itu khawatir makanya menasehati supaya Ia lebih hati-hati.

“Kalau baru buka mata abis tidur, Nak, itu usahakan jangan langsung berdiri. Pasti masih pusing kepalanya. Jadi harus bertahap bangunnya. Duduk dulu bentar, abis itu baru deh berdiri. Jangan dari buka mata langsung berdiri. Badan kamu kaget,”

Gantian, Rieke yang menasehati anaknya. Inaya menganggukkan kepalanya sambil memasang sikap hormat.

“Siap, Bunda,”

“Siap, Ayah,”

“Kata Adek kamu, tidurnya semalam jam dua belas karena gugup mau masuk sekolah baru ya?”

“Iya bener, aku deg-degan, kepikiran di sana bakal gimana ya? Guru sama teman-teman baru aku pada baik nggak ya? Terus gimana sama lingkungannya? Apa bikin aku nyaman atau nggak. Pokoknya aku kepikiran gitu,”

“Insya Allah baik-baik lah, ayah yakin kok. Lingkungan juga semoga nyaman buat kamu. Belajar yang benar ya, Nak,”

“Iya, Yah,”

“Semoga masuk SMA, makin pintar, makin jadi anak yang baik, murid yang baik,”

“Aamiin,”

“Sini aku tambahin, Yah. Semoga kakak makin baik sebagai teman, makin baik pas jadi pacar,”

“Heh! Ngomong apa sih kamu? Ngelantur deh,”

Inara langsung terkekeh dan menutup mulutnya karena mendapat pelototan tajam dari sang kakak yang tidak terima dengan ucapannya.

“Lho, aku salah ya, Kak? Salahnya dimana?”

“Ih kamu tuh mulutnya ngelantur. Emang siapa coba yang punya pacar?”

“Ya maksudnya nanti kalau udah jadi pacar, mesti baik sebagai pacar,”

“Inara ini suka bener godain kakaknya ya. Nanti kalau berdebat di meja makan, ayah suruh masuk kamar masing-masing nih, nggak usah sekolah,”

“Eh jangan-jangan, Yah. Plis jangan gitu, Yah. Ayah sebagai orangtua nggak boleh melarang anaknya sekolah, Yah,”

Inaya menahan tawanya ketika sang adik, Inara menasehati ayahnya seolah sang ayah nya adalah anak kecil yang tidak tahu soal itu.

“Iya ayah tau emang orangtua harus dukung pendidikan anak, nggak boleh larang-larang. Tapi ‘kan kalau kalian debat, Ayah suruh masuk kamar nggak usah sekolah itu namanya hukuman, jadi harus diterima biar kapok, mau cobain nggak?”

“Nggak usah, Ayah. Makasih, nggak usah nyobain, aku nggak mau,”

Inara senang sekolah begitupun kakaknya, Inaya. Jadi ketika harus meninggalkan sekolah karena dihukum, mereka tidak terima, kecuali kalau memang waktunya libur.

“Ayah, aku diantar sama Ayah ‘kan? Ini hari pertama pengen diantar sama ayah, bukan Pak Sugeng boleh ‘kan, Yah?”

“Ih kakak masih manja banget deh. Emang kenapa nggak mau diantar sama Pak Sugeng? ‘Kan biasanya—“

Inaya langsung mendekatkan jari telunjuknya dengan bibir sang adik meminta supaya adiknya itu tidak cerewet mengomentari keinginannya saat ini yaitu diantar oleh sang ayah ke sekolah barunya.

“Kakak mau diantar sama ayah karena ini hari pertama masuk SMA. Biar nanti ayah kasih kata-kata semangat buat kakak, jadi bikin kakak tambah semangat deh,”

“Pak Sugeng juga bisa kasih kata-kata semangat kok, Kak. Ntar aku bilang deh ke Pak Sugeng,”

“Ih Inara nyerocos aja ya. Kakak maunya diantar ayah, titik, nggak pakai koma apalagi tanda tanya,”

“Biarin aja kakaknya mau diantar ayah, Dek. Kamu tuh jangan iseng ngeledekin kakak mulu,” ujar Rieke sebagai penengah.

Setelah nasi goreng habis masuk ke perut masing-masing, mereka kembali terlibat perdebatan kecil. Inara sengaja mengejek kakaknya manja, kakaknya tidak terima ketika permintaannya dikomentari.

“Iya, Kak. Ayah antar kakak ya,”

“Yess! Makasih, Ayah. Ya Allah, ayah aku baik banget. Sehatkan terus jiwa raganya, panjang umurnya, murahkan rezekinya, semua doa baik untuk Ayah,”

“Masya Allah, baik sekali doanya. Sampai terharu ayah dengarnya, makasih ya,”

Ardy mengusap puncak kepala putri pertamanya sambil beranjak meninggalkan tempat duduknya. Ia merapikan kemejanya yang jadi sedikit berantakan karena Ia duduk barusan, setelah itu Ardy pergi meninggalkan ruang makan untuk mengambil ponsel di kamarnya.

“Bunda, doain aku ya semoga sekolah hari pertama lancar-lancar aja,”

“Aamiin, pasti dong, Sayang. Bunda nggak pernah lupa doain dua bidadari surganya bunda, dan juga ayah supaya di luar rumah terus dapat penjagaannya Allah, apapun yang dilakukan lancar. Selalu begitu dia bunda setiap kalian keluar rumah untuk kegiatan masing-masing,”

“Makasih, Bunda. Kakak sayang banget deh sama Bunda,”

“Adek juga, Bun,”

“Ngikut aja kamu ah, kayak ekor,”

“Ya emang aku ekornya kakak. Aku ‘kan adik jadi ekor, kalau kakak jadi kepala,”

“Akur-akur deh kalian ya, debat dikit nggak apa-apa deh, asal tetap saling sayang walaupun nantinya udah punya jalan hidup masing-masing,”

“Makasih, Bunda sayang,”

“Ya udah tunggu ayah di depan gih,”

“Adek aja dianterin sama Pak sugeng, Dek,”

“Nggak, aku mau diantar ayah juga lah, masa cuma kakak aja yang diantar ayah? Itu namanya nggak adik. Lagian, aku emang biasanya ‘kan diantar sama ayah,”

“Kali ini sama Pak sugeng aja gimana?”

“Nggak, aku mau sama ayah, apa sih kaka nih? Nggak jelas deh nyuruh-nyuruh aku berangkat sama Pak Sugeng. Orang aku bakal diantar sama Ayah,”

“Siapa yang bakal diantar duluan, Dek?”

“Ya mana aku tau, tanya ayah aja,”

Rieke yang melangkah di belakang kedua anaknya langsung menjawab sebab Rieke tahu suaminya itu pasti mendahulukan anak tertuanya berhubung ini adalah hari pertama Inaya masuk ke SMA.

“Kakak dong yang duluan, Dek,”

“Iya nggak apa-apa. Aku mah rela demi kakak aku yang ternyebelin,”

“Tapi kalau kamu telat gimana, Dek?”

“Ya kakak tanggung jawab dong. Ntar pulang sekolah beliin aku minuman boba,”

Inaya merotasikan bola matanya. Ternyata ada ‘sesuatu’ dibalik kata demi dan rela. Tapi tidak apa-apa. Menyenangkan hati adik memang sudah tugasnya. Apalagi kalau caranya sederhana, yaitu hanya dengan membeli minuman boba untuk Inara. Adiknya itu memang sangat menyukai minuman boba.

Bab 3

“Ya udah ntar ingetin aja ya. Kaka bakal beliin, tenang,”

“Beneran, Kak?”

“Iyalah, masa kakak bohong? Ntar kakak pulang sekolah, dan kamu udah pulang sekolah juga, kita langsung pesan. Terserah kamu deh mau yang mana. Ya…hitung-hitung bikin hati adek senang lah,”

Inara langsung memekik pelan. Untung Ia ingat kalau sekarang posisinya bukan di lapangan jadi Ia tidak mengeluarkan suara kerasnya walaupun sebenarnya ingin untuk meluapkan kebahagiaannya.

“Yeayy makasih ya, Kakakku sayang,”

Inara memeluk kakak satu-satunya itu. Rieke tersenyum mengamati kedua anaknya yang akur. Kalau mereka sudah dalam mode debat, benar-benar menyebalkan sekali. Ingin Ia menengahi dengan cara berteriak marah tapi syukurnya sejauh ini belum pernah. Dengan suara yang sedikit tinggi saja, Inaya dan Inara biasanya langsung paham. Mereka kompak menutup mulut karena mendapat peringatan dari bunda mereka.

“Yok kita berangkat takut terlambat,”

Ardy sudah mengambil ponsel, dan Ia langsung mengajak kedua anaknya untuk segera berangkat. Tak lupa Ardy pamit pada istrinya. Setelah itu Ia langsung masuk mobil dan menghidupkan mesinnya, sementara kedua putrinya sedang bergantian memeluk bunda mereka.

“Hati-hati ya. Jadi anak baik ya, Nak,”

Selalu itu bunyi pesan Rieke pada dua putrinya yang hanya terpaut usia dua tahun saja. Rieke tidak akan pernah lupa untuk memberikan pesan-pesan baik sebelum anaknya berangkat kemanapun itu.

Inara dan Inaya tidak lupa menurunkan jendela mobil supaya Rieke bisa melihat lambaian tangan mereka.

“Baik-baik di rumah, Bun,”

“Okay, Nak,”

“Assalamualaikum, berangkat dulu ya, Bunda,”

“Waalaikumsalam hati-hati, Yah,”

“Siap, Bun,”

Rieke mengantar sampai depan gerbang rumah setelah mobil suaminya tak terlihat lagi, Rieke masuk ke dalam rumah. Sejenak Ia menikmati waktu kesendiriannya dengan menjalani tugas ibu rumah tangga sementara dua anaknya sekolah dan suaminya bekerja.

******

“Kakak, semua nggak ada yang ketinggalan ‘kan? Udah dibawa semua yang diperlukan untuk masa orientasi?”

“Udah, Yah,”

“Adek gimana, Dek? Tugas, alat tulis atau yang lainnya aman, Dek?”

“Aman, Yah,”

“Ayah aman nggak? Ntar jangan sampai pas ngajar, nggak bawa pulpen. Terus pinjam sama mahasiswa. Jangan ya, Yah. ‘Kan malu kalau sampai pinjam, Yah,”

“Hahahaha, tenang aja. Ayah selalu aman, nggak pernah ngeluarin dari tas,”

“Ayah, menurut ayah nanti di sekolah baru bakalan seru nggak?”

“Seru, Ayah yakin. Kamu pasti nyaman, betah di saja. Ya walaupun Ayah nggak nyobain belajar di dalam kelas ya, tapi Ayah ‘kan udah datang ke sekolah kamu sama Bunda untuk nilai dulu semuanya sebelum mutusin kamu masuk sekolah itu,”

“Kakak, nanti bakalan ada cowok ganteng kayak artis korea nggak ya di sekolah kakak?”

“Ya ampun, Dek. Belum apa-apa udah nyariin Oppa Korea aja kamu,”

“Kalau ada kabarin ya, Kak,”

“Terus kamu mau ngapain?”

“Ya pengen tau aja. Aku pengen dengar ceritanya dari kakak,”

“Dek, jangan aneh-aneh. Ingat, masih SMP, Dek,”

“Iya aku tau, Yah. Tapi aku ‘kan punya bias tuh, aku idolain aktor Korea, ya kali aja di sekolah kakak ada yang gantengnya mirip bias-bias aku. Nanti aku bakalan jadi fansnya juga,”

“Kakak nggak mau nyari Oppa Korea, Dek. Kakak nyari ilmu,”

“Ah susah deh kalau punya kakak anak pintar. Nggak bisa diajak kompromi,”

“Lah kamu juga pintar, susah diajak kompromi, berantem mulu,”

“Kak, udah jangan diladenin adeknya, kamu juga Dek nggak usah suka mulai,”

“Iya siap, Ayah. Maafkan hamba ya, Ayah,”

Inaya menoleh ke kursi tengah dimana adiknya duduk dan Inaya menjulurkan lidahnya. Inara yang melihat itu langsung merengek “Ayah, kakak tuh yang mulai,”

“Kak, udah dong, Kak. Kenapa sih suka usil begitu ke adeknya?”

“Iya maaf, Yah. Ngeliat muka kusutnya adek bikin aku senang,”

“Pokoknya minuman boba nanti ya, Kak. Jangan lupa lho, Kak,”

Inaya mendengus kesal. Yang diingat malah minuman boba disaat dalam perjalanan ke sekolah, bukannya memikirkan pelajaran dulu, malah kepikiran jajan.

“Emang adek minta minuman boba ke kakak?” Tanya Ardy sambil melirik anak bungsunya melalui cermin di depannya.

“Iya, Yah. Sebagai permintaan maafnya kakak kalau aku telat gara-gara ikut antar kakak ke sekolah barunya,”

“Eh tapi kalau nggak telat berarti nggak jadi ‘kan?”

“Enak aja, ya jadilah,”

“Itu ‘kan namanya permintaan maaf kalau kamu datangnya telat, Dek. Tapi kalau nggak telat masa tetap minta minuman boba?”

Sebenarnya Inaya hanya sedang memancing saja. Mau terlambat atau tidaknya Inara, Ia akan tetap membelikan adiknya itu minuman. Adiknya senang, Ia pun akan ikut senang.

“Ih kakak mah, tetap beliin aja dong, aku maksa nih,”

“Hahahaha ngaku dia kalau udah jadi pemaksa,”

“Iya pokoknya beliin ya. Janji ya, Kak,”

“Iya nanti kakak beliin, tenang,”

“Sebenarnya apa yang kakak omongin itu tepat sih, Dek. Kakak bakal beli minuman untuk kamu kalau kamu terlambat ‘kan? Itu sebagai permintaan maaf, nah kalau nggak terlambat masa tetap dibeliin, Dek?”

“Ayah, udah dukung aja, jangan ngomong begitu nanti kakak nggak mau beliin,”

“Ya udah sebutannya berarti bukan hadiah permintaan maaf ya, tapi hadiah dari kakak untuk adek. Ya bisa dibilang hadiah dari kakak yang baru masuk sekolah,”

“Nah iya begitu, aku setuju,”

Inara berseru sambil menjentikkan jarinya. Jadi ganti sebutan saja supaya minuman bobanya tetap mendarat di tangannya nanti sepulang sekolah.

“Hadiah dari Papa, nanti sore kita pergi ke mal,”

“Yeayy mau ngapain, Pa?”

“Ya mau ngapain aja terserah bunda, kakak, sama adek lah. Makan ayo, belanja juga ayo,”

“Photobox ya, Yah?”

“Duh, sulit itu,”

Inaya dan Inara tertawa kompak ketika ayahnya seperti orang yang sedang menyerah saja cara bicaranya, sambil menghela napas kasar.

“Tinggal gaya aja, Yah. Nggak sulit itu, aku pengen photobox,”

“Ya udah okay. Apa sih yang nggak buat anak,”

Inara bertepuk tangan tiba-tiba dan itu membuat kakak dan ayahnya tersentak kaget karena bunyi yang nyaring dari tangan Inara.

“Dek, bener-bener niat bikin kakak jantungan ya? Hah?!”

“Nggak-nggak, Kak. Maaf aku nggak sengaja. Itu aku lagi meluapkan rasa senang,”

Inara tertawa sambil meminta maaf. Ia tidak ada niat sedikitpun untuk mengejutkan ayah dan kakaknya yang duduk di kursi depan itu.

“Jadi aku dapat hadiah dua kali ya. Padahal yang masuk sekolah baru ‘kan kakak, tapi aku ikutan dapat hadiah yeayyy. Yang pertama dapat minuman boba, dan yang kedua diajakin ke mall sama Ayah boleh makan boleh belanja kata ayah,”

“Makanya kakak jangan deg-deggan, harus pede, harus makin pintar di sekolah baru soalnya ayah ‘kan udah hadiahin kakak jalan ke mall juga, Kak

“Gugup nggak bisa ditahan, Dek,”

“Tenang aja, Kak. Jangan gugup, anggap aja sekolah ini ya sekolah lama kakak,”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!