Like Father, Like Daughter.

Like Father, Like Daughter.

Bab 1

Joshua memeriksa lengan Kirania dengan cermat. Tulang yang patah beberapa waktu lalu menunjukkan perkembangan baik, membuat pria itu bernapas lega.

"Seharusnya lukamu ini sembuh dalam sebulan, tapi ini baru tiga minggu. Kau benar-benar cepat sembuh," ujarnya kagum sambil menyimpan alat medisnya.

Kirania, keponakannya, tersenyum lebar. "Mungkin karena aku mantan kelinci percobaan Damian, jadi tubuhku agak ajaib."

"Tapi kau tetap harus hati-hati. Jangan berkelahi dulu."

"Baik, Paman. Tapi nggak janji," sahut Kirania sambil nyengir.

Joshua mendesah panjang. "Kau ini keras kepala."

"Kalau nggak keras, namanya bukan tengkorak dong," balas Kirania cepat.

Joshua hanya bisa memandangnya dengan tatapan putus asa sebelum mencubit pipinya gemas.

"Aduh, sakit! Aku bukan kucing, Paman!" serunya sambil menepis tangan Joshua, yang malah terkekeh puas.

"Kalau begitu jangan bertingkah seperti kucing marah," ledek Joshua, mengacak rambut Kirania sebelum membiarkannya pergi.

Kirania keluar dari ruangan dengan wajah ceria. Di luar, kakaknya, Ellios, menunggu sambil memainkan ponselnya.

"Sudah selesai?" tanya Ellios.

"Sudah. Yuk pulang."

Dalam perjalanan, Kirania menceritakan hasil pemeriksaannya dengan semangat, sementara Ellios hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Ketika mereka belok ke sebuah gang, sekelompok preman menghadang.

"Serahkan barang kalian, atau—"

Preman itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Kirania dan Ellios saling bertukar pandang dan tersenyum.

 

Kota X adalah wilayah otonom tanpa hukum, terbagi dalam enam distrik yang dikendalikan oleh dua kubu besar. Pasca kerusuhan besar beberapa bulan lalu—yang melibatkan pemilihan walikota dan jaringan sindikat perdagangan manusia—kota ini menjadi lebih berbahaya. Banyak anak kehilangan keluarga, dan kehadiran pendatang ilegal semakin memperburuk situasi.

Di tengah kekacauan ini, muncul kelompok misterius bernama SCARD. Anggotanya memiliki tato khusus yang membuat mereka kebal peluru dan senjata tajam. Setelah insiden besar itu, keberadaan mereka tidak diketahui, tetapi rumor menyebut mereka masih berbaur di masyarakat.

Distrik D, E, dan F, yang dulunya kumuh, kini berada di bawah naungan Athena Group. Meski dianggap kawasan tertinggal oleh pemerintah, tiga distrik ini berkembang pesat berkat pembangunan sektor ekonomi dan infrastruktur yang dipimpin Albert, seorang petinggi Athena Group.

 

Setelah insiden dengan preman di gang, Kirania dan Ellios pulang dengan membawa bungkusan belanjaan besar. Di rumah, mereka disambut oleh Albert, yang langsung menatap mereka tajam.

"Telat lima belas menit," sapanya dingin.

Kirania dan Ellios tersenyum cengengesan, lebam di wajah mereka jadi bukti pertemuan tak menyenangkan tadi. Mereka menyerahkan belanjaan, tapi Albert langsung memicingkan mata saat melihat isinya.

"Bukannya aku minta kalian beli bahan makanan? Kenapa malah penuh dengan snack?" geramnya.

"Pesanan Papa ada, kok," jawab Kirania sambil tersenyum polos.

Albert mendesah panjang, membuka plastik belanjaan, dan mendapati bahan makanan tersembunyi di bawah tumpukan snack.

"Darimana kau dapat uang tambahan, Kiran?" tanyanya curiga.

"Kami ketemu preman tadi," Kirania menjawab santai. "Kasihan, jadi kami ajak mereka ‘main’. Habis itu, ya, kami ambil uang mereka."

Albert menatap mereka dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan kesal. Namun, sebagai petinggi Athena Group, ia sudah terbiasa menghadapi ancaman.

"Kalau begitu, bersihkan diri kalian dulu, lalu turun untuk makan malam," perintahnya tegas, menahan diri untuk tidak terlalu marah.

 

Malam itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Sambil menikmati camilannya, Kirania hampir tersedak saat Albert mengumumkan keputusannya.

"Kau akan bersekolah di Demon High School," katanya tanpa basa-basi.

"Demon High? Itu sekolah preman, Pa!" protes Kirania dan Ellios bersamaan.

Albert tetap tenang. "Kau perlu mengasah kemampuanmu. Di kota ini, anak baik hanya jadi sasaran empuk."

"Tapi aku nggak lemah!" Kirania membantah.

"Itu sebabnya kau harus belajar lebih banyak."

Ellios, meski khawatir, tidak punya pilihan selain mendukung keputusan ayah mereka. Sementara Kirania akhirnya menyerah, meski masih berusaha mencerna kenyataan bahwa ia akan masuk sekolah paling berbahaya di kota itu.

"Aku hanya ingin kalian mandiri dan bisa melindungi diri," kata Albert, nada suaranya lebih lembut. "Tidak masalah jika kalian pembuat onar, asalkan bukan penjahat."

Kirania mendengus pelan. "Baiklah, tapi aku tetap bukan kucing."

Albert hanya tersenyum tipis, mencubit pipi gadis itu sekali lagi sebelum pergi menyiapkan brosur sekolah. Kirania, yang kesal, memakan snacknya sambil bergumam, "Kenapa semua orang suka memanggilku kucing?"

 

Setelah makan malam, Kirania menghabiskan waktu di kamarnya, termenung memikirkan keputusan ayahnya. Demon High School bukan tempat yang ia inginkan. Sekolah itu dikenal sebagai tempat para pembuat masalah dan anak-anak dari kelompok kriminal besar.

Ellios mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Ia membawa dua gelas cokelat panas.

"Masih kepikiran soal sekolah baru?" tanyanya, menyerahkan satu gelas pada Kirania.

"Jelas. Aku merasa seperti dilempar ke kandang singa," keluh Kirania, memutar gelas di tangannya.

Ellios duduk di tepi ranjang, tersenyum kecil. "Hei, bukankah kau yang sering bilang suka tantangan? Ini kesempatanmu untuk membuktikan kalau kau bisa bertahan di mana saja."

Kirania mendengus. "Ini lebih seperti hukuman daripada tantangan."

"Kalau ada yang mengganggumu, aku akan langsung turun tangan," ujar Ellios dengan nada serius.

Kirania tersenyum tipis. "Aku bisa menjaga diri, Kak."

Setelah berbincang sebentar, Ellios pamit. Namun, sebelum meninggalkan kamar, ia berbalik dan berkata, "Oh, satu hal lagi. Jangan terlalu dekat dengan siapa pun di sekolah itu. Ingat, di Demon High, tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya."

Kirania hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia penasaran apa yang sebenarnya terjadi di sekolah itu sehingga membuat kakaknya tampak waspada.

 

Hari pertama di Demon High

Pagi itu, Kirania berdiri di depan gerbang sekolah dengan rasa tidak percaya. Gedungnya besar, dengan dinding kusam penuh coretan graffiti. Suara gaduh terdengar dari berbagai penjuru, mulai dari siswa yang bertengkar, melempar benda, hingga motor yang meraung-raung di halaman.

"Selamat datang di neraka," gumam Kirania pada dirinya sendiri.

Ia melangkah masuk dengan percaya diri, meskipun banyak mata menatapnya penuh rasa ingin tahu. Gadis berambut pendek dengan langkah ringan itu langsung menarik perhatian. Beberapa siswa bahkan mulai berbisik-bisik.

Di lorong, seorang siswa laki-laki bertubuh besar sengaja menghalangi jalannya.

"Hei, anak baru. Kau pikir bisa santai di sini, hah?" katanya dengan nada menantang.

Kirania menatapnya tanpa rasa takut. "Kau butuh sesuatu, Kakak?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum.

"Apa kau bilang?!"

Sebelum siswa itu sempat bergerak, suara peluit keras memotong suasana. Seorang guru muncul, tatapannya tajam seperti elang.

"Baik, bubar! Kau, anak baru, ke ruang kepala sekolah sekarang!"

Kirania hanya mengangkat bahu, berjalan santai ke arah yang ditunjuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Di ruang kepala sekolah, ia bertemu seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi namun aura yang dingin. Pria itu menatap Kirania dengan tatapan penuh penilaian.

"Kirania Fernando Mahesa, anak dari Athena Group. Kau tahu reputasi sekolah ini, bukan?" tanyanya langsung.

Kirania mengangguk. "Tentu saja. Tempat ini disebut sarang kriminal muda, kan?"

Kepala sekolah tersenyum tipis. "Bukan hanya itu. Ini juga tempat pembentukan pemimpin masa depan. Tapi hanya untuk mereka yang kuat."

"Kalau begitu, aku di tempat yang tepat," jawab Kirania santai, membuat pria itu terdiam sejenak.

"Baiklah. Jangan kecewakan ayahmu," ujar kepala sekolah sebelum menyuruhnya pergi ke kelas.

 

Saat Kirania masuk ke kelas, suasana langsung berubah. Beberapa siswa terlihat menilai dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Seorang siswa perempuan dengan rambut merah terang mendekatinya.

"Hei, anak baru. Aku Xeina. Kalau kau butuh bantuan, cukup bayar, dan aku akan mengurusnya."

Kirania tersenyum tipis. "Terima kasih, tapi aku lebih suka mengurus urusanku sendiri."

Xeina terkekeh, jelas terhibur oleh sikap berani Kirania. "Kau menarik. Tapi hati-hati, Demon High bukan tempat untuk sok pahlawan."

Kirania hanya tersenyum, tapi dalam hati ia tahu, hari-hari berikutnya akan menjadi petualangan besar.

 

Malam itu

Sepulang sekolah, Kirania duduk di atas atap rumah sambil memandang langit. Ia merenungkan apa yang baru saja ia lalui—pertemuan dengan kepala sekolah, interaksi dengan siswa lainnya, dan rasa penasaran yang terus menggeliat dalam dirinya.

"Ada apa?" suara Ellios memecah keheningan. Ia naik ke atap, membawa sebotol soda.

"Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang ayah rencanakan," jawab Kirania. "Tapi Demon High tidak seburuk yang kukira. Rasanya seperti tempat di mana aku benar-benar bisa menjadi diriku sendiri."

Ellios tersenyum samar. "Hati-hati, Kirania. Tempat itu bisa mengubahmu—entah menjadi lebih kuat atau malah menghancurkanmu."

Kirania hanya menatap langit dengan senyum kecil, lalu bergumam pelan, "Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih kuat."

 

Terpopuler

Comments

jejes879397

jejes879397

halo aku mampir, di tunggu kelanjutannya di novel sebelah ya😉😉

2023-11-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!