Bab 3

"Aku pikir kau mendapat pernyataan cinta, ternyata kau mendapatkan tawaran untuk menjalin aliansi. Sayang sekali." Suara Ganymede penuh kekecewaan namun sarat akan ejekan menggema di kepala gadis itu.

"Berisik. Jangan mengejekku." Sentak Kirania kesal lalu gadis itu menghempaskan dirinya di ranjang. Hampir saja dirinya baperan saat melihat tatapan Petra yang membuatnya hampir salah tingkah.

"Ada yang patah hati, nih. Kacia~n." Ledek Ganymede yang membuat Kirania geram. Salahkan Petra untuk hal itu dan beruntung Kirania dikelilingi pria tampan rupawan yang menyerupai mahakarya Tuhan, sehingga pesona Petra kalah jauh dari sang papa. Jika itu gadis lain, mungkin sudah menelan pil bernama kekecewaan.

Ganymede meledek Kirania habis-habisan yang sukses membuat gadis itu kesal. Jika saja pria itu nyata, sudah pasti dia harus merasakan kibasan kipas besi miliknya. Membayangkan itu saja membuatnya terkekeh.

Kirania memutuskan bangkit dari acara rebahannya dan pergi mengambil cemilan. Perkelahian tadi menguras tenaganya membuat gadis itu merasa lapar.

Saat menuruni tangga, terdengar suara tawa di ruang tamu. Sepertinya sang kakak telah pulang dan mungkin saja dia bersama teman-temannya. Dia memutuskan tak ambil pusing dan memilih pergi ke dapur.

Memastikan setelah tidak ada siapapun yang melihat, Kirania merangkak masuk ke dalam kabinet lalu mengambil beberapa bungkus snack dan minuman di penyimpanan rahasia miliknya yang terletak di dapur tanpa menyadari seseorang memperhatikan tindakannya sambil tersenyum geli.

Saat hendak keluar, dia mendapat seorang pemuda bersurai merah berjongkok di hadapannya sambil memegang sebuah ponsel lengkap dengan flashlight yang menyala.

"Astaga, ternyata aku tidak memiliki seorang adik, rupanya aku memiliki seekor kucing." Ucap Ellios geli sambil menyimpan ponselnya.

"Hentikan itu, Botol Sambal! Aku bukan kucing!" Seru Kirania dan mendelik kesal.

"Oh, ya? Lalu apa ini? Kau keluar masuk ke dalam kabinet seperti seekor kucing yang mencari tikus. Apalagi kau keluar dengan menggigit cemilan kesayangan mu itu. Astaga~ Manisnya~" Lalu pemuda bersurai merah itu memamerkan foto Kirania yang berhasil ditangkapnya tadi.

"Ih, kau menyebalkan sekali! Hapus foto itu!" Serunya galak dan segera keluar dari kabinet dengan kesal.

"Baik. Tapi cium dulu." Ucap Ellios dengan wajah tengil sambil menunjuk ke arah pipinya. Mau tidak mau Kirania mencium pipi sang kakak dengan terpaksa.

Sesuai janjinya, pemuda itu menghapus foto Kirania tepat di hadapan sang adik. Setelah itu Ellios mengacak rambut gadis itu sambil tersenyum geli lalu berlalu dari sana sambil membawa beberapa minuman dan cemilan.

Kirania segera pergi dari sana dengan menenteng cemilan nya, meninggalkan sang kakak yang sibuk dengan teman-temannya.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

'Tring'

Albert yang sibuk di ruang kerjanya melirik ponsel miliknya yang berdering. Pria tampan itu memilih mengabaikannya sebelum sebuah pesan kembali menerornya.

'Tring'

'Tring'

'Tring'

Dengan kesal, pria itu menyambar smartphone miliknya dan dahinya mengernyit saat membaca sebuah pesan dari seseorang.

'[Ayah, kau tidak pernah memiliki seorang putri. Kau memiliki seekor kucing.]'

Albert membuka pesan itu dan membuka sebuah vidio dan beberapa foto yang dikirim oleh putranya. Pria itu hanya bisa tersenyum geli saat melihat vidio yang di ambil oleh Ellios, dimana putri kesayangannya tengah merangkak memasuki sebuah kabinet secara sembunyi-sembunyi lalu muncul lagi dengan menggigit beberapa cemilan di bibirnya serta sebuah minuman yang berada di gendongannya.

"Ck. Dasar kucing nakal." Ucapnya pelan sambil terkekeh.

"Mungkin aku harus membuat makanan sehat untuk kucing kecilku itu. Mengingat dia tidak bisa berhenti ngemil makanan penuh micin itu."

Albert bersandar di kursi kebesarannya sambil mengusap wajahnya saat mengingat Kirania sewaktu masih berada di kediaman Anderson. Dimana gadis kecil itu selalu makan roti kering maupun makanan yang telah kadaluarsa atau makanan basi.

"Mungkin aku perlu berkonsultasi dengan Joshua." Gumamnya sambil kembali mengerjakan pekerjaannya yang tertunda.

'Tok' 'Tok'

"Masuk!"

Benedict memasuki ruangannya dan menghampiri Albert yang masih sibuk berkutat dengan beberapa tumpuk dokumen miliknya. Sebagai pemilik restoran dan beberapa kedai, dia selalu memantau jumlah pengeluaran dan pemasukan serta laporan usaha miliknya.

"Tuan, sebentar lagi akan ada rapat dengan petinggi Athena grup." Ucap pria itu.

"Hn." Pria itu segera bangkit dari tempat duduknya dan bergegas pergi meninggalkan ruangan diikuti oleh Benedict.

Albert memilih berjalan kaki dan pergi menuju stasiun kereta api. Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang di tunggu akhirnya datang dan berhenti di depan mereka. Pintu gerbong kereta terbuka dan memuntahkan beberapa penumpang yang turun di stasiun itu.

Setelah semua penumpang turun, Albert dan Benedict beserta penumpang lain memasuki gerbong kereta itu dan mencari tempat duduk. Meskipun mereka termasuk jajaran orang kaya, mereka lebih memilih menaiki transportasi umum, mengingat lebih hemat dan tentunya lebih cepat.

Kereta meluncur dengan cepat menuju stasiun berikutnya. Hanya memerlukan waktu lima belas menit, mereka telah tiba di stasiun yang di tuju. Jika menggunakan kendaraan pribadi, mereka mungkin memakan waktu hingga dua jam atau lebih.

Mereka segera pergi menuju gedung Athena Grup yang terletak di distrik E dengan berjalan kaki. Setelah berjalan selama lima belas menit dari stasiun kereta api, mereka akhirnya tiba di gedung milik Athena grup.

"Selamat datang di Athena Grup, Tuan. Nona Aretha telah menunggu Anda di ruang rapat." Sapa resepsionis ramah.

"Hn."

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Kirania keluar dari kamarnya dan turun ke dapur, bersiap untuk menyiapkan makan malam. Beberapa suara berisik terdengar dari ruang bawah, menunjukkan bahwa tamu-tamu sang kakak masih belum pulang meskipun malam sudah semakin larut.

Saat Kirania sedang sibuk mengambil bahan dari kulkas, salah satu perempuan di antara mereka yang berada di ruang tamu tidak sengaja melihatnya dan bertanya dengan nada penasaran. "Oh, siapa perempuan itu? Apakah dia pembantu?"

Mendengar pertanyaan itu, Ellios yang berada di dekatnya langsung menjawab dengan nada dingin, "Dia adikku, bukan pembantu."

Gadis yang bertanya itu terkejut dan buru-buru menjawab, "A-aku hanya bertanya," sambil menunduk sedih, membuat beberapa orang di sana merasa kasihan padanya.

Xeon yang mendengar itu langsung bersuara tidak setuju, "Kita tidak tahu jika kau punya adik. Jadi jangan salahkan Irene."

Ellios memilih untuk tidak memperpanjang percakapan itu dan memutuskan untuk kembali ke dapur, lebih memilih untuk membantu Kirania menyiapkan makan malam bagi sang ayah daripada meladeni perkataan mereka.

Emillia, yang merasa tersinggung, mendengus. "Biarkan saja pembantu itu memasak. Kau temani kami di sini," katanya dengan nada meremehkan.

"Dia adikku," sahut Ellios, menegaskan dengan nada penuh penekanan sambil memberikan tatapan tajam pada Emillia sebelum meninggalkan mereka. Diam-diam, kedua perempuan itu mengepalkan tangan mereka dan tersenyum sinis.

"Si pick me itu benar-benar keterlaluan," gerutu Emillia dengan kesal sambil mengenakan apron. Kirania yang mendengar hanya bisa diam dan melanjutkan pekerjaannya.

"Kau temani saja mereka. Sepertinya mereka akan merencanakan sesuatu," saran Kirania kepada Ellios sambil memotong bahan-bahan yang sudah disiapkan.

"Tidak. Ayah sebentar lagi pulang. Aku juga tidak suka dengan mereka. Mereka itu menyebalkan," keluh Ellios, mengungkapkan ketidaksukaannya pada para tamu tersebut.

"Kalau kau tidak suka, tinggalkan saja. Kau tidak perlu pura-pura meskipun kau tak nyaman," kata Kirania, memberikan saran yang lebih tegas kepada kakaknya.

Dengan ringan, mereka mulai menyiapkan makan malam bersama, membagi tugas agar lebih cepat selesai. Dapur mereka dipenuhi suara dentingan pisau yang beradu dengan talenan, menciptakan irama yang merdu. Meski suasana rumah terasa tegang karena tamu yang tidak menyenangkan, mereka berdua tetap bekerja seperti chef profesional, mengingat keduanya telah mandiri sejak kecil.

Bau harum makanan mulai menyebar ke seluruh rumah, membuat perut para tamu berbunyi nyaring. Sementara itu, tiga remaja yang ada di ruang tamu hanya sibuk bergosip, sesekali melirik kedua kakak beradik yang sedang menyiapkan makan malam.

Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka terdengar, diikuti langkah kaki seseorang. Seorang pria tampan memasuki rumah itu, wajahnya tampak seolah dipahat oleh dewa. Tanpa menyapa siapa pun, pria itu melangkah melewati ruang tamu dan menuju ruang keluarga, duduk di sana dengan santai.

Kirania yang melihat kedatangan sang papa segera menyiapkan minuman kesukaan pria itu, secangkir matcha hangat, dan membawanya ke ruang keluarga.

"Siapa dia? Dia tampan sekali~" seru Irene dengan terkejut, tak bisa menahan kekagumannya.

"Entahlah. Mungkin dia kakak Ellios. Tapi rambutnya mirip dengan pembantu itu," celetuk Xeon sambil melirik Kirania yang tengah membawa minuman ke arah sang pria.

Emillia menatap Kirania dengan tatapan penuh permusuhan. Meskipun dia tahu bahwa gadis itu adalah putri dari pria itu, dia merasa perlu untuk segera menyingkirkannya.

"Hei, kucing. Kau lanjutkan saja. Aku mandi dulu," kata Ellios, meninggalkan Kirania yang sibuk dengan masakannya.

"Pergi sana," jawab Kirania dengan usiran ringan, disertai cibiran kesal dari Ellios yang sudah melangkah keluar dari dapur.

🐾

Setelah menyesap habis minuman yang diberikan oleh Kirania, Albert segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Tak lama setelah itu, dia turun ke ruang makan.

Di meja makan, tiga remaja sedang duduk santai, menonton Kirania yang sibuk mengeluarkan peralatan makan dengan bantuan Ellios.

Melihat kesibukan putrinya, Albert memutuskan untuk ikut membantu. Dia mengambil sebuah sop panas dan membawanya ke meja makan, diikuti oleh kedua anaknya yang masing-masing membawa dua piring lauk pauk yang menggugah selera.

"Kalian berdua duduklah. Aku segera menyusul," kata Kirania sambil kembali ke dapur. Albert dan Ellios memilih duduk di meja makan, bergabung dengan ketiga remaja yang menatapnya dengan penuh minat.

"Selamat makan!" seru Kirania sambil melepas apron dan meletakkannya di sandaran kursi. Emillia dan Irene menatapnya dengan penuh penghinaan.

"Pembantu rendahan sepertimu harusnya sadar diri. Kau harus makan setelah majikanmu selesai makan," sindir Emillia.

Albert yang hendak menyantap makanannya mengurungkan niatnya. Pria itu menatap gadis itu dengan tajam.

"Benar. Kau tidak pantas berada di sini," balas Xeon dengan nada merendahkan. Ellios yang kesal tanpa sadar menggenggam sendok hingga bengkok.

"Sudahlah. Mungkin dia kelaparan hingga tak tahu malu. Sebaiknya kita makan saja," lerai Irene sambil sesekali melirik Albert dengan malu-malu.

Kirania melirik Albert dengan ragu. Ingatan masa lalunya kembali terngiang, ketika dia ingin makan, namun Helena malah menyiksanya habis-habisan.

"Makanlah, Kiran. Kau sudah bekerja keras menyiapkan makanan bersama kakakmu," ucap Albert, menatap Kirania dengan hangat. "Kau bukan pembantu karena kau yang bertugas memasak hari ini, dan kau bukan orang asing yang tak tahu malu menghina tuan rumah." Kalimatnya menyindir dengan tajam, membuat ketiga tamu Ellios memerah menahan malu dan marah.

"Ayah benar. Ini adalah rumahmu. Jadi kau makan bersama kita, Adik," ucap Ellios, menekankan kata 'adik' sambil menatap ketiga orang asing itu tajam. "Lagipula menyiapkan makan malam bukan pekerjaan pembantu. Jadi jangan dengarkan orang luar yang tak tahu malu itu. Sudah tak menyapa tuan rumah malah menghina tuan rumah," tambah Ellios sambil menyuapkan makanannya.

Kirania mengangguk, lalu mulai menyendok nasi dan mengambil lauk, mengabaikan tatapan tak suka dari ketiga tamu.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Albert di sela-sela makannya.

"Cukup baik, Pa. Aku menyukai sekolahnya," jawab Kirania, menceritakan pengalamannya dengan semangat.

"Seharusnya kau tidak perlu berkelahi, itu tidak baik. Kau itu perempuan, kan?" ucap Irene, mencoba memberi nasehat sambil sesekali melirik ke arah Albert dengan malu-malu.

"Benar. Kau itu perempuan. Seharusnya kau tidak membuat keluargamu malu dengan bersekolah di sana," imbuh Emillia. Entah mengapa, melihat rambut Kirania mengingatkan Emillia pada seseorang yang pernah dia bully hingga meninggal beberapa tahun lalu.

Kirania mengabaikan perkataan ketiganya dan lebih fokus pada makanannya. Lagipula, yang menyuruhnya bersekolah di sana adalah Albert, dan pria itu tak ambil pusing dengan hal itu.

"Aku senang kau bersekolah di sana. Aku berharap mendengar dan melihat perkelahian dan keonaranmu nanti," ucap Albert dengan senyum tipis, membuat dua gadis itu ternganga tak percaya.

"Ternyata kalian bertiga lebih berisik dari anjing minta kawin. Apakah begini tingkah laku kalian di rumah orang? Aku heran apa pekerjaan orang tua kalian hingga berani menghina tuan rumah seperti ini," sindir Albert dengan tajam dan pedas, membuat mereka bertiga menunduk dengan wajah memerah.

"Mungkin mereka ini sekumpulan babi tidak berguna yang tidak pernah melakukan apa-apa, Papa. Lagipula, mereka telah terbiasa dimanja dan tidak pernah melihat dunia gelap selain berpesta menghamburkan uang," balas Kirania tak kalah pedas.

Ketiganya memilih diam dan melanjutkan makan dengan hening. Perkataan Kirania dan Albert membuat mereka bertiga bungkam dan tersinggung.

Albert melirik Kirania dengan puas. Putri kesayangannya telah berubah, berani melawan orang yang pernah menindasnya dengan kejam.

Terpopuler

Comments

Sribundanya Gifran

Sribundanya Gifran

lanjut crazy up thor

2023-06-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!