Anjani Sayang

Anjani Sayang

20 Tahun

Minggu pagi, di Alahan Panjang, nagari dingin tidak bersalju di Kecamatan Lembah Gumanti, aku bersama hampir sebagian besar penduduk tengah memadati pasar untuk membeli keperluan selama sepekan sebab di sini pasar besar hanya buka sekali sepekan.

Sambil membaca kertas berisi catatan belanjaan keperluan panti yang sudah ditulis bibi Desi, pengasuh panti, tempatku tinggal saat ini. Aku menyelip di antara para pengunjung yang semakin ramai.

Senang sekali rasanya bisa memilih sayuran yang masih segar-segar, hasil kebun petani setempat. Memang, sebagian penduduk berkebun sayuran, cabe, bawang dan tomat. Harga yang mereka berikan pun tergolong sangat murah dibandingkan daerah lainnya.

Baru separuh catatan yang berhasil kubeli. Tiba-tiba muncul seorang anak yang juga tinggal di panti bersamaku. Amanda namanya. Bocah delapan tahun yang terkenal usil. Tiba-tiba ia menarikku dari keramaian, lalu memberi kabar kalau bibi Desi pingsan.

"Pingsan kenapa?" tanyaku.

Bukannya menjawab, Amanda malah berlari, menghilang dari hadapanku. Sontak akupun bergegas pulang, meskipun belanjaan belum selesai.

Segera ku ambil sepeda tua milik panti yang kutitipkan di depan toko sembako, tempat kami biasa membeli beras dan minyak dengan harga miring, sebab pemiliknya adalah salah seorang dermawan yang juga donatur tetap di panti.

"Anjani, mau kemana?" tanya paman Wili, pemilik toko.

"Mau pulang, paman. Bibi Desi pingsan!" seruku, dari atas sepeda. Setelah itu tidak terdengar lagi apa yang ia katakan karena aku langsung mengayuh sepeda secepat mungkin, membiarkan kerudung berwarna merah tua melambai ditiup angin.

Sepeda terus melaju melewati jalan setapak menuju panti. Susah payah aku menyeimbangkan jalannya, agar barang bekanjaanku tidak terjatuh. Saking cepatnya, beberapa kali aku hampir menabrak pejalan kaki.

"Maaf paman, bibi!" kataku, sambil terus berlalu. Sementara yang kulewati terdengar mengomel karena kaget.

Laju sepeda mulai pelan, lalu berhenti tepat di depan panti. Langsung saja aku turun, memarkir dengan asal, kemudian masuk ke dalam.

Ruang depan tempat menerima tamu kosong. Lorong tempat anak-anak bermain pun kosong. Lima kamar tidur juga kosong. Tidak ada seorangpun yang bisa kutemui. Kemana mereka semua?

Sambil berpikir, kuhempaskan tubuh di atas sofa butut tempat ibu kepala panti menerima tamu. Ada rasa sesal di hati, harusnya tadi kutanya Amanda kondisi bibi Desi.

Tadi pagi, saat kutinggalkan, bibi baik-baik saja. Seingatnya, bibi Desi memang tidak punya penyakit yang berbahaya, apalagi pernah pingsan. Bibi tergolong sehat. Palingan hanya sakit kepala biasa karena terlalu lelah bekerja mengurus panti.

"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun!" tiba-tiba, anak-anak keluar diikuti bibi Desi dan seorang pemuda yang membawa kue tart coklat dengan lilin angka dua puluh di atasnya.

"Bibi!" pekikku. "Bagaimana keadaan Bibi? Tadi kata Amanda Bibi pingsan. Bibi sudah baikan? Mana yang sakit?" aku langsung menghampiri bibi, sambil mengecek kondisi bibi.

"Ya ampun, Anjani, tenang sedikit. Bibi baik-baik saja. Memangnya kamu kira Bibi sakit apa? Aku ini perempuan yang kuat, tak akan semudah itu tumbang!" cetus bibi Desi, sambil mencubit pipiku.

"Tadi kata Amanda," aku menunjuk gadis kecil yang kini berada di samping bibi Desi. "Kamu bohongin kakak?" kini aku menatapnya dengan kesal. Rasanya tidak percaya, gadis kecil sepertinya sudah bisa berbohong. Padahal bibi sudah mengajari kami agar menjadi pribadi yang baik, salah satunya tidak boleh berbohong. "Siapa yang mengajarimu bohong?"

"Duh, Kak Anjani. Bukan aku. Tapi aku disuruh bibi dan kak Philip," telunjuk Amanda tertuju pada lelaki yang kepulangannya selalu ku nantikan.

"Bibi, kak Philip?" aku geleng-geleng kepala.

"Ini semua murni ide Philip. Bibi hanya membantu merealisasikan!" bibi Desi membela diri.

"Sudah, kalau mau marah nanti saja. Sekarang tiup lilinnya dulu. Anak-anak sudah menanti. Mereka ingin merasakan kuenya." sanggah kak Philip.

"Nggak mau. Kalia. sudah membohongi aku. Lagian ini bukan kebiasaan kita. Ulang tahun, tiup lilin dan pesta ini!" aku melihat ke sekeliling dan baru menyadari kalau ruangan ini dihias balin serta pita warna-warni.

"Anjani, kamu tega sekali. Adik-adikmu sudah ngiler tuh." bibi Desi menunjuk anak-anak panti.

Saat melihat anak-anak yang menatapku penuh harap. Aku mengikuti kata-kata kak Philip, meniup lilin, lalu menyerahkan pada bibi Desi agar dibagikan pada anak-anak.

"Selamat ulang tahun Anjani!" ucap kak Philip. Saat kami berdiri di pojok ruangan sambil melihat tingkah anak-anak yang kegirangan mendapatkan potongan kue dengan ukuran cukup besar. "Aku tidak menyangka, sekarang usiamu dua puluh tahun. Berarti sudah tiga belas tahun aku mengenalmu, ku harap kau terus menjadi pribadi yang lebih baik."

"Terimakasih Kak," mataku masih tertuju pada anak-anak. "Oh ya, kapan Kakak sampai? Kenapa tidak memberitahu kalau Kakak pulang? Ku kira masih dua pekan lagi." aku mencoba mengingat pesan-pesan yang dikirim Kak Philip lewat email.

"Aku memang sengaja tidak memberitahu karena ingin memberi surprise."

"Ya dan aku terkejut!"

Kak Philip tertawa kecil. "Anjani, apa kau senang aku kembali?"

"Tentu saja. Kakak adalah satu-satunya teman yang aku miliki. Tapi ku dengar setelah kembali Kakak akan segera menikah. Kenapa merahasiakannya dariku?"

"Kata siapa?"

"Bibi Jeni. Kakak sudah dijodohkan dengan Mega, kan? Beberapa hari lalu bibi bercerita saat aku mengambil pakaian bekas dari rumah Kakak,"

"Lalu kau senang?"

"Kalau Kakak bahagia, kenapa tidak? Siapa tahu setelah Kakak menikahinya, kami bisa jadi teman."

"Kau dan Mega? Itu tidak akan mungkin!"

"Kenapa tidak?"

"Mega tidak menyukaimu. Aku masih ingat bagaimana ia sering mengganggumu bersama dua pengikutnya itu. Siapa nama mereka?"

"Vina dan Sisi,"

"Ya, dua gadis aneh yang tunduk sekali pada Mega."

"Mereka mengagumi Mega."

"Hah?" kak Philip menatap aneh. "Kenapa?"

"Karena Mega cantik dan kaya raya,"

"Tapi dia jahat dan aku tidak akan menikah dengannya!"

"Tapi menurutku kalian sangat cocok sekali. Kalian akan jadi pasangan yang serasi."

"Hei, sejak kapan adikku ini jadi Mak comblang?"

"Entahlah,"

"Anjani, apa kau kecewa?"

"Aku hanya tidak suka saja. Sebenarnya aku belum rela saat Mega membuatku tidak bisa sekolah lagi,"

"Maafkan aku Anjani, tidak bisa melinduimu saat itu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku tidak pernah menyalahkan Kakak."

"Kau tahu, aku akan menikah dengan gadis yang jauh lebih cantik dari Mega. Dia juga sangat baik. Tapi agak lugu."

"Ku rasa itu tidak buruk!"

"Ya, ia memang sempurna di mataku."

"Siapa gadis itu, Kak? Kenalkan padaku. Siapa tahu kami bisa berteman."

"Tentu saja Anjani. Nanti akan ku kenalkan padamu. Kau pasti akan menyukainya!"

"Janji?"

Kak Philip menganggukkan kepalanya. Kini aku bisa lebih tenang karena ia tidak akan menikah dengan Mega.

"Anjani, aku punya hadiah untukmu." kak Philip mengeluarkan sebuah bungkusan yang ia letakkan di belakangnya. Lalu memberikannya padaku.

Sebuah bingkisan yang dibungkus dengan kertas berwarna pink muda, dengan pita senada. Waktu ku buka, ternyata isinya gaun panjang berwarna putih. Gaun yang sangat cantik sekali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!