"Kak, ini pasti mahal sekali!" kataku. Mata ini tak lepas memandang gaun yang kini berada dalam genggaman. Rupanya kak Philip masih ingat tentang gaun putih yang begitu ku idam-idamkan sejak kecil.
"Kau pasti akan terlihat cantik memakainya. Gaun putih seperti yang kau impikan."
"Tapi apa aku pantas?" selama ini aku memang tidak punya pakaian bagus. Apa yang kupakai adalah baju bekas pemberian orang-orang.
Keuangan panti memang pas-pasan, hanya cukup untuk biaya makan anak-anak asuh yang terdiri dari empat puluhan anak.
"Sangat pantas sekali, Anjani. Pakailah gaun ini saat kau menikah nanti. Seperti apa yang kau impikan selama ini."
Tiba-tiba aku melihat hamparan mawar putih di atas karpet merah yang akan kulalui untuk merayakan pesta pernikahan impianku. Persis seperti saat ayah dan ibu menikah dahulu.
***
Sudah hampir pukul sebelas siang. Aku mengingatkan bibi Desi dan anak-anak agar menyudahi pesta kecil-kecilan kami. Ruangan ini harus segera dirapikan sebelum ibu kepala datang. Ia tidak akan suka melihat semua ini.
"Yah Kak, tunggu sebentar lagi. Kami masih ingin menikmati pesta ini!" celetuk Amanda yang diamini oleh anak-anak lainnya.
"Tapi Ibu Kepala bisa marah melihat semua ini," aku mengingatkan kembali peraturan yang sudah pernah ditetapkan bahwa tidak boleh ada pesta di lingkungan panti sebab kami harus belajar hidup sederhana.
"Sebentar lagi, Kak. Kami sangat suka dengan pesta ini, kan kita tidak pernah melakukan perayaan seperti ini!" Amanda terus saja berkilah.
"Apa yang dikatakan Amanda benar. Sudahlah, biarkan mereka bersenang-senang sebentar. Ibu kepala akan pulang terlambat. Tadi Bibi dengar, ada banyak tambahan donatur yang harus dikunjungi. Mungkin baru pulang sore, atau bisa juga malam. Lagi pula masih ada satu acara lagu yang harus.kita lakukan!" seru bibi Desi.
"Apa Bi?" tanya kami, serentak.
"Dansa!" bibi Desi mengangkat radio kecil yang biasanya digunakan untuk senam pagi. Dalam hitungan tiga, musik yang entah darimana didapat pun berbunyi, menghentak-hentak seluruh penjuru panti.
"Oh tidak!" kataku, tetapi semua sudah terhanyut dalam tarian yang mereka ciptakan sendiri.
"Mau berdansa, Anjani?" tanya kak Philip.
"Tidak!" ucapku. Sambil mundur, sementara kak Philip tertawa. "Oh, hentikan ini semua. Aku sungguh takut ketahuan ibu kepala." pintaku.
"Anjani, lihatlah senyum anak-anak itu, mereka terlihat bahagia bisa menikmati pesta kecil-kecilan ini. Ku rasa tidak apa-apa melanggar sedikit peraturan, toh ibu kepala tidak akan tahu." ujar kak Philip.
Menatap tawa anak-anak, sebenarnya akupun ikut bahagia. Tawa yang telah lama tidak lepas sebab peraturan yang sangat ketat di panti ini. Sehingga kami seperti robot yang kaku.
Ibu kepala sengaja membuat peraturan yang sangat ketat dengan alasan semua anak-anak asuhnya perempuan. Ia ingin melindungi kami dari kerasnya dunia. Itulah sebabnya kami harus mematuhi peraturan yang dibuat.
Lagipula ia suka ketertiban. Kalau tidak mau tertib maka kamu harus siap dihukum!
"Ayo Kak Anjani ... Kak Philip, kita menari!" Amanda menarik tanganku, sementara teman-temannya menarik tangan kak Philip.
Awalnya aku menolak, tetapi ketika mataku menatap mereka yang terus saja tertawa lepas, akhirnya ku putuskan ikut bergabung. Menikmati keceriaan yang belum tentu dapat kami ulangi kembali.
Bersama Amanda aku berputar-putar. Sesekali kami bertepuk tangan. Mencoba mengikuti irama musik secara asal.
Saat aku ingin berputar entah untuk yang beberapa kalinya, mataku menangkap sosok ibu kepala tengah berdiri di depan pintu masuk. Sedangkan Diana, keponakannya, persis di sebelah ibu kepala.
"Habislah kami." batinku. Ingin memberi kode pada orang-orang, tetapi mereka sibuk dalam tawa. "Psttt, ada Ibu Kepala!" aku berkata lirih, nyaris tidak terdengar.
Diana maju, ia memencet bel yang ada di dekat pintu masuk sehingga membuat orang-orang yang ada dalam ruangan berhenti.
"Ibu Kepala!" ucap mereka.
Wajah yang tadinya ceria berubah pias. Ada yang menundukkan kepalanya, ada yang bersembunyi di balik temannya, ada juga yang hampir menangis karena ketakutan. Yao, sebegitu mengerikannya ibu kepala di mata kami.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya ibu kepala, sambil menggebrak meja dengan tongkatnya.
"Ibu Kepala ...," panggil bibi Desi.
"Desi, siapa yang mengizinkan kalian membuat pesta di panti ini? Siapa juga yang mengizinkan orang asing masuk ke sini?" tanya ibu kepala dengan nada tinggi.
"Maafkan saya ibu kepala, ini semua pesta ulang tahun saya. Saya yang ...." aku langsung maju sebelum bibi Desi semakin dimarahi.
"Kamu lagi!" ibu kepala menatapku tajam.
"Maaf Ibu Kepala, saya ...." aku bermaksud hendak membela diri, tapi langsung dipotong oleh ibu kepala.
"Anjani, temui aku di kantor. Dan kau Desi, segera rapikan ruangan ini, juga jangan izinkan orang asing masuk ke sini!" ibu kepala menyindir keberadaan kak Philip.
"Maaf Ibu Tessa, saya ...." kak Philip ingin bicara.
"Sekarang bukan jam bertamu. Silakan tinggalkan tempat ini." ibu kepala mengusir kak Philip. Lalu ia berlalu menuju kantor.
"Dasar pembuat masalah!" cetus Diana. Sambil tersenyum penuh kemenangan sebab ia tahu setelah ini akan ada hukuman berat untukku.
Setelah ibu kepala dan Desi pergi, aku meminta kak Philip untuk meninggalkan panti agar tak ada masalah baru. Ia sempat menolak sebab mau bertanggung jawab karena masalah ini terjadi disebabkan dirinya.
"Anjani, aku yang akan bicara pada ibu kepala. Kalaupun ia mau marah, akulah yang harus dihukum, bukan kamu." kata kak Philip.
"Jangan kak, pergilah. Kakak memaksa masuk dan bicara dengan ibu kepala justru akan jadi masalah baru. Kakak nggak lupa kan bagaimana karakter ibu kepala? Ia tak suka urusan panti dicampuri oleh orang lain. Mengerti, kan?" kataku. Sembari memohon agar ia mau pergi.
Bibi Desi juga ikut meyakinkan kak Philip sehingga meski berat akhirnnya ia pergi juga.
"Maafkan aku Anjani, aku benar-benar menyesal sudah membuatmu dalam masalah seperti ini. Aku berhutang maaf padamu!" ia terlihat begitu menyesal.
"Tak apa kak, aku akan baik-baik saja. Kakak tahu, kan, aku adalah anak yang paling sering dihukum." aku mencoba bersikap biasa meski sebenarnya jantung dag Dig dug.
"Baiklah. Aku pergi." ia menunduk, berlalu meninggalkan kami.
"Heh Anjani, cepat ke sini. Kau mau membuat ini kepala menunggu berapa lama lagi?" Desi keluar dari kantor sembari berteriak agar aku bergegas. "Habis kamu Anjani!"
"Ya Tuhan, anak itu seperti monster kecil yang tak punya hati saja. Pada teman sendiri tega seperti itu." ungkap bibi Desi melihat tingkah Diana.
Kemudian barulah aku menuju ruang pimpinan panti asuhan ini, sementara bibi Desi dan anak-anak lainnya bersegera membersihkan sisa-sisa pesta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments