Prakkk. Suara kayu dipatahkan. Senyumku langsung terkembang menyaksikan matahari yang masuk lewat lubang tersebut. Cahayanya menyinari bagian gudang sehingga tidak gelap lagi. Kini, tampak nyata kondisi gudang yang berantakan. Jauh lebih menyeramkan dari pada dahulu.
Konon, kata bibi Desi, gudang ini dahulu adalah ruang tempat memasung orang-orang yang kehilangan ingatan dan suka membuat onar. Mereka sengaja di tempatkan agak jauh dari pemukiman warga, bersebelahan dengan kebun kopi agar teriakannya tidak mengganggu masyarakat.
Dulu, ada salah seorang pasiennya yang sampai meninggal di sini karena tidak terurus. Makanya tempat ini ditutup. Pasien yang lain dipindahkan ke rumah sakit jiwa di Kabupaten, tempat pemasungan ini tidak lagi dipakai, dihibahkan untuk panti. Sayangnya, bangunan yang sudah rapih dan agak jauh dari gedung utama panti membuatnya tidak terpakai, hanya dijadikan tempat penyimpanan barang-barang yang sudah tidak terpakai.
"Aku tidak takut hantu. Aku tidak takut tikus. Aku tidak takut kecoa. Aku tidak takut gelap. Aku hanya takut kelaparan!" kataku, membaca mantra untuk mengusir ketakutan.
Perlahan aku mulai bergerak, hendak menyicil membersihkan barang-barang yang sangat berantakan. Tapi, ketika aku hendak mendorong kursi yang sudah protein, tiba-tiba dari dalam lubang busanya keluar anak-anak tikus yang masih kecil-kecil. Mereka berlarian kucar-kacir. Membuatku geli dan spontan berteriak.
"Ayah ... Ibu!" aku menepi ke pojok ruangan, sambil berusaha mengusir anak tikus yang tidak sengaja mendekat.
Rasa takut itu mulai datang, seperti ketika pertama ibu kepala memasukkanku ke sini. Aku ingin pulang!
***
Semua nyaris sempurna, saat aku masih bersama ayah dan ibu. Kami hidup di rumah besar. Aku merasa semua orang sayang padaku. Ayah, ibu, bibi Heni yang mengasuhku semenjak bayi, ibu guru Jingga, kedua sahabatku Dino dan Felli juga teman-teman lainnya di sekolah.
Semua mulai berubah saat usiaku genap tujuh tahun. Ketika itu tengah istirahat, di taman belakang, aku duduk sendiri, lalu berdoa kepada Allah agar diberikan seorang kakek seperti kakeknya Dino dan Felli yang sangat baik serta sering memberikan hadiah.
Aku memang iri pada kedua sahabatku itu, mereka punya kakek yang selalu menuruti semua keinginannya. Bahkan, kakeknya Dino dan Felli sering membelikan dua kotak es krim ukuran besar. Padahal, kalau bersama ibu, hanya diizinkan makan satu kotak.
Selain itu, kakeknya sahabatku juga suka membacakan cerita sebelum mereka tidur. Suka mengajak jalan-jalan sore, menggendong keliling taman perumahan dan memberikan hadiah-hadiah lucu.
"Anjani janji ya Allah, kalau punya Kakek, Anjani akan menyayangi Kakek, juga menuruti semua keinginannya. Beri Anjani Kakek ya Allah!" pintaku lagi.
Usai berdoa, kurasakan semua mulai berubah. Untuk pertama kalinya, di malam hari, ku dengar ayah dan ibu bertengkar. Ibu berteriak keras sambil menangis. Karena penasaran, aku keluar dari kamar yang berada persis di samping kamar ayah dan ibu.
Dari pintu kamar yang sedikit terbuka, kulihat ayah dan ibu berdiri berhadapan. Ibu menunjuk-nunjuk wajah ayah sambil marah-marah.
"Aku benar-benar menyesal menikah denganmu. Harusnya kuturuti apa yang dikatakan ayahku. Kau tak akan pernah bisa membuatku bahagia!" kata ibu, sambil meneteskan air mata.
"Terus saja banggakan ayahmu. Kalian memang tidak bisa menghargai usaha orang lain!" balas ayah.
"Kamu yang tidak bisa menghargai orang lain. Kamu cuma bisa menyusahkanku seperti ibumu!"
Plak. Tangan ayah melayang ke pipi ibu, sehingga tubuh ibu terjatuh. Tangis ibu makin keras. Ia bangkit sambil memegang pipinya yang terlihat memerah.
"Kamu jahat Hans, jahat. Aku enggak sudi lagi menjadi istrimu. Aku ingin bercerai!" ibu berjalan menuju lemari, mengambil koper dari atasnya, lalu memasukkan pakaiannya secara acak-acakan.
Melihat ibu memasukkan pakaian dalam koper membuatku takut. Aku ingat sebuah sinetron yang ku tonton saat bermain ditemani bibi Heni, ketika ada seseorang yang memasukkan pakaiannya dalam koper berukuran besar sambil menangis, itu tandanya ia akan pergi jauh.
"Apakah ibu akan pergi?" tiba-tiba aku sangat takut jika itu terjadi sehingga tanpa sadar aku masuk ke kamar. "Ibu!" panggilku.
"Anjani." kata ayah dan ibu secara serentak.
"Anjani belum tidur?" tanya ibu, sambil menyeka sisa air matanya.
"Ibu mau kemana?" tanyaku.
"Kita akan pergi dari rumah ini, Anjani!" kata ibu, sambil memegang tanganku.
"Siapa bilang. Kalau kau mau pergi, silakan. Tetapi Anjani tetap di sini!" ayah menarikku secara sigap.
"Enggak. Anjani ikut denganku!" sentak ibu.
"Pergi dan jangan pernah muncul lagi di rumah ini!" ayah mengusir ibu.
"Anjani!" ibu berusaha mengambilku.
Ayah tetap mengelakkanku dari ibu. Ia bahkan menyuruh bibi Heni membawaku masuk ke kamar, sementara itu suara ibu terdengar semakin jauh.
"Ibu ... ibu ... Anjani mau sama ibu!" panggilku dengan air mata berlinang.
Bibi Heni mengatakan bahwa ibu telah pergi. Ia tak akan kembali, karena itu aku diminta tidur dan tidak memanggil ibu lagi.
"Nona Anjani, tidurlah. Hari sudah malam. Besok nona harus sekolah!" ungkap bibi Heni, sambil mematikan lampu kamarku.
Apakah benar ibu pergi dan tidak akan kembali lagi? Tapi mengapa? Ibukan sudah janji tidak akan meninggalkan ku. Lalu mengapa ayah dan ibu bertengkar? Bukankah selama ini mereka saling menyayangi?
***
Sudah tiga hari sejak kepergian ibu. Aku tidak mau kemana-mana. Hanya berbaring di atas tempat tidur. Bibi Heni bahkan sampai kebingungan membujuk sebab selain tidak mau turun dari tempat tidur, aku juga tidak mau makan dan berangkat sekolah. Hanya menangis sambil memanggil ibu.
Pagi ini, ayah masuk ke kamar. Ia membawakan nasi goreng dan susu coklat. "Dengar Anjani, Ayah tidak mau melihatmu seperti ini. Mulai sekarang, kau tidak boleh lagi menyebut nama Ibu karena ia sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi. Di rumah ini hanya ada kamu dan Ayah. Kalau kau tetap ngambek, mogok makan dan sekolah seperti ini, Ayah bisa sedih. Kau mau Ayah sedih?" tanya ayah.
Aku menggelengkan kepala. Tentu saja aku tidak ingin melihat ayah sedih sebab aku juga menyayanginya, sama banyaknya dengan sayangku untuk ibu.
"Kalau begitu, sarapan lah. Lalu bersiap ke sekolah. Ayah yang akan mengantarmu. Oke?" kata ayah.
"Lalu ibu?" tanyaku.
"Anjani, ingat yang Ayah katakan tadi, jangan lagi menyebut ibu. Mengerti?"
"Tapi Ayah ...."
"Tidak pakai tapi-tapi, Anjani. Ibu sudah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi."
Sepasang mataku terus menatap ayah. Apakah benar ibu tidak akan kembali lagi. Kenapa? Apa ibu tidak sayang padaku dan ayah lagi? Apa ibu tidak merindukan kami seperti dulu saat ibu pergi untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari, ibu bilang sangat merindukanku dan ayah.
"Ayah, Anjani sayang Ayah!" kataku. "Juga sayang Ibu." bisikku dalam hati. "Anjani tidak akan membuat Ayah sedih, tapi jangan tinggalkan Anjani." pintaku, dengan mata berkaca-kaca.
"Tentu saja nak, Ayah tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Ayah sangat menyayangimu!" ayah membalas pelukanku.
Mataku langsung basah, padahal aku sudah berusaha menahan agar tidak menangis sebab aku tidak ingin melihat ayah sedih. Aku sangat menyayangi ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments