Berada di ruangan ini terasa sangat mencekam sekali. Apalagi mendapatkan tatapan tajam dari dua pasang mata milik ibu kepala dan Diana, anak panti yang mengaku sebagai keponakan ibu kepala dan selalu membuntuti kemanapun pimpinan panti ini pergi.
"Siapa yang mengizinkanmu membuat pesta di panti ini?" tanya ibu kepala, saat mulai mengadiliku.
"Maafkan saya Ibu Kepala karena sudah lancang, tetapi saya melihat anak-anak senang dengan pesta ini, makanya saya membiarkan pesta tetap berlangsung." kataku.
"Jadi kamu mau menyalahkan anak-anak lain juga?"
Bukan begitu, Ibu, tapi ...."
"Sudah berapa kali saya katakan, jangan membuat masalah Anjani. Tetapi kamu tetap saja berulah. Kau juga memasukkan laki-laki ke panti ini tanpa izin. Kau mau memberi contoh buruk ya pada adik-adikmu yang masih kecil?"
"Maafkan saya ibu kepala. Saya tidak bermaksud seperti itu."
"Lalu kau mau apa, Anjani? Harus bagaimana lagi agar kamu bisa mengerti? Kamu bukan anak kecil lagi Anjani. Saya bahkan sampai lelah menghukum mu!"
"Tetapi Anjani harus mendapatkan hukuman, Ibu," cetus Diana, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan di samping ibu kepala.
"Kenapa kamu ikut bicara?" ibu kepala memang tidak terlalu suka jika ada orang yang bersikap tidak sopan, termasuk menyela pembicaraan. "Sungguh tidak sopan sekali."
"Maaf Ibu Kepala, maksud saya baik," Diana menundukkan kepalanya.
"Maksud yang baik kalau tidak diiringi dengan tindakan yang baik tetap saja jadi buruk," ungkap ibu kepala.
"Maaf Ibu Kepala, saya akan memperbaiki sikap." kata Diana.
"Sekarang kamu mau apa, Anjani?" ibu kepala beralih kembali padaku.
"Saya hanya ingin membuat anak-anak senang, Ibu Kepala." jawabku.
"Tapi dengan cara yang salah! Harusnya beri mereka contoh yang baik. Panti sudah mengalami banyak masalah, jangan ditambah lagi." ungkap ibu kepala.
"Maaf Ibu Kepala." aku menyesal.
"Sebenarnya saya sedang lelah, tapi kamu malah membuat masalah." ibu kepala geleng-geleng kepala. "Diana, kamu saja yang menberitahu Anjani." perintah ibu kepala.
"Apa, saya Ibu Kepala?" Diana terlihat berbinar.
"Kenapa, kamu tidak mau?" tanya ibu kepala.
"Oh, dengan senang hati akan saya lakukan Ibu Kepala!" Diana beralih menatapku, sepasang matanya seolah menyiratkan sebuah rencana jahat yang menyeramkan untukku. "Saya akan mengajarkan Anjani agar kedepannya ia tidak membuat masalah lagi."
"Tidak Ibu Kepala ... jangan biarkan Diana memberiku hukuman!" hatiku berteriak kencang membayangkan rencana buruk apa yang akan dilakukannya padaku.
"Anjani, ayo ikut aku!" panggil Diana, sambil tersenyum licik.
"Habislah aku!" ucapku, lirih.
Kami berdua keluar dari ruang ibu kepala. Diana jalan duluan, aku menyusul. Bibi Desi dan anak-anak menatapku penuh tanda tanya. Meskipun khawatir, tetapi aku tetap berusaha tenang.
"Anjani, kau tidak apa-apa, kan? Ibu Kepala tidak memberi hukuman, kan? Apa perlu Bibi bicara pada Ibu Kepala kalau ini semua salah Bibi?" kata bibi Desi yang merasa bersalah sebab tidak mengindahkan kata-kataku tadi untuk mengakhiri pesta.
"Tidak apa-apa, Bibi. Ibu Kepala tidak memberikan hukuman apapun, hanya meminta Diana untuk mengajariku." aku mencoba bersikap santai, meski sebenarnya ngeri juga dengan rencana Diana.
"Hai Anjani, mau berapa lama lagi bicara di sana?" Diana memintaku untuk segera mengikutinya.
"Iya." kataku. "Bi, aku pergi dulu." setengah berlari aku menyusul langkah Diana. "Kita mau kemana?" tanyaku.
"Jangan cerewet, ikuti aku atau kau akan dapat masalah!" Diana terus berjalan menuju ke belakang panti, aku mengikuti dari belakang. Ketika ia berhenti di depan gudang yang letaknya terpisah dengan gedung, aku langsung was-was.
"Masuk dan bersihkan gudang ini. Jangan keluar sebelum semuanya beres!" Diana menarik tanganku, lalu mendorong tubuhku ke dalam gudang hingga aku jatuh tersungkur ke lantai sebab tenaga Diana lebih besar dibandingkan aku. Ya, badannya dua kali badanku.
"Aaaaaaa, sakit!" kataku, sambil meringis memegang tangan yang perih membentur lantai.
"Tidak usah sok manja. Kau ini hanya anak panti. Anak yang dibuang, jangan berlagak seolah putri raja!" ucap Diana dengan nada sinis. "Sekarang kerjakan semua ini, jangan harap bisa keluar kalau gudang ini tidak beres. Mengerti!" ancam Diana.
"Kau ini kenapa kejam sekali,"
"Karena aku tidak suka melihatmu!"
"Tapi kenapa? Aku tidak pernah berbuat salah duluan padamu."
"Kau masih bertanya apa salahmu? Pikir Anjani. Kau ini pembawa masalah di hidupku!" seperti biasanya, Diana pun mengomeliku. Mengatakan hal-hal yang tidak ku pahami karena sejak awal aku memang tidak tahu mengapa ia begitu membenciku.
Awalnya aku sangat terganggu dengan sikap Diana yang secara terang-terangan memusuhiku. Tetapi lama-kelamaan aku kenal juga hingga tidak terlalu mengambil hati apa yang ia lakukan.
Padahal, di awal ku harap bisa menjadi teman Diana sebab usia kami hanya terpaut tiga tahun, tetapi ketika ia memberi jarak yang begitu besar, harapan itu perlahan ku hapus.
"Mulailah bekerja Anjani. Aku sudah tidak sabar mengabari Mega tentang kondisimu saat ini. Ia pasti senang sekali mendengar cerita kalau kau sekarang berada di gudang yang gelap, kotor dan pengab bersama tikus-tikus dan kecoa karena memang di sinilah tempat yang cocok untukmu!" kata Diana sambil tertawa terbahak-bahak.
Pintu gudang dikunci oleh Diana. Gudang langsung gelap karena pintu itu satu-satunya sumber cahaya. Segera saja aku bangkit, menggedor pintu agar segera dibukakan.
"Diana, jangan seperti itu, kenapa pintunya dikunci? Aku tak berani ditempat yang gelap. Tolong buka Diana!" aku berteriak histeris karena takut
"Bereskan dulu gudangnya, nanti akan kubuka kan!" kata Diana. Tak lama terdengar langkahnya kian menjauh, ia pasti meninggalkanku sendiri di sini.
Meskipun ini bukan pertama kalinya aku dikurung di gudang ini, tapi, berada di sini tetap saja menakutkan. Tidak ada cahaya sama sekali, sementara debu di mana-mana. Begitu juga tikus dan kecoa yang lalu-lalang.
Saat usiaku tujuh tahun, baru beberapa hari di panti, ibu kepala pernah mengunciku di sini karena sebuah kesalahpahaman. Aku benar-benar ketakutan, berteriak agar dibukakan, tetapi tidak ada yang membantuku.
"Aaaaaaa ...." aku menjerit ketika seekor tikus menyenggol kakiku. Cepat-cepat aku menepi, tetapi lagi-lagi binatang mencicit itu terus mengganggu.
Mungkin Diana tidak akan pernah membukakan pintu untuk selamanya. Aku tidak akan bisa membersihkan jika keadaannya gelap begini. Apalagi banyak tikus dan kecoa. Sepertinya populasi binatang itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan saat pertama kali aku di sini.
Tiba-tiba ingatanku tertuju pada sesuatu yang berada di bagian belakang gudang. Pelan-pelan aku melangkah, berusaha menghindari tikus dan kecoa agar tidak bertabrakan lagi dengan berjalan sambil menghentakkan kaki. Cara ini cukup efektif karena sudah lebih dari lima langkah, jalanku aman.
Sampai di tempat yang ku perkirakan. Tanganku bergerak hati-hati mencari bagian dinding yang dahulu berlubang. Ketemu. Aku sangat yakin inilah tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments