Rindu Ibu

Hari ketujuh setelah ibu pergi meninggalkan rumah. Aku mulai masuk sekolah, teman-teman sekelas terutama Dino dan Felli langsung menyambut hangat. Mereka mengajakku bermain bersama, bahkan Felli sudah menyiapkan satu batang coklat sebagai hadiah untukku.

Saat jam istirahat, Felli, Dila dan Nasya mengajakku main ayunan bersama. Tiba-tiba Dila membuka pembicaraan.

"Anjani, kata Mamaku, ibumu sudah pergi dari rumah, ya?" tanya Dila. "Bibi pengasuh kamu yang cerita."

"Pergi bagaimana, Dil?" Nasya ikut bertanya.

"Ayah dan Ibunya Anjani kan bertengkar, lalu Ibunya pergi meninggalkan rumah untuk selamanya. Sepertinya mereka akan berpisah. Iya kan, Anjani?" Dila kembali bertanya.

"Kalau ayah dan ibunya Anjani berpisah, berarti sebentar lagi Anjani akan punya ayah dan ibu tiri." ungkap Nasya.

"Kenapa begitu?" kini Felli ikut bicara.

"Orang-orang dewasa, kalau sudah berpisah dengan pasangannya memang akan begitu. Mereka akan mencari pasangan lain. Sama seperti Om dan Tanteku. Saat mereka menikah lagi dengan orang baru, anak-anak mereka tidak akan diperhatikan lagi. Mereka akan terbuang bahkan dilupakan!" Nasya bicara dengan antusias.

"Tidak. Ayah dan Ibu tidak akan melupakanku!" kataku, sambil bangkit dari ayunan.

"Aku tidak bohong Anjani. Seperti itukah orang-orang dewasa. Makanya aku selalu berdoa agar Papa dan Mamaku tidak bertengkar!" Nasya menerangkan.

"Tenang saja Anjani, Ayah dan Ibumu kan sangat sayang padamu." Felli menenangkanku.

"Kalau tidak percaya, tunggu saja nanti. Lihat, Anjani, apa setelah pergi Ibumu sudah pernah menelepon? Ia pasti sudah melupakanmu dan Ayahmu pun juga akan begitu!" Nasya terus menjelaskan apa yang ia tahu tentang perpisahan.

"Tidak Nasya, itu tidak benar!" aku benar-benar kesal pada Nasya. Kutinggalkan mereka bertiga, lalu lari ke taman belakang sekolah untuk menangis.

Ibu dan ayah tidak akan punya pasangan lain. Mereka akan selalu menyayangiku. Ibu juga pasti akan segera pulang.

Air mataku kian deras, takut kalau semua yang dikatakan Nasya itu benar. Lalu bagaimana aku nantinya?

Sedang duduk termenung, sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namaku.

"Anjani!" suara yang sudah tidak asing di telingaku.

"Ibu?" aku hampir melonjak melihat ibu sedang bersembunyi di balik pohon jambu.

"Kemarilah Anjani," panggil ibu lagi.

"Ibu kemana saja? Mengapa tidak pulang ke rumah? Anjani kangen!" kataku, lalu merapat dalam pelukan ibu.

"Anjani, ibu juga kangen. Anjani sehat, kan?"

"Iya Bu, tapi Anjani kehilangan selera makan karena di rumah sudah tidak ada Ibu."

"Maafkan Ibu sayang," kembali ibu memelukku.

"Ibu kemana saja? Anjani mencari Ibu."

"Maafkan Ibu baru bisa menemuinya sekarang. Dari kemarin-kemarin Ibu mencari cara agar bisa bertemu."

"Kenapa Ibu tidak pulang saja?"

"Ibu tidak bisa sayang,"

"Apa Ayah dan Ibu akan berpisah?"

"Anjani, dengarkan Ibu. Apa Anjani sayang Ibu?" .

"Hmm," aku menganggukkan kepala.

"Kalau begitu ayo kita pergi."

"Kemana?"

"Kita ke rumah Kakekmu."

"Kakek? Anjani punya Kakek, Bu?"

"Iya,"

"Ayo Bu. Anjani mau bertemu Kakek!" seketika aku melupakan tentang perpisahan ayah dan ibu. Pikiranku tertuju pada kakek. Aku baru tahu kalau ternyata juga punya kakek. Berarti Tuhan mengabulkan doaku.

Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kakek. Aku ingin tahu, seperti apa wajah kakek. Apakah nanti kakek akan seperti kakeknya Dino yang suka membelikan mainan, atau seperti kakeknya Felli yang suka mentraktir es krim.

"Kalau begitu ayo kita pergi sekarang!" ibu mengajakku pergi dari sekolah. Kami tidak memberitahu siapapun. Ibu menyetop taksi agak jauh dari sekolah, lalu kami pergi menuju bandara.

"Bu, apa kita tidak mengajak Ayah?" tanyaku.

"Tidak usah Anjani. Kita pergi berdua saja!"

"Kenapa Bu?"

"Nanti kita bicarakan, ya." ibu bergegas mengajakku turun dari taksi ketika sudah sampai di pintu keberangkatan dalam negeri.

Di bandara, ibu memintaku duduk di kursi pengunjung, sementara beliau pergi mengurus segala hal yang berkaitan dengan keberangkatan kami.

Tiga puluh menit kemudian, kami sudah berada di dalam pesawat Garuda Indonesia, penerbangan menuju Padang.

Ketika pesawat mulai terbang, aku sudah membayangkan pertemuan dengan kakek nantinya. Banyak tanya yang bermunculan. Andai aku tahu dari dulu bahwa masih punya kakek, mungkin akan ku persiapkan pertemuan kami ini. Aku bisa minta tolong ayah atau ibu untuk membelikan kado yang disukai kakek.

Pesawat sudah mulai stabil terbang di udara. Mataku mulai beralih menatap langit yang berwarna biru. Indah sekali. Setiap melakukan penerbangan, hal yang paling menarik perhatianku adalah ketika kami berada di udara. Alangkah menyenangkannya bermain di atas, awan pasti sangat lembut sekali. Saking asyiknya menikmati pemandangan langit, mataku mulai terpejam, lelap dalam tidur.

***

"Anjani, pulang, Nak. Ayah rindu!" panggil ayah dari bawah saat aku dan ibu terbang di atas langit.

Wajah Ayah tampak murung saat aku dan ibu tidak kunjung turun, malah terbang semakin jauh. Akupun iba melihat ayah seperti itu.

"Bu, ayo kita pulang!" kataku, pada ibu. Meskipun suka berada di atas langit, tetapi rasanya ada yang kurang saat berjauhan dari ayah.

"Tidak usah Anjani, kita di sini saja!" ibu berkata tegas.

"Tapi Anjani mau ketemu Ayah. Kasihan Ayah, Bu. Tidak ada yang menemani." rengekku.

"Kalau Anjani mau pergi dengan Ayah. Anjani tidak boleh bertemu dengan Ibu lagi." kata ibu.

"Kenapa begitu? Anjani maunya sama Ayah dan Ibu. Seperti dulu lagi," rengekku.

"Tidak bisa Anjani, kamu harus memilih. Ayah atau Ibu." kini ibu memintaku untuk memilih.

Aku menggelengkan kepala. Tidak bisa menjawab pertanyaan ayah dan ibu. Jangan-jangan benar yang dikatakan Nasya, ayah dan ibu berpisah. Masing-masing akan punya kehidupan baru, lalu nanti aku akan tertinggal sendiri. Air mataku langsung menetes.

"Ibu, Anjani mau sama Ayah dan Ibu!" pintaku.

"Tidak bisa Anjani, kamu harus memilih, Nak," ulang ibu lagi.

"Tapi Anjani hanya mau sama Ayah dan Ibu!" aku kembali merengek. "Dulu kan kita selalu bersama-sama, kenapa tidak begitu saja terus untuk selamanya?"

"Kalau begitu kamu tinggal di sini saja!" ibu melepaskan pegangannya dariku, lalu perlahan pergi meninggalkanku.

"Bu, jangan pergi!" teriakku.

Sementara di bawah, ayah yang tadinya menanti, ikut menjauh pergi. Semakin lama ayah pun makin menjauh, lalu tidak terlihat lagi.

"Jangan tinggalkan Anjani. Ayah ... Ibu!" aku mulai panik saat netraku tidak bisa menemukan sosok ayah dan ibu. Air mataku semakin deras, bingung harus mengejar siapa. Ayah atau ibu?

Lama-lama, langit yang berwarna biru berubah menjadi gelap. Aku semakin keras memanggil ayah dan ibu, tetapi tidak ada juga yang muncul. Mondar-mandir aku berlari ke arah ibu, laku turun ke tempat tadi ayah berdiri. Hasilnya nihil. Mereka berdua benar-benar telah pergi, mereka meninggalkan aku sendirian di sini.

Bagaimana ini? Aku harus melakukan apa? Aku tidak tahu jalan pulang, sementara hari sudah sempurna gelap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!