Minggu pagi, di Alahan Panjang, nagari dingin tidak bersalju di Kecamatan Lembah Gumanti, aku bersama hampir sebagian besar penduduk tengah memadati pasar untuk membeli keperluan selama sepekan sebab di sini pasar besar hanya buka sekali sepekan.
Sambil membaca kertas berisi catatan belanjaan keperluan panti yang sudah ditulis bibi Desi, pengasuh panti, tempatku tinggal saat ini. Aku menyelip di antara para pengunjung yang semakin ramai.
Senang sekali rasanya bisa memilih sayuran yang masih segar-segar, hasil kebun petani setempat. Memang, sebagian penduduk berkebun sayuran, cabe, bawang dan tomat. Harga yang mereka berikan pun tergolong sangat murah dibandingkan daerah lainnya.
Baru separuh catatan yang berhasil kubeli. Tiba-tiba muncul seorang anak yang juga tinggal di panti bersamaku. Amanda namanya. Bocah delapan tahun yang terkenal usil. Tiba-tiba ia menarikku dari keramaian, lalu memberi kabar kalau bibi Desi pingsan.
"Pingsan kenapa?" tanyaku.
Bukannya menjawab, Amanda malah berlari, menghilang dari hadapanku. Sontak akupun bergegas pulang, meskipun belanjaan belum selesai.
Segera ku ambil sepeda tua milik panti yang kutitipkan di depan toko sembako, tempat kami biasa membeli beras dan minyak dengan harga miring, sebab pemiliknya adalah salah seorang dermawan yang juga donatur tetap di panti.
"Anjani, mau kemana?" tanya paman Wili, pemilik toko.
"Mau pulang, paman. Bibi Desi pingsan!" seruku, dari atas sepeda. Setelah itu tidak terdengar lagi apa yang ia katakan karena aku langsung mengayuh sepeda secepat mungkin, membiarkan kerudung berwarna merah tua melambai ditiup angin.
Sepeda terus melaju melewati jalan setapak menuju panti. Susah payah aku menyeimbangkan jalannya, agar barang bekanjaanku tidak terjatuh. Saking cepatnya, beberapa kali aku hampir menabrak pejalan kaki.
"Maaf paman, bibi!" kataku, sambil terus berlalu. Sementara yang kulewati terdengar mengomel karena kaget.
Laju sepeda mulai pelan, lalu berhenti tepat di depan panti. Langsung saja aku turun, memarkir dengan asal, kemudian masuk ke dalam.
Ruang depan tempat menerima tamu kosong. Lorong tempat anak-anak bermain pun kosong. Lima kamar tidur juga kosong. Tidak ada seorangpun yang bisa kutemui. Kemana mereka semua?
Sambil berpikir, kuhempaskan tubuh di atas sofa butut tempat ibu kepala panti menerima tamu. Ada rasa sesal di hati, harusnya tadi kutanya Amanda kondisi bibi Desi.
Tadi pagi, saat kutinggalkan, bibi baik-baik saja. Seingatnya, bibi Desi memang tidak punya penyakit yang berbahaya, apalagi pernah pingsan. Bibi tergolong sehat. Palingan hanya sakit kepala biasa karena terlalu lelah bekerja mengurus panti.
"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun!" tiba-tiba, anak-anak keluar diikuti bibi Desi dan seorang pemuda yang membawa kue tart coklat dengan lilin angka dua puluh di atasnya.
"Bibi!" pekikku. "Bagaimana keadaan Bibi? Tadi kata Amanda Bibi pingsan. Bibi sudah baikan? Mana yang sakit?" aku langsung menghampiri bibi, sambil mengecek kondisi bibi.
"Ya ampun, Anjani, tenang sedikit. Bibi baik-baik saja. Memangnya kamu kira Bibi sakit apa? Aku ini perempuan yang kuat, tak akan semudah itu tumbang!" cetus bibi Desi, sambil mencubit pipiku.
"Tadi kata Amanda," aku menunjuk gadis kecil yang kini berada di samping bibi Desi. "Kamu bohongin kakak?" kini aku menatapnya dengan kesal. Rasanya tidak percaya, gadis kecil sepertinya sudah bisa berbohong. Padahal bibi sudah mengajari kami agar menjadi pribadi yang baik, salah satunya tidak boleh berbohong. "Siapa yang mengajarimu bohong?"
"Duh, Kak Anjani. Bukan aku. Tapi aku disuruh bibi dan kak Philip," telunjuk Amanda tertuju pada lelaki yang kepulangannya selalu ku nantikan.
"Bibi, kak Philip?" aku geleng-geleng kepala.
"Ini semua murni ide Philip. Bibi hanya membantu merealisasikan!" bibi Desi membela diri.
"Sudah, kalau mau marah nanti saja. Sekarang tiup lilinnya dulu. Anak-anak sudah menanti. Mereka ingin merasakan kuenya." sanggah kak Philip.
"Nggak mau. Kalia. sudah membohongi aku. Lagian ini bukan kebiasaan kita. Ulang tahun, tiup lilin dan pesta ini!" aku melihat ke sekeliling dan baru menyadari kalau ruangan ini dihias balin serta pita warna-warni.
"Anjani, kamu tega sekali. Adik-adikmu sudah ngiler tuh." bibi Desi menunjuk anak-anak panti.
Saat melihat anak-anak yang menatapku penuh harap. Aku mengikuti kata-kata kak Philip, meniup lilin, lalu menyerahkan pada bibi Desi agar dibagikan pada anak-anak.
"Selamat ulang tahun Anjani!" ucap kak Philip. Saat kami berdiri di pojok ruangan sambil melihat tingkah anak-anak yang kegirangan mendapatkan potongan kue dengan ukuran cukup besar. "Aku tidak menyangka, sekarang usiamu dua puluh tahun. Berarti sudah tiga belas tahun aku mengenalmu, ku harap kau terus menjadi pribadi yang lebih baik."
"Terimakasih Kak," mataku masih tertuju pada anak-anak. "Oh ya, kapan Kakak sampai? Kenapa tidak memberitahu kalau Kakak pulang? Ku kira masih dua pekan lagi." aku mencoba mengingat pesan-pesan yang dikirim Kak Philip lewat email.
"Aku memang sengaja tidak memberitahu karena ingin memberi surprise."
"Ya dan aku terkejut!"
Kak Philip tertawa kecil. "Anjani, apa kau senang aku kembali?"
"Tentu saja. Kakak adalah satu-satunya teman yang aku miliki. Tapi ku dengar setelah kembali Kakak akan segera menikah. Kenapa merahasiakannya dariku?"
"Kata siapa?"
"Bibi Jeni. Kakak sudah dijodohkan dengan Mega, kan? Beberapa hari lalu bibi bercerita saat aku mengambil pakaian bekas dari rumah Kakak,"
"Lalu kau senang?"
"Kalau Kakak bahagia, kenapa tidak? Siapa tahu setelah Kakak menikahinya, kami bisa jadi teman."
"Kau dan Mega? Itu tidak akan mungkin!"
"Kenapa tidak?"
"Mega tidak menyukaimu. Aku masih ingat bagaimana ia sering mengganggumu bersama dua pengikutnya itu. Siapa nama mereka?"
"Vina dan Sisi,"
"Ya, dua gadis aneh yang tunduk sekali pada Mega."
"Mereka mengagumi Mega."
"Hah?" kak Philip menatap aneh. "Kenapa?"
"Karena Mega cantik dan kaya raya,"
"Tapi dia jahat dan aku tidak akan menikah dengannya!"
"Tapi menurutku kalian sangat cocok sekali. Kalian akan jadi pasangan yang serasi."
"Hei, sejak kapan adikku ini jadi Mak comblang?"
"Entahlah,"
"Anjani, apa kau kecewa?"
"Aku hanya tidak suka saja. Sebenarnya aku belum rela saat Mega membuatku tidak bisa sekolah lagi,"
"Maafkan aku Anjani, tidak bisa melinduimu saat itu."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku tidak pernah menyalahkan Kakak."
"Kau tahu, aku akan menikah dengan gadis yang jauh lebih cantik dari Mega. Dia juga sangat baik. Tapi agak lugu."
"Ku rasa itu tidak buruk!"
"Ya, ia memang sempurna di mataku."
"Siapa gadis itu, Kak? Kenalkan padaku. Siapa tahu kami bisa berteman."
"Tentu saja Anjani. Nanti akan ku kenalkan padamu. Kau pasti akan menyukainya!"
"Janji?"
Kak Philip menganggukkan kepalanya. Kini aku bisa lebih tenang karena ia tidak akan menikah dengan Mega.
"Anjani, aku punya hadiah untukmu." kak Philip mengeluarkan sebuah bungkusan yang ia letakkan di belakangnya. Lalu memberikannya padaku.
Sebuah bingkisan yang dibungkus dengan kertas berwarna pink muda, dengan pita senada. Waktu ku buka, ternyata isinya gaun panjang berwarna putih. Gaun yang sangat cantik sekali.
"Kak, ini pasti mahal sekali!" kataku. Mata ini tak lepas memandang gaun yang kini berada dalam genggaman. Rupanya kak Philip masih ingat tentang gaun putih yang begitu ku idam-idamkan sejak kecil.
"Kau pasti akan terlihat cantik memakainya. Gaun putih seperti yang kau impikan."
"Tapi apa aku pantas?" selama ini aku memang tidak punya pakaian bagus. Apa yang kupakai adalah baju bekas pemberian orang-orang.
Keuangan panti memang pas-pasan, hanya cukup untuk biaya makan anak-anak asuh yang terdiri dari empat puluhan anak.
"Sangat pantas sekali, Anjani. Pakailah gaun ini saat kau menikah nanti. Seperti apa yang kau impikan selama ini."
Tiba-tiba aku melihat hamparan mawar putih di atas karpet merah yang akan kulalui untuk merayakan pesta pernikahan impianku. Persis seperti saat ayah dan ibu menikah dahulu.
***
Sudah hampir pukul sebelas siang. Aku mengingatkan bibi Desi dan anak-anak agar menyudahi pesta kecil-kecilan kami. Ruangan ini harus segera dirapikan sebelum ibu kepala datang. Ia tidak akan suka melihat semua ini.
"Yah Kak, tunggu sebentar lagi. Kami masih ingin menikmati pesta ini!" celetuk Amanda yang diamini oleh anak-anak lainnya.
"Tapi Ibu Kepala bisa marah melihat semua ini," aku mengingatkan kembali peraturan yang sudah pernah ditetapkan bahwa tidak boleh ada pesta di lingkungan panti sebab kami harus belajar hidup sederhana.
"Sebentar lagi, Kak. Kami sangat suka dengan pesta ini, kan kita tidak pernah melakukan perayaan seperti ini!" Amanda terus saja berkilah.
"Apa yang dikatakan Amanda benar. Sudahlah, biarkan mereka bersenang-senang sebentar. Ibu kepala akan pulang terlambat. Tadi Bibi dengar, ada banyak tambahan donatur yang harus dikunjungi. Mungkin baru pulang sore, atau bisa juga malam. Lagi pula masih ada satu acara lagu yang harus.kita lakukan!" seru bibi Desi.
"Apa Bi?" tanya kami, serentak.
"Dansa!" bibi Desi mengangkat radio kecil yang biasanya digunakan untuk senam pagi. Dalam hitungan tiga, musik yang entah darimana didapat pun berbunyi, menghentak-hentak seluruh penjuru panti.
"Oh tidak!" kataku, tetapi semua sudah terhanyut dalam tarian yang mereka ciptakan sendiri.
"Mau berdansa, Anjani?" tanya kak Philip.
"Tidak!" ucapku. Sambil mundur, sementara kak Philip tertawa. "Oh, hentikan ini semua. Aku sungguh takut ketahuan ibu kepala." pintaku.
"Anjani, lihatlah senyum anak-anak itu, mereka terlihat bahagia bisa menikmati pesta kecil-kecilan ini. Ku rasa tidak apa-apa melanggar sedikit peraturan, toh ibu kepala tidak akan tahu." ujar kak Philip.
Menatap tawa anak-anak, sebenarnya akupun ikut bahagia. Tawa yang telah lama tidak lepas sebab peraturan yang sangat ketat di panti ini. Sehingga kami seperti robot yang kaku.
Ibu kepala sengaja membuat peraturan yang sangat ketat dengan alasan semua anak-anak asuhnya perempuan. Ia ingin melindungi kami dari kerasnya dunia. Itulah sebabnya kami harus mematuhi peraturan yang dibuat.
Lagipula ia suka ketertiban. Kalau tidak mau tertib maka kamu harus siap dihukum!
"Ayo Kak Anjani ... Kak Philip, kita menari!" Amanda menarik tanganku, sementara teman-temannya menarik tangan kak Philip.
Awalnya aku menolak, tetapi ketika mataku menatap mereka yang terus saja tertawa lepas, akhirnya ku putuskan ikut bergabung. Menikmati keceriaan yang belum tentu dapat kami ulangi kembali.
Bersama Amanda aku berputar-putar. Sesekali kami bertepuk tangan. Mencoba mengikuti irama musik secara asal.
Saat aku ingin berputar entah untuk yang beberapa kalinya, mataku menangkap sosok ibu kepala tengah berdiri di depan pintu masuk. Sedangkan Diana, keponakannya, persis di sebelah ibu kepala.
"Habislah kami." batinku. Ingin memberi kode pada orang-orang, tetapi mereka sibuk dalam tawa. "Psttt, ada Ibu Kepala!" aku berkata lirih, nyaris tidak terdengar.
Diana maju, ia memencet bel yang ada di dekat pintu masuk sehingga membuat orang-orang yang ada dalam ruangan berhenti.
"Ibu Kepala!" ucap mereka.
Wajah yang tadinya ceria berubah pias. Ada yang menundukkan kepalanya, ada yang bersembunyi di balik temannya, ada juga yang hampir menangis karena ketakutan. Yao, sebegitu mengerikannya ibu kepala di mata kami.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya ibu kepala, sambil menggebrak meja dengan tongkatnya.
"Ibu Kepala ...," panggil bibi Desi.
"Desi, siapa yang mengizinkan kalian membuat pesta di panti ini? Siapa juga yang mengizinkan orang asing masuk ke sini?" tanya ibu kepala dengan nada tinggi.
"Maafkan saya ibu kepala, ini semua pesta ulang tahun saya. Saya yang ...." aku langsung maju sebelum bibi Desi semakin dimarahi.
"Kamu lagi!" ibu kepala menatapku tajam.
"Maaf Ibu Kepala, saya ...." aku bermaksud hendak membela diri, tapi langsung dipotong oleh ibu kepala.
"Anjani, temui aku di kantor. Dan kau Desi, segera rapikan ruangan ini, juga jangan izinkan orang asing masuk ke sini!" ibu kepala menyindir keberadaan kak Philip.
"Maaf Ibu Tessa, saya ...." kak Philip ingin bicara.
"Sekarang bukan jam bertamu. Silakan tinggalkan tempat ini." ibu kepala mengusir kak Philip. Lalu ia berlalu menuju kantor.
"Dasar pembuat masalah!" cetus Diana. Sambil tersenyum penuh kemenangan sebab ia tahu setelah ini akan ada hukuman berat untukku.
Setelah ibu kepala dan Desi pergi, aku meminta kak Philip untuk meninggalkan panti agar tak ada masalah baru. Ia sempat menolak sebab mau bertanggung jawab karena masalah ini terjadi disebabkan dirinya.
"Anjani, aku yang akan bicara pada ibu kepala. Kalaupun ia mau marah, akulah yang harus dihukum, bukan kamu." kata kak Philip.
"Jangan kak, pergilah. Kakak memaksa masuk dan bicara dengan ibu kepala justru akan jadi masalah baru. Kakak nggak lupa kan bagaimana karakter ibu kepala? Ia tak suka urusan panti dicampuri oleh orang lain. Mengerti, kan?" kataku. Sembari memohon agar ia mau pergi.
Bibi Desi juga ikut meyakinkan kak Philip sehingga meski berat akhirnnya ia pergi juga.
"Maafkan aku Anjani, aku benar-benar menyesal sudah membuatmu dalam masalah seperti ini. Aku berhutang maaf padamu!" ia terlihat begitu menyesal.
"Tak apa kak, aku akan baik-baik saja. Kakak tahu, kan, aku adalah anak yang paling sering dihukum." aku mencoba bersikap biasa meski sebenarnya jantung dag Dig dug.
"Baiklah. Aku pergi." ia menunduk, berlalu meninggalkan kami.
"Heh Anjani, cepat ke sini. Kau mau membuat ini kepala menunggu berapa lama lagi?" Desi keluar dari kantor sembari berteriak agar aku bergegas. "Habis kamu Anjani!"
"Ya Tuhan, anak itu seperti monster kecil yang tak punya hati saja. Pada teman sendiri tega seperti itu." ungkap bibi Desi melihat tingkah Diana.
Kemudian barulah aku menuju ruang pimpinan panti asuhan ini, sementara bibi Desi dan anak-anak lainnya bersegera membersihkan sisa-sisa pesta.
Berada di ruangan ini terasa sangat mencekam sekali. Apalagi mendapatkan tatapan tajam dari dua pasang mata milik ibu kepala dan Diana, anak panti yang mengaku sebagai keponakan ibu kepala dan selalu membuntuti kemanapun pimpinan panti ini pergi.
"Siapa yang mengizinkanmu membuat pesta di panti ini?" tanya ibu kepala, saat mulai mengadiliku.
"Maafkan saya Ibu Kepala karena sudah lancang, tetapi saya melihat anak-anak senang dengan pesta ini, makanya saya membiarkan pesta tetap berlangsung." kataku.
"Jadi kamu mau menyalahkan anak-anak lain juga?"
Bukan begitu, Ibu, tapi ...."
"Sudah berapa kali saya katakan, jangan membuat masalah Anjani. Tetapi kamu tetap saja berulah. Kau juga memasukkan laki-laki ke panti ini tanpa izin. Kau mau memberi contoh buruk ya pada adik-adikmu yang masih kecil?"
"Maafkan saya ibu kepala. Saya tidak bermaksud seperti itu."
"Lalu kau mau apa, Anjani? Harus bagaimana lagi agar kamu bisa mengerti? Kamu bukan anak kecil lagi Anjani. Saya bahkan sampai lelah menghukum mu!"
"Tetapi Anjani harus mendapatkan hukuman, Ibu," cetus Diana, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan di samping ibu kepala.
"Kenapa kamu ikut bicara?" ibu kepala memang tidak terlalu suka jika ada orang yang bersikap tidak sopan, termasuk menyela pembicaraan. "Sungguh tidak sopan sekali."
"Maaf Ibu Kepala, maksud saya baik," Diana menundukkan kepalanya.
"Maksud yang baik kalau tidak diiringi dengan tindakan yang baik tetap saja jadi buruk," ungkap ibu kepala.
"Maaf Ibu Kepala, saya akan memperbaiki sikap." kata Diana.
"Sekarang kamu mau apa, Anjani?" ibu kepala beralih kembali padaku.
"Saya hanya ingin membuat anak-anak senang, Ibu Kepala." jawabku.
"Tapi dengan cara yang salah! Harusnya beri mereka contoh yang baik. Panti sudah mengalami banyak masalah, jangan ditambah lagi." ungkap ibu kepala.
"Maaf Ibu Kepala." aku menyesal.
"Sebenarnya saya sedang lelah, tapi kamu malah membuat masalah." ibu kepala geleng-geleng kepala. "Diana, kamu saja yang menberitahu Anjani." perintah ibu kepala.
"Apa, saya Ibu Kepala?" Diana terlihat berbinar.
"Kenapa, kamu tidak mau?" tanya ibu kepala.
"Oh, dengan senang hati akan saya lakukan Ibu Kepala!" Diana beralih menatapku, sepasang matanya seolah menyiratkan sebuah rencana jahat yang menyeramkan untukku. "Saya akan mengajarkan Anjani agar kedepannya ia tidak membuat masalah lagi."
"Tidak Ibu Kepala ... jangan biarkan Diana memberiku hukuman!" hatiku berteriak kencang membayangkan rencana buruk apa yang akan dilakukannya padaku.
"Anjani, ayo ikut aku!" panggil Diana, sambil tersenyum licik.
"Habislah aku!" ucapku, lirih.
Kami berdua keluar dari ruang ibu kepala. Diana jalan duluan, aku menyusul. Bibi Desi dan anak-anak menatapku penuh tanda tanya. Meskipun khawatir, tetapi aku tetap berusaha tenang.
"Anjani, kau tidak apa-apa, kan? Ibu Kepala tidak memberi hukuman, kan? Apa perlu Bibi bicara pada Ibu Kepala kalau ini semua salah Bibi?" kata bibi Desi yang merasa bersalah sebab tidak mengindahkan kata-kataku tadi untuk mengakhiri pesta.
"Tidak apa-apa, Bibi. Ibu Kepala tidak memberikan hukuman apapun, hanya meminta Diana untuk mengajariku." aku mencoba bersikap santai, meski sebenarnya ngeri juga dengan rencana Diana.
"Hai Anjani, mau berapa lama lagi bicara di sana?" Diana memintaku untuk segera mengikutinya.
"Iya." kataku. "Bi, aku pergi dulu." setengah berlari aku menyusul langkah Diana. "Kita mau kemana?" tanyaku.
"Jangan cerewet, ikuti aku atau kau akan dapat masalah!" Diana terus berjalan menuju ke belakang panti, aku mengikuti dari belakang. Ketika ia berhenti di depan gudang yang letaknya terpisah dengan gedung, aku langsung was-was.
"Masuk dan bersihkan gudang ini. Jangan keluar sebelum semuanya beres!" Diana menarik tanganku, lalu mendorong tubuhku ke dalam gudang hingga aku jatuh tersungkur ke lantai sebab tenaga Diana lebih besar dibandingkan aku. Ya, badannya dua kali badanku.
"Aaaaaaa, sakit!" kataku, sambil meringis memegang tangan yang perih membentur lantai.
"Tidak usah sok manja. Kau ini hanya anak panti. Anak yang dibuang, jangan berlagak seolah putri raja!" ucap Diana dengan nada sinis. "Sekarang kerjakan semua ini, jangan harap bisa keluar kalau gudang ini tidak beres. Mengerti!" ancam Diana.
"Kau ini kenapa kejam sekali,"
"Karena aku tidak suka melihatmu!"
"Tapi kenapa? Aku tidak pernah berbuat salah duluan padamu."
"Kau masih bertanya apa salahmu? Pikir Anjani. Kau ini pembawa masalah di hidupku!" seperti biasanya, Diana pun mengomeliku. Mengatakan hal-hal yang tidak ku pahami karena sejak awal aku memang tidak tahu mengapa ia begitu membenciku.
Awalnya aku sangat terganggu dengan sikap Diana yang secara terang-terangan memusuhiku. Tetapi lama-kelamaan aku kenal juga hingga tidak terlalu mengambil hati apa yang ia lakukan.
Padahal, di awal ku harap bisa menjadi teman Diana sebab usia kami hanya terpaut tiga tahun, tetapi ketika ia memberi jarak yang begitu besar, harapan itu perlahan ku hapus.
"Mulailah bekerja Anjani. Aku sudah tidak sabar mengabari Mega tentang kondisimu saat ini. Ia pasti senang sekali mendengar cerita kalau kau sekarang berada di gudang yang gelap, kotor dan pengab bersama tikus-tikus dan kecoa karena memang di sinilah tempat yang cocok untukmu!" kata Diana sambil tertawa terbahak-bahak.
Pintu gudang dikunci oleh Diana. Gudang langsung gelap karena pintu itu satu-satunya sumber cahaya. Segera saja aku bangkit, menggedor pintu agar segera dibukakan.
"Diana, jangan seperti itu, kenapa pintunya dikunci? Aku tak berani ditempat yang gelap. Tolong buka Diana!" aku berteriak histeris karena takut
"Bereskan dulu gudangnya, nanti akan kubuka kan!" kata Diana. Tak lama terdengar langkahnya kian menjauh, ia pasti meninggalkanku sendiri di sini.
Meskipun ini bukan pertama kalinya aku dikurung di gudang ini, tapi, berada di sini tetap saja menakutkan. Tidak ada cahaya sama sekali, sementara debu di mana-mana. Begitu juga tikus dan kecoa yang lalu-lalang.
Saat usiaku tujuh tahun, baru beberapa hari di panti, ibu kepala pernah mengunciku di sini karena sebuah kesalahpahaman. Aku benar-benar ketakutan, berteriak agar dibukakan, tetapi tidak ada yang membantuku.
"Aaaaaaa ...." aku menjerit ketika seekor tikus menyenggol kakiku. Cepat-cepat aku menepi, tetapi lagi-lagi binatang mencicit itu terus mengganggu.
Mungkin Diana tidak akan pernah membukakan pintu untuk selamanya. Aku tidak akan bisa membersihkan jika keadaannya gelap begini. Apalagi banyak tikus dan kecoa. Sepertinya populasi binatang itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan saat pertama kali aku di sini.
Tiba-tiba ingatanku tertuju pada sesuatu yang berada di bagian belakang gudang. Pelan-pelan aku melangkah, berusaha menghindari tikus dan kecoa agar tidak bertabrakan lagi dengan berjalan sambil menghentakkan kaki. Cara ini cukup efektif karena sudah lebih dari lima langkah, jalanku aman.
Sampai di tempat yang ku perkirakan. Tanganku bergerak hati-hati mencari bagian dinding yang dahulu berlubang. Ketemu. Aku sangat yakin inilah tempatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!