ATHAYA?
Banyak perbedaan semenjak Athaya memutuskan mengakhiri kehidupannya di ibukota. Tak ada yang merasa kehilangan pun menyesal karena telah meremehkan anak sebaik dan sepintar Athaya Richard.
Dia sering di jadikan bahan bulan bulanan oleh teman-temannya, awalnya ia merasa kalau itu wajar, karena sedari ia SD pun juga mengalami hal yang sama. Hingga suatu ketika saat dia dalam kondisi di baluri tepung oleh beberapa kakak kelasnya yang sama sekali tak ia ketahui ia langsung menyadari detik itu juga, bahwa itu semua bukanlah hal yang wajar!
Gemersik hujan dari luar membuat Athaya menarik nafas dalam-dalam. Ah! Enaknya aroma petrikor, ia langsung menyatu dengan dinginnya malam yang mungkin sebentar lagi akan membawa Athaya hingga ke alam mimpi.
Ia pernah membayangkan suatu sat nanti dirinya dengan gedisnya sedang tertawa di bawah hujan ini, entah itu siang atau malam ia tidak peduli, pokoknya yang ia pikirkan hanyalah bersenang senang dengan pujaan hatinya yang ia yakini hanya cinta monyet itu.
Kata orang-orang, seseorang yang benar-benar jatuh cinta ia akan memiliki rasa suka lebih dari empat bulan, dan Athaya rasa perasaan yang datang pada dirinya ini lebih dari itu, meski terakhir dari yang Athaya dengar dari gadis itu adalah sebuah ungkapan seakan akan dia hanya di baluri rasa kasihan pada Athaya yang sering kena omel bu Linda karena kesalahan yang tak ia lakukan.
"Sebenernya aku gak suka kamu Ath. Tapi, aku janji kok bakal jadi sahabat yang baik buat kamu," itu katanya empat tahun lalu.
Dan tahu apa yang Athaya rasakan? Athaya langsung ngomel dengan pipi tembem yang seperti tak ada serem-seremnya. Mungkin tidak untuk gadis itu. Ia langsung terdiam habis-habisan saat Athaya mengucap kata demi kata yang tak pernah keluar dari mulutnya.
Ia pergi ke Semarang tak lama setelah itu dan meninggalkan sekotak roti lapis strawberry kesukaan mantan pacarnya. Ia harap semoga dia suka kare-
"Athaya?"
Lelaki beralis tebal itu langsung menoleh, ocehan dalam kepalanya langsung berhenti, ia menipiskan bibir— tersenyum pada mamanya yang berdiri di ambang pintu dengan tumpukan kertas-kertas penting.
"Lagi apa, Nak?"
"Nggak Mah cuma nyiapin jadwal buat besok,"
"Oh, ini surat-surat kamu ya, teliti dulu ya Nak, kalau kamu masih berat gak usah dipaksain okey? Kalo udah langsung istirahat ya?"
"Oke, Mah"
Pintu itu tertutup perlahan bersamaan dengan menghilangnya wajah hangat mama.
Athaya membaca cepat beberapa lampiran kertas itu, Athaya rasa keputusannya ini benar, ia sudah harus bisa membuka diri di pergaulan yang lebih luas lagi.
Membuka kembali masa lalunya yang kelam, sudah cukup dirinya sembunyi untuk hampir 4 tahun ini, Athaya siap keluar dari zona aman.
Athaya membuka laci meja belajarnya dan menemukan cermin kecil di sana, mengarahkan cermin lingkaran itu tepat di depan wajahnya kemudian tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi-gigi nya yang rapi.
Wajar jika mamanya sedikit panik, ia pernah menangis sesenggukan di depan mamanya karena ia sering dirundung disekolah karena alasan fisik dan keluarganya yang dulu ia anggap hancur lebur.
Bagaimana tidak? Jika semua siswa sering di antar jemput oleh ayah mereka, lain halnya dengan Athaya yang mengandalkan jemputan dari sang ibu.
Dan begitu teganya ia dulu selalu menanyakan keberadaan ayahnya pada Zahra– ibunya padahal jelas-jelas sudah dikatakan kalau ayahnya itu sudah meninggal sedari Athaya kecil
Namun, masa lalu tetaplah masa lalu, mungkin bayangan itu akan kembali ada ketika nanti Athaya kembali menginjakkan kakinya di bumi Jakarta, dan mungkin saja Athaya akan menangis kembali atau malah memulai lagi yang baru dengan senyuman matahari sebagai pertanda dia sudah berbaik hati pada semuanya
"Here we go"
^^^Semarang, 28 Agustus 2022^^^
...--...
Priiiiittttt.....
Peluit panjang memekik dari arah lapangan SMA Dharma Bhakti, saat ini adalah jam olahraga bagi kelas 11 IPA 2
"Oper! Ghea jangan di kerubungin bolanya!" Pekik pak Adit-guru olahraga
"Jauhan napa Ra!kaki lo ganggu banget sumpah!"
"Lo yang mundur Kipli!"
"Opeeerrr! Jangan di rebutin kayak ikan lele gitu anjir!!" teriak Saka.
"Yoi!dasar cewek emang dah cocok main masak-masakan aja, keberatan kalo bola mah" sambung seseorang lagi, Wisnu namanya.
Dari setengah jam lalu belum ada yang mencetak angka dari kedua tim, bukan tanpa alasan, main bola pun karena suruhan dari pak Adit, buat nilai praktik katanya namun, entahlah semua tak sesuai harapan pak Adit.
Beliau pikir semua akan bisa main rapi seperti para anak laki-laki, lah ini? yang main serius cuma 4 sampai 5 orang, yang lain? Jangan ditanya sudah pasti memilih mundur atau selonjoran kaki dengan dalih mau jaga gawang dan embel-embel pasrah ya udahlah menang ya Alhamdulillah nggak ya, ya udah.
"Iva! bolanya direbut pake kaki bukannya diambil pake tangan!" Pak Adit memberitahu.
"Yah pak susah kalo sama kaki" protes Iva.
"Mending kasih bola aja pak satu satu supaya kagak rebutan" ujar Jihan-teman mereka.
"Ulangi!"
"Aelah pak, ribet amat sih, mending Iva nemenin Tari aja dari tadi" tanpa menunggu persetujuan dari pak Adit, Iva langsung melangkah cepat menuju pinggir lapangan.
"Tari!"
Orang yang dipanggil mengayunkan tangannya ke kiri kanan, menjawab sapaan hangat dari sahabatnya.
Mentari namanya, teman-teman dekatnya biasa memanggilnya Tari, ia satu kelas dengan Iva, kondisinya yang disabilitas membuatnya harus mengurungkan niat untuk olahraga bebas seperti teman-temannya.
Dan beruntungnya Tari mempunyai sahabat seperti Iva yang menemaninya disaat senang maupun susah, tak sedikit juga yang sering membicarakan kekurangan Tari, hal itu terkadang membuat dirinya merasa sedih.
Tapi ia selalu mendengarkan nasihat temannya itu "jangan overthinking gitu lah Tar, nggak semua pada nething sama lo kok, udah ga usah dipikirin sama mereka, anggap aja kentut lewat, alias nggak ada" itu katanya.
Oleh sebab itulah Tari betah bersahabat dengannya begitu pun sebaliknya, mereka kenal dari kelas 7 SMP, kurang lebih 5 tahun.
"Pegel banget gue, si Amel gila kali ya kaki gue diinjek mulu gak sadar apa badan gede,"
"Haha..udahlah nih minum dulu" Tari memberikan sebuah botol Aqua dingin pada sahabatnya itu.
"Makasih."
Priitt!!
Uhuk!uhuk!
"Ke lapangan sekarang Iva, atau bapak hukum kamu lari keliling lapangan 3 kali."pekik pak Adit dari sana.
"Yaelah si bapak nggak seneng banget liat orang istirahat"
"Udah Va, sana kelapangan pak Adit kesini tuh"
Iva menoleh dan benar saja dengan wajah angkuhnya pak Adit bersedekap tangan sambil menuju ke arah mereka.
"Sana, Va!"
"Mentari, kamu ujian praktiknya kerjakan latihan UAS bab 2 ya, teknik bola besar" ujarnya ketika udah sampai di hadapan mereka.
"Iya, Pak"
"Dan kamu Iva, balik ke lapangan se-"
Kriiiiinnngggggg
"Istirahat!!!"
Para murid yang ada di lapangan langsung berlari tunggang langgang segera berganti baju untuk kemudian mengisi perut ke kantin sekolah
"Yah udah bel Pak, buat Iva kasih nilai bagus ya Pak, mari," ia sembari menunduk sopan mengucap pada pak Adit dengan sedikit membungkuk.
"Ya udah ya udah istirahat sekarang," Pak Adit memijat pelipisnya yang terasa pusing.
"Tar, lo tungguin gue apa mau langsung ke kantin?"ucap Iva sambil membuka loker—mengambil baju seragam.
"Gue langsung ke kantin aja kali ya, cari bangku takut nggak kebagian ntar,"
"Mau gue temenin?"
"Ngapain? Nggak lo ganti baju duluan sana,"
"Ya udah hati-hati ya"
Tari mengangguk mengiyakan, sebenarnya ia agak susah untuk memajukan kursi rodanya tapi ia tak mau membuat Iva terbebani, sudah cukup ia menjadi beban untuk gadis itu.
Tujuannya adalah kantin.
...--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
@ries 07
titik nya kak jangan lupa di akhir kalimat 👍👍
2023-07-06
1
alluca
ah... masa muda... kerasa banget vibe'nya. 👍
2023-07-06
1