Peluk Aku

Peluk Aku

Bab 1

Hari ini cuaca di Ibu Kota begitu mendung, bahkan perlahan rintik-rintik air dari atas langit mulai berjatuhan membasahi tanah bumi pertiwi. Semilir angin semakin membuat udara semakin terasa dingin hingga menembus tulang. Kilat dan petir pun menyertai turunnya air langit tersebut seolah ingin mengiringi perjalanan pulang Matahari dan Venus.

Tak ada pembicaraan tercipta di antara mereka. Hanya suara alunan musik yang terdengar dari tape mobil. Baik Matahari atau pun Venus, keduanya tidak ada yang berniat untuk membuka percakapan.

Matahari menghela napas panjang. Dia melirik ke arah lelaki yang ada di sebelahnya. Terdiam cukup lama sembari memikirkan sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan Venus.

“Kak Venus gak mau cerita sesuatu gitu sama aku?”

Venus menoleh sekilas sebelum kemudian kembali melihat ke arah di depannya.

“Cerita apa?” tanyanya.

Matahari kembali menghela napas panjang. Ada sesuatu berdesir di dalam hatinya yang membuat terasa begitu perih. Dia kembali melihat Venus yang masih fokus dengan kemudinya.

“Ya apa aja gitu. Kali aja ada yang ingin Kak Venus sampaikan ke aku,” ucap Matahari.

Gadis itu masih menatap Venus sembari menggigit bibir bawahnya, menunggu Venus berbicara sesuatu. Namun, lelaki itu malah menjawab dengan sepatah dua patah kata dan itu pun tidak memuaskan hati Matahari.

“Gak ada,” jawabnya.

Matahari langsung memalingkan wajahnya ke jendela mobil, melihat jalanan yang tetap ramai dengan lalu lalang kendaraan meskipun dalam keadaan hujan deras.

Venus, lelaki yang sudah dipacarinya sejak dua tahun yang lalu, entah mengapa akhir-akhir ini sikapnya berubah drastis?

Lelaki itu bersikap takacuh kepada Matahari, selalu beralasan ketika diajak bertemu dan bahkan terkesan seperti menghindar. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan sikap Venus selama ini yang biasanya selalu manis dan romantis.

“Kak,” panggil Matahari. Dia menoleh ke arah Venus, mengalihkan pandangannya dari jalanan raya.

“Hm?”

“Kenapa aku merasa akhir-akhir ini sikap Kakak berubah?”

Venus langsung menatap Matahari. Sorot mata lelaki itu kini tak Matahari kenali. Tak ada keteduhan juga kelembutan seperti yang selalu Matahari lihat selama ini.

“Berubah bagaimana?” tanyanya.

“Ya berubah,” ucap Matahari. Dia masih menatap Venus yang kini sudah kembali fokus pada kemudinya. “Aku merasa akhir-akhir ini Kak Venus seperti sedang menghindar dari aku. Kenapa Kak? Aku ada salah ya sama Kakak? Kalau aku ada salah, aku minta maaf.”

Venus terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan Matahari.

“Kamu gak ada salah apa pun,” ucap Venus.

“Terus kenapa Kak Venus cuekin aku terus akhir-akhir ini?” tanya Matahari yang tak langsung Venus jawab. “Sudah satu bulan lebih, Kak. Sikap Kak Venus benar-benar berubah drastis, bahkan aku sampai tak mengenali Kakak yang sekarang,” ungkap Matahari.

Mata gadis itu sudah berkaca-kaca bahkan setetes cairan bening luruh begitu saja membasahi pipinya.

“Plis deh, Sunny, kamu jangan lebay kayak gini bisa gak?” ujar Venus.

“Lebay?” ulang Matahari merasa tak habis pikir dengan Venus.

Dia menatap Venus dengan sorot berkaca-kaca. Satu tangan Matahari mengepal erat di atas pahanya yang tertutup rok sekolahnya.

Venus yang dia kenal benar-benar sudah berubah. Dia bukan lagi lelaki manis yang selama ini Matahari cintai.

“Kakak bener, aku memang lebay. Dari dulu aku memang kayak gini kan?” ujar Matahari dengan suara bergetar.

Venus mematikan mesin mobil ketika sudah sampai di tempat tujuan yaitu di depan rumah Matahari. Rintik hujan yang tadinya begitu deras, kini sudah berhenti menyisakan suasana yang sejuk.

Venus menatap Matahari dengan sorot dingin. Tak ada kata yang dia ucapkan, kemudian lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Udah sampai. Sebaiknya kamu segera masuk ke rumah dan istirahat,” ujar Venus tanpa ekspresi.

Telapak tangan Matahari kembali mengepal erat mencengkeram ujung roknya dengan sorot mata berkaca-kaca. Gadis itu terdiam sembari menatap wajah Venus yang berekspresi dingin.

“Apa ada yang lain?” tanya Matahari tiba-tiba.

Venus menoleh, membalas tatapan Matahari yang berkaca-kaca.

“Maksudnya?” tanya Venus.

Matahari menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak siap bertanya seperti ini. Bukan, lebih tepatnya tidak siap mendengar segala kemungkinan yang terjadi pada hubungannya dengan Venus.

“Aku tanya, apa ada perempuan lain menggantikan aku di hati Kakak?” tanya Matahari dengan suara bergetar.

Gadis itu masih menatap Venus dalam-dalam dengan sorot matanya yang berkaca-kaca. Dia mencoba menebak isi hati dan pikiran Venus, berharap semua kecurigaannya tentang Venus tidaklah benar.

“Kamu ngomong apaan sih? Jangan ngaco!” sahut Venus bernada ketus.

“Kalau ada yang lain, bilang saja ke aku. Katakan apa yang ada pada dia dan tidak ada padaku? Aku akan berubah untuk Kakak, asal Kak Venus mau tetap bersamaku,” ucap Matahari.

“Gak ada yang lain, Sunny.”

“Kalau gak ada yang lain, terus kenapa Kak Venus cuekin aku?” tanya Matahari serius.

“Kamu curiga sama aku?”

“Bukan begitu, aku hanya—“

 

“Mending sekarang kamu masuk. Aku harus buru-buru pergi sekarang,” ujar Venus. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan memotong perkataan Matahari.

“Ke mana?”

Venus berdecak. “Latihan basket,” jawabnya ketus.

Matahari terdiam. Dia masih ingin mengobrol banyak hal dengan Venus. Matahari ingin kejelasan untuk hubungannya tetapi Venus lagi-lagi seperti menghindar darinya.

Matahari menghela napas panjang. Dia mengalah. Gadis itu melepas sabuk pengamannya. “Yaudah aku masuk dulu,” ucapnya kemudian yang dibalas anggukkan kepala oleh Venus.

“Kakak hati-hati di jalan,” ucap Matahari lagi.

“Hm.”

Venus langsung melajukan mobilnya begitu Matahari sudah keluar. Tak seperti biasanya, Venus pergi begitu saja tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Matahari.

Matahari menatap kepergian Venus dengan pandangan nanar. Hatinya bergemuruh merasakan sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa detik kemudian, gadis itu berjalan menuju ke dalam rumahnya.

Seperti biasa, suasana sunyi nan sepi selalu menyambut kepulangannya dari mana pun. Semenjak mamanya meninggal dua tahu yang lalu, papanya jarang sekali pulang ke rumahnya.

Matahari berjalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua dengan langkah gontai. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur lalu menjatuhkan tubuhnya tak jauh dari tasnya.

Bukan hanya kesepian, Matahari juga merasa sangat lelah.

Dia menatap luruh ke arah langit-langit kamarnya dengan pikiran melayang entah ke mana. Lalu di tempat lain nampak Venus menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepatnya di depan seorang gadis yang sedang menunggunya.

Jelas, gadis itu bukanlah Matahari.

“Udah lama tunggu?” tanya Venus.

Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Iya. Kok Kakak lama banget sih? Gak tahu apa kalau kaki aku udah pegel berdiri di sini,” gerutunya.

Venus tersenyum manis, lelaki itu mengangkat sebelah tangannya lalu mengacak pelan puncak kepala gadis di hadapannya.

“Sorry, Honey. Jangan cemberut begitu dong, nanti cantiknya hilang,” canda Venus.

Sikap Venus sekarang ini terhadap gadis di hadapannya sangat bertolak belakang dengan sikapnya terhadap Matahari. Venus menyadari semua itu, tetapi dia tidak peduli.

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!