NovelToon NovelToon

Peluk Aku

Bab 1

Hari ini cuaca di Ibu Kota begitu mendung, bahkan perlahan rintik-rintik air dari atas langit mulai berjatuhan membasahi tanah bumi pertiwi. Semilir angin semakin membuat udara semakin terasa dingin hingga menembus tulang. Kilat dan petir pun menyertai turunnya air langit tersebut seolah ingin mengiringi perjalanan pulang Matahari dan Venus.

Tak ada pembicaraan tercipta di antara mereka. Hanya suara alunan musik yang terdengar dari tape mobil. Baik Matahari atau pun Venus, keduanya tidak ada yang berniat untuk membuka percakapan.

Matahari menghela napas panjang. Dia melirik ke arah lelaki yang ada di sebelahnya. Terdiam cukup lama sembari memikirkan sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan Venus.

“Kak Venus gak mau cerita sesuatu gitu sama aku?”

Venus menoleh sekilas sebelum kemudian kembali melihat ke arah di depannya.

“Cerita apa?” tanyanya.

Matahari kembali menghela napas panjang. Ada sesuatu berdesir di dalam hatinya yang membuat terasa begitu perih. Dia kembali melihat Venus yang masih fokus dengan kemudinya.

“Ya apa aja gitu. Kali aja ada yang ingin Kak Venus sampaikan ke aku,” ucap Matahari.

Gadis itu masih menatap Venus sembari menggigit bibir bawahnya, menunggu Venus berbicara sesuatu. Namun, lelaki itu malah menjawab dengan sepatah dua patah kata dan itu pun tidak memuaskan hati Matahari.

“Gak ada,” jawabnya.

Matahari langsung memalingkan wajahnya ke jendela mobil, melihat jalanan yang tetap ramai dengan lalu lalang kendaraan meskipun dalam keadaan hujan deras.

Venus, lelaki yang sudah dipacarinya sejak dua tahun yang lalu, entah mengapa akhir-akhir ini sikapnya berubah drastis?

Lelaki itu bersikap takacuh kepada Matahari, selalu beralasan ketika diajak bertemu dan bahkan terkesan seperti menghindar. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan sikap Venus selama ini yang biasanya selalu manis dan romantis.

“Kak,” panggil Matahari. Dia menoleh ke arah Venus, mengalihkan pandangannya dari jalanan raya.

“Hm?”

“Kenapa aku merasa akhir-akhir ini sikap Kakak berubah?”

Venus langsung menatap Matahari. Sorot mata lelaki itu kini tak Matahari kenali. Tak ada keteduhan juga kelembutan seperti yang selalu Matahari lihat selama ini.

“Berubah bagaimana?” tanyanya.

“Ya berubah,” ucap Matahari. Dia masih menatap Venus yang kini sudah kembali fokus pada kemudinya. “Aku merasa akhir-akhir ini Kak Venus seperti sedang menghindar dari aku. Kenapa Kak? Aku ada salah ya sama Kakak? Kalau aku ada salah, aku minta maaf.”

Venus terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan Matahari.

“Kamu gak ada salah apa pun,” ucap Venus.

“Terus kenapa Kak Venus cuekin aku terus akhir-akhir ini?” tanya Matahari yang tak langsung Venus jawab. “Sudah satu bulan lebih, Kak. Sikap Kak Venus benar-benar berubah drastis, bahkan aku sampai tak mengenali Kakak yang sekarang,” ungkap Matahari.

Mata gadis itu sudah berkaca-kaca bahkan setetes cairan bening luruh begitu saja membasahi pipinya.

“Plis deh, Sunny, kamu jangan lebay kayak gini bisa gak?” ujar Venus.

“Lebay?” ulang Matahari merasa tak habis pikir dengan Venus.

Dia menatap Venus dengan sorot berkaca-kaca. Satu tangan Matahari mengepal erat di atas pahanya yang tertutup rok sekolahnya.

Venus yang dia kenal benar-benar sudah berubah. Dia bukan lagi lelaki manis yang selama ini Matahari cintai.

“Kakak bener, aku memang lebay. Dari dulu aku memang kayak gini kan?” ujar Matahari dengan suara bergetar.

Venus mematikan mesin mobil ketika sudah sampai di tempat tujuan yaitu di depan rumah Matahari. Rintik hujan yang tadinya begitu deras, kini sudah berhenti menyisakan suasana yang sejuk.

Venus menatap Matahari dengan sorot dingin. Tak ada kata yang dia ucapkan, kemudian lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Udah sampai. Sebaiknya kamu segera masuk ke rumah dan istirahat,” ujar Venus tanpa ekspresi.

Telapak tangan Matahari kembali mengepal erat mencengkeram ujung roknya dengan sorot mata berkaca-kaca. Gadis itu terdiam sembari menatap wajah Venus yang berekspresi dingin.

“Apa ada yang lain?” tanya Matahari tiba-tiba.

Venus menoleh, membalas tatapan Matahari yang berkaca-kaca.

“Maksudnya?” tanya Venus.

Matahari menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak siap bertanya seperti ini. Bukan, lebih tepatnya tidak siap mendengar segala kemungkinan yang terjadi pada hubungannya dengan Venus.

“Aku tanya, apa ada perempuan lain menggantikan aku di hati Kakak?” tanya Matahari dengan suara bergetar.

Gadis itu masih menatap Venus dalam-dalam dengan sorot matanya yang berkaca-kaca. Dia mencoba menebak isi hati dan pikiran Venus, berharap semua kecurigaannya tentang Venus tidaklah benar.

“Kamu ngomong apaan sih? Jangan ngaco!” sahut Venus bernada ketus.

“Kalau ada yang lain, bilang saja ke aku. Katakan apa yang ada pada dia dan tidak ada padaku? Aku akan berubah untuk Kakak, asal Kak Venus mau tetap bersamaku,” ucap Matahari.

“Gak ada yang lain, Sunny.”

“Kalau gak ada yang lain, terus kenapa Kak Venus cuekin aku?” tanya Matahari serius.

“Kamu curiga sama aku?”

“Bukan begitu, aku hanya—“

 

“Mending sekarang kamu masuk. Aku harus buru-buru pergi sekarang,” ujar Venus. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan memotong perkataan Matahari.

“Ke mana?”

Venus berdecak. “Latihan basket,” jawabnya ketus.

Matahari terdiam. Dia masih ingin mengobrol banyak hal dengan Venus. Matahari ingin kejelasan untuk hubungannya tetapi Venus lagi-lagi seperti menghindar darinya.

Matahari menghela napas panjang. Dia mengalah. Gadis itu melepas sabuk pengamannya. “Yaudah aku masuk dulu,” ucapnya kemudian yang dibalas anggukkan kepala oleh Venus.

“Kakak hati-hati di jalan,” ucap Matahari lagi.

“Hm.”

Venus langsung melajukan mobilnya begitu Matahari sudah keluar. Tak seperti biasanya, Venus pergi begitu saja tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Matahari.

Matahari menatap kepergian Venus dengan pandangan nanar. Hatinya bergemuruh merasakan sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Beberapa detik kemudian, gadis itu berjalan menuju ke dalam rumahnya.

Seperti biasa, suasana sunyi nan sepi selalu menyambut kepulangannya dari mana pun. Semenjak mamanya meninggal dua tahu yang lalu, papanya jarang sekali pulang ke rumahnya.

Matahari berjalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua dengan langkah gontai. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur lalu menjatuhkan tubuhnya tak jauh dari tasnya.

Bukan hanya kesepian, Matahari juga merasa sangat lelah.

Dia menatap luruh ke arah langit-langit kamarnya dengan pikiran melayang entah ke mana. Lalu di tempat lain nampak Venus menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepatnya di depan seorang gadis yang sedang menunggunya.

Jelas, gadis itu bukanlah Matahari.

“Udah lama tunggu?” tanya Venus.

Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Iya. Kok Kakak lama banget sih? Gak tahu apa kalau kaki aku udah pegel berdiri di sini,” gerutunya.

Venus tersenyum manis, lelaki itu mengangkat sebelah tangannya lalu mengacak pelan puncak kepala gadis di hadapannya.

“Sorry, Honey. Jangan cemberut begitu dong, nanti cantiknya hilang,” canda Venus.

Sikap Venus sekarang ini terhadap gadis di hadapannya sangat bertolak belakang dengan sikapnya terhadap Matahari. Venus menyadari semua itu, tetapi dia tidak peduli.

 

 

 

Bab 2

Tak seperti kemarin sore, pagi ini cuaca begitu cerah. Sinar mentari terasa hangat menembus kaca jendela kamar Matahari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 tetapi Matahari masih berdiam di kamarnya meski sudah siap berangkat ke sekolah. Gadis itu berkali-kali memeriksa ponselnya, tetapi tak ada satu pun notifikasi pesan masuk dari Venus.

[Hari ini Kak Venus jemput aku kan?]

Matahari mengetikkan serangkaian kata di ruang chat kemudian mengirimkannya kepada Venus. Ini bukan pesan pertama yang Matahari kirim pagi ini kepada Venus, tetapi satu pun belum mendapatkan balasan.

Selang lima menit, Matahari kembali melihat ponselnya bertepatan dengan bunyi denting notifikasi pesan masuk. Dia buru-buru membuka pesan tersebut dan membacanya. Namun, seketika itu raut wajahnya berubah menjadi sendu.

[Aku gak bisa jemput kamu sekarang.]

Menghela napas panjang, Matahari merasa kecewa. Lagi dan lagi Venus tidak bisa menjemputnya. Kali ini entah alasan apa lagi yang akan kekasihnya itu katakan kepadanya.

Tak ingin terlambat datang ke sekolah, Matahari mengambil tasnya lalu berjalan keluar dari kamar, menuruni satu per satu anak tangga lalu melewati ruang tengah untuk keluar dari rumahnya.

Tiba di sekolah. Langkah Matahari terhenti ketika melihat seseorang yang dikenalinya sedang berjalan beriringan dengan seorang perempuan. Venus nampak tersenyum di sela-sela obrolannya dengan perempuan itu.

Hati Matahari berdesir nyeri. Dia merasa dikhianati oleh Venus. Tak disangka kali ini Matahari akan menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat tidak dia inginkan.

Lalu, Matahari kembali mengingat pesan yang dikirimkan Venus tadi.

“Kenapa aku harus melihat semua ini sekarang?” gumamnya lirih menahan perih di dalam hatinya.

Matahari menghela napas panjang mencoba untuk menetralkan perasaannya kemudian turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada sopirnya. Gadis itu berlari untuk mengejar Venus yang masih terlihat akrab mengobrol dengan siswi perempuan.

“Kak Venus!”

Pemuda yang dipanggil namanya itu pun langsung menoleh ke arah sumber suara. Venus kaget melihat kedatangan Matahari yang begitu tiba-tiba. Dia langsung menarik tangan gadis di sampingnya ke belakang seolah takut kalau Matahari akan menyakiti gadis itu.

“Ya?” Venus berperilaku seperti tidak melakukan kesalahan apa pun.

“Kamu sama siapa?”

Venus diam sejenak. Dia menoleh ke arah gadis yang bersembunyi di belakangnya.

“Oh, ini kenalin. Namanya Bulan,” ucap Venus dengan santainya.

Kedua alis Matahari mengernyit menatap gadis yang baru saja dikenalkan oleh Venus kepadanya. Dia menelisik gadis itu dari atas hingga ke bawah hingga tatapannya berakhir pada bedge yang tertera di seragamnya. Rupanya gadis bernama Bulan itu satu tingkat lebih muda darinya.

Bulan mengulurkan tangan ke arah Matahari. Namun, bukannya menerima, Matahari malah menatapnya tajam.

“Kakak bilang gak ada perempuan lain. Terus ini apa?” tanya Matahari.

“Dia ini anaknya teman mama aku. Kebetulan kita searah, makanya bareng,” jelas Venus tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Venus beralih meraih tangan Matahari dan menautkan jemarinya dengan gadis itu. “Ini Matahari, Lan. Dia pacar gue,” ucapnya kepada Bulan.

Mendengar hal itu kekesalan Matahari pun sedikit mencair apa lagi ketika melihat senyum manis di bibir Venus kepadanya.

“Salam kenal Kak Matahari,” ucap Bulan.

Meski begitu Matahari tetap merasa enggan untuk merespons Bulan. Apa lagi ketika mengingat begitu mesranya mereka tadi, Matahari masih belum bisa memaafkannya.

Merasa tak ada respons, Bulan pun menarik kembali tangannya.

“Ya sudah, kalau begitu aku duluan ya, Kak.” Gadis itu berpamitan. Dia tersenyum lebar lalu bergegas pergi dari sana setelahnya.

“Kamu gak mau ke kelas?” tanya Venus.

Matahari tak langsung menjawab. Dia masih terpaku, terhanyut dalam pikirannya sendiri. Kemudian saat dia berbalik, dia mendapati Venus sudah berjalan meninggalkannya. Mau tidak mau Matahari pun segera berlari mengejarnya.

Tak ada percakapan yang mengiringi langkah Matahari dan Venus menuju ke kelasnya. Suasana lebih dingin dari sore kemarin seolah ada dinding tak kasat mata di antara mereka.

“Kak Venus semalam ke mana? Kenapa gak angkat telepon aku? Chat juga gak dibalas,” tanya Matahari mencairkan suasana.

“Tidur.”

Matahari menghela napas panjang. Terdiam dalam lamunan sembari menatap wajah Venus dari samping.

“Aku kecapean habis latihan main basket. Jadi tidur lebih cepat,” jelas Venus kemudian.

Dia menyadari Matahari sedang memerhatikannya sedari tadi, itu sebabnya dia memberi penjelasan kepada gadis itu alasan dirinya mengabaikan pesan dan juga telepon dari Matahari.

“Kak,”

“Hm?”

“Kakak yakin enggak ada perempuan lain?” tanya Matahari serius.

Venus menatap Matahari, detik berikutnya dia memalingkan wajah ke arah lain.

“Ini masih terlalu pagi, Sunny. Aku gak mau ribut karena hal yang gak jelas seperti ini,” ujar Venus ketus.

“Aku serius bertanya, Kak. Bukan cari ribut,” ujar Matahari.

“Sudah berapa kali aku bilang enggak ada ya gak ada. Udah deh, dari pada ribut pagi-pagi mending sekarang kamu masuk ke kelas. Sebentar lagi bel masuk juga bunyi.”

Matahari mencebikkan mulutnya. Dia benar-benar merasa kesal atas sikap Venus akhir-akhir ini kepadanya. Sungguh tak ada kejelasan. Padahal Matahari hanya ingin sebuah kejujuran. Dan jika masih bisa diselamatkan, Matahari ingin memperbaiki hubungannya dengan Venus supaya bisa jadi seperti dulu lagi.

Diamnya Matahari membuat Venus merasa sedikit bersalah. Dia tahu gadis itu merasa tersakiti dengan sikap dinginnya akhir-akhir ini. Namun tetap saja, Venus enggan untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya.

“Aku ke kelas dulu,” pamit Venus kemudian.

Venus berbalik dan berjalan meninggalkan Matahari yang masih berdiri di depan kelasnya tanpa memedulikan perasaan gadis itu sekarang.

“Kak,” lirih Matahari tetapi Venus tak lagi berbalik ke arahnya. Pemuda itu terus berjalan semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.

***

Matahari menatap langit-langit bercat putih yang ada di ruangan UKS. Hari ini dia merasa pusing dan sakit kepala, jadi memutuskan untuk tinggal di ruang kesehatan sekolah dari pada turut belajar bersama teman-teman sekelasnya.

“Matahari juga bisa berhenti bersinar jika dia sudah lelah,” gumam Matahari.

Gadis itu menghela napas panjang. Pikirannya menerawang mengingat banyak hal yang sudah terjadi di dalam hidupnya. Setelah itu dia memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan perasaannya yang kacau akhir-akhir ini.

“Matahari gak boleh berhenti bersinar.”

Terdengar suara laki-laki dari balik tirai yang menyekat antara ranjang yang ditempati Matahari dengan ranjang lainnya.

Meskipun kaget Matahari hanya menatap tirai sekat yang jadi pemisah di sampingnya. Daripada menyingkap tirai tersebut dan melihat orang di baliknya, Matahari malah kembali bertanya, “Kenapa enggak boleh? Matahari juga punya batas rasa lelah.”

“Ya. Tapi jika Matahari berhenti bersinar maka dunia ini hancur.”

“Biar saja. Itu jauh lebih baik. Mungkin,” ucap Matahari. Suaranya terdengar lirih di akhir.

“Ada yang lebih hancur dari pada kehidupan di dunia ini saat Matahari berhenti bersinar.”

“Apa?”

“Hati gue.”

“Eh?” Matahari tercekat. Belum reda kekagetannya dia mendengar orang itu tertawa.

“Lagian pertanyaan lo aneh.”

Matahari masih diam. Kemudian tiba-tiba saja orang itu membuka tirai hingga dirinya bisa melihat sosok yang sedari tadi berbicara dengannya.

“Langit.”

Seulas senyum nan manis terukir di bibir pemuda bernama Langit itu di hadapan Matahari. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bahwasanya sedari tadi dirinya berbicara dengan teman sekelasnya sendiri.

“Gue heran, kenapa lo masih gak hafal suara gue padahal kita sudah hampir dua tahun jadi teman sekelas,” ucap Langit.

Matahari meringis sembari menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Kemudian gadis itu beranjak bangun lalu duduk menghadap ke arah Langit.

“Lo ngapain di sini?” tanya Matahari.

“Lo sendiri kenapa ada di sini?” Alih-alih menjawab, Langit malah balik bertanya kepada Matahari.

“Gue gak enak badan,” ucap Matahari.

Tanpa diduga, Langit melangkah mendekati Matahari kemudian mengulurkan tangannya ke arah dahi Matahari dan satu tangannya lagi menyentuh dahinya sendiri.

“Sama.”

Bab 3

“Mang Ujang, Papa ada di rumah?”

Kening Matahari mengernyit saat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya. Dia tahu siapa pemilik mobil itu. Sudah lama sekali, lebih tepatnya sudah hampir enam bulan papanya tidak pulang ke rumah bahkan memberi kabar pun tidak pernah.

“Iya, Neng Sunny. Bapak teh lagi ada di rumah,” jawab sang sopir.

Terdiam sejenak, Matahari pun bergegas turun dari mobilnya ingin segera menemui sang papa yang sudah lama tidak dia temui. Matahari sangat senang. Dia sangat merindukan Hadiwijaya—papa kandungnya.

Jika diizinkan, Matahari ingin memeluk laki-laki itu.

“Papa. Papa!” teriak Matahari, memanggil papanya.

Senyum lebar terukir di bibir gadis itu. Bola matanya berbinar terang saat melihat sosok lelaki dewasa yang dia kenal berdiri di hadapannya.

Matahari langsung berlari kemudian berhambur memeluk sang papa yang sangat dia rindukan itu.

“Papa ke mana saja? Aku kangen Papa,” ucap Matahari.

Hadi bergeming sejenak, tak langsung membalas pelukan Matahari. Sedetik kemudian, barulah laki-laki dewasa itu membalas pelukan Matahari. Namun, itu terjadi hanya sebentar, bahkan kurang dari lima menit Hadi sudah mengakhirinya.

“Bagaimana kabar Papa? Kenapa Papa gak pernah balas pesan dari Matahari?”

Matahari menatap Hadi dengan sorot yang masih nampak berbinar. Dia tak peduli meskipun balasan dari Hadi tidak sehangat seperti yang dirinya harapkan.

“Papa baik-baik saja. Maaf, Papa sibuk jadi enggak sempat ngabarin kamu,” ucap Hadi.

“Mas ....”

Atensi Matahari teralihkan pada sosok wanita yang baru saja memanggil papanya. Kedua alis gadis itu mengernyit dalam, menelisik orang yang ada di belakang Hadi dari atas ke bawah.

“Kamu siapa?” tanya Matahari.

Wanita itu diam, tak menjawab pertanyaan Matahari. Dia malah melirik ke arah Hadi seolah sedang memberikan sebuah kode yang hanya bisa dimengerti oleh Hadi dan wanita itu saja.

“Oh, ya, Sunny. Kenalkan, ini Indira. Dan Indira, ini Matahari anakku.”

Wanita yang baru saja dikenalkan oleh Hadi itu tersenyum kepada Matahari lalu mengulurkan tangannya. Namun, dari pada membalas uluran tangan tersebut, Matahari malah terdiam sembari menatap tajam Indira.

“Dia siapa, Pa?” tanya Matahari.

Tidak mendapatkan respons dari Matahari, Indira pun langsung menarik kembali tangannya dari hadapan Matahari.

Hadi melirik Indira lebih dulu sebelum berkata, “Dia ini istri Papa. Mama baru kamu.”

Jantung Matahari mendadak terasa sesak. Dia menatap Hadi dengan pandangan tak percaya.

Kecewa? Tentu saja. Matahari merasa telah dikhianati. Berbulan-bulan tidak bertemu bahkan tidak pernah ada kabar, lalu tiba-tiba saja papanya itu muncul untuk memperkenalkan istri baru kepadanya.

“Hai, Matahari. Senang akhirnya kita bisa bertemu sekarang. Papa kamu sering bercerita tentang kamu selama ini,” ucap Indira.

Dia memperlihatkan senyum lebar kepada Matahari sembari berniat ingin mendekatinya. Namun, Matahari malah menghindar. Gadis itu secara refleks mundur beberapa langkah.

“Ini gak bener kan, Pa?” lirih Matahari.

Gadis itu berharap bahwasanya semua ini tidak benar atau hanya sekadar mimpi buruk yang akan berakhir ketika dia bangun tidur.

“Papa gak mungkin menikah lagi kan? Papa gak mungkin mengkhianati Mama kan?”

Hadi menghela napas panjang. Dia sudah menduganya respons Matahari akan seperti ini.

“Papa memang sudah menikah lagi dengan Tante Indira, Sunny. Maaf, Papa baru memberi tahu kamu sekarang,” ungkap Hadi.

Matahari menggelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan keputusan papanya yang telah menikah tanpa meminta persetujuan terlebih dulu darinya. Biar bagaimanapun, Matahari adalah putri kandungnya dan seharusnya Hadi membicarakan hal sepenting ini terlebih dulu sebelum membuat keputusan.

“Oh, ya, kamu juga memiliki adik perempuan. Dia hanya berbeda satu tahun dengan kamu.”

Refleks kedua tangan Matahari mengepal, mencengkeram ujung rok sekolahnya. Rahanganya mengeras, sorot matanya berubah menjadi dingin.

“Kamu jangan khawatir, Tante Indira ini orangnya baik. Dia pasti bisa menjadi sosok ibu buat kamu menggantikan Mamamu,” ucap Hadi dengan begitu mudahnya tanpa memikirkan perasaan Matahari yang saat ini sudah hancur berkeping-keping.

Lagi-lagi Matahari menggelengkan kepala, masih berusaha menyangkal kenyataan.

Indira tersenyum ramah kepada Matahari dan mendekatinya. Kemudian tanpa persetujuan wanita itu meraih tangan Matahari dan menggenggamnya lembut.

“Izinkan Tante untuk menjadi dekat denganmu. Tante akan berusaha menjadi ibu yang baik buat kamu,” ucapnya.

Matahari menepis tangan Indira hingga membuat wanita itu terkejut.

“Jadi selama ini Papa bukan sibuk kerja, tapi sibuk dengan keluarga baru Papa, begitu? Sampai-sampai Papa lupa sama aku. Papa lupa kalau aku juga butuh perhatian dari Papa,” ucap Matahari kepada Hadi.

Matahari tersenyum miring, dia memalingkan wajahnya sejenak lalu kembali menatap Hadi dan Indira secara bergantian dengan sorot tajam.

“Sampai kapan pun, enggak akan pernah ada yang bisa dan gak boleh ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini!” tegas Matahari.

Mendengar hal itu membuat Indira merasa tersinggung. Jelas terlihat dari perubahan ekspresi wajah wanita itu yang menjadi masam seperti menahan amarah kepada Matahari.

“Jaga ucapanmu, Sunny. Papa enggak pernah mendidikmu bersikap tidak sopan!” tegur Hadi.

Matahari kembali tersenyum miring. “Memangnya kapan Papa pernah mendidik Matahari, Pa?”

Mata Hadi membulat sempurna. Rahangnya mengeras disertai tatapan tajam seperti harimau yang bersiap menerkam mangsa.

“Bahkan Papa gak pernah ada waktu buat Matahari,” ucap Matahari lagi.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat sempurna tepat di pipi kiri Matahari hingga membuat kepala gadis itu langsung memaling ke kanan.

Matahari menutup matanya sembari menangkup pipinya merasakan perih dan panas juga dengungan di telinganya. Perlahan cairan kental berwarna merah keluar dari sudut bibirnya yang robek.

“Mas!” tegur Indira. Dia terkejut melihat Hadi menampar wajah Matahari tepat di hadapannya.

Khawatir terjadi sesuatu, Indira langsung menghampiri Matahari. “Matahari kamu enggak apa-apa kan?”

Matahari tak langsung menjawab. Sejenak gadis itu masih berusaha menetralkan rasa sakitnya. Kemudian Matahari melepaskan tangannya dari pipinya dan menatap Indira dengan sorot permusuhan.

Nampak jelas terlihat jejak merah menyerupai jari-jari tangan di pipi kiri Matahari dan warna merah keunguan di sudut bibirnya.

“Jangan pura-pura baik di hadapanku. Anda pikir saya bodoh? Saya tahu wanita seperti apa Anda ini sebenarnya,” ucap Matahari sinis.

“Matahari!” teriak Hadi.

“Apa? Kenapa? Belum puas nampar aku, Pa?”

Tanpa rasa takut Matahari seolah menantang emosi Hadi.

“Ayo tampar lagi, Pa. Tampar!” Matahari memberi izin kepada Hadi untuk menamparnya lagi.

Sudah terlanjur sakit. Sekadar tamparan saja, rasa sakitnya masih bisa Matahari tahan dan diobati. Namun, luka pengkhianatan dari papanya itu entah bisa sembuh atau malah semakin parah.

Sejak kecil Matahari tak pernah mendapatkan perhatian Hadi seperti yang selalu dilakukan seorang ayah pada umumnya kepada putrinya sendiri. Bahkan meskipun Matahari merengek, Hadi tidak peduli dan lebih mementingkan pekerjaan dari pada bermain bersamanya. Dan pria itu semakin tak acuh semenjak mamanya Matahari meninggal.

Matahari bergegas pergi dari hadapan Hadi yang masih bergeming di tempatnya. Entahlah apa yang tengah dipikirkan pria itu sekarang. Dia tak berhenti menatap Matahari hingga gadis itu menghilang di balik pintu kamarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!