Bab 2

Tak seperti kemarin sore, pagi ini cuaca begitu cerah. Sinar mentari terasa hangat menembus kaca jendela kamar Matahari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 tetapi Matahari masih berdiam di kamarnya meski sudah siap berangkat ke sekolah. Gadis itu berkali-kali memeriksa ponselnya, tetapi tak ada satu pun notifikasi pesan masuk dari Venus.

[Hari ini Kak Venus jemput aku kan?]

Matahari mengetikkan serangkaian kata di ruang chat kemudian mengirimkannya kepada Venus. Ini bukan pesan pertama yang Matahari kirim pagi ini kepada Venus, tetapi satu pun belum mendapatkan balasan.

Selang lima menit, Matahari kembali melihat ponselnya bertepatan dengan bunyi denting notifikasi pesan masuk. Dia buru-buru membuka pesan tersebut dan membacanya. Namun, seketika itu raut wajahnya berubah menjadi sendu.

[Aku gak bisa jemput kamu sekarang.]

Menghela napas panjang, Matahari merasa kecewa. Lagi dan lagi Venus tidak bisa menjemputnya. Kali ini entah alasan apa lagi yang akan kekasihnya itu katakan kepadanya.

Tak ingin terlambat datang ke sekolah, Matahari mengambil tasnya lalu berjalan keluar dari kamar, menuruni satu per satu anak tangga lalu melewati ruang tengah untuk keluar dari rumahnya.

Tiba di sekolah. Langkah Matahari terhenti ketika melihat seseorang yang dikenalinya sedang berjalan beriringan dengan seorang perempuan. Venus nampak tersenyum di sela-sela obrolannya dengan perempuan itu.

Hati Matahari berdesir nyeri. Dia merasa dikhianati oleh Venus. Tak disangka kali ini Matahari akan menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat tidak dia inginkan.

Lalu, Matahari kembali mengingat pesan yang dikirimkan Venus tadi.

“Kenapa aku harus melihat semua ini sekarang?” gumamnya lirih menahan perih di dalam hatinya.

Matahari menghela napas panjang mencoba untuk menetralkan perasaannya kemudian turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada sopirnya. Gadis itu berlari untuk mengejar Venus yang masih terlihat akrab mengobrol dengan siswi perempuan.

“Kak Venus!”

Pemuda yang dipanggil namanya itu pun langsung menoleh ke arah sumber suara. Venus kaget melihat kedatangan Matahari yang begitu tiba-tiba. Dia langsung menarik tangan gadis di sampingnya ke belakang seolah takut kalau Matahari akan menyakiti gadis itu.

“Ya?” Venus berperilaku seperti tidak melakukan kesalahan apa pun.

“Kamu sama siapa?”

Venus diam sejenak. Dia menoleh ke arah gadis yang bersembunyi di belakangnya.

“Oh, ini kenalin. Namanya Bulan,” ucap Venus dengan santainya.

Kedua alis Matahari mengernyit menatap gadis yang baru saja dikenalkan oleh Venus kepadanya. Dia menelisik gadis itu dari atas hingga ke bawah hingga tatapannya berakhir pada bedge yang tertera di seragamnya. Rupanya gadis bernama Bulan itu satu tingkat lebih muda darinya.

Bulan mengulurkan tangan ke arah Matahari. Namun, bukannya menerima, Matahari malah menatapnya tajam.

“Kakak bilang gak ada perempuan lain. Terus ini apa?” tanya Matahari.

“Dia ini anaknya teman mama aku. Kebetulan kita searah, makanya bareng,” jelas Venus tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Venus beralih meraih tangan Matahari dan menautkan jemarinya dengan gadis itu. “Ini Matahari, Lan. Dia pacar gue,” ucapnya kepada Bulan.

Mendengar hal itu kekesalan Matahari pun sedikit mencair apa lagi ketika melihat senyum manis di bibir Venus kepadanya.

“Salam kenal Kak Matahari,” ucap Bulan.

Meski begitu Matahari tetap merasa enggan untuk merespons Bulan. Apa lagi ketika mengingat begitu mesranya mereka tadi, Matahari masih belum bisa memaafkannya.

Merasa tak ada respons, Bulan pun menarik kembali tangannya.

“Ya sudah, kalau begitu aku duluan ya, Kak.” Gadis itu berpamitan. Dia tersenyum lebar lalu bergegas pergi dari sana setelahnya.

“Kamu gak mau ke kelas?” tanya Venus.

Matahari tak langsung menjawab. Dia masih terpaku, terhanyut dalam pikirannya sendiri. Kemudian saat dia berbalik, dia mendapati Venus sudah berjalan meninggalkannya. Mau tidak mau Matahari pun segera berlari mengejarnya.

Tak ada percakapan yang mengiringi langkah Matahari dan Venus menuju ke kelasnya. Suasana lebih dingin dari sore kemarin seolah ada dinding tak kasat mata di antara mereka.

“Kak Venus semalam ke mana? Kenapa gak angkat telepon aku? Chat juga gak dibalas,” tanya Matahari mencairkan suasana.

“Tidur.”

Matahari menghela napas panjang. Terdiam dalam lamunan sembari menatap wajah Venus dari samping.

“Aku kecapean habis latihan main basket. Jadi tidur lebih cepat,” jelas Venus kemudian.

Dia menyadari Matahari sedang memerhatikannya sedari tadi, itu sebabnya dia memberi penjelasan kepada gadis itu alasan dirinya mengabaikan pesan dan juga telepon dari Matahari.

“Kak,”

“Hm?”

“Kakak yakin enggak ada perempuan lain?” tanya Matahari serius.

Venus menatap Matahari, detik berikutnya dia memalingkan wajah ke arah lain.

“Ini masih terlalu pagi, Sunny. Aku gak mau ribut karena hal yang gak jelas seperti ini,” ujar Venus ketus.

“Aku serius bertanya, Kak. Bukan cari ribut,” ujar Matahari.

“Sudah berapa kali aku bilang enggak ada ya gak ada. Udah deh, dari pada ribut pagi-pagi mending sekarang kamu masuk ke kelas. Sebentar lagi bel masuk juga bunyi.”

Matahari mencebikkan mulutnya. Dia benar-benar merasa kesal atas sikap Venus akhir-akhir ini kepadanya. Sungguh tak ada kejelasan. Padahal Matahari hanya ingin sebuah kejujuran. Dan jika masih bisa diselamatkan, Matahari ingin memperbaiki hubungannya dengan Venus supaya bisa jadi seperti dulu lagi.

Diamnya Matahari membuat Venus merasa sedikit bersalah. Dia tahu gadis itu merasa tersakiti dengan sikap dinginnya akhir-akhir ini. Namun tetap saja, Venus enggan untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya.

“Aku ke kelas dulu,” pamit Venus kemudian.

Venus berbalik dan berjalan meninggalkan Matahari yang masih berdiri di depan kelasnya tanpa memedulikan perasaan gadis itu sekarang.

“Kak,” lirih Matahari tetapi Venus tak lagi berbalik ke arahnya. Pemuda itu terus berjalan semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.

***

Matahari menatap langit-langit bercat putih yang ada di ruangan UKS. Hari ini dia merasa pusing dan sakit kepala, jadi memutuskan untuk tinggal di ruang kesehatan sekolah dari pada turut belajar bersama teman-teman sekelasnya.

“Matahari juga bisa berhenti bersinar jika dia sudah lelah,” gumam Matahari.

Gadis itu menghela napas panjang. Pikirannya menerawang mengingat banyak hal yang sudah terjadi di dalam hidupnya. Setelah itu dia memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan perasaannya yang kacau akhir-akhir ini.

“Matahari gak boleh berhenti bersinar.”

Terdengar suara laki-laki dari balik tirai yang menyekat antara ranjang yang ditempati Matahari dengan ranjang lainnya.

Meskipun kaget Matahari hanya menatap tirai sekat yang jadi pemisah di sampingnya. Daripada menyingkap tirai tersebut dan melihat orang di baliknya, Matahari malah kembali bertanya, “Kenapa enggak boleh? Matahari juga punya batas rasa lelah.”

“Ya. Tapi jika Matahari berhenti bersinar maka dunia ini hancur.”

“Biar saja. Itu jauh lebih baik. Mungkin,” ucap Matahari. Suaranya terdengar lirih di akhir.

“Ada yang lebih hancur dari pada kehidupan di dunia ini saat Matahari berhenti bersinar.”

“Apa?”

“Hati gue.”

“Eh?” Matahari tercekat. Belum reda kekagetannya dia mendengar orang itu tertawa.

“Lagian pertanyaan lo aneh.”

Matahari masih diam. Kemudian tiba-tiba saja orang itu membuka tirai hingga dirinya bisa melihat sosok yang sedari tadi berbicara dengannya.

“Langit.”

Seulas senyum nan manis terukir di bibir pemuda bernama Langit itu di hadapan Matahari. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bahwasanya sedari tadi dirinya berbicara dengan teman sekelasnya sendiri.

“Gue heran, kenapa lo masih gak hafal suara gue padahal kita sudah hampir dua tahun jadi teman sekelas,” ucap Langit.

Matahari meringis sembari menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Kemudian gadis itu beranjak bangun lalu duduk menghadap ke arah Langit.

“Lo ngapain di sini?” tanya Matahari.

“Lo sendiri kenapa ada di sini?” Alih-alih menjawab, Langit malah balik bertanya kepada Matahari.

“Gue gak enak badan,” ucap Matahari.

Tanpa diduga, Langit melangkah mendekati Matahari kemudian mengulurkan tangannya ke arah dahi Matahari dan satu tangannya lagi menyentuh dahinya sendiri.

“Sama.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!