“Mang Ujang, Papa ada di rumah?”
Kening Matahari mengernyit saat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya. Dia tahu siapa pemilik mobil itu. Sudah lama sekali, lebih tepatnya sudah hampir enam bulan papanya tidak pulang ke rumah bahkan memberi kabar pun tidak pernah.
“Iya, Neng Sunny. Bapak teh lagi ada di rumah,” jawab sang sopir.
Terdiam sejenak, Matahari pun bergegas turun dari mobilnya ingin segera menemui sang papa yang sudah lama tidak dia temui. Matahari sangat senang. Dia sangat merindukan Hadiwijaya—papa kandungnya.
Jika diizinkan, Matahari ingin memeluk laki-laki itu.
“Papa. Papa!” teriak Matahari, memanggil papanya.
Senyum lebar terukir di bibir gadis itu. Bola matanya berbinar terang saat melihat sosok lelaki dewasa yang dia kenal berdiri di hadapannya.
Matahari langsung berlari kemudian berhambur memeluk sang papa yang sangat dia rindukan itu.
“Papa ke mana saja? Aku kangen Papa,” ucap Matahari.
Hadi bergeming sejenak, tak langsung membalas pelukan Matahari. Sedetik kemudian, barulah laki-laki dewasa itu membalas pelukan Matahari. Namun, itu terjadi hanya sebentar, bahkan kurang dari lima menit Hadi sudah mengakhirinya.
“Bagaimana kabar Papa? Kenapa Papa gak pernah balas pesan dari Matahari?”
Matahari menatap Hadi dengan sorot yang masih nampak berbinar. Dia tak peduli meskipun balasan dari Hadi tidak sehangat seperti yang dirinya harapkan.
“Papa baik-baik saja. Maaf, Papa sibuk jadi enggak sempat ngabarin kamu,” ucap Hadi.
“Mas ....”
Atensi Matahari teralihkan pada sosok wanita yang baru saja memanggil papanya. Kedua alis gadis itu mengernyit dalam, menelisik orang yang ada di belakang Hadi dari atas ke bawah.
“Kamu siapa?” tanya Matahari.
Wanita itu diam, tak menjawab pertanyaan Matahari. Dia malah melirik ke arah Hadi seolah sedang memberikan sebuah kode yang hanya bisa dimengerti oleh Hadi dan wanita itu saja.
“Oh, ya, Sunny. Kenalkan, ini Indira. Dan Indira, ini Matahari anakku.”
Wanita yang baru saja dikenalkan oleh Hadi itu tersenyum kepada Matahari lalu mengulurkan tangannya. Namun, dari pada membalas uluran tangan tersebut, Matahari malah terdiam sembari menatap tajam Indira.
“Dia siapa, Pa?” tanya Matahari.
Tidak mendapatkan respons dari Matahari, Indira pun langsung menarik kembali tangannya dari hadapan Matahari.
Hadi melirik Indira lebih dulu sebelum berkata, “Dia ini istri Papa. Mama baru kamu.”
Jantung Matahari mendadak terasa sesak. Dia menatap Hadi dengan pandangan tak percaya.
Kecewa? Tentu saja. Matahari merasa telah dikhianati. Berbulan-bulan tidak bertemu bahkan tidak pernah ada kabar, lalu tiba-tiba saja papanya itu muncul untuk memperkenalkan istri baru kepadanya.
“Hai, Matahari. Senang akhirnya kita bisa bertemu sekarang. Papa kamu sering bercerita tentang kamu selama ini,” ucap Indira.
Dia memperlihatkan senyum lebar kepada Matahari sembari berniat ingin mendekatinya. Namun, Matahari malah menghindar. Gadis itu secara refleks mundur beberapa langkah.
“Ini gak bener kan, Pa?” lirih Matahari.
Gadis itu berharap bahwasanya semua ini tidak benar atau hanya sekadar mimpi buruk yang akan berakhir ketika dia bangun tidur.
“Papa gak mungkin menikah lagi kan? Papa gak mungkin mengkhianati Mama kan?”
Hadi menghela napas panjang. Dia sudah menduganya respons Matahari akan seperti ini.
“Papa memang sudah menikah lagi dengan Tante Indira, Sunny. Maaf, Papa baru memberi tahu kamu sekarang,” ungkap Hadi.
Matahari menggelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan keputusan papanya yang telah menikah tanpa meminta persetujuan terlebih dulu darinya. Biar bagaimanapun, Matahari adalah putri kandungnya dan seharusnya Hadi membicarakan hal sepenting ini terlebih dulu sebelum membuat keputusan.
“Oh, ya, kamu juga memiliki adik perempuan. Dia hanya berbeda satu tahun dengan kamu.”
Refleks kedua tangan Matahari mengepal, mencengkeram ujung rok sekolahnya. Rahanganya mengeras, sorot matanya berubah menjadi dingin.
“Kamu jangan khawatir, Tante Indira ini orangnya baik. Dia pasti bisa menjadi sosok ibu buat kamu menggantikan Mamamu,” ucap Hadi dengan begitu mudahnya tanpa memikirkan perasaan Matahari yang saat ini sudah hancur berkeping-keping.
Lagi-lagi Matahari menggelengkan kepala, masih berusaha menyangkal kenyataan.
Indira tersenyum ramah kepada Matahari dan mendekatinya. Kemudian tanpa persetujuan wanita itu meraih tangan Matahari dan menggenggamnya lembut.
“Izinkan Tante untuk menjadi dekat denganmu. Tante akan berusaha menjadi ibu yang baik buat kamu,” ucapnya.
Matahari menepis tangan Indira hingga membuat wanita itu terkejut.
“Jadi selama ini Papa bukan sibuk kerja, tapi sibuk dengan keluarga baru Papa, begitu? Sampai-sampai Papa lupa sama aku. Papa lupa kalau aku juga butuh perhatian dari Papa,” ucap Matahari kepada Hadi.
Matahari tersenyum miring, dia memalingkan wajahnya sejenak lalu kembali menatap Hadi dan Indira secara bergantian dengan sorot tajam.
“Sampai kapan pun, enggak akan pernah ada yang bisa dan gak boleh ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini!” tegas Matahari.
Mendengar hal itu membuat Indira merasa tersinggung. Jelas terlihat dari perubahan ekspresi wajah wanita itu yang menjadi masam seperti menahan amarah kepada Matahari.
“Jaga ucapanmu, Sunny. Papa enggak pernah mendidikmu bersikap tidak sopan!” tegur Hadi.
Matahari kembali tersenyum miring. “Memangnya kapan Papa pernah mendidik Matahari, Pa?”
Mata Hadi membulat sempurna. Rahangnya mengeras disertai tatapan tajam seperti harimau yang bersiap menerkam mangsa.
“Bahkan Papa gak pernah ada waktu buat Matahari,” ucap Matahari lagi.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat sempurna tepat di pipi kiri Matahari hingga membuat kepala gadis itu langsung memaling ke kanan.
Matahari menutup matanya sembari menangkup pipinya merasakan perih dan panas juga dengungan di telinganya. Perlahan cairan kental berwarna merah keluar dari sudut bibirnya yang robek.
“Mas!” tegur Indira. Dia terkejut melihat Hadi menampar wajah Matahari tepat di hadapannya.
Khawatir terjadi sesuatu, Indira langsung menghampiri Matahari. “Matahari kamu enggak apa-apa kan?”
Matahari tak langsung menjawab. Sejenak gadis itu masih berusaha menetralkan rasa sakitnya. Kemudian Matahari melepaskan tangannya dari pipinya dan menatap Indira dengan sorot permusuhan.
Nampak jelas terlihat jejak merah menyerupai jari-jari tangan di pipi kiri Matahari dan warna merah keunguan di sudut bibirnya.
“Jangan pura-pura baik di hadapanku. Anda pikir saya bodoh? Saya tahu wanita seperti apa Anda ini sebenarnya,” ucap Matahari sinis.
“Matahari!” teriak Hadi.
“Apa? Kenapa? Belum puas nampar aku, Pa?”
Tanpa rasa takut Matahari seolah menantang emosi Hadi.
“Ayo tampar lagi, Pa. Tampar!” Matahari memberi izin kepada Hadi untuk menamparnya lagi.
Sudah terlanjur sakit. Sekadar tamparan saja, rasa sakitnya masih bisa Matahari tahan dan diobati. Namun, luka pengkhianatan dari papanya itu entah bisa sembuh atau malah semakin parah.
Sejak kecil Matahari tak pernah mendapatkan perhatian Hadi seperti yang selalu dilakukan seorang ayah pada umumnya kepada putrinya sendiri. Bahkan meskipun Matahari merengek, Hadi tidak peduli dan lebih mementingkan pekerjaan dari pada bermain bersamanya. Dan pria itu semakin tak acuh semenjak mamanya Matahari meninggal.
Matahari bergegas pergi dari hadapan Hadi yang masih bergeming di tempatnya. Entahlah apa yang tengah dipikirkan pria itu sekarang. Dia tak berhenti menatap Matahari hingga gadis itu menghilang di balik pintu kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments