"Latihannya hari ini cuman segitu. Jangan main dulu, langsung pulang. Istirahat, makan dan jangan lupa beribadah. Berdoa dan jangan durhaka sama orang tua. Bulan depan kita harus kasih satu piala emas. Semangat!" teriak Pak Meky semangat.
"Ho Ho Ho!" balas anak-anak serempak.
Pak Meky adalah guru olahraga senior yang kini membuat kuping Zidan panas karena tak henti-henti memberi kata-kata.
Bagi Zidan semua itu percuma, karena telinga kanan Zidan menangkap, tapi telinga kirinya mengeluarkan semua amanat dari Pak Meky.
Padahal sore ini Zidan perlu menyelesaikan latihan khusus. Zidan tak boleh terlambat hanya karena evaluasi panjang dari Pak Meky yang intinya hanya untuk jaga kesehatan sana.
Zidan penasaran, bagaimana mulut Pak Meky juga seatletis kakinya sehingga tak capek-capek membual. Padahal kan tinggal intinya saja.
"WOI MARTABAK!"
Zidan langsung tersentak ketika melihat tiba-tiba sebelah sepatu melayang tepat di samping pipinya. Punggung lelaki itu menegak, melihat Pak Meky was-was. "SIAP, PAK!"
Yang membuat Zidan langsung menanggapi sedramatis itu adalah karena panggilan 'martabak' yang dikeluarkan Pak Meky. Guru Olahraga penyuka warna biru itu memang suka memberi nickname bagi semua anak yang dilatihnya.
Tujuannya adalah untuk memaksimalkan kinerja dan memanipulasi lawan. Anak-anak futsal akan diberi nickname seminggu sebelum turnamen, nickname selalu berbeda di setiap turnamennya. Kadang berubah nama bunga, buah, hewan, arah mata angin ataupun makanan seperti kali ini.
Mereka akan dilatih agar terbiasa dan serius.
Jika nickname seorang anak dipanggil, maka dia harus segera sadar dan sigap menanggapi.
Dan martabak adalah nickname Zidan.
"NGELAMUN MULU, MIKIRIN APA?!" bentak Pak Meky murka. Sebercandanya Pak Meky, jika marah, beliau nyeremin.
"SIAP TIDAK, PAK!" jawab Zidan lantang, pandangannya lurus dan terlalu serius bahkan tanpa sadar ia berdiri tegak seperti anggota Paskibra yang sedang latihan.
Tanpa sepengetahuan Pak Meky, Felik menahan tawa melihat Zidan.
Zidan bisa saja seperti Singa di hadapan anak-anak, tapi di depan guru, Zidan tak lebih dari tikus penakut.
"MIKIRIN APA?!" bentak Pak Meky lebih murka. Bisa saja Zidan baik dalam skill Futsal, tapi jika sikapnya buruk, itu tak berarti apa-apa di mata Pak Meky. "Jangan mengira Bapak tak melihat kamu mengejek Bapak ketika bicara. Bapak tak butuh yang tak serius, jika kamu tidak klop sama Bapak, Bapak bisa cari yang lain."
Pak Meky melihat Zidan meremehkan. "Cowok di sekolah ini banyak."
Anak-anak langsung tertawa. Beberapa langsung bersiul dan berseru ngakak.
Tapi tidak dengan Zidan. Anak bandel itu malah tetap bergeming dengan tangan mengepal di sisi badan. Bahkan saat Pak Meky ikut tersenyum, tanda bercanda.
Menyadari anak didiknya diam, Pak Meky menyipitkan mata meneliti Zidan lebih teliti. Anak itu memang jago Futsal, tapi terlalu mudah emosi bahkan pada hal yang sepele. Kemarin saja anam itu terlibat perkelahian konyol di sekolah.
Dia terlalu temperamen dan kadang tak bisa membaca situasi dengan baik. Zidan tak bisa membedakan mana bercanda dan serius.
Dia sangat keras kepala.
Pak Meky tersenyum seulas. Justru di situ letak keistimewaan Zidan.
"Dan, gak pegel berdiri terus?" tanya Pak Meky lebih renyah. "Duduk sana," titahnya.
"SIAP, PAK, TERIMAKASIH!"
Lagi, Pak Meky mengulas senyum. Lalu berdeham, menatap semua anak didiknya setelah Zidan kembali duduk dengan gerakan formal. Zidan, anak itu memang harus dikerasi agar serius.
"Oke, anak-anak. Kita tutup latihan hari ini dengan berdoa."
*
Malam hari ini, pikiran Suki agak tenang karena tadi ia tak bertemu Felik atau Zidan dan jam tangannya sudah dikembalikan. Udi menginformasikan, saat istirahat pertama Felik dan Zidan mengambilnya sendiri di tas Suki saat Suki sedang berada di toilet.
Kini Suki tak perlu khawatir akan bertemu dengan orang asing yang terkenal bandel.
Leganya.
Suki melepas ikatan rambutnya dan segera merebahkan tubuh di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang membayangkan.
Suki tak perlu hal mewah atau luar biasa. Suki hanta ingin hidup biasa. Iya, hanya itu mimpi Suki.
Tok tok tok
Mendengar suara ketukan pintu membuat Suki segera bangkit menjadi duduk dan menoleh pada pintu yang masih tertutup.
"Iya, buka aja," kata Suki, tangannya bergerak mengambil ikatan rambut di atas meja belajar dan mengikatnya kembali dengan rapi.
Pintu terbuka, menampilkan seraut wajah ramah Ibu yang tersenyum melihat anaknya. "Uki, makan, yuk," ajaknya melangkah masuk ke kamar Suki dan duduk di sebelah anak tertuanya itu.
"Maaf kemarin Ibu nggak pulang soalnya Ayah masih ada urusan. Nggak apa-apa kan?" tanya Ibu, matanya menyendu sedih meninggalkan anaknya satu hari kemarin. "Uangnya nggak kurang kan?"
Suki menggeleng maklum. "Nggak. Suki juga baik-baik aja di sini."
"Shaki gimana?" tanya Ibu membelai rambut Suki sayang. "Nggak ngerepotin kan?"
"Nggak. Shaki juga baik-baik aja, nginep sama Alan di rumah Bibi."
Shaki adalah adik Suki yang kini duduk di kelas empat SD, sementara Alan adalah sepupu Suki dan Shaki yang umurnya satu tahun lebih tua di atas Suki. Shaki jarang ada di rumah karena bocah itu lebih akrab dengan Bi Aisyah, adik Ibu, sekaligus Ibu Alan.
Kemarin Ibu dan Ayah Suki tidak pulang. Suki memang sempat khawatir, tapi hal ini jadi biasa ketika mereka sering melakukannya. Perasaan khawatir ini hanya datang sesaat, dan Suki mudah melupakannya.
Bahkan Ibu dan Ayah pernah tak pulang selama satu minggu. Mengelola sebuah kios di pusat perbelanjaan memang bukan hal yang mudah. Ibu dan Ayah mungkin tak punya waktu istirahat jika pulang ke rumah.
Suki mengerti itu dan tak bisa menyalahkan Ayah dan Ibu karena tak bisa hadir dan menemani keseharian Suki.
"Yaudah, sekarang kita makan. Ibu udah masakkin tumis kesukaan kamu," kata Ibu masih mempertahankan senyumnya.
Karena itu, Suki tak bisa melewatkan makan bersama malam ini. Gadis itu tersenyum lantas bangkit dari duduknya. "Ayok," katanya menuntun Ibu menuju meja makan.
Di sana sudah ada Ayah, Shaki dan Alan yang menunggu kehadiran Ibu dan Suki untuk memulai makan. Menu makanannya tidak mewah, tapi Suki sudah merasa amat senang.
"Duh, Ki, cepetan dong, lapar nih," kata Alan protes. Anak itu memang tak tahu malu, tapi tetap saja keluarga Suki sayang padanya karena Alan tak pernah membuat Shaki ataupun Suki menangis.
"Iya, bentar, elah," jawab Suki membenarkan duduknya di sebelah Alan. Sementara Ibu duduk di sampingnya.
Shaki sudah hampir mengambil sebuah nugget jika Ibu tak memperingatkan. "Eits, Kiki. Baca doa dulu."
Shaki langsung cemberut, tapi menurut ketika Ayah memerintahkan anak itu untuk mengangkat kedua tangannya berdoa. Suki tertawa kecil, lantas ikut berdoa diiringi Alan yang menutup matanya syahdu.
Begitu selesai berdoa, Shaki langsung mengambil makanan dan memasukkannya ke dalam mulutnya mungil. Membuat pipinya mengembung lucu karena terlalu banyak makanan yang masuk.
"Kiki, pelan-pelan, nanti keselek," ingat Ibu pada Shaki yang langsung angguk-angguk cepat.
"Iya, Ibu bawel, deh. Kiki-UHK UHK UHK!" Shaki langsung terbatuk karena bubuk makanan yang ia kunyah masuk ke tenggorokkannya.
Ayah melotot. "Air! Air! Air!"
"KIKI!" seru Alan heboh sendiri, terlalu khawatir sampai langsung menepuk-nepuk punggung Shaki.
Suki hanya geleng kepala. Shaki memang begitu, cerobah.
"Tuh, kan, aduh," keluh Ibu geleng-geleng kepala. Ia mendorng mug kecil berisi air putih ke depan Shaki. "Nih, minum."
Alan membantu Shaki minum. Shaki akhirnya menelan air itu. Ayah, Ibu, Alan dan Suki menunggu reaksi Shaki dengan serius. Shaki masih diam, membuat semua orang di sana makin penasaran.
"Ki, kenapa?" tanya Ayah makin khawatir.
Mulut mungil Shaki tersenyum enteng. Anak itu mengangkat kedua bahu acuh. "Nggak apa-apa. Mision clear. Ayo lanjut makan."
Alan menghela napas lega bersamaan dengan Ayah dan Ibu. Sementara Suki entah kenapa merasa kesal karena Shaki terlihat mempermainkan Ayah, Ibu, Alan dan dirinya. Mukanya memang polos, tapi senyumnya, terlihat tengil.
"Ohya, Ki, gimana sekolah kamu?" tanya Ayah beralih melihat anak sulungnya yang sedari tadi diam.
"Pacaran mulu pasti," jawab Alan menyindir.
Suki mendelik. "Sembarangan!"
"Boleh, kok," kata Ibu tiba-tiba. Membuat Ayah, Suki dan Alan melepar tatapan tanya padanya. Shaki sih sibuk makan. Ibu tersenyum tipis. "Uki boleh pacaran, tapi harus di garis yang wajar. Bagi Ibu wajar aja kalau anak kelas dua SMA pacaran. Namanya juga anak muda."
"Hm," pikir Alan. "Iya juga sih. "
"Ayah nggak setuju," balas Ayah tak terima atas argumen Ibu. "Uki harus fokus belajar. Dalam peribahasa, susah dulu baru senang. Belajar dulu, sukses dulu, baru pacaran, baru cinta-cintaan."
Ibu menatap Ayah tak setuju. "Nggak bisa gitu dong, Yah! Anak muda itu harus bebas, tapi ada batasnya."
"Batas apa. Hasrat anak muda itu tak terbatas. Kadang mereka susah diatur kalau dibiarkan atau dibebaskan."
"Setiap anak beda karakter dan Uki bukan anak yang susah diatur seperti yang Ayah bilang." Ibu membalas tak kalah masuk akal. "Masa sama anak sendiri nggak percaya."
"Maksud Ayah bukan gitu-"
"Uki pasti bahagia kalau punya pacar ataupun masa pink anak umur 17 tahun." Ibu memotong denga tak sabar, namun masih dengan nada biasa aja. "Jadi it's oke kalau Uki mau pacaran atau punya pacar."
Ayah berdecak tak suka.
Suki menghela nafas, perang debat antara Ayah dan Ibu terjadi dengan bahasan anak muda itu pacaran dulu atau fokus belajar. Kemarin debat tentang halaman rumah harus ditanam buah-buah atau bunga-bungaan.
Ujungnya halaman rumah masih kosong.
Nggak capek apa debat mulu.
"Nggak, Ayah nggak setuju," kata Ayah masih bersikeras. "Anak muda nggak boleh bebas."
Ibu memutar bola mata lelah. Lalu ia melirik Suki. "Jadi kamu udah punya pacar belum?"
Suki menggeleng.
Ayah tersenyum, Ibu cemberut.
Ketika Ayah dan Ibu mau membuka mulut, Suki buru-buru berdiri dan tersenyum lebar dengan kaku. "Uki ada urusan. Uki ke kamar duluan ya, Bu, Yah, Lan, Ki. Ntar pagi Uki cuci piringnya!"
Suki lelah mendengarkan, dan dia butuh istirahat.
Tapi perkataan Ayah dan Ibu tiba-tiba teringat. Suki penasaran pada masa pink yang dibilang Ibu, tapi juga sangat setuju dengan perkataan Ayah.
Jika dipikirkan, sepertinya hidup seperti yang dibilang Ayah lebih aman.
*
A.n
Hai, gimana hari ini? Melelahkan selepas sekolah, kuliah atau kerja?
Bagaimana efek Suki untuk hari kalian kali ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
☘️ gιмϐυℓ ☘️
Ngakak liatin Shaki ngerjain ortu & kakaknya 😂😂😂
2021-09-03
1