Selepas dari toilet, mata Felik menangkap sosok cewek berkepang dua dengan kaca mata membingkai lucu wajahnya. Tubuh cewek itu mungil, pendek juga. Ketika dia berjalan diantara siswa-siswi yang lebih tinggi dan besar darinya, membuat Felik menarik seulas senyum karena lucu. Cewek itu masih memakai tas, tanda baru saja tiba.
"Gila, Ra, lucu banget, sih," gumamnya frustasi sebelum melangkah lebar menuju cewek itu. Ia ingin menjadikannya gantungan kunci saking mungilnya.
"Anak SD ngapain keliaran di sini?" tanya Felik sudah berada di samping cewek itu, berjalan bersisian.
Cewek itu langsung menoleh ke asal suara. Ketika mendapati Felik yang langsung tersenyum lebar, raut masam di wajahnya yang imut tercipta.
Teman sejak masa kecil Felik itu mendengus. "Gue bukan anak SD, lonya aja yang ketinggian."
"Gue nggak ngomong lo pendek," kata Felik jenaka.
Perempuan yang selalu bermain ayunan di TK bersama Felik itu melotot benci pada Felik, yang Felik balas dengan tatapan bingung.
"Musnah sana," balas perempuan itu jutek, mempercepat langkah supaya terhindar dari Felik.
Tak mau kalah, Felik memperlebar langkahnya seakan meledek. "Pengen dong, dimusnahin," kata Felik dengan raut muka pura-pura memelas.
Langkah cewek itu terhenti. Membuat Felik ikut berhenti. Cewek itu berbalik, menghadap Felik yang juga ikut berbalik dengan alis bingung namun seringainya masih tercipta.
"Felik Mahadika," rapal cewek itu berusaha bersabar.
"Nhafira Salsabila," ledek Felik, ikut menyebut nama lengkap cewek itu dengan nada suara yang sama.
"Argh," kesal cewek itu, mengangkat tangannya seolah ingin mencakar muka Felik ditempat. "Kesel!"
"Argh," kata Felik menirukan tangan mencakar wajah Fira, lagi-lagi dengan nada yang hampir sama. "Kesel!"
Mata Fira melotot, seperti ingin melaser Felik dan membelahnya menjadi dua agar jadi viral. Lama laser itu tak keluar, Felik mengernyit bingung.
"Ngapain?"
"Ngelaser."
"Ngelaser apaan?"
"Biar lo mati." Fira melotot marah.
Felik justru tertawa. Melihat wajah kesal dari teman sejak jaman main kelereng dan boneka bersama itu memang menyenangkan. Semakin Fira kesal, semakin lebar juga tawa Felik.
"Udah ah," cetus Fira menahan kesal dan menyenggol Felik dengan bahunya sebelum melangkah kesal menjauh dari Felik yang merasa sakit.
"Kamu salah paham, Ra, aku bisa jelasin," kata Felik kencang sambil mengejar langkah Fira. "Hei, sayang!"
Fira mengepalkan tangannya dengan mata terpejam kesal, mempercepat langkahnya kembali. Ia sudah malu karena melewati koridor yang ramai dan banyak mata yang mengarah padanya saat Felik memanggilnya kencang.
"Hei, Fira! Woi!"
Bomat! Abaikan dia Fira! Fokus satu titik, masuk kelas!
Felik agak jengkel saat Fira masih tak menggubrisnya. Entah Fira masih kepikiran masalah kemarin, atau memang moodnya hari ini sesensitif itu sehingga tak mau bercanda dengan Felik.
Cewek itu tiba-tiba berhenti di depan kelas 11 IPA 2. Felik baru menyadari ada seseorang yang Fira ajak bicara setelah mendekat. Cewek yang Fira sapa langsung terkejut ketika melihat kedatangan Felik, lalu secara mengherankan, cewek itu berlari menjauh ke ujung koridor.
"WOI! SUKI! MAU KE MANA?!"
Sayang, teriakan Fira sia-sia karena Suki sudah tertelan di belokan koridor. Felik mendekat ke samping Fira dengan wajah bingung.
"Yang tadi namanya siapa? Terus kenapa kayak lari pas liat gue?"
"Lu lagi, njir. Au ah," ketus Fira hendak meninggalkan Felik begitu saja. Namun, Felik terlebih dahulu menghadang langkahnya, dengan wajah berubah serius.
"Jawab pertanyaan gue."
Secara tak sadar, Fira mundur dua langkah dari Felik. Jujur, Felik menjadi menyeramkan jika memang ia berubah serius. Fira ketakutan, namun Felik tak menyadarinya.
"Namanya Suki," jawab Fira sambil menunduk. "Dia temen gue. Gue nggak tau kenapa dia lari pas ngelit lo, tapi satu yang pasti," Fira mengangkat wajahnya lebih berani. "Jangan gangguin dia. Jangan bikin temen gue nangis."
Felik tersenyum lebar, tapi terlihat menyeringai puas bagi Fira, kemudian menggeleng, melihat Fira tepat di mata.
"Gue nggak akan ganggu atau bikin nangis seorang cewek...," jawab Felik tersenyum manis, yang untuk sesaat membuat Fira bedebar tak jelas.
"...kecuali lo."
*
Suki masih berkeringat dingin saat Bu Rika masuk. Pelajaran sudah dimulai, tapi Suki masih belum bisa bersikap normal setelah bertemu Felik tadi pagi. Entah mengapa, Suki merasakan hal tak enak jika bertemu dengan Felik.
Sebelum bel masuk, ada Felik yang mengembalikan absen ke kelas. Felik tersenyum pada Suki, senyumnya lebar dan manis, tapi Suki malah langsung gugup dan takut, meski untuk sesaat, ada debaran aneh dalam dadanya.
Suki bertanya kenapa absen ada di tangan Felik pada Udi. Udi bilang tadi pagi ada lelaki-bukan Felik-yang tiba-tiba masuk dan bertanya apakah ada nama Uki di kelas ini. Udi menjawab tidak, tapi lelaki itu tak percaya, jadi ia mengambil absen setelah Udi ijinkan.
Suki punya firasat lelaki itu adalah Zidan.
Dan Suki berfirasat buruk akan hal itu.
"Ibu akan bagikan ini, satu orang enam biji, bikin kerajinan sekreatif mungkin. Bulan depan dikumpulkan. Jangan sampai hilang, karena Ibu nggak akan ganti, tapi kalian yang harus beli sendiri." Bu Rika menjelaskan sambil mengeluarkan 20 kantung kain hitam kecil dari goodie bagnya. "Ada yang mau ditanyakan?"
Vivi langsung mengangkat tangannya.
"Iya, mau tanya ala, Vi?" tanya Bu Rika.
"Kalau mau beli di toko apa, Bu?"
Bu Rika tersenyum, menatap seluruh anak didiknya. "Menghadap Ibu dulu, baru dikasih tau."
Anak-anak menatap ngeri Bu Rika, barusan adalah wajah Bu Rika yang memeringatkan dengan keras.
Vivi mengangguk sopan tanda mengerti. "Iya, Bu. Terimakasih."
Bu Rika mulai membagikan kantung hitam yang Suki penasaran apa isinya sambil memberi pengarahan. "Pokoknya, jangan sampai hilang."
"Kalian rugi, udah keluar uang double, waktu pengerjaannya jadi sedikit dan hasilnya jadi nggak maksimal. Jangan ceroboh ya." Bu Rika membagikan kantung hitam terakhir di meja Suki.
"Iya, Bu." Anak-anak kelas kompak menjawab.
"Buat sekreatif mungkin. Boleh pakai bahan dasar apa aja, tapi pakai hiasan ini sebagai pesona utamanya." Bu Rika berjalan kembali ke mejanya. "Ada lagi yang ingin ditanyakan?"
Suki membuka kantung hitam itu. Isinya adalah enam manik-manik stroberi berdiameter dua centimeter dengan emoticon senyum menghiasi. Rasanya tak ada yang ingin Suki tanyakan, begitu juga dengan anak-anak kelas, mereka mengerti apa yang ditugaskan.
Oleh karena itu, Bu Rika menyimpulkan. "Oke, semuanya jelas ya. Sekarang kita ulangan."
"HAH?!"
*
Suki hampir botak mengerjakan ulangan dadakan pelajaran Seni Budaya. Bukan hanya materi yang tidak ia hafal keluar menjadi soal, tapi karena soalnya ada 50 dan harus selesai dalam 30 menit. Suki sudah berusaha, namun usahanya membuahkan beban pada otaknya.
"Ah, pusing," kata Suki sambil merapikan mejanya.
Sekarang sedang istirahat pertama dan Suki berniat cuci tangan, cuci muka dan cuci otak sebelum makan. Tak lupa ia memasukkan jam tangan hitam asing kemarin ke kantung hitam agar tidak hilang dan tidak kebasahan ketika Suki di toilet.
Ah, karena jam tangan itu, Suki teringat Felik dan Zidan. Otomatis, Suki berharap. Semoga Suki tak bertemu mereka. Semoga mereka juga lupa tentang jam tangan. Atau ada orang yang bisa Suki percaya untuk mengembalikkan jam tangan itu-meski ini sangat tak mungkin.
Koridor lumayan ramai oleh orang-orang saat Suki melewatinya. Ada beberapa yang di kelas dan ada yang di lapangan.
Sejurus kemudian, Suki sampai di toilet, untuk tujuan yang tadi. Suki bercermin sambil membasuk tangannya di wastafel, dalam keheningan.
Dalam keheningan itu, Suki berpikir.
Selena tak ke kelas, artinya perempuan itu sedang ada urusan. Fira sudah bilang ia ada keperluan tugas kelompok. Zenna sedang latihan basket dan Yanti ada rapat OSIS.
Tapi tak apa.
Suki suka hening, dan ... sendirian.
*
Zidan baru saja memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak setelah mempelajari beberapa angka dan huruf yang minta diselesaikan oleh guru yang super duper menyebalkan ketika tiba-tiba Felik menggebrak mejanya dengan tak santai.
"WOI!"
Zidan langsung bangun, tatapan matanya setajam pisau belati yang bisa bikin orang-orang takut sampai pipis di celana.
"Maksud lo apaan, Nyuk?" tanya Zidan sudah sangat kesal. Ia pasti langsung memukul, andaikan itu bukan Felik.
"Eh, dah, santai. Santai, bro. Disuruh ke depan sama Pak Kumbara itu anungerah, nggak bisa ngerjain itu hidayahnya. Lo harusnya bangga, dong," kata Felik menahan tawa.
Pak Kumbara yang dimaksud Felik adalah guru matematika yang senantiasa senang melihat anak didiknya kesusahan. Misalnya, anak berotak level rendah seperti Zidan disuruh ke depan mengerjakan soal sulit, sementara yang pintar ia abaikan.
"Gua tonjok nih," ancam Zidan.
"Ampun, dah, makanya, pas pelajaran Pak Bara itu jangan tidur," nasihat Felik sok bijak. "Kena tembak, kan."
"Tembak ndasmu," sewot Zidan tak tahan menjitak kepala Felik. "Lu mau ngomong apa, bege."
Felik meringis mengusap bekas jitakan Zidan. Tapi jadi serius saat Zidan kembali menendak kursinya.
"Buruan, gue mau tidur," desak Zidan tak sabar.
"Iya, njir," balas Felik ikut sewot. "Untung gue temen, jadi gue sabar. Nama cewek yang ngambil jam tangan lo Suki."
"Siapa?"
"Suki."
"Ffffftttt," Zidan menahan tawa, membuat Felik mengernyit bingung. "Namanya bikin ngakak. Sekalian Sukiman aja, hahahaha."
"Nggak boleh gitu, Ege, dosa! Kasian emaknya, Nyuk!" Felik berseru merasa benar. Tapi sedetik kemudian tertawa bersama Zidan. "Tapi ngakak juga sih, hahahaha."
Zidan langsung berhenti tertawa. "Felik gobs," katanya sambil bangkit berdiri. "Ayo samperin dia sekarang."
"Nggak bakal makan?" tanya Felik menyusul langkah Zidan.
"Ntar aja istirahat kedua."
Felik mengangguk, setuju saja karena ia belum merasa lapar karena tadi sudah memakan roti isi milik Diana jam delapan saat jamkos. Zidan masih berjalan lurus dengan ekspresi jutek ketika banyak yang melihatnya berbunga-bunga.
Ya, namanya juga Zidan. Dia memang seperti itu. Tak ada yang bisa mengubahnya ketika Zidan tak mau berubah.
Tak lama, mereka berdua sampai di kelas 11 IPA 2. Kelas itu bersih, tapi sususan mejanya acak-acakkan seperti diterpa angin topan saat Zidan dan Felik masuk. Hanya ada satu orang di sana.
Orang yang Felik kenali sebagai Udi dan cowok cupu mesum di mata Zidan.
Udi menoleh dari ponselnya, menatap penuh tanya pada Felik dan Zidan. "Ada perlu apa?"
"Mejanya Suki di mana?"
*
A/N
Hai, sejauh ini bagaimana pendapat kamu tentang Suki si anak rumahan?
Tunggu dan bertahan untuk mendapatkan sensasi lebih. Heheheh, bye!
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Linggar
kq nanyanya rada jadul Thor
2021-11-05
0
☘️ gιмϐυℓ ☘️
Sebagai anak rumahan,Suki terlalu overthinking...takut duluan sebwlum kejadian...tapi dia hatinya baik
2021-09-03
5
mrs i
baru baca
2021-08-01
2