"Lihatlah langit berbintang ketika kamu rindu seseorang, barangkali dia juga melihat lagit yang sama."
*
Dulu, saat Suki kecil, ia berjanji bahwa apapun jalan yang akan Suki ambil di masa depan, Suki kecil akan menerimanya jika hal itu tidak merugikan dan mengganggu waktunya di rumah.
Suki masih suka berdiam di rumah dan beraktivitas di sana. Tak apa tanpa teman, tanpa bincangan remaja ataupun rencana kencan bersama lawan jenis. Suki suka kesunyian dan ia menikmati kesendirian.
Juga menghindari berhubungan dengan orang asing yang tak jelas lebih dari satu hari.
Suki hanya ingin hidup damai, tanpa hambatan dan rasa mengganjal.
Tapi seberapa banyakpun Suki mencoba berpikir tenang, bayangan kejadian tadi siang masing hangat di ingatannya. Malam ini dingin, namun Suki berkeringat dan berdebar saat membayangkan hari esok.
Mungkin, sangat mustahil si jaket merah tadi akan menemui Suki lagi-
"Huuuuuuft," keluh Suki was-was.
-jika kini tak ada jam tangan asing berada di tangan Suki!
Suki tak tahu apa yang membuatnya mudah memiliki barang asing. Suki juga tak tahu bagaimana caranya sebuah jam tangan asing berada di saku roknya. Entah saat Suki mengambil tas hitam milik si jaket merah atau memang ada saat Suki tanpa sadar memasukkan jam tangan itu ke saku roknya.
"Ini gimana?" khawatir Suki melihat jam tangan hitam di atas meja belajarnya. "Kenapa gue hari ini sih?"
Suki melirik jam dinding, baru pukul enam lewat tigapuluh malam. Menghela napas sekali lagi, perempuan berambut sebahu itu melangkah dekat jendela dan membukanya. Membuat poni dan anak rambutnya bergerak diterpa angin malam yang sejuk.
Gadis itu menutup matanya, mencoba rileks. Menghirup udara dengan pelan, kemudian mengeluarkannya perlahan. Setidaknya Suki harus bisa lebih tenang sejenak untuk menghadapi hari esok.
"Ah, ada bintang," gumam Suki tersenyum tipis melihat langit malam yang dihiasi kerlip bintang.
Lama Suki memandanginya.
Matanya menyendu ketika teringat seseorang. Suki menghela napas sebelum bicara pada langit berbintang itu. "Gue nggak tau jenis-jenis atau rasi bintang yang selalu lo omongin, tapi gue harap sekarang lo lagi lihat langit. Bintangnya cantik-cantik."
Satu bulir air mata menitik di pipi kiri Suki. Ada yang menyendat hatinya dan membuat Suki tiba-tiba sulit bernapas. Napasnya terengah, dan akhirnya Suki menangis terisak kecil.
"Suparman, kapan sih lo dateng," kata Suki disela isak tangisnya yang pelan. "Gue kangen," katanya menatap langit berbintang seolah meminta permohonan.
Hanya hening yang menyambut permohonannya.
Suki menghela napas lelah sebelum menutup kembali jendela dan menghapus jejak air mata di pipinya. Entah sejak kapan Suki menjadi serapuh ini, tapi ini pertama kalinya Suki benar-benar membutuhkan kehadiran Suparman.
Suparman selalu jadi pendengar dan penasihat cerita hidup Suki. Suparman selalu menemaninya, Suparman membuatnya bahagia. Kehadirn Suparman melengkapi hidupnya. Tapi, Suparman harus pergi dan membuat Suki kesepian selama dua tahun ini.
Dan malam ini Suki kembali mengingat Suparman karena melihat bintang di langit.
Dulu, ada saat di mana Suparman mengajak Suki ke taman setelah acara sukuran di rumah teman. Suki mengajak Suparman langsung pulang ke rumah, namun Suparman mengatakan bahwa ia ingin diam dulu di taman.
Tak tega membuat Suparman sendirian dan karena baru pukul enam malam, Suki ikut duduk di sebelah ayunan yang Suparman dudukki.
Suparman menegadah ke langit. "Liat, Ki, ada bintang," katanya senang menunjuk salah satu bintang yang paling terang.
Suki melihat senyum Suparman lalu ikut melihat arah yang sama. Seulas senyum terbentuk repleks di wajahnya. "Cantik."
"Cantik karena dilihat sama temen."
"Emang kalau dilihat sendiri gimana?"
Suparman menggedikkan bahu. "Gatau soalnya gue nggak pernah nyobain. Tapi gue rasa nggak akan lebih berkesan daripada kalo dilihat sama temen."
Suki hanya tersenyum menanggapi perkataan Suparman. Malam itu adalah malam pertama Suki melihat bintang dengan teman.
Dan malam ini adalah pertama kalinya Suki melihat bintang tanpa teman. Senyum pahit terukir di wajahnya.
Iya, lo bener. Rasanya nggak lebih berkesan dibanding saat gue melihatnya sama lo. Batin Suki.
Mungkin Suparman tak tahu, tapi Suki senantiasa menanti kedatangannya kembali. Dan ketika saat itu tiba, Suki akan mengatakan segalanya.
Segala rasa yang Suki punya untuk Suparman.
Suki hanya perlu menunggu Suparman.
Suara getar ponsel di atas meja membuat lamunan Suki pecah. Di layar tertera nama sang penelepon, Selena. Tak memakan waktu lama, Suki sudah duduk di kursi belajarnya dengan ponsel menempel di telinga, menjawab panggilan.
"Ada apa, Sel?"
"Eh, lu, Suki. Gue pengen ketemu langsung sama lo biar leluasa, tapi sayangnya nyokap gue gak ngijinin karena dia takut sendirian di rumah. Yaudah gue jadi gak bisa ke rumah lo."
"Iya, terus?"
"Jangan. Nanti nabrak."
Suki menghela napas sabar. "Selena. Bilang apa keperluan lo atau gue tutup teleponnya."
"Et dah, galak amat, pantesan jomblo terus."
Suki berdecak dan Selena cepat-cepat merespon kelewat heboh. "Eh, jangan! Jangan! Jangan! Jagan ditutup dulu, gue mau tanya sesuatu yang penting nih."
"Iya, apa?" ketus Suki.
"Untung lo sepupu gue, udah bagus gue perhatiin, eh, balesannya gak jauh indah dari tai ayam."
"Please ya, kalo lo bacot no sense lagi gue langsung tutup."
"Iya, iya, gue mau serius sekarang." Selena berdeham di sana. "Lo inget tadi gue mau ke kelas lo tapi gak jadi?"
"Eh-hm, terus?"
"Lo tau kenapa?"
"Karena tiba-tiba kebelet pipis jadi lo balik lagi?" tebak Suki.
"Bukan," balas Selena seperti menahan amarah. "Itu karena ada Felik sama temen-temennya di kelas lo?"
"Hah?"
"Ada lima cowok yang masuk ke kelas lo pas gue mau nyamperin lo buat minjem catatan bahasa inggris."
"Oh mereka."
"Iya! Mereka ngapain ke kelas lo?"
Suki tak mau membahas lebih lanjut, tapi Selena langsung bersuara. "Cerita aja, Ki. Gue jadi sepupu lo buat apa? Buat nemenin lo kalo ada masalah, kalo ada kesusahan. Lo boleh aja bahagia tanpa gue, tapi jangan sekalinya lo sedih sendirian."
Suki terperangah, merasa amat tersentuh sampai air matanya hampir keluar lagi. Dadanya sakit, tapi senyum senang merekah di wajahnya.
Air mata Suki meleleh, ia menutup mulutnya mencoba menghentikan tangis.
"Dan lagi tadi gue liat Felik ngerubungin meja lo. Itu kenapa?" tanya Selena lagi. "Gue sengaja nggak tanya ke orang lain, karena gue mau cerita yang sebenarnya dari lo."
"Selenaaa......" lirih Suki menangis. "Gue takut."
"Takut kenapa? Lo diapain sama Felik?" tanya Selena khawatir.
"Jadi gini....." akhirnya Suki bercerita bagaimana pertama kali ia mengambil tas asing secara tak sadar dan kini ada jam tangan asing di tangannya. "Btw, Felik itu siapa sih? Yang pake jaket merah?"
"Iya. Dia anaknya bandel, pokoknya lo jangan berurusan sama dia atau temen-temennya. Ba. Ha. Ya."
"Iya, gue juga pengennya gitu." Suki berdecak melirik jam tangan hitam itu. "Tapi masalahnya ini jam tangan. Pasti Felik datangin kelas gue lagi."
"Tinggal kasih doang elah."
"Takut, Selena. Gue takut. Gue gak biasa hadap-hadapan sama anak yang suka gelut. Tadi pagi aja gue keringet dingin liat yang gelut di lapang."
"Oh, lo liat yang gelut?"
"Iya." Suki mengangguk, walau tau Selena tak bisa melihatnya. "Si Felik kan?"
"Ck, bukan. Lo ini kudet banget sih, anak bandel yang terkenal gitu aja kagak tau. Mereka ditakuti karena suka mukul orang, juga ngebully mereka yang lemah atau nentang." Selena jadi mengomel, membuat Suki cemberut kesal. "Yang gelut itu Zidan sama Opik, gue denger mereka sekarang dihukum bersihin kantin sama lapangan. Zidan di lapangan, Opik di kantin."
"Terus Felik siapa?"
"Temennya Zidan."
"Oh."
"Oh doang?"
"Terus gue harus apa?"
"Zidan tuh berandalan, galak, sensian dan nyeremin. Felik sih mendingan. Kalo diibaratkan, Felik tuh masih beruang, sedangkan Zidan tuh udah Singa." Selena bercerita panjang. "Sentuh dikit, abis lo."
"Kan ada lo. Temenin ya."
"Ck." Selena seperti menahan kesal. "Besok gue gak sekolah karena mau ke nenek dan gak bisa nemenin lo."
Suki berubah was-was lagi. "Gue harus menanggung sendiri?"
"Siapin aja mental dan jiwa raga, besok Zidan pasti ke kelas lo. Soalnya, jam tangan itu."
"Jam tangan itu?"
"Ada plester batiknya gak?"
Suki melirik jam tangan itu dan baru menyadari ada plester batik awan biru melekat di sana. "Ada."
"Fixs. Itu jimatnya Zidan."
Malam ini, berkat perkataan Selena, Suki bergadang dengan pikiran tak tenang semalaman sampai pagi menjelang.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
aprilia
berasa abg gw
2021-11-12
0
☘️ gιмϐυℓ ☘️
Baca nama Suparman aku kok mendadak kelingin ngakak 😂😂😂
2021-09-03
3
❤Zunaisha gamara 👌🌹
suparman 🤔🤔🤔sahabatx si parmin ya thoor.. yg saudarax paijo ' klo ga slh ponanakanx paimin sama ngatimin ya...???
2021-08-30
0