Dandelion Season 2
Bulir-bulir air menuliskan garis di permukaan kaca. Udara dingin di luar sana lengkap membungkus jiwanya yang kosong. Perhatian pemuda itu terfokus, pada jendela besar yang masih menampilkan potret dunia yang didominasi kelabu.
"Belajar. Bengong mulu. Kau pikir lembar jawabanmu nanti bakal keisi gitu aja kalo cuma diliatin?"
Ucapan itu mengundang decakan kesal. Angan yang susah payah ia rajut dalam lamunan seketika buyar karena ulah sahabatnya. "Aku udah nggak kuat Arga. Kau nggak liat kepalaku sampe berasap gini? Otakku kebakar nih," sahut Taufan hiperbola.
Entah sudah keberapa kali ia mengeluhkan hal yang sama. Lawan bicaranya pun juga sepertinya sudah bosan mendengarnya. Dari awal memang mustahil, mengejar ketertinggalannya dalam waktu sesingkat ini.
Taufan baru kembali ke sekolah belum lama ini, setelah absen sekitar satu bulan. Sepulang dari rumah sakit, Hali masih mengurungnya di rumah selama seminggu. Sesuai arahan dokter. Memastikan dirinya benar-benar siap untuk beraktivitas lagi.
Belum habis bahagia nya karena terlepas dari pengawasan sang Kakak. Tiba-tiba saja ujian tengah semester sudah di depan mata. Datang bersama dengan musim hujan yang tak pernah Taufan suka.
Dingin yang membekukan, tanah-tanah becek nan kotor, serta air yang menggenang di permukaan cekung. Tak ada yang Taufan sukai dari musim hujan selain udara segar selepas ia reda.
Tapi Ibunya dulu pernah berujar, jika hujan adalah bukti kemurahan hati semesta yang patut disyukuri. Sejak saat itu ia mencoba untuk berhenti membenci, meski pada kenyataannya sering kali terpungkiri. Tetap ada sisi hujan yang tidak ia suka.
"Nggak usah lebay. Lagian seminggu di rumah ngapain aja? Percuma dong tiap hari aku ngasih pinjeman catatan kalo ujung-ujung nya cuma buat alas tidur." Ujar Arga.
Taufan berdecak, "Ish, aku ketiduran juga gara-gara kecapean belajar asal kau tau. Tapi emang dasar kapasitas otakku cuma segini, mau gimana lagi?" Dia sudah pasrah. Hanya tersisa beberapa hari di kalender sebelum tiba hari ujian. Dan ia harus mengejar ketertinggalannya hanya dalam satu minggu? Jangan gila. Kalau pun ia mampu, sudah dipastikan dirinya yang lebih dulu gila.
"Kak Taufan kenapa lemes gitu? Sakit?"
Taufan mendongak, saat suara Ken menyapa dari kejauhan. Anak itu baru saja datang. Setelah sebelumnya izin untuk mengurus suatu hal di ruang OSIS. Mereka janji untuk pulang bersama. Tapi sekali lagi, hujan menahan mereka. Memaksa untuk tinggal lebih lama, hingga setidak nya rintiknya cukup reda untuk dilawan.
"Kena mental dia," ujar Arga dengan kekehan.
"Ya kau kira. Baru sembuh udah disuruh mikir berat. Siapa yang nggak stress? Buat kalian yang juara kelas, ujian kek gini mah kacang. Lah buat aku yang langganan peringkat akhir? Bencana."
Ken menghela nafas lelah. Sebelum bergerak menarik kursi di hadapan Taufan dan duduk di sana.
"Jangan pesimis gitu dong, kak. Emang kak Taufan mau, nggak naik kelas terus kita jadi satu angkatan? Nggak malu diledekin sama adek kelas?"
"Jangan bikin makin down dong," rutuk Taufan di sela istirahat nya. Kepalanya sudah ia rebahkan.
Mekedar memejam, walau hanya sejenak. Rasanya terlalu berat untuk sekedar mengangkat nya, dengan rumus dan hafalan materi yang hanya berputar di memori tanpa ia pahami maksud nya.
Masih menjadi misteri bagi Taufan, mengapa ia bisa seberbeda ini dengan kedua saudara nya. Tidak mungkin kan, saat pembagian otak, ia bolos. Atau ibunya yang pilih kasih membagi kecerdasan karena ia anak tengah?
Ah, mana ada hal seperti itu?
Bohong bila ia tidak iri melihat prestasi yang kedua saudaranya torehkan. Satu lemari penuh piala yang menghias ruang keluarganya, hanya sebagian kecil dari segudang kejuaraan yang kakaknya menangkan di berbagai bidang. Taekwondo, cerdas cermat, penulisan artikel ilmiah, tak terhitung lagi piagam penghargaan dan medali yang ia raih. Sedari dulu Hali memang kebanggaan keluarganya. Sosok putra idaman, sekaligus kakak yang selalu bisa diandalkan.
la juga salut dengan kepimpinan dan pola pikir adiknya, yang ia rasa sangat dewasa dan solutif dalam menghadapi masalah. Sampai pada tahun pertamanya di sekolah menengah atas, ia mampu menjabat ketua OSIS. Masalah otak tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah dapat dipastikan, jika namanya akan menjajaki peringkat atas di setiap ujian. Tipe siswa kesayangan para guru.
Sementara dirinya hanya dikenal biang onarnya sekolah, tukang bolos, dan sebutan lain yang berstigma negatif.
Tak lebih dari murid nakal yang sering di tandai oleh guru BK. Tak ada hal yang patut dibanggakan darinya. Sebenarnya di mana letak salahnya?
"Kalian masih di sini tenyata." Ketiganya menoleh, bahkan Taufan yang baru saja menutup mata. Hanya untuk mendapati sosok Yasha yang berjalan menghampiri.
"Kak Yasha ngapain di sini?" Ken menatap heran pada wakilnya di OSIS.
"Balikin buku, sekalian mau minjem buku lagi. Kalo tau kau bakal ke perpus kan mending bareng. Kalian juga lagi persiapan UTS ya? Boleh gabung?" la beralih pada kursi kosong di samping Taufan setelah memperoleh anggukan.
Menjelang ujian, perpustakaan memang buka lebih lama dari biasanya. Menfasilitasi mereka yang masih ingin tinggal di sekolah untuk belajar, atau mencari referensi pembelajaran lainnya. Mungkin juga bagi mereka yang sekedar mencari tempat nyaman untuk ber rehat.
"Gimana progres belajar kalian?" Yasha lebih dulu membuka obrolan.
"Ah, please jangan bahas apapun soal belajar, atau apapun itu yang berhubungan dengan ujian." Taufan kembali membenamkan wajahnya dalam setumpuk buku di depannya. Menggunakan tangan menyumpal untuk kedua telinganya. Sama sekali tak ingin mendengar.
Yasha yang bingung akan tingkahnya lantas melempar pandang pada Arga.
Arga memutar jari telunjuknya, mengarah pada pelipisnya. 'Pusing gara-gara ujian sebentar lagi', begitu katanya.
Dan Yasha memahaminya. Tentu saja. Siapa yang tidak bingung jika berada di posisi Taufan? Dirinya juga pasti akan tertekan.
"Em, mau aku bantu? Aku bisa mengajarimu matematika dan peminatan IPA yang kau ambil. Aku ada rangkuman dan rumus. Kalau kau mau, aku bisa meminjamkannya," tawar Yasha.
"Percuma, Yas. Buat dia tetep susah. Bebal banget ni anak diajarin gimana juga-Akh.." Arga memekik tertahan. Dalam hati mengumpati sahabatnya yang menatapnya tanpa dosa setelah membuat tulang keringnya memar karena ditendang.
"Kau temenku bukan si? Bukannya bantuin atau ngasih dukungan, malah ngomel nggak jelas dari tadi," sahut Taufan tersulut. la sudah cukup pusing dengan pelajaran dan sekarang justru kian dijatuhkan.
la tahu, ia bodoh, tanpa perlu diperjelas. Tidak seperti Arga yang langganan juara olimpiade.
Selama ini ia menutup telinga, atas omongan orang-orang yang sering mempertanyakan mengapa Arga mau berteman dengan murid. pemalas seperti dirinya. Selalu dibandingkan sudah seperti makanan sehari-hari baginya. Tapi ia tak pernah mempermasalahkannya. Selama tindakannya tidak merugikan orang lain.
Ia juga mempersilahkan siapa saja yang mau berteman dengannya, tidak ingin pun bukan masalah. Tak perlu mengemis status pertemanan.
"Heh, terus selama ini kau anggep apa hah? Yang bawain catatan tiap balik sekolah ke rumahmu. Yang ngajarin. Yang bantuin bikin tugas. Kau kira aku ngelakuin itu semua cuma gabut?" ujar Arga yang tak habis pikir.
"Kok jadi nyolot sih? Kau mengungkit kebaikanmu? Kalau nggak ikhlas ya nggak usah dilakuin. Selama ini aku juga nggak memintamu buat membantuku, kan? Gitu aja ribet," balas Taufan tak kalah sengit.
"Kak, udah. Ini perpus. Arga, kau juga udah. Ntar dimarahin sama penjaga perpus kalo ribut terus." Meski Ken berhasil meredam pertikaian di antara dua kepala yang saling berselisih. Tapi jelas terasa hawa permusuhan yang kian memanas, terbaca dari kontak mata yang mengobarkan api. Menghadirkan suasana canggung bagi keberadaan lain di sana.
"Gimana kalau abis ujian kita nonton? Aku lihat banyak film bagus rilis minggu depan?" tawar Yasha menengahi. Ia hanya merasa perlu membantu Ken mengakhiri perang dingin ini. Sepertinya semua orang menjadi emosional karena mendekati ujian.
"Nggak. Males bareng orang yang nggak tahu terima kasih kayak dia," Ucap Arga seraya membereskan mejanya. Sebelum akhirnya beranjak dan berlalu begitu saja.
"Siapa juga yang mau sama manusia songong kek dia," desis Taufan sesaat setelah kepergian Arga.
Ada bagian dalam diri mereka yang retak. Kecewa dan sakit hati. Tak bisa dijabarkan. Hanya saja, ego yang lebih berseru di atas segalanya. Terlalu keras sampai sebuah kata maaf yang menjadi obat dari segala masalah saja tak mampu terlontar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments