Angkasa masih diwarnai abu, dan awan gelap menggulung, memayungi kota kecil itu. Hingga pagi menjelang pun, tangis nya seakan enggan mereda. Tidak terlalu deras, tapi cukup untuk membuat seseorang basah kuyup, jika terlalu angkuh menerobos di antaranya.
"Ah, sial! Jadi kotor kan." Umpatan saja rasanya tak cukup untuk melampiaskan kekesalan pemuda itu. Bagaimana tidak? Seragam putih-abunya berbekas bercak noda lumpur karena ulah pengendara yang seenak jidat melajukan mobilnya di jalanan tergenang.
Ia tidak mungkin memutar arah hanya untuk mengganti pakaiannya, di saat sekolah hanya tinggal beberapa belokan ke depan. Alhasil ia hanya bisa membersihkannya di toilet sekolah berbekal tissue yang Ken berikan. Sementara adiknya itu sudah lebih dulu pergi karena ada quiz.
"Aduh, udah bel lagi." Langkah nya dibawa cepat menyusuri koridor. Yang semula penuh lalu lalang siswa dan keramaian di sepanjang lorong seketika teredam bel masuk.
Kembali ia merutuki letak kelasnya yang jauh dari gedung utama dan membuatnya harus bersusah payah meniti tangga hingga lantai tiga. Ia hanya berharap guru sejarah yang terkenal garang itu belum sampai lebih dulu sebelum dirinya.
Tapi jika semesta sudah berkehendak, apalah daya kita yang hanya bidak pion yang digerakan takdir?
"Taufan, kamu telat lagi?!" Suara berat lelaki paruh baya itu menggema di sepenjuru kelas. Menciutkan nyali orang-orang yang hanya mendengar seruan nya.
Sementara si tersangka masih bertahan di ambang pintu. Mengukir senyuman konyol tanpa dosa di wajahnya. "Bukan telat Pak. Bapaknya aja yang kepagian masuk kelasnya. Mataharinya aja belum keliatan, Pak."
"Bisa ya Kamu anggap omongan Saya bercandaan?! Udah tahu telat, bukannya minta maaf karena sudah mengganggu jam pelajaran saya, malah cengar-cengir." Nada bicara guru itu sudah naik satu oktaf. Sudah cukup muak dengan polah muridnya satu itu.
"Maaf pak," lirih Taufan seketika tertunduk. Meski tak sepenuhnya menyesal. Ia hanya ingin mengakhiri ini dengan cepat dan segera menuju kursinya. Tapi harapnya pupus di angan. Saat guru itu kembali menyuarakan kalimat yang membuat tangannya harus terkepal erat, menahan emosi yang membuat dadanya bergemuruh.
"Heran saya sama kamu. Padahal Adikmu itu termasuk siswa teladan. Banyak prestasinya. Nilainya juga selalu membanggakan. Kenapa kamu bisa seberbeda ini? Sudah tau nilai nggak pernah tuntas, tapi masih aja sering bolos. Harusnya kamu sebagai kakaknya bisa ngasih contoh yang baik buat adik kamu. Sebentar lagi kamu juga udah mau kelas tiga. Seenggaknya belajar yang bener. Biar lulus nanti bisa langsung kerja, kalau nggak mau melanjutkan ke perguruan tinggi."
"Maaf Pak, kalau saya tidak bisa memenuhi ekspektasi Bapak dan guru-guru lainnya. Tapi saya rasa Anda tidak berhak berkata demikian. Tugas anda sekalian sebagai pengajar adalah mendidik dan menuntun anak-anak bebal seperti saya agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Bukan untuk membandingkan atau mendiskriminasikan siswanya. Apalagi sampai mengaitkan nya dengan kehidupan pribadi. Urusan saya yang berbeda dengan adik saya itu tidak ada hubungannya dengan Bapak. Saya rasa Bapak cukup paham apa yang saya maksud."
Percayalah, mati-matian ia menekan nada bicaranya agar tidak ikut meninggi. Kendati dalam hati, dengan keras ia meneriakan umpatan. Jika bukan karena rasa hormatnya pada orang yang lebih tua, sudah pasti tak ada kata damai di antara mereka.
"Huh, kamu ini kalau dikasih tahu, selalu aja ngejawab. Ya udah, besok pagi kumpulkan tugas dari bab 4 sampai bab 6, di meja Saya. Sebagai pengganti absensi kamu yang kosong. Biar sekalian kamu belajar buat mengejar ketertinggalan selama nggak masuk. Sekarang kamu boleh duduk."
Tanpa sepatah kata, Taufan berbalik. Masih dengan dongkol yang mengikat kuat di dasar hati. Memangnya siapa yang suka dibanding-bandingkan?
Terlebih oleh orang asing yang sama sekali tidak memahami kita. Selama ini ia sudah cukup sabar menghadapi orang-orang yang tak pernah mengerti kondisi nya. Tapi tak lantas ia juga akan diam saja saat harga dirinya diinjak-injak.
Langkahnya tiba-tiba saja terhenti, beberapa meter dari bangku yang biasa ia tempati. Mendapati tatapan datar dari pemilik lensa nila itu justru membuatnya kian jengkel.
"Ver, tukeran tempat dong," ujarnya pada Vero, salah seorang temannya yang duduk di deretan kedua.
"Ha? Kenapa emang?"
"Nggak mudeng aku kalo di belakang. Kena sembur lagi aku ntar," tukasnya beralasan.
"Taufan, cepat duduk."
"Tuh, kan. Buruan Ver,"
"I-iya udah deh."
Dan dalam sekejap, meja kursi itu menjadi hak milik Taufan. Sebenarnya ia hanya malas saja. Jika teringat pertengkarannya tempo waktu dengan Arga. Semenjak hari itu, mereka tak lagi bertegur sapa. Memasang jarak, membangun batas dan mulai bersikap tak acuh satu sama lain.
****
Pada akhirnya, tribun lapangan indoor menjadi tujuan akhirnya menghabiskan istirahat makan siang. Menepikan lelahnya sejenak, setelah memaksa otaknya melahap semua pelajaran di paruh pertama. Membuat kepalanya pening.
Sengaja ia memilih tempat yang jauh dari keramaian. Hanya untuk menghindari omongan yang tidak mengenakan tentang dirinya. Kabar berita tentang penculikan itu menjadi pembicaraan hangat satu sekolah.
Sudah bisa dipastikan, jika kantin akan penuh dengan orang-orang yang kepo dengan kronologisnya. Dan ia malas menanggapinya.
Tapi sebenarnya bukan di sana letak masalah nya. Tapi bagaimana orang yang mulanya bersimpati, kemudian mulai mengaitkan dengan persaudaraan mereka. Yah, memang tak banyak yang mengetahui kalau mereka saudara kandung.
Selama ini orang menganggap nama depan mereka hanya suatu kebetulan. Karena Ken tak pernah menyinggung apapun soal nama keluarga mereka, dan secara tidak langsung juga Ken sudah tidak menganggapnya keluarga. Mungkin juga karena terlalu malu memiliki kakak biang onar seperti nya. Tapi Taufan sendiri juga tidak berminat mengumbar status persaudaraan mereka.
Tapi biarlah itu menjadi cerita lama. Sayangnya, orang-orang lebih senang dengan masa lalu. Mendadak semua orang berlagak seperti ahli.
Dengan spekulasi mereka sendiri menciptakan hipotesis yang banyak dipercayai. Padahal tak satupun yang mereka pahami. Dan yang paling ia benci, saat orang-orang egois itu membandingkannya. Antara dirinya dan Ken.
la tidak pernah menyalahkan Ken. Karena ia pikir berbeda itu wajar. Bahkan saudara kembar pun, kalian tidak bisa menuntut persamaan yang simetris di keduanya. Jika pun ada yang harus disalahkan, ia akan menyalahkan mereka yang berpandangan sempit tentang hubungan saudara yang harus memiliki kesamaan.
"Dengerin apa sih? Serius amat." Taufan tersentak saat salah satu earphone -yang sedari tadi jadi teman sepinya-tiba-tiba berpindah tangan.
"Yasha!? Sejak kapan kau di sini?" pekiknya nyaris berteriak begitu menyadari gadis itu sudah di sampingnya.
Yasha mendengkus. Saat ia dapati tak ada lagu yang Taufan putar di sana. juga hadirnya yang terlambat untuk disadari. "Dari tadi. Dari pertama aku masuk dan melihatmu sendiri. Dipanggil berkali-kali gak nyaut, ternyata ngelamun," sungutnya kesal. Lantas mengembalikan earphone yang dirampasnya. Tapi detik berikutnya ekspresinya melembut. Seakan lega telah berhasil menemukan keberadaan lelaki itu, "Kau ngapain di sini?"
"Makan siang," tutur Taufan dengan polosnya. Menunjuk onigiri dan susu kedelai yang ia beli di koperasi tadi.
Sekali lagi Yasha menghela napas lelah. Entah lelaki itu tengah menguji kesabarannya dengan berpura-pura bodoh, atau memang tidak mengerti ucapannya. "Maksudku... kau ngapain di sini sendirian? Biasanya juga sama Arga?"
"Emang musti banget ya kemana-mana sama dia?" Suara Taufan terdengar sinis. Jelas sekali jika hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Sementara Yasha tahu, mereka berteman bukan hanya setahun dua tahun. Di mana ada Arga, di situ ada Taufan. Begitupun sebaliknya.
"Kalian masih berantem ya?" tanya Yasha berhati-hati. Ia hanya tak menyangka permasalahan sepele semacam itu akan berlanjut sampai seperti ini.
Taufan terdiam, cukup lama. Hanya untuk merenungi kembali pertengkaran tempo hari. Tak ada satu pun dari mereka yang mengibarkan bendera permusuhan. Hanya saja pertemanan mereka memang sedang renggang. Bukankah itu wajar?
"Nggak juga sih. Kau sendiri ngapain di sini? Biasanya istirahat nya anak OSIS sibuk di ruang OSIS." Pertanyaan Taufan sukses membuat Yasha kelabakan. Tidak mungkin ia mengatakan kalau dirinya sengaja mencari Taufan kan?
"A-ah... itu..."
"Nyariin aku ya?"
"Idih, pedenya selangit. Tadi tuh aku cuma kebetulan aja lewat sini. Nggak sengaja melihat mu sendiri. ya udah aku samperin sekalian. Ngomong-ngomong, gimana persiapan ujiannya? Lancar?"
Taufan terkekeh melihat gelagat Yasha yang tak pandai mengontrol ekspresinya saat menyembunyikan sesuatu.
Tangannya beralih meraih botol minumnya, menyesapnya perlahan. Memilih berhenti menggoda gadis itu, dan berganti topik seperti yang Yasha katakan.
"Aku udah mau pasrah aja. Tapi tetep usaha kok. Cuma hasilnya nanti gimana, aku angkat tangan."
Sungguh, kali ini ia hanya akan mengikut kemana arah takdir akan membawanya. Kalaupun di ujung nanti tidak seperti yang ia harapkan, setidaknya ia pernah berusaha.
"Kalau butuh bantuan bilang aja. Aku pernah bilang, kan? Jangan ragu buat ngontak aku. Walau aku cuma bisa bantu materi yang kaitannya sama IPA sih. Tapi kalo ada yang bisa aku, pasti aku bantu. Pokoknya semangat," tutur Yasha.
Seperti ada perasaan hangat yang perlahan yang merangkak, dan berhenti tepat di dadanya. Tersentuh karena selalu ada orang yang tulus peduli padanya.
"Iya, di kasih semangat gini aja udah bantu banget kok. Makasih ya,"
Saat itu, mungkin Yasha tidak menyadari bahwa dirinya telah terlena akan senyum manis pemuda itu. Sorot mata yang lembut menatap membuatnya lupa akan dunianya sesaat. Ia mengerjap pelan, berusaha menarik kembali atensinya yang terasa sulit dialihkan. Mengalihkan pandangan sembari mengatur kembali debaran yang menggila dalam dirinya.
"Oh ya," Yasha menoleh, saat Taufan kembali bersuara. "Gimana kalau abis ujian nanti kita nonton? Kau bilang ada banyak film bagus, kan? Mau nonton bareng? Nanti aku ajak Ken sekalian. Gimana?"
Tanpa ragu, Yasha mengangguk cepat. "Boleh~" Ujarnya sembari menunjukkan senyuman manis nya pada Taufan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments