"Udah puas ghibahin nya?" Suara yang hadir di tengah-tengah mereka, sontak membuat seluruh atensi tertuju pada satu objek yang berdiri di ambang pintu. Raut tenang dengan seulas senyum di bibir tipisnya justru menciptakan kengerian tersendiri bagi siapapun yang melihatnya.
"T-Taufan?"
Entah sejak kapan lelaki yang asyik mereka bicarakan sedari tadi itu berada di sana. Dan entah, seberapa banyak hal yang ia dengar. Yang pasti, tak seorangpun berani bersuara. Nyali mereka ciut. Sinyal dalam diri mereka menyerukan tanda bahaya. Tapi tubuh mereka terlanjur kaku untuk bergerak.
"Kalo belum puas, silahkan dilanjut. Aku masih bisa nunggu sampe selesai kok. Oh, atau aku ganggu ya? Anggap saja aku nggak ada. Aku bakal diem kok. Tapi setelah itu, bakal aku cabut gigi kalian satu persatu. Sialan!"
BRAK..
Hantaman dua benda keras menggema. Pintu kayu yang menjadi sasaran pelampiasan kekesalan nya, mencetak bentuk kepalan tangan di permukaan.
Ada kobaran api yang membara di manik biru itu. Rahang nya sudah mengeras. Nafasnya memburu dengan dada yang naik-turun cepat. Jelas amarah tengah menguasai pemuda itu. Jika saja, ia tak ingat berhadapan dengan perempuan. Sudah pasti ia maju dan menghajar orang itu tanpa ragu.
"T-Tunggu. Taufan, biar aku jelasin dulu. Tadi kita cuma-"
"Apa? Bercanda? Kau pikir aku bego?" Taufan lantas terkekeh. "Ah, iya. Bener juga katamu. Emang bego banget sih aku. Aku nggak sepinter kak Hali, Ken, apalagi diri mu. Aku tuh apa sih? Cuma berandalan sekolah yang sering kena masalah. Harus nya aku sadar diri. Mana mungkin aku sama bintang sekolah seperti mu."
Kini ia paham, mengapa Arga bersikeras meminta nya menjauh dari Yasha. Benar, dia memang benar-benar bodoh. Orang yang ia pikir paling memahami dirinya ternyata hanya percitraan belaka. Dan ia justru membuang orang yang tulus peduli padanya. Apa setelah ini ia masih sanggup bertatap muka dengan Arga?
Pandangan nya beralih, menatap bengis gadis yang merasa berhasil mempermainkannya. Sekarang melihat wajahnya saja ia muak.
"Denger ya. Kalian boleh ngehinaku, ngerendahin, nginjak-injak harga diri aku. Lakukan sesuka kalian. Mau seburuk apapun kalian ngatain aku. Aku nggak peduli, sialan. Tapi jangan pernah sekalipun kalian mengolok-olok keluargaku. Karena aku ngga bakal diem. Aku ingat muka kalian semua. Ini yang terakhir. Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Atau pertemuan kedua kita akan menjadi upacara pemakaman kalian."
Langkahnya yang baru akan berlalu, saat ia teringat suatu hal dan kembali berbalik. "Satu lagi. Berani kau menyentuhkan seujung jarimu pada Ken. Nggak ada kata lain kali. Detik itu juga akan ku seret dan ku gantung kau di tiang bendera."
Kalimat terakhir yang Taufan ucap sebelum pergi, meninggalkan ketakutan yang jelas membelenggu.
Tatapan tajam nya turut menyorot ketiganya. Tapi jelas ancaman itu ia tujukan pada Yasha. Taufan serius dengan ucapan nya. Mereka tahu itu bukan sekedar gertakan.
*******
Cahaya temaram lampu jalanan menuntun langkah sempit lelaki itu menyusuri trotoar basah. Guyuran hujan turut menemani kesendiriannya, bersaing dengan atmosfer dingin yang memeluk raga nya dalam diam.
Tak bisa ia pastikan berapa lama waktu berlalu, atau seberapa jauh ia melangkah tanpa tentu arah. Hujan menjadi saksi, bagaimana pemuda itu hancur oleh harapannya sendiri.
Amarahnya telah luruh terbasuh. Gugur menjadi sendu. Ia kira hujan saja cukup menghapus segala lukanya. Itu bohong. Mereka hanya ikut bersedih bersamanya. Kembali ia renungi garis takdirnya yang begitu pelik ia rasa.
Kenangan-kenangan bergulir di ingatan. Terbisik dalam setiap tetesnya. Manis. Hingga tiba giliran masa pahitnya, baru beberapa saat yang lalu. Salahnya yang jatuh hati pada orang yang tidak tepat, membuatnya kecewa.
Tidak.
Harusnya ia tak pernah lupa, jika ia harus siap kecewa ketika ia menaruh harap pada makhluk yang juga tidak sempurna. Cinta telah membutakannya.
Haruskah ia berterima kasih untuk segala kebaikan sekalipun itu hanya tipu muslihat? Karenanya, ia sempat merasakan indahnya jatuh cinta dan perihnya dikhianati. Mengajarkannya di satu sisi untuk lebih berhati-hati dalam menaruh hati ke depannya. Jika saja bisa semudah itu.
Sakitnya tak lagi mampu ia raba. Terlalu sulit untuk diungkap dalam kata. Begitu penuh hingga terasa sesak. Terkadang ia iri pada langit yang dengan mudah menumpahkan bebannya.
Sepasang kakinya berhenti. Tepat setelah kilat membutakan pandangannya sesaat. Kemudian gemuruh menggema sepanjang awan kelabu itu bergulung.
Pandangannya menengadah, beradu dengan penguasa langit yang mungkin kini juga tengah menatapnya dari balik kegelapan di atas sana. Oh, Tuhan? Adakah hal lebih buruk dari ini? Apa hidupnya harus selalu seperti ini? Di jejaki oleh kelakar pilu.
Taufan tak meminta banyak hal. Ia hanya akan berharap kepada semesta agar ini menjadi kemalangan terakhir baginya.
Air tergenang di sekitarnya, mereflesikan sosok yang tengah merapuh itu, hancur oleh riak. Dan perlahan satu persatu, suara lain turut hadir mengalir. Deras, seperti hujan yang mengguyur saat ini. Perih. Jemarinya meremat tanpa sadar. Tubuhnya kebas, tapi enggan ia hiraukan.
Jika boleh ia katakan. Ia bohong saat dirinya bersikap abai pada perkataan orang yang mencemooh dirinya. Ia masih bisa mendengarnya.
Orang-orang yang merendahkan dan membandingkannya. Tak semua senyum yang selama ini ia umbar mengatakan dirinya baik-baik saja. Tak lantas canda tawa yang kerap ia sandiwarakan, membuatnya bisa dicela sesuka hati.
Dingin...
Kepalanya sakit..
Pendengarannya tuli. Hanya gemericik hujan yang mampu ia indra. Dan kata-kata jahat itu menyeruak.
Riuh memenuhi pikirnya. Saling bersahutan, menyuarakan cercaan yang tertuju padanya.
'Mereka beneran saudaraan?'
'Kok bisa beda gitu sih?'
'Iya, pantes sih Ken gak mau ngakuin dia. Malu kali punya kakak kayak aib sekaligus beban keluarga begitu.'
"Nggak.."
'Padahal adek nya pinter.'
'Kasian orang tuanya. Sia-sia gedein anak kayak dia.'
'Anak pungut.'
"Cukup.."
'... yatim piatu.'
'Beban keluarga..'
'Gila. Sama aja dia ngebunuh orang tuanya sendiri dong. Hahaha. Psikopat.'
"Ngga.. Hentikan.. Hentikan.."
"DIAM."
Mendadak denyutan itu menjadi sangat menyakitkan. Tangannya yang mencengkeram erat, hingga beberapa helainya rontok tak juga mengurangi sakit nya. Air matanya jatuh tanpa mampu lagi terbendung. Ia dapati dirinya kini yang sulit bernafas. Sesak. Udara saja ikut menjauh darinya.
Mengapa ia harus menerima kalimat jahat itu? Mengapa harus dirinya?
Usahanya untuk mengenyahkan suara-suara itu berujung sia-sia. Mereka tetap ada, berseru di dalam kepalanya. Dan kata-kata yang paling ia takuti, terlontar, seakan itu bukan apa-apa. Memunculkan kembali trauma dalam dirinya yang sudah lama ia pendam.
'Pembunuh.'
"AAAAARGH!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Helmi Sintya Junaedi
ternyata arga benar,,, yasha itu bukan cewe baik2... kasihan taufan
2023-06-17
2