Bulir-bulir air menuliskan garis di permukaan kaca. Udara dingin di luar sana lengkap membungkus jiwanya yang kosong. Perhatian pemuda itu terfokus, pada jendela besar yang masih menampilkan potret dunia yang didominasi kelabu.
"Belajar. Bengong mulu. Kau pikir lembar jawabanmu nanti bakal keisi gitu aja kalo cuma diliatin?"
Ucapan itu mengundang decakan kesal. Angan yang susah payah ia rajut dalam lamunan seketika buyar karena ulah sahabatnya. "Aku udah nggak kuat Arga. Kau nggak liat kepalaku sampe berasap gini? Otakku kebakar nih," sahut Taufan hiperbola.
Entah sudah keberapa kali ia mengeluhkan hal yang sama. Lawan bicaranya pun juga sepertinya sudah bosan mendengarnya. Dari awal memang mustahil, mengejar ketertinggalannya dalam waktu sesingkat ini.
Taufan baru kembali ke sekolah belum lama ini, setelah absen sekitar satu bulan. Sepulang dari rumah sakit, Hali masih mengurungnya di rumah selama seminggu. Sesuai arahan dokter. Memastikan dirinya benar-benar siap untuk beraktivitas lagi.
Belum habis bahagia nya karena terlepas dari pengawasan sang Kakak. Tiba-tiba saja ujian tengah semester sudah di depan mata. Datang bersama dengan musim hujan yang tak pernah Taufan suka.
Dingin yang membekukan, tanah-tanah becek nan kotor, serta air yang menggenang di permukaan cekung. Tak ada yang Taufan sukai dari musim hujan selain udara segar selepas ia reda.
Tapi Ibunya dulu pernah berujar, jika hujan adalah bukti kemurahan hati semesta yang patut disyukuri. Sejak saat itu ia mencoba untuk berhenti membenci, meski pada kenyataannya sering kali terpungkiri. Tetap ada sisi hujan yang tidak ia suka.
"Nggak usah lebay. Lagian seminggu di rumah ngapain aja? Percuma dong tiap hari aku ngasih pinjeman catatan kalo ujung-ujung nya cuma buat alas tidur." Ujar Arga.
Taufan berdecak, "Ish, aku ketiduran juga gara-gara kecapean belajar asal kau tau. Tapi emang dasar kapasitas otakku cuma segini, mau gimana lagi?" Dia sudah pasrah. Hanya tersisa beberapa hari di kalender sebelum tiba hari ujian. Dan ia harus mengejar ketertinggalannya hanya dalam satu minggu? Jangan gila. Kalau pun ia mampu, sudah dipastikan dirinya yang lebih dulu gila.
"Kak Taufan kenapa lemes gitu? Sakit?"
Taufan mendongak, saat suara Ken menyapa dari kejauhan. Anak itu baru saja datang. Setelah sebelumnya izin untuk mengurus suatu hal di ruang OSIS. Mereka janji untuk pulang bersama. Tapi sekali lagi, hujan menahan mereka. Memaksa untuk tinggal lebih lama, hingga setidak nya rintiknya cukup reda untuk dilawan.
"Kena mental dia," ujar Arga dengan kekehan.
"Ya kau kira. Baru sembuh udah disuruh mikir berat. Siapa yang nggak stress? Buat kalian yang juara kelas, ujian kek gini mah kacang. Lah buat aku yang langganan peringkat akhir? Bencana."
Ken menghela nafas lelah. Sebelum bergerak menarik kursi di hadapan Taufan dan duduk di sana.
"Jangan pesimis gitu dong, kak. Emang kak Taufan mau, nggak naik kelas terus kita jadi satu angkatan? Nggak malu diledekin sama adek kelas?"
"Jangan bikin makin down dong," rutuk Taufan di sela istirahat nya. Kepalanya sudah ia rebahkan.
Mekedar memejam, walau hanya sejenak. Rasanya terlalu berat untuk sekedar mengangkat nya, dengan rumus dan hafalan materi yang hanya berputar di memori tanpa ia pahami maksud nya.
Masih menjadi misteri bagi Taufan, mengapa ia bisa seberbeda ini dengan kedua saudara nya. Tidak mungkin kan, saat pembagian otak, ia bolos. Atau ibunya yang pilih kasih membagi kecerdasan karena ia anak tengah?
Ah, mana ada hal seperti itu?
Bohong bila ia tidak iri melihat prestasi yang kedua saudaranya torehkan. Satu lemari penuh piala yang menghias ruang keluarganya, hanya sebagian kecil dari segudang kejuaraan yang kakaknya menangkan di berbagai bidang. Taekwondo, cerdas cermat, penulisan artikel ilmiah, tak terhitung lagi piagam penghargaan dan medali yang ia raih. Sedari dulu Hali memang kebanggaan keluarganya. Sosok putra idaman, sekaligus kakak yang selalu bisa diandalkan.
la juga salut dengan kepimpinan dan pola pikir adiknya, yang ia rasa sangat dewasa dan solutif dalam menghadapi masalah. Sampai pada tahun pertamanya di sekolah menengah atas, ia mampu menjabat ketua OSIS. Masalah otak tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah dapat dipastikan, jika namanya akan menjajaki peringkat atas di setiap ujian. Tipe siswa kesayangan para guru.
Sementara dirinya hanya dikenal biang onarnya sekolah, tukang bolos, dan sebutan lain yang berstigma negatif.
Tak lebih dari murid nakal yang sering di tandai oleh guru BK. Tak ada hal yang patut dibanggakan darinya. Sebenarnya di mana letak salahnya?
"Kalian masih di sini tenyata." Ketiganya menoleh, bahkan Taufan yang baru saja menutup mata. Hanya untuk mendapati sosok Yasha yang berjalan menghampiri.
"Kak Yasha ngapain di sini?" Ken menatap heran pada wakilnya di OSIS.
"Balikin buku, sekalian mau minjem buku lagi. Kalo tau kau bakal ke perpus kan mending bareng. Kalian juga lagi persiapan UTS ya? Boleh gabung?" la beralih pada kursi kosong di samping Taufan setelah memperoleh anggukan.
Menjelang ujian, perpustakaan memang buka lebih lama dari biasanya. Menfasilitasi mereka yang masih ingin tinggal di sekolah untuk belajar, atau mencari referensi pembelajaran lainnya. Mungkin juga bagi mereka yang sekedar mencari tempat nyaman untuk ber rehat.
"Gimana progres belajar kalian?" Yasha lebih dulu membuka obrolan.
"Ah, please jangan bahas apapun soal belajar, atau apapun itu yang berhubungan dengan ujian." Taufan kembali membenamkan wajahnya dalam setumpuk buku di depannya. Menggunakan tangan menyumpal untuk kedua telinganya. Sama sekali tak ingin mendengar.
Yasha yang bingung akan tingkahnya lantas melempar pandang pada Arga.
Arga memutar jari telunjuknya, mengarah pada pelipisnya. 'Pusing gara-gara ujian sebentar lagi', begitu katanya.
Dan Yasha memahaminya. Tentu saja. Siapa yang tidak bingung jika berada di posisi Taufan? Dirinya juga pasti akan tertekan.
"Em, mau aku bantu? Aku bisa mengajarimu matematika dan peminatan IPA yang kau ambil. Aku ada rangkuman dan rumus. Kalau kau mau, aku bisa meminjamkannya," tawar Yasha.
"Percuma, Yas. Buat dia tetep susah. Bebal banget ni anak diajarin gimana juga-Akh.." Arga memekik tertahan. Dalam hati mengumpati sahabatnya yang menatapnya tanpa dosa setelah membuat tulang keringnya memar karena ditendang.
"Kau temenku bukan si? Bukannya bantuin atau ngasih dukungan, malah ngomel nggak jelas dari tadi," sahut Taufan tersulut. la sudah cukup pusing dengan pelajaran dan sekarang justru kian dijatuhkan.
la tahu, ia bodoh, tanpa perlu diperjelas. Tidak seperti Arga yang langganan juara olimpiade.
Selama ini ia menutup telinga, atas omongan orang-orang yang sering mempertanyakan mengapa Arga mau berteman dengan murid. pemalas seperti dirinya. Selalu dibandingkan sudah seperti makanan sehari-hari baginya. Tapi ia tak pernah mempermasalahkannya. Selama tindakannya tidak merugikan orang lain.
Ia juga mempersilahkan siapa saja yang mau berteman dengannya, tidak ingin pun bukan masalah. Tak perlu mengemis status pertemanan.
"Heh, terus selama ini kau anggep apa hah? Yang bawain catatan tiap balik sekolah ke rumahmu. Yang ngajarin. Yang bantuin bikin tugas. Kau kira aku ngelakuin itu semua cuma gabut?" ujar Arga yang tak habis pikir.
"Kok jadi nyolot sih? Kau mengungkit kebaikanmu? Kalau nggak ikhlas ya nggak usah dilakuin. Selama ini aku juga nggak memintamu buat membantuku, kan? Gitu aja ribet," balas Taufan tak kalah sengit.
"Kak, udah. Ini perpus. Arga, kau juga udah. Ntar dimarahin sama penjaga perpus kalo ribut terus." Meski Ken berhasil meredam pertikaian di antara dua kepala yang saling berselisih. Tapi jelas terasa hawa permusuhan yang kian memanas, terbaca dari kontak mata yang mengobarkan api. Menghadirkan suasana canggung bagi keberadaan lain di sana.
"Gimana kalau abis ujian kita nonton? Aku lihat banyak film bagus rilis minggu depan?" tawar Yasha menengahi. Ia hanya merasa perlu membantu Ken mengakhiri perang dingin ini. Sepertinya semua orang menjadi emosional karena mendekati ujian.
"Nggak. Males bareng orang yang nggak tahu terima kasih kayak dia," Ucap Arga seraya membereskan mejanya. Sebelum akhirnya beranjak dan berlalu begitu saja.
"Siapa juga yang mau sama manusia songong kek dia," desis Taufan sesaat setelah kepergian Arga.
Ada bagian dalam diri mereka yang retak. Kecewa dan sakit hati. Tak bisa dijabarkan. Hanya saja, ego yang lebih berseru di atas segalanya. Terlalu keras sampai sebuah kata maaf yang menjadi obat dari segala masalah saja tak mampu terlontar.
Angkasa masih diwarnai abu, dan awan gelap menggulung, memayungi kota kecil itu. Hingga pagi menjelang pun, tangis nya seakan enggan mereda. Tidak terlalu deras, tapi cukup untuk membuat seseorang basah kuyup, jika terlalu angkuh menerobos di antaranya.
"Ah, sial! Jadi kotor kan." Umpatan saja rasanya tak cukup untuk melampiaskan kekesalan pemuda itu. Bagaimana tidak? Seragam putih-abunya berbekas bercak noda lumpur karena ulah pengendara yang seenak jidat melajukan mobilnya di jalanan tergenang.
Ia tidak mungkin memutar arah hanya untuk mengganti pakaiannya, di saat sekolah hanya tinggal beberapa belokan ke depan. Alhasil ia hanya bisa membersihkannya di toilet sekolah berbekal tissue yang Ken berikan. Sementara adiknya itu sudah lebih dulu pergi karena ada quiz.
"Aduh, udah bel lagi." Langkah nya dibawa cepat menyusuri koridor. Yang semula penuh lalu lalang siswa dan keramaian di sepanjang lorong seketika teredam bel masuk.
Kembali ia merutuki letak kelasnya yang jauh dari gedung utama dan membuatnya harus bersusah payah meniti tangga hingga lantai tiga. Ia hanya berharap guru sejarah yang terkenal garang itu belum sampai lebih dulu sebelum dirinya.
Tapi jika semesta sudah berkehendak, apalah daya kita yang hanya bidak pion yang digerakan takdir?
"Taufan, kamu telat lagi?!" Suara berat lelaki paruh baya itu menggema di sepenjuru kelas. Menciutkan nyali orang-orang yang hanya mendengar seruan nya.
Sementara si tersangka masih bertahan di ambang pintu. Mengukir senyuman konyol tanpa dosa di wajahnya. "Bukan telat Pak. Bapaknya aja yang kepagian masuk kelasnya. Mataharinya aja belum keliatan, Pak."
"Bisa ya Kamu anggap omongan Saya bercandaan?! Udah tahu telat, bukannya minta maaf karena sudah mengganggu jam pelajaran saya, malah cengar-cengir." Nada bicara guru itu sudah naik satu oktaf. Sudah cukup muak dengan polah muridnya satu itu.
"Maaf pak," lirih Taufan seketika tertunduk. Meski tak sepenuhnya menyesal. Ia hanya ingin mengakhiri ini dengan cepat dan segera menuju kursinya. Tapi harapnya pupus di angan. Saat guru itu kembali menyuarakan kalimat yang membuat tangannya harus terkepal erat, menahan emosi yang membuat dadanya bergemuruh.
"Heran saya sama kamu. Padahal Adikmu itu termasuk siswa teladan. Banyak prestasinya. Nilainya juga selalu membanggakan. Kenapa kamu bisa seberbeda ini? Sudah tau nilai nggak pernah tuntas, tapi masih aja sering bolos. Harusnya kamu sebagai kakaknya bisa ngasih contoh yang baik buat adik kamu. Sebentar lagi kamu juga udah mau kelas tiga. Seenggaknya belajar yang bener. Biar lulus nanti bisa langsung kerja, kalau nggak mau melanjutkan ke perguruan tinggi."
"Maaf Pak, kalau saya tidak bisa memenuhi ekspektasi Bapak dan guru-guru lainnya. Tapi saya rasa Anda tidak berhak berkata demikian. Tugas anda sekalian sebagai pengajar adalah mendidik dan menuntun anak-anak bebal seperti saya agar memiliki masa depan yang lebih cerah. Bukan untuk membandingkan atau mendiskriminasikan siswanya. Apalagi sampai mengaitkan nya dengan kehidupan pribadi. Urusan saya yang berbeda dengan adik saya itu tidak ada hubungannya dengan Bapak. Saya rasa Bapak cukup paham apa yang saya maksud."
Percayalah, mati-matian ia menekan nada bicaranya agar tidak ikut meninggi. Kendati dalam hati, dengan keras ia meneriakan umpatan. Jika bukan karena rasa hormatnya pada orang yang lebih tua, sudah pasti tak ada kata damai di antara mereka.
"Huh, kamu ini kalau dikasih tahu, selalu aja ngejawab. Ya udah, besok pagi kumpulkan tugas dari bab 4 sampai bab 6, di meja Saya. Sebagai pengganti absensi kamu yang kosong. Biar sekalian kamu belajar buat mengejar ketertinggalan selama nggak masuk. Sekarang kamu boleh duduk."
Tanpa sepatah kata, Taufan berbalik. Masih dengan dongkol yang mengikat kuat di dasar hati. Memangnya siapa yang suka dibanding-bandingkan?
Terlebih oleh orang asing yang sama sekali tidak memahami kita. Selama ini ia sudah cukup sabar menghadapi orang-orang yang tak pernah mengerti kondisi nya. Tapi tak lantas ia juga akan diam saja saat harga dirinya diinjak-injak.
Langkahnya tiba-tiba saja terhenti, beberapa meter dari bangku yang biasa ia tempati. Mendapati tatapan datar dari pemilik lensa nila itu justru membuatnya kian jengkel.
"Ver, tukeran tempat dong," ujarnya pada Vero, salah seorang temannya yang duduk di deretan kedua.
"Ha? Kenapa emang?"
"Nggak mudeng aku kalo di belakang. Kena sembur lagi aku ntar," tukasnya beralasan.
"Taufan, cepat duduk."
"Tuh, kan. Buruan Ver,"
"I-iya udah deh."
Dan dalam sekejap, meja kursi itu menjadi hak milik Taufan. Sebenarnya ia hanya malas saja. Jika teringat pertengkarannya tempo waktu dengan Arga. Semenjak hari itu, mereka tak lagi bertegur sapa. Memasang jarak, membangun batas dan mulai bersikap tak acuh satu sama lain.
****
Pada akhirnya, tribun lapangan indoor menjadi tujuan akhirnya menghabiskan istirahat makan siang. Menepikan lelahnya sejenak, setelah memaksa otaknya melahap semua pelajaran di paruh pertama. Membuat kepalanya pening.
Sengaja ia memilih tempat yang jauh dari keramaian. Hanya untuk menghindari omongan yang tidak mengenakan tentang dirinya. Kabar berita tentang penculikan itu menjadi pembicaraan hangat satu sekolah.
Sudah bisa dipastikan, jika kantin akan penuh dengan orang-orang yang kepo dengan kronologisnya. Dan ia malas menanggapinya.
Tapi sebenarnya bukan di sana letak masalah nya. Tapi bagaimana orang yang mulanya bersimpati, kemudian mulai mengaitkan dengan persaudaraan mereka. Yah, memang tak banyak yang mengetahui kalau mereka saudara kandung.
Selama ini orang menganggap nama depan mereka hanya suatu kebetulan. Karena Ken tak pernah menyinggung apapun soal nama keluarga mereka, dan secara tidak langsung juga Ken sudah tidak menganggapnya keluarga. Mungkin juga karena terlalu malu memiliki kakak biang onar seperti nya. Tapi Taufan sendiri juga tidak berminat mengumbar status persaudaraan mereka.
Tapi biarlah itu menjadi cerita lama. Sayangnya, orang-orang lebih senang dengan masa lalu. Mendadak semua orang berlagak seperti ahli.
Dengan spekulasi mereka sendiri menciptakan hipotesis yang banyak dipercayai. Padahal tak satupun yang mereka pahami. Dan yang paling ia benci, saat orang-orang egois itu membandingkannya. Antara dirinya dan Ken.
la tidak pernah menyalahkan Ken. Karena ia pikir berbeda itu wajar. Bahkan saudara kembar pun, kalian tidak bisa menuntut persamaan yang simetris di keduanya. Jika pun ada yang harus disalahkan, ia akan menyalahkan mereka yang berpandangan sempit tentang hubungan saudara yang harus memiliki kesamaan.
"Dengerin apa sih? Serius amat." Taufan tersentak saat salah satu earphone -yang sedari tadi jadi teman sepinya-tiba-tiba berpindah tangan.
"Yasha!? Sejak kapan kau di sini?" pekiknya nyaris berteriak begitu menyadari gadis itu sudah di sampingnya.
Yasha mendengkus. Saat ia dapati tak ada lagu yang Taufan putar di sana. juga hadirnya yang terlambat untuk disadari. "Dari tadi. Dari pertama aku masuk dan melihatmu sendiri. Dipanggil berkali-kali gak nyaut, ternyata ngelamun," sungutnya kesal. Lantas mengembalikan earphone yang dirampasnya. Tapi detik berikutnya ekspresinya melembut. Seakan lega telah berhasil menemukan keberadaan lelaki itu, "Kau ngapain di sini?"
"Makan siang," tutur Taufan dengan polosnya. Menunjuk onigiri dan susu kedelai yang ia beli di koperasi tadi.
Sekali lagi Yasha menghela napas lelah. Entah lelaki itu tengah menguji kesabarannya dengan berpura-pura bodoh, atau memang tidak mengerti ucapannya. "Maksudku... kau ngapain di sini sendirian? Biasanya juga sama Arga?"
"Emang musti banget ya kemana-mana sama dia?" Suara Taufan terdengar sinis. Jelas sekali jika hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Sementara Yasha tahu, mereka berteman bukan hanya setahun dua tahun. Di mana ada Arga, di situ ada Taufan. Begitupun sebaliknya.
"Kalian masih berantem ya?" tanya Yasha berhati-hati. Ia hanya tak menyangka permasalahan sepele semacam itu akan berlanjut sampai seperti ini.
Taufan terdiam, cukup lama. Hanya untuk merenungi kembali pertengkaran tempo hari. Tak ada satu pun dari mereka yang mengibarkan bendera permusuhan. Hanya saja pertemanan mereka memang sedang renggang. Bukankah itu wajar?
"Nggak juga sih. Kau sendiri ngapain di sini? Biasanya istirahat nya anak OSIS sibuk di ruang OSIS." Pertanyaan Taufan sukses membuat Yasha kelabakan. Tidak mungkin ia mengatakan kalau dirinya sengaja mencari Taufan kan?
"A-ah... itu..."
"Nyariin aku ya?"
"Idih, pedenya selangit. Tadi tuh aku cuma kebetulan aja lewat sini. Nggak sengaja melihat mu sendiri. ya udah aku samperin sekalian. Ngomong-ngomong, gimana persiapan ujiannya? Lancar?"
Taufan terkekeh melihat gelagat Yasha yang tak pandai mengontrol ekspresinya saat menyembunyikan sesuatu.
Tangannya beralih meraih botol minumnya, menyesapnya perlahan. Memilih berhenti menggoda gadis itu, dan berganti topik seperti yang Yasha katakan.
"Aku udah mau pasrah aja. Tapi tetep usaha kok. Cuma hasilnya nanti gimana, aku angkat tangan."
Sungguh, kali ini ia hanya akan mengikut kemana arah takdir akan membawanya. Kalaupun di ujung nanti tidak seperti yang ia harapkan, setidaknya ia pernah berusaha.
"Kalau butuh bantuan bilang aja. Aku pernah bilang, kan? Jangan ragu buat ngontak aku. Walau aku cuma bisa bantu materi yang kaitannya sama IPA sih. Tapi kalo ada yang bisa aku, pasti aku bantu. Pokoknya semangat," tutur Yasha.
Seperti ada perasaan hangat yang perlahan yang merangkak, dan berhenti tepat di dadanya. Tersentuh karena selalu ada orang yang tulus peduli padanya.
"Iya, di kasih semangat gini aja udah bantu banget kok. Makasih ya,"
Saat itu, mungkin Yasha tidak menyadari bahwa dirinya telah terlena akan senyum manis pemuda itu. Sorot mata yang lembut menatap membuatnya lupa akan dunianya sesaat. Ia mengerjap pelan, berusaha menarik kembali atensinya yang terasa sulit dialihkan. Mengalihkan pandangan sembari mengatur kembali debaran yang menggila dalam dirinya.
"Oh ya," Yasha menoleh, saat Taufan kembali bersuara. "Gimana kalau abis ujian nanti kita nonton? Kau bilang ada banyak film bagus, kan? Mau nonton bareng? Nanti aku ajak Ken sekalian. Gimana?"
Tanpa ragu, Yasha mengangguk cepat. "Boleh~" Ujarnya sembari menunjukkan senyuman manis nya pada Taufan.
Taufan bersenandung lirih saat membasuh tangan di wastafel. Sembari merapikan anak rambutnya yang tak tertata. Roman wajahnya berseri, diliputi lekuk senyum yang tak jua memudar. Nampak rasa senang tengah berlabuh di benaknya. Seakan lupa pada pagi buruk yang mendatangkan kesialan layaknya domino.
Moodnya benar-benar membaik usai menghabiskan sisa waktu istirahat untuk mengobrol bersama Yasha. Tutur lembut dan tawa manisnya seolah menjadi candu. Ada bunga-bunga yang bermekaran setiap kali bibir merona itu melempar senyum ke arahnya. Ah, dasar romansa masa muda.
"Hm, abis nonton itu enaknya makan ya? Mampir ke game center juga kayaknya seru." Taufan bergumam, mendaftar hal-hal menyenangkan yang mungkin bisa mereka lakukan setelah nonton nanti. Ah, ia sangat menantikannya.
Ingin rasanya waktu berjalan lebih cepat untuk sampai pada hari yang di nantikan nya. Melakukan semua hal yang sudah di rencanakan nya dengan gadis manis itu. Taufan terus membayangkan kesenangan yang akan mereka lalui nantinya.
"Akhir-akhir ini kau deket sama Yasha, ya?"
Taufan mengernyit, sedikit terkejut saat Arga-yang baru masuk toilet- tiba-tiba mengajaknya bicara. Hari itu mereka memang belum sama sekali bertegur sapa. Bahkan bila ada kesempatan berpapasan pun, Taufan memilih mengubah arah.
"Bukan urusanmu." Ketus Taufan hendak berlalu. Ia sedang malas berdebat. Jangan sampai moodnya kembali lebur hanya karena adu mulut dengan Arga.
Baru saja ia merasa senang, apa mood nya harus kembali hancur karena pemuda berkacamata itu?
"Mending kau nggak usah deket-deket deh sama cewek itu deh." Tukas Arga singkat, dan tegas. Kaki Taufan yang hanya tinggal selangkah menuju pintu keluar itu berhenti.
Mendengar ucapan teman nya itu membuat nya kesal seketika. Setelah apa yang di katakan nya du perpustakaan, kini ia menyuruhnya untuk tidak terlalu dekat dengan Yasha?
"Maksudmu?"
Arga terdiam, masih menelisik tatapan dingin yang Taufan layangkan padanya. Menunggu Taufan menyelesaikan kalimatnya. "Cewek itu? Kau bilang seolah Yasha itu perempuan yang nggak bener," lanjut Taufan mengintimidasi. Sebelah alisnya memincing. Masih belum menangkap tujuan lawan bicaranya mengatakan hal itu. Yang pasti, ia tidak suka bagaimana Arga menggunakan konotasi negatif itu untuk merendahkan Yasha.
Sementara di satu sisi, Arga menghela nafas panjang. Berusaha kembali menata lisannya sembari menekan egonya agar tidak memperburuk suasana. Sekali lagi Arga hanya mencoba untuk peduli.
Dia memang terjebak konflik dengan Taufan sebelum ini. Tapi tak lantas ia abai sepenuh nya. Sekalipun sifat sahabatnya itu terkadang menyebalkan, tidak mungkin ia membiarkannya dekat dengan orang yang salah.
Dan memang butuh kesabaran besar untuk menghadapi keras kepala nya seorang Taufan Ravael jika tak ingin menambah masalah lebih jauh lagi.
"Kau nggak tau dia cewek kayak apa, Fan. Dia nggak sebaik kelihatan nya. Jadi mending kau mulai jaga jarak sama dia. Jangan terlalu percaya pada orang lain. Kata kata bisa menipu. Mungkin di depan mu baik, tapi siapa tau dia punya niat lain." Arga mencoba memeringatkan. Sebisa mungkin ia menjaga suaranya tetap rendah. Namun ucapannya justru dibalas senyum miring, seakan yang ia katakan adalah hal lucu.
"Nggak sebaik kelihatannya ya? Kau sendiri, apa kau sudah introspeksi diri?"
Kening Arga berkerut, bingung. "Apa? Kenapa jadi aku?"
"Iya, aku cuma nanya kan. Apa kau juga sudah ngaca kalau kau juga nggak sebaik kelihatannya? Orang yang kau bilang tidak sebaik kelihatannya itu.. Dia yang tulus ngasih support tanpa sibuk mengungkit nya. Bukannya malah bikin aku makin down. Dan bahkan waktu kita ribut kayak gini, dia masih bisa berpikir positif. Dia menyuruhku buat ngobrol baik-baik. Tapi kalau udah kayak gini, apa bisa aku masih ngomong baik-baik setelah kau mengatakan hal buruk tentangnya. Jadi sekarang kelihatan kan, siapa yang tidak sebaik kelihatannya?"
Sial. Arga nyaris tergelak. Sempat tak habis pikir. Dirinya, yang Taufan sendiri pernah bilang teman dari jaman zigot, kalah dengan perempuan yang baru dikenalnya belum lama ini? Sepertinya dia salah minum obat atau mungkin kepala nya terbentur sesuatu.
Cukup lucu, tapi kalau dipikir-pikir menyebalkan juga. Apa cinta benar-benar sudah membutakan nya? Hanya dengan perhatian dan kata kata manis membuat nya menyingkirkan orang yang telah lebih lama menemani nya dalam suka dan duka.
Arga mungkin masih bisa membenarkan pepatah yang mengatakan jika dihadapan cinta, orang cacat sekalipun akan terlihat sempurna di mata orang yang mencintainya. Tapi kalau sudah begini, bukankah namanya pembodohan? Lebih terlihat seperti budak cinta.
Seakan pertemanan mereka jalin melebihi hitungan jari menjadi tak ada artinya.
"Dari mana kau tahu kalau dia sebaik yang kau katakan itu?" tanya Arga.
Taufan terkekeh. "Emangnya kau tahu kalau Yasha seburuk yang dipikirkan mu?"
"Kenapa kau malah mengembalikan pertanyaan ku?" Taufan hanya memastikan jika prasangka yang Arga pendam itu berdasar, bukan karena ketidaksukaannya semata. Tapi ia justru berkelit dengan senyum remeh yang menjengkelkan.
"Dengar ya Arga. Aku lagi males banget debat. Tapi aku ngga suka kalau kau ngejelekin Yasha gini. Kalau kau emang nggak suka. Cukup kau aja, nggak perlu sampe provokasi orang. Aku pikir kau juga nggak sebaik Yasha. Dan satu lagi, kau nggak ada hak buat mengatur circle pertemanan ku. Dan aku juga pernah bilang, kan? Aku tak pernah memaksamu untuk tinggal. Kau boleh pergi kalau kau memang tidak suka dengan sikapku."
Itu menjadi kalimat terakhir Taufan, sesaat sebelum sosoknya menghilang bersama debuman suara pintu yang sengaja dibanting keras. Tatapan kecewa mengiringi kepergiannya. Ia pergi dengan kata yang begitu membekas bagi Arga. Meninggalkan sesak yang tak mampu ia jabarkan.
Arga nyaris tak percaya jika Taufan membuangnya hanya untuk cinta semu pada perempuan yang bahkan tak memiliki niat baik padanya. Membuatnya kembali berpikir. Kenapa ia harus melakukannya sampai seperti ini? Sementara Taufan saja tidak berusaha mendengar penjelasannya.
Ia belum pernah merasa sekecewa ini pada sahabatnya. Lantas Taufan anggap apa pertemanan mereka selama ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!