NYCTOPHILIA
..."Ada dua hal yang tidak bisa diubah dalam hidup, yang pertama takdir mubram dan yang kedua watak."...
Spica menuju sekolah yang berjarak seratus meter dari kos-nya. Pandangan gadis itu lurus dengan langkah terburu, seperti sedang melakukan olahraga jalan cepat. Bukan sebab bangun kesiangan dan takut terlambat. Dari dulu, Spica memang sudah seperti itu. Dirinya paling tidak bisa jalan santai, terlalu lama, dan membuang waktu.
Sampai di sekolah, Spica segera menuju ruang lima belas yang akan di gunakan untuk pelajaran dijam pertama. Setelah istirahat pertama dan kedua, barulah pelajaran akan dilakukan di LAB.
Wijaya Kusuma adalah nama sekolah dimana Spica menuntut ilmu. Sekolah itu memang menerapkan sistem rolling class. Spica tidak tahu alasan yang mendasarinya.
Spica masuk ke kelas, mencari tempat paling belakang dan mengambil topi sebelum kemudian menaruh tasnya di atas meja. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum bel berbunyi, dan Spica harus sudah standby di pintu belakang sekolah.
Dengan mengenakan topi kebanggannya, yaitu topi berwarna biru tua dengan logo minimalis yang khas, Spica tersenyum samar. Gadis itu berdiri di samping pintu, mengawasi setiap murid yang masuk ke Wijaya Kusuma lewat pintu belakang Sekolah. Ini cukup aneh memang, karena jarang ada sekolah yang membiarkan muridnya keluar masuk lewat pintu belakang. Bukan tanpa sebab, alasannya karena adanya parkiran di belakang sekolah.
Parkiran di Wijaya Kusuma memang dibagi menjadi tiga area. Area pertama berada di samping gerbang masuk utama, dimana area tersebut bersebelahan dengan area parkir guru dan staf karyawan. Dan area parkir yang ketiga berada di belakang sekolah, yang merupakan area parkir tambahan.
Murid yang lewat pintu belakang sekolah sedikit jumlahnya, karena kebanyakan melewati pintu utama. Namun di pintu belakanglah pelanggaran sering terjadi. Itulah sebabnya Spica suka berjaga di pintu belakang jika mendapat giliran tugas. Spica suka menciduk mereka yang melanggar aturan, memberikan tatapan intimidasi untuk siapapun yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan. Walau itu guru sekalipun, namun jelas berbeda kapasitasnya. Jika diukur dengan level satu sampai sepuluh, wajah datar dan kalimat memerintah Spica berada dalam level delapan. Sedangkan untuk guru, karyawan atau yang jauh lebih tua darinya, level tertingginya adalah lima. Sebab Spica masih tahu sopan santun. Itu alasannya.
Ekspresi datar itu tidak hanya di gunakan saat Spica sedang melaksanakan tugasnya, tapi dalam keseharian pun gadis itu selalu berwajah datar. Bukan disengaja, memang Spica nyaman seperti itu. Atau faktanya, memang sepeti itulah ekspresi biasa saja Spica.
Tangan Spica bergerak tidak terduga, menarik ujung kerudung murid perempuan yang melewatinya dengan gaya angkuh. Tarikannya memang pelan, tapi cukup untuk membuat murid itu berhenti melangkah dan memandang Spica dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Spica benci manusia dengan kelakuan seperti cewek di depannya. Manusia yang selalu memasang wajah tidak berdosa padahal banyak sekali melakukan kesalahan.
"Kerudung yang kau gunakan bukan kerudung sekolah, tidak pakai romal, dan rambut masih kelihatan." Spica diam sesaat. Mengamati cewek di depannya yang malah bersedekap satu tangan dan tangan lainnya bermain kuku. Kelakuannya jelas menunjukan bahwa dia tidak peduli terhadap omongan Spica. Dan Spica pun tidak peduli dengan respons negatif gadis di depannya.
"Kaos kaki krem, sneakers colourful, dan badge kelas yang belum diganti. Pelanggaran yang kau lakukan cukup banyak," sambungnya lagi. Kali ini dengan nada sedikit merendahkan, seperti mencemooh. Spica melakukan itu untuk mengetahui apakah cewek didepannya itu tersinggung atau tidak. Dan yeah, jawabannya tidak. Cewek itu sama sekali tidak peduli, malahan memasang wajah tidak bersalah.
Cewek itu menghela napas kasar, "udah selesai? Kalo udah gue pergi dulu."
Spica mengangguk. "Silahkan," ucapnya.
Setelah kepergian murid perempuan itu, Spica menoleh ke samping kanan, dimana adik kelasnya masih melongo melihat kejadian tadi.
"Kau catat dia, Raina Putri, kelas 12 IPS lll. Setiap jadwalku berjaga, dia selalu melupakan kewajibannya," titah Spica dengan alasan.
Adik kelas di sampingnya langsung mengangguk patuh. Dalam hati mengagumi sikap Spica, juga sedikit ngeri. Tapi dirinya suka, dalam artian lebih.
Spica kembali mengedarkan pandangan, memantau area belakang layaknya kamera CCTV. Bedanya, kepala Spica mampu berotasi seratus delapan puluh derajat. Spica kadang kala mengangguk untuk membalas adik kelas yang menyapanya, atau membalas jabatan tangan teman perempuan.
Spica tidak semenyebalkan yang orang nilai tentangnya, tergantung bagaimana cara mereka memandangnya.
Tidak berselang lama, Spica menyipitkan netra saat dari kejauhan pandangannya menangkap murid laki-laki dengan baju yang tidak dimasukkan ke dalam celana dan dasi yang tidak dipakai, malahan dibuat mainan dengan memutar-mutar dasinya sampai membelit tangan.
Spica menunggu murid itu mendekat sebelum pada akhirnya menjulurkan sebelah tangan, menghadang cowok seumurannya itu agar berhenti.
Cowok yang Spica tidak tahu namanya itu jelas kaget, langkahnya mendadak terhenti, sedangkan wajahnya menatap Spica penasaran. Terlihat polos sekali. Spica kadang heran dengan manusia yang gemar sekali memasang wajah polos. Seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, atau kesalahan apa yang membuatnya dihentikan, ditegur.
"Bajunya masukkan ke dalam celana dulu. Terus dasinya juga harus dipakai! Jangan untuk mainan!" titah Spica. Menatap cowok yang dimaksud dengan wajah datar.
Cowok itu mengerutkan dahi, sedetik kemudian wajah sengaknya terpampang jelas, "lo nyuruh gue?" Si cowok menunjuk dirinya sendiri.
"Ya."
"Sorry ya, lo bukan polisi. Jadi nggak berhak ngatur-ngatur." Si cowok menatap Spica dengan seringai menyebalkan. Seakan menantang Spica untuk berdebat.
Spica diam sesaat. Gadis itu tidak mudah terpancing emosi, kalaupun iya, Spica tidak akan menyerah. Kebetulan dirinya memang suka berdebat.
"Memangnya cuma polisi yang berhak mengatur? Saya juga berhak! Itu malah kewajiban saya, menseragamkan anak-anak yang tidak taat aturan," Spica bersedekap, menanti jawaban si cowok.
"Justru aturan dibuat untuk dilanggar," sanggah si cowok, intonasi suaranya naik satu oktaf.
"Pemikiran konyol macam apa itu?" Spica berdecak. "Saya tidak peduli dengan pemikiran konyol yang kau ungkapkan. Yang jelas jika kau sudah memutuskan sekolah di sini. Maka kau harus mematuhi aturan yang berlaku di sini," Spica menjelaskan.
Perbincangan panas mereka mulai mengundang perhatian beberapa anak. Sedangkan adik kelas yang sedari tadi berdiri di samping Spica merasa was-was, batinnya menduga perdebatan yang dilakukan kedua kakak kelasnya itu pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi keduanya sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah.
Si cowok menerawang. "Gue sebenernya juga males sekolah di sini," ungkapnya, sebelum tersadar pada apa yang di ucapannya. "Bodoamatlah, Minggir! Gue mau lewat."
Spica kembali menghadang saat si cowok akan pergi. "Rapikan dulu, baru boleh masuk." Spica sama sekali tidak gentar. "Kau tidak boleh seenaknya sendiri. Ini sekolah, bukan tongkrongan."
"Bagaimana kalau gue bilang sekolah ini milik orang tua gue," Si cowok membuat pengandaian.
Ekspresi Spica yang tadinya kesal, setelah mendengar respons cowok di depannya, kini memasang wajah datar. Sangking datarnya, adik kelasnya sampai bergidik ngeri. "Apa ekspresi saya seperti orang yang mudah percaya?"
Si cowok mengedikkan bahu acuh.
Jelas tidak ingin merespons gadis yang menurutnya menyebalkan itu.
"Sek...."
Belum selesai Spica bicara, adik kelas di sampinya menengahi. "Sudahlah Kak, biarkan Kak Bara ini lewat." Adik kelasnya itu memasang wajah takut-takut saat melihat Bara. Walaupun terlihat Bara tidak peduli, dirinya memang pantas ditakuti. Karena tidak boleh ada yang berani memerintah dirinya.
Spica menoleh ke adik kelasnya, sebelum kembali menatap si cowok yang ternyata bernama Bara. "Jadi namanya Bara?"
Ilham, adik kelasnya sedikit terkejut mendengar pertanyaan Spica. "Kak Spica baru tahu namanya?" tanyanya refleks.
"Apa itu penting untuk saya?" tanya Spica sarkas.
Bara sebenarnya tidak peduli dengan dua manusia yang tengah berbincang di depannya. Tapi saat merasa dirinya di rendahkan hati Bara terasa panas dan akhirnya memilih untuk menyanggah. "Itu penting, biar lo gak sembarangan ngatur gue," Bara menunjuk wajah Spica sesaat. "Nama gue Aldebaran El Nath. Panggil gue Bara!" ucapnya penuh pecaya diri.
Spica diam sesaat, "Aldebaran El Nath?" Spica memastikan. "Saya tidak peduli itu, yang saya pedulikan adalah peraturan."
Bara menatap tajam Spica, batinnya kesal setelah mati. "Persetan lah, aturan hanya untuk manusia yang bodohnya mau diperbudak!" Sanggahnya. Bara mendorong tubuh Spica yang menghalangi jalan, cowok itu kemudian pergi.
Spica mundur dua langkah, sambil memandang kepergian Bara dengan ekspresi tidak terbaca. "Nama yang bagus. Namun tidak untuk pemiliknya."
Ilham menoleh ke arah Spica, dalam hati membenarkan ucapan gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
✨Susanti✨
hadir
2023-10-29
0
Shanti Siti Nurhayati Nurhayati
good 👍
2023-07-14
0