II

"Cukup sekian briefing kita pada pagi ini, ada yang ingin ditanyakan?" Spica memberi jeda untuk anggota PKS bilamana ingin mengutarakan pertanyaan atau masukan. Netranya menyapu seluruh titik ruangan khusus anggota PKS inti. Semua diam, hening.

Gilang Sebastian, yang merupakan mantan ketua PKS mengangkat tangan kiri dan menunjuk jam tangannya. Memberi kode pada Spica untuk segera mengakhiri briefing.

Spica menangkap maksud Gilang, gadis itu memangguk paham. "Ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Saya mewakili teman-teman PKS angkatan 2018 - 2019 mengucapkan terimakasih sekaligus meminta maaf apabila selama memberi kalian pelatihan, kami melakukan banyak kesalahan. Apa dimaafkan?"

"Iya kak." Serentak anggota PKS angkatan baru merespons.

"Baiklah. Kami juga mengucapkan selamat kepada semua anggota PKS baru, angkatan 2019 - 2020. Kami harap kalian dapat mengerjakan tugas sebagaimana anggota PKS yang bertanggung jawab dan dapat menjadi panutan untuk adik kelas kalian." Spica diam sesaat, "cukup di sini pertemuan kita. Sampai jumpa dan selamat belajar."

Spica masih berdiri, tangannya bersedekap sambil memperhatikan adik kelasnya berhamburan keluar. Hanya tersisa beberapa anak, mereka masih betah di tempatnya sebab enggan mengikuti pelajaran atau sekedar berbincang ringan dengan temannya.

Spica mengambil duduk di kursi paling depan. Berdiam diri dengan tubuh yang tegap, kaku sekali.

Dari sudut ruangan, Ilham---adik kelas yang tadi mendampingi Spica bertugas, mendekat. Cowok itu duduk di samping Spica.

"Kak."

"Eh Ilham," Spica menoleh, menggeser sedikit duduknya, menciptakan jarak. "Ada apa?"

Ilham menggaruk tengkuknya, seketika merasa kikuk. "Hanya penasaran dengan yang Kakak pikirkan. Sebab terlihat serius."

Spica ber oh ria, "hanya berpikir kenapa ada anak-anak seperti itu di sekolah kita," jujurnya.

Ilham paham, anak yang dimaksud kakak kelas favoritnya itu pasti Bara. Cowok berandal yang hobi membolos "Itu wajar, apalagi ini sekolah swasta," responnya pelan.

Spica menoleh, "dan saya benci dengan manusia seperti itu. Apalagi dengan Bara-Bara itu, kesan pertamanya amat sangat buruk. Seperti tidak pernah mendapat didikan orang tua."

"Seperti halnya Raina Putri, namun gadis itu bukannya dari awal sudah melanggar, sepertinya dia terbawa arus negatif temannya," sambungnya lagi.

Ilham mengangguk paham. Ada setitik rasa penasaran yang mengganggu pikirannya. Dan cowok itu harus segera menyelesaikannya atau jika tidak, akan selalu terbawa pikiran. "Kakak sepertinya tidak mengenal Kak Bara..." Ilham tidak melanjutkan kalimatnya. Menunggu Spica angkat bicara.

"Saya kenal, dia sudah mengenalkan dirinya tadi."

"Bukan!" Raut wajah Ilham berubah serius, badannya bergeser merapatkan diri pada Spica. Bukan dengan maksud modus, murni karena cowok itu merasa hal yang akan di bicarakan adalah hal penting. Seperti halnya menggunjing atau ghibah, Ilham mulai bercerita dengan intonasi rendah.

"Gue gak percaya masih ada manusia seperti kakak. Tapi yang perlu kakak tau,  Kak Bara itu seperti punya pelindung, dia bertingkah semaunya sendiri di sekolah seakan tidak khawatir akan di keluarkan dari sekolah. Gue pernah sekali lihat dia minum dengan temannya di warung belakang sekolah. Tawuran dengan anak sekolah lain dan terlihat mesra dengan beberapa cewek yang dandannya seperti gadis, yaa, begitulah.... Kakak pasti tau apa maksud gue."

Ilham mengambil napas sejenak, memperhatikan raut wajah Spica yang masih datar, seperti tidak peduli dengan ceritanya. Tapi Ilham tetap akan bercerita, hati kecilnya merasa ini perlu dilakukan. Tanpa sadar, Ilham menceritakan semua keburukan cowok yang mengganggu pikiran kakak kelasnya itu. Entahlah, rasanya ada setitik rasa tidak terima jika Spica memikirkan cowok lain.

"Dan anehnya, tidak ada yang berani melaporkan hal itu pada pihak kesiswaan atau BK. Pernah ada satu kejadian, saat salah satu cowok rohis berniat melaporkan hal itu. Teman-teman Kak Bara melindunginya. Entah apa yang mereka perbuat tapi yang jelas cowok rohis itu mendadak kicep. Mungkin dia mendapat ancaman." Semua kalimat yang keluar dari mulut Ilham begitu menyakinkan, seolah-olah itu hal besar, Spica harus yakin dan langsung berpikiran tidak akan menggangu Bara.

Namun sepertinya gagal, Spica sama sekali tidak peduli dengan hal itu. Sekarang bukan lagi tugasnya untuk menegur anak-anak kurang ajar. Jabatannya sebagai wakil ketua PKS telah lengser 2 Minggu lalu, saat kegiatan LDK-PKS.

"Kau sedang mengghibah?" tanya Spica sedetik setelah Ilham selesai berbicara.

"Kakak gak percaya? Itu fakta kak." Dahi Ilham mengerut, berusaha meyakinkan Spica.

"Percaya," jawab Spica cepat. Tidak ingin meladeni Ilham.

Sedetik kemudian Ilham tersenyum tipis, tiba-tiba hatinya merasa senang Spica percaya dengan ceritanya. "Jadi..."

"Tidak ada jadinya, sekarang kau ke kelas saja. Pelajaran sudah mulai dari 10 menit yang lalu." Spica berniat mengusir Ilham.

Raut wajah Ilham berubah drastis, tidak ada yang bisa cowok itu perbuat selain menuruti perintah Spica. Ilham  beranjak dari tempatnya dengan berat hati. Meninggalkan ruang PKS, segera menuju kelasnya.

Sepeninggal Ilham, Spica langsung menelungkupkan kepala di atas meja dengan kedua tangan yang berlipat. Hari ini rasanya malas sekali mengikuti pelajaran, untung saja PKS akan melaksanakan sidak, jadi ada alasan Spica tidak memasuki kelas. Setidaknya untuk yang terakhir kali sebelum gadis itu benar-benar lepas dari tanggungjawabnya sebagai anggota PKS.

Sambil menunggu Gilang menghubungi pihak kesiswaan, Spica memejamkan netranya sejenak. Dua anggota PKS lainnya yang sedang mencatat sesuatu di meja tidak peduli. Mereka cukup paham dengan Gadis itu, jika sudah diam dalam posisinya pasti Spica tidak bisa diganggu, kecuali untuk hal penting.

Belum lama terlelap, Spica terbangun dari tidur ayamnya. Suara gaduh dari luar mengganggu indra pendengarannya. Spica beranjak, menuju sumber kegaduhan. Begitu pula 2 anggota PKS yang bersama dirinya di dalam ruangan.

Sebuah pot bunga keramik pecah di samping pintu ruang PKS. Pecahan pot dan tanah berserakan di lantai, sedangkan tak jauh dari sana, Gilang berdiri dengan wajah penuh tanda tanya, begitu pula Bu Nani--kesiswaan yang bertugas hari ini.

Spica menatap Gilang penuh tanda tanya. Namun tidak ada respon yang di dapatnya.

"Astagaa, ulah siapa nih?!" Salah satu anggota PKS yang baru saja keluar dari ruangan terkejut melihat pot yang isinya berceceran. Gadis yang biasa di panggil Rara itu menatap Spica, Gilang, dan lainnya dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Cowok, dia lari ke arah taman belakang. Gue gak bisa memastikan dia siapa, dia memakai hoodie dan kepalanya tertutup tudung," Gilang menjelaskan.

Belum ada suara yang keluar dari Bu Nani, beliau hanya diam sambil menatap pecahan pot. Wajahnya sedikit pucat. Spica tentu menyadari hal itu, seperti ada yang di tutupi dari beliau. Tak ingin berprasangka buruk, Spica kembali menatap ke arah pot. Netranya menyipit saat melihat sesuatu yang aneh. Gadis itu mendekat, mengorek tanah yang bercecer, mengambil lipatan kertas yang sudah kotor.

"Itu apa Kak?" Rara kembali bertanya. Semua mendekat ke Spica, penasaran dengan apa yang gadis itu temukan.

Spica membuka lipatan  kertas, membaca pesan singkat yang tertulis di sana. Kemudian menyodorkan kertas tersebut pada Bu Nani.

"Surat cinta."

Hanya itu yang Spica sampaikan. Gilang dan kedua anggota lainnya masih kurang puas dengan apa yang Spica katakan. Mereka tidak yakin, mana ada seseorang mengirim surat cinta dengan cara melemparkannya dengan pot keramik? Itu bahaya.

Akhirnya mereka bertanya pada Bu Nani, namun tetap saja tidak ada yang mereka dapatkan, sebab Bu Nani tidak ingin mengatakannya. Beliau lantas menitah h Gilang dan lainnya untuk mulai sidaknya, sedangkan beliau akan mengurus masalah pot.

"Tak perlu khawatir, Ibu akan mengurusnya. Anggap saja tidak terjadi apa-apa," lirih Bu Nani kepada Spica. Nada suaranya terdengar yakin, seolah ini hanya masalah sepele.

Sepeninggal Bu Nani, Spica masih diam di tempatnya. Berbeda dengan Gilang dan lainnya yang mulai dengan tugas sidaknya. Gadis itu masih bernerka-nerka siapa gerangan yang melakukan hal tersebut. Spica tidak bisa berhenti berfikir, apalagi saat tau isi surat itu di tunjukkan untuknya. Spica tahu, tentu saja. Sebab namanya tercantum dalam surat cinta tersebut.

...__________________________________...

..."Jangan sok ngatur! Lo cuma gadis PKS, bukan bapak gue. Berurusan sama gue lagi, siap² aja, idup lu gk bakal tenang!"...

...Spica sialan!...

...____________________________...

"Ayo Spica!" Seru Gilang dari kejauhan, Spica yang melamun langsung bergegas menyusul temannya.

Terpopuler

Comments

✨Susanti✨

✨Susanti✨

hadirrrr

2023-10-29

0

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

kok aku curiga sama Ilham 🤔

2023-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!