lll

..."(Fitrah manusia) Akan timbul keinginan untuk membantu ketika melihat seseorang sedang dalam masalah."...

Malam hari, jam delapan kurang 15 menit Spica sudah rapi dengan jeans dan hoodie hitam oversize. Tidak lupa kerudung segi empat yang ujung-ujungnya di masukkan ke dalam hoodie. Belum sempat membuka pintu, gadis itu berlari ke samping dispenser, mengambil sandal jepit yang juga berwarna hitam. Yeah, Spica memang maniak warna hitam.

Selesai mengambil sandal, Gadis itu melangkah menjauhi pekarangan kos-nya. Menyusuri trotoar menuju mini market terdekat. Dengan langkah cepat, Spica hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di sana. Tidak terlalu lama, tapi kalau untuk gadis lain mungkin akan terasa lama.

Sebenarnya bisa saja Spica pergi ke mini market dengan meminjam sepeda milik anak ibu kos-nya. Tapi gadis itu lebih suka dan sudah terbiasa jalan kaki. Bahkan setiap sekolah Spica selalu jalan kaki.

Sampai di mini market Spica langsung mengambil keranjang, menyusuri lorong gondola secara berurutan. Mengambil barang yang di perlukan, seperti shampoo, sabun mandi, dan pasta gigi. Tidak lupa mie instan untuk berjaga-jaga jikalau uang kiriman orang tuanya menipis. Spica sangat perhitungan dalam beberapa hal, seperti saat berbelanja. Bahkan gadis itu mengecek tanggal kedaluwarsa semua barang yang akan dibeli dan membandingkan antara harga dengan berat isi jika gadis itu harus memilih barang pengganti, sebab barang andalannya sedang kosong.

Selesai menyusuri lorong, Spica menuju freezer, mengambil es krim dan membawanya menuju kasa bersama barang belanjaan lainnya. Tanpa bicara Spica meletakan keranjang di atas meja kasa, memasang senyum tipis untuk membalas sapaan kasir.

"Ada yang ingin di tambahkan mba?" Kasir bertanya kelewatan ramah, yang sayangnya hanya di jawab gelengan oleh Spica.

Kasir perempuan itu tersenyum tipis, sedetik kemudian langsung mentransaksi belanjaan Spica. Pekerja mini market yang satu itu memaklumi sikap apatis Spica Bahkan sudah paham dengan salah satu konsumennya itu.

Spica. Salah satu konsumen yang tidak suka bertele-tele, memilih barang dengan cekatan dan teliti, belum pernah membeli barang promo, dan yang paling di hapalnya adalah, konsumennya itu selalu membeli 2 bungkus es krim rasa coklat, vanila, dan strawberry secara bergantian setiap kali berbelanja. Dan kali ini es krim vanila yang di belinya. Walaupun begitu, pegawai perempuan itu sama sekali belum mengetahui nama konsumennya. Padahal sudah berulang kali dirinya berbasa-basi, namun hanya respon singkat yang di dapatnya. Pegawai mini market tersebut berani bertaruh, jika Spica adalah satu-satunya pelanggan aneh di muka bumi.

"Totalnya enam puluh ribu rupiah. "

Spica tersadar dari lamunannya, gadis itu refleks mengambil selembar uang seratus ribuan yang sudah di siapkannya di dalam kantong hoodie. Menukarnya dengan sekantong belanjaan dan menunggu uang kembalian.

"Kembaliannya empat puluh ribu rupiah, terimakasih mba." Kasir itu memberkan struk belanjaan, kemudian menganggukkan kepala dengan tangan menangkup di depan dada sebagai salam hormat.

Spica menyimpan struk bersama dengan kembaliannya di kantong hoodie. Tanpa sepatah kata gadis itu langsung keluar.

Kali ini Spica menyusuri trotoar dengan santai. Langkanya menggiring Spica ke kursi panjang di pinggiran taman yang jaraknya tidak jauh dari mini market tempatnya belanja. Gadis itu mengeluarkan dua bungkus es krim yang dibelinya, membuka bungkusan es krim, memakannya dengan nikmat.

Lampu jalanan yang temaran menyamarkan keberadaan Spica, apalagi ditambah dengan warna pakaian yang dikenakan. Membuat gadis itu seakan menyatu dengan kelamnya malam. Spica mengedarkan pandangannya menatap jalanan yang mulai sepi pejalan kaki. Sebenarnya daerah di tempat tinggalnya ini memang selalu sepi dengan pejalan kaki, karena memang saat ini orang-orang lebih suka berpergian dengan kendaraan daripada jalan kaki, bahkan anak dibawah umur sekalipun.

Pandangan Spica tiba-tiba terfokus pada satu titik yang menarik perhatiannya. Netra Spica menajam, mengamati gerak-gerik cowok di sebrang jalan yang menurutnya terlihat aneh. Berjalan sendiri dengan langkah pelan, sedangkan pandangan cowok itu berfokus pada ponsel yang digenggamnya. Spica bahkan melupakan es krim-nya yang mulai memeleh, apalagi saat langkah cowok itu yang mulai keluar dari jalur seharusnya.

Tersadar dari tingkah bodohnya, Spica mengalihkan pandangan, memastikan tidak ada yang memergokinya tengah mengamati cowok. Namun Spica justru merasa was-was saat dari kejauhan melihat sebuah truk yang semakin mendekat. Spica kembali menatap cowok yang baru saja sukses menarik perhatiannya, dan parahnya, langkah cowok itu semakin menengah.

"Dia bodoh atau pura-pura tidak tahu?"

Spica beranjak dari tempatnya, menyadari tangannya masih menggenggam es krim dan terkena lelehannya, Spica langsung membuang es krim yang tidak berdosa itu tersebut ke tempat sampah. Menjilat lelehan es krim yang masih menempel di tangan sebelum mengelapnya menggunakan hoodie yang dikenakan. Sama sekali tidak peduli dengan tingkah joroknya, nyawa lebih utama daripada kebersihan.

Spica berlari ke arah cowok yang jaraknya tidak terlalu jauh itu. Menyebrang jalan dengan cekatan dan mendorong cowok itu dengan keras, bunyi kelakson truk membuat suasana kian menegang. Si cowok terjatuh di trotoar bertepatan dengan truk yang melintas kencang. Spica juga jatuh dengan posisi lutut dan telapak tangan sebagai tumpuannya, gayanya persis seperti saat bermain kuda-kudaan untuk menyenangkan hati anak kecil. Napas Spica memburu, gadis itu takut sekaligus tidak menyangka dengan apa yang barusan dilakukannya. Jika telat beberapa detik saja, mungkin malah nyawanya yang terancam.

"KALAU JALAN PAKE MATA." Supir truk berenti sejenak, memarahi Spica dan cowok yang ditolong Spica yang sukses membuat jantung si sopir maraton. "DASAR BOCAH." Makinya sebelum kembali mengemudi.

Keadaan menjadi hening, entah mengapa pada saat kejadian itu, pun tidak ada satupun orang yang melintas. Seakan memang jalan dan kejadian itu sudah di khususkan untuk Spica, pengendara truk, dan si cowok.

Sedangkan cowok yang Spica selamatkan itu mengerang saat sikut kanannya terbentur trotoar, tubuhnya ambruk dengan posisi miring dan ponsel yang digenggamnya terlempar cukup jauh. Jatuh di tanah berumput di pinggiran trotoar.

"Anjing!!" Si cowok mengumpat, merasa kesal dengan orang yang telah mendorongnya.

"Manusia bodoh!" Spica juga mengumpat, namun dalam hati. Gadis itu berdiri tanpa mempedulikan lututnya yang cenat-cenut.

Spica mengerutkan dahi saat mengetahui cowok yang ditolong ternyata satu sekolah dengannya. Bara. Spica mendekat, berdiri di hadapan cowok itu tanpa ada niatan untuk membantu Bara berdiri. "Manusia lemah," Spica mencibir.

"Tidak perlu mendorongku bodoh!" Tukas Bara, wajah sengitnya dua kali lipat lebih sengit. Apalagi saat mengenal wajah orang yang mendorongnya, yaitu gadis PKS yang tadi pagi menyemprotnya dengan perintah-perintah memuakkan.

Bara beranjak dari posisinya, mengambil ponsel sebelum mensejajarkan tubuhnya dengan Spica. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak kurang lebih satu setengah meter.

"Manusia bodoh yang mengatakan orang lain bodoh? Sepertinya itu tidak tepat. Sudah begitu tidak tahu terimakasih pula," tukas Spica, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Memasang wajah tanpa dosa, walau dalam hati kesal luar biasa.

Spica menunduk sesaat, mengamati tangannya yang masih gemetar. Sungguh, kejadian tadi memacu adrenalinnya.

Sedangkan Bara menatap Spica dengan tatapan permusuhan. Mood Bara mudah sekali berubah-ubah. Namun setiap berhadapan dengan Spica, tidak ada emosi lain kecuali amarah. Entahlah, setiap kali dengan Spica, Bara merasa amarahnya selalu tersulut. Bahkan pada keadaan yang tidak tepat sekalipun. Seperti saat ini, manusia normal jika di selamatkan dari maut harusnya bersyukur bahkan sampai menangis, namun Bara malah marah dan mengumpat orang menolongnya.

"Gue gak minta lo nolongin gue!" Bara ikut melipat tangannya di depan dada. Kepalanya mendongak agak miring, memasang wajah pongah. Siapa saja yang melihat hal tersebut pasti langsung bernafsu untuk memberi bogeman mentah.

"Oh," hanya itu respons yang Spica keluarkan. Sebab gadis itu bingung mesti berkata apa. Sedangkan hatinya memanas.

Selama delapan belas tahun hidup di bumi, baru kali ini Spica menyesal telah menyelamatkan seseorang. Seharusnya Spica membiarkan Bara tertabrak saja. Biarkan saja cowok macam dia mati. Manusia seperti Bara tidak seharusnya ada, sebab hanya akan menambah sampah masyarakat saja.

Terpopuler

Comments

✨Susanti✨

✨Susanti✨

next

2023-10-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!