V

Spica sampai di kos-nya pukul sepuluh malam. Gadis itu langsung berganti pakaian dengan yang lebih santai, membersihkan diri, dan cepat-cepat melaksanakan sholat isya. Spica tidak menduga akan pulang selarut ini, padahal saat berangkat tadi Spica sudah mengira-ira tidak akan keluar lebih dari empat puluh menit.

Selesai sholat, Spica menyimpan makanan cafe di kulkas mini. Menyiapkan buku untuk pelajaran esok hari dan mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Sekitar tiga puluh menit Spica berkutat dengan buku, gadis itu merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa pegal karena mengerjakan tugas sekolah dengan posisi tengkurap di atas ranjang.

Spica turun dari ranjangnya, mengambil selimut biru muda dan menylampirkannya di tubuh.

Mendengar ponselnya berdering, Spica tersentak. Gadis itu menoleh, lantas mengambil benda pipih yang layarnya muncul cahaya dapdip di atas nakas. Mendial ikon telepon warna hijau, mulai berbicara dengan seseorang di sebrang sana.

"Assalamu'alaikum Nak."

Suara Mira--wanita parubaya yang tidak lain adalah ibu Spica, terdengar menenangkan.

"Wa'alaikumusalam Bu, ada apa?"

Spica duduk di pinggiran ranjang, menunggu jawaban dari sebrang.

"Ada apa! Harusnya Ibu yang bertanya ada apa? Kenapa lama tidak memberi orang tuamu ini kabar heh?" Dari ponsel, suara Mira naik satu oktaf. Ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Spica paham itu.

"Maaf bu, akhir-akhir ini Spica lelah. Kegiatan Spica saat siang hari padat, jadi begitu sampai kos langsung istirahat." Spica beralasan, namun tidak sepenuhnya berbohong.

Dari muncul matahari, sampai siang sehabis magrib, Spica memang selalu sibuk. Mulai dari beres-beres sampai menyiapkan makanan sendiri. Kegiatan di sekolah walaupun tidak begitu menguras fisiknya, tapi sukses membuat otak Spica nyaris meledak. Karena jadi pintar tidak semudah kelihatannya.

Spica menatap kakinya yang menyentuh karpet bulu murah. Bergerak ke kanan dan kiri bergantian.

"Ibu mengerti sekarang, tapi sholat tidak lupa kan?"

"Astaga Bu, Spica tidak lupa." Spica merasa sebal, kentara dari nada suaranya yang sedikit ketus. Spica tahu hal itu tidak sopan, tapi tetap saja dilakukannya.

Spica tidak suka jika seseorang bertanya atau menegur tentang kewajibannya, termasuk orang tuanya sendiri. Gadis itu akan langsung down, hatinya panas. Dan mood-nya langsung hilang untuk melakukan kewajiban. Seperti contoh sholat. Jika Spica akan sholat dan tiba-tiba ada yang menegurnya 'sholat!' Seketika itu juga Spica malas untuk melaksanakan sholat. Jujur, Spica lebih suka seseorang yang cuek dengan kegiatan orang lain, selama itu masih dalam hal yang positif. Spica benci seseorang yang terlalu ikut campur urusan pribadi orang lain. Amat sangat benci.

"Ibu hanya bertanya naaak," Mira terkekeh, sudah hapal betul dengan polah anaknya itu. "Oh ya, ibu sama bapakmu udah transfer untuk bulan depan nak. Hati-hati kalo pegang uang, jangan boros." Mira menasehati.

"Terimakasih Bu, Spica sayang Ibu dan Bapak. Spica janji akan hemat dan hati-hati mengelola uang," Spica bersungguh-sungguh, "Oh ya, bagaimana kabar Adara?" Spica teringat adiknya.

"Adikmu itu terus saja mengforsir tubuhnya dan otaknya agar terus belajar. Setiap hari tidur larut malam, bahkan sampai jam satu. Ibu bangga dengan kerja kerasnya, namun di lain sisi ibu juga khawatir akan kesehatannya."

Spica menghela napas, teringat impian Adara yang ingin melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya saat ini. "Sebaiknya Ibu menyarankan agar Adara tidur lebih awal, anak itu bisa kembali bangun pukul 3 pagi untuk belajar sekalian tahajud. Kata ibu belajar saja tidak cukup kan? kita juga harus berdoa agar semua seimbang," Spica memberi masukan dengan mengulang kembali nasehat Mira

"Ibu bangga padamu yang selalu ingat dengan nasehat-nasehat ibu..." Walaupun tidak melihat, Spica yakin bahwa Mira sedang tersenyum. Spica hapal dengan ibunya yang mudah sekali terseyum bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. "...ah ibu sampai lupa waktu. Tidurlah Nak, agar besok tidak telat bangun."

"Iya bu"

"Jangan lupa jaga kesehatan," Mira memberi peringatan.

"Ibu juga."

"Jangan makan sembarangan!"

"Iya Bu."

" Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusalam, aku sayang ibu."

Panggilan terputus, Spica menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Gadis itu tersenyum sekilas, wajah datar plus juteknya tergantikan dengan wajah manisnya. Sungguh, siapaun yang melihat senyum Spica pasti langsung terpana. Namun sayang belum pernah ada yang melihat senyum itu kecuali keluarga dan kerabat dekatnya. Dan yah, beberapa orang yang beruntung.

Spica berjalan, membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Sedangkan tangan gadis itu menenteng novel yang sempat di ambilnya di atas nakas. Gadis itu mencari tempat yang pas untuk lesehan dengan kaki selonjoran-- keluar dari pembatas besi. Spica diam, fokus dengan novelnya yang beberapa bab lagi akan tamat. Semakin lama tubuhnya meluruh menjadi tiduran dengan selimut yang mulai tersingkap. Sekitar 15 menit membaca, Spica akhrinya menguap. Gadis itu melipat ujung kertas pada novel untuk memberi tanda, kemudian menutupnya. Menyimpannya di samping tubuh.

Karena merasa angin malam menusuk kulit lehernya, Spica membetulkan kembali selimut sampai menutupi leher, membungkus tubuh bagian atas, sedangkan kakinya semakin keluar dari pembatas besi.

Pandangan Spica menatap langit malam yang bertabur bintang. Pikirannya tertuju pada kejadian beberapa jam lalu. Spica yang menyelamatkan Bara, Spica yang adu mulut dengan Bara, dan berakhir bertemu dengan Sujaya--Ayah Bara. Spica tidak tahu dengan apa yang menimpanya hari ini, apakah hal buruk atau baik. Apakah sebagai salah satu ujian hidup.

Spica mengusap wajahnya, kembali menatap langit. Sedangkan kakinya sedari tadi bergerak ke kanan dan kiri secara bergantian. Jika dilihat dari bawah, tentu orang-orang akan merasa aneh dengan kaki manusia yang keluar tergantung di udara dimalam hari. Apalagi dengan suasana sepi, pasti pikiran horor langsung berdatangan bagi orang-orang memiliki ketakutan berlebih terhadap hal mistis. Atau mengira itu kaki mayat yang mati sebab overdosis di kos-nya?

Spica tertidur di balkon kamarnya, gadis itu terbangun dan menyadari saat kegelapan berangsur sirna, netranya menyipit, disambut dengan kucing yang sedang meringkuk beralas selimut. Spica refleks melirik tubuhnya sendiri yang sudah tidak memakai selimut, terlihat berantakan. Gadis itu mengambil posisi duduk, kepalanya sedikit pusing karena tidak menggunakan bantal. Gerakannya amat pelan sehingga kucing di sampingnya tidak menyadari pergerakan Spica.

Tidak! Sama sekali Spica tidak peduli dengan keberadaan kucing tersebut. Spica bergerak lambat karena merasa pegal di seluruh tubuhnya. Spica merutuki dirinya yang terlalu senang memandangi langit malam, sehingga membuatnya tertidur di balkon. Hal itu bukanlah yang pertama kali, Spica sering tertidur di balkon kamarnya dan terbangun dengan badan pegal-pegal. Spica sering berjanji untuk berhenti melakukan hal konyol itu. Tapi hobinya terlalu sayang untuk dilewatkan. Kesukaannya pada malam dan langit membuat hati dan pikirannya damai, susah sekali untuk di hilangkan.

Terpopuler

Comments

✨Susanti✨

✨Susanti✨

it's okay
aku suka karakter cwe introvert

2023-10-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!