Dan selama delapan belas tahun Spica hidup, baru kali ini pula Spica membenci seseorang. Walaupun Spica selalu bersikap cuek atau bahkan cenderung sinis, gadis itu sama sekali belum pernah membenci seseorang seperti yang dilakukannya saat ini. Karena menurutnya tidak ada alasan untuk membenci sedangkan dirinya jarang bersosialisasi.
Dan untuk orang lain yang membencinya dengan berbagai alasan, Spica tidak peduli, itu hak mereka. Spica hanya peduli dengan perasaanya, bukan egois. Tapi berusaha menjaga perasaan agar tidak mudah menyimpan benci atau dendam. Agar tidak mudah tersinggung. Toh Spica jarang bersosialisasi kecuali dengan organisasi PKS-nya dan jarang pula seseorang terlihat membenci Spica. Kecuali musuh PKS, yaitu anak-anak pelanggar aturan.
Jika tidak ingin dibenci, ya jangan membenci, itu prinsip hidupnya. Namun rupanya kali ini prinsip itu tidak berlaku untuk Bara.
Tidak ingin berlama-lama dengan Bara, Spica kembali ke sebrang jalan. Mengambil belanjaannya yang tertinggal di kursi pinggir taman. Begitu pula dengan Bara, cowok itu pergi tanpa mengucapkan terimakasih. Malahan cowok itu pergi sambil mendumel. Jalan kaki sebab motor bocor dan berakhir bertemu Spica membuat mood benar-benar hancur. Apalagi kalimat terakhirnya hanya di respon singkat oleh Spica.
"Awas saja lo, gadis PKS sialan!" Bara mengumpat. Merasa egonya terancam, sebab belum pernah ada cewek yang memandanginya penuh kebencian atau mengeluarkan aura permusuhan. Bara selalu membuat kaum hawa kicep di hadapannya. Bukan karena wajah tampan kuadratnya, tapi pembawaan Bara yang membuat kaum hawa kicep mendadak. Tatapan Bara yang tajam, mengerikan. Di tambah dengan cara berbicara yang kasar. Dan ancaman yang terlihat meyakinkan. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seseorang takut dengannya.
Dalam hati Bara terus mengutuk Spica. Dua kali bertemu, dua kali pula Spica sukses memancing amarahnya.
......................
Spica terlonjak saat ada tangan besar yang menepuk pundaknya. Hampir saja gadis itu melayangkan tinju pada pelaku, namun diurungkannya. Apalagi saat mengetahui sang pelaku yang ternyata hanyalah pria parubaya.
"Ah, maaf Pak," Spica sedikit membungkuk sopan. "Ada apa ya?" Spica merasa malu.
Pria parubaya yang saat ini sedang di tatap Spica dengan penuh penasaran masih terkejut. Dalam hati mengagumi Spica yang menurutnya menakjubkan. Gadis dengan aura tenang namun selalu waspada dengan sekeliling. Cepat bertindak, terbukti dengan apa yang gadis itu akan lakukan padanya beberapa detik lalu.
"Maaf Pak, ada apa ya?" Spica mengulang kembali pertanyaannya.
Pria parubaya tersentak dari kebekuannya, lantas tersenyum lebar. "Jangan kaku begitu nak, santai saja." Jeda, Spica menghela napas pelan. Kemudian mengangguk.
"Saya Ayah bocah yang tadi kamu tolong. Sebelumnya terimakasih sudah menolong putra saya."
Bara?
Spica terkejut mendengarnya, pria yang mengaku Ayah Bara itu masih terlihat mudah dan bugar. Tidak seperti ayahnya di kampung. Mungkin faktor ekonomi membuat seseorang terlihat berbeda.
Tersadar dari lamunanya, Spica kembali memasang wajah tenang, "ah. Iya Pak," singkat Spica, sebab bingung berkata apa.
"Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, tapi tidak di sini."
Spica tidak tertarik dengan apa yang Ayah Bara akan sampaikan. Bahkan Spica ingin sekali menolaknya, tapi akan sangat tidak sopan bila itu terjadi. Akhirnya Spica pasrah, gadis itu mengikuti ayah Bara menuju cafe terdekat. Mereka jalan depan belakang dengan Ayah Bara yang memimpin jalan.
Mereka duduk di meja paling dekat dengan pintu masuk begitu sampai di cafe. Spica menaruh kedua tangan di paha dengan tubuh tegap. Gadis itu terlihat kaku dengan posisi duduknya. Ayah Bara memaklumi, mungkin gugup.
"Sebelum mengobrol sebaiknya memesan minum atau makanan dulu. Biar saya belanja, jangan sungkan," Ayah Bara menyodorkan katalog menu, sedikit basa-basi, namun langsung ditolak Spica. Padahal niat Ayah Bara hanya ingin membuat Spica merasa tenang dan nyaman.
Spica mengangguk dengan senyum terpaksa, tidak ada niatan Spica untuk menolak. Anak kos seharusnya tidak boleh menolak rezeki. Tapi gengsi membuat semuanya jadi sulit.
"Tidak perlu repot-repot Pak. Langsung saja ke intinya, hari sudah semakin malam, dan saya harus bergegas pulang ke kos," Spica berbohong. Padahal tidak ada batas waktu untuk pulang ke kost. Semua penghuni bebas keluar-masuk kost kapanpun selagi tidak melakukan hal di luar aturan umum.
Ayah Bara mengangguk paham, "Baiklah."
"Saya ingin meminta bantuan dan saya amat sangat berharap kamu mau menolong saya." Ayah Bara mulai menjelaskan maksud dan tujuannya. "Sebenarnya ini bukan sekedar meminta bantuan. Tapi lebih seperti pekerjaan."
"Jadi?" Spica mulai penasaran, gadis itu menaikkan sebelah alisnya.
"Saya ingin kau mengawasi Bara putra saya. Mengikuti kemanapun dia pergi dan melaporkan semua yang anak itu lakukannya Say..."
"Saya tidak bisa," Spica memotong kalimat Ayah Bara, gadis itu beranjak dari tempatnya, bersiap pergi.
Spica tidak habis pikir dengan orang tua di depannya ini. Mungkin beliau satu-satunya orang tua gila. Mana ada orang tua yang dengan gampangnya menyuruh anak gadis menjadi penguntit untuk putranya yang urakan?
Belum sempat Spica pergi, gadis itu tersentak kaget saat lengannya di cekal. Hanya beberapa detik cekalan tangannya sudah terlepas lagi. Spica menoleh dan mendapati Ayah Bara yang sedang berdiri sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Memohon kepada Spica agar membantunya. Apa yang Ayah Bara lakukan persis seperti gaya memohon sinetron-sinetron India yang ditonton Ibu Spica, gadis itu hapal betul. Bedanya, ayah Bara tidak menggeleng-gelengkan pelan kepalanya.
Spica tidak enak hati melihat orang tua memohon padanya yang notabenenya lebih muda. Gadis itu sedikit meluluh. "Jangan seperti ini Pak, duduklah." Ayah Bara kembali duduk, di ikuti Spica.
"Saya mohon nak, saya tidak bisa mengawasi putra saya 24 jam. Mamanya Bara sedang sakit, di..."
Spica juga tidak bisa mengawasi Bara 24 jam! Spica bukan cewek pengangguran. Spica seorang remaja, dan dia pelajar! Bukan seorang bodyguard yang tiap saat selalu ada disamping majikan.
"Jangan bercerita," Spica kembali memotong kalimat Ayah Bara dengan tidak sopannya. "Saya tetap tidak bisa melakukan hal itu."
"Saya mohon nak," Ayah Bara kembali memohon. "Saya percaya dan yakin kau bisa melakukan pekerjaan ini. Saya akan bayar tiap minggu. Itu bisa meringankan beban orang tuamu nak, pikirkanlah."
Spica terdiam, dalam hati bertanya kenapa Ayah Bara mengarahkan hal ini ke kondisi perekonomian keluarganya? Mungkinkah Ayah Bara mengetahui kehidupannya? Tapi benar yang dikatakan beliau. Jika Spica menerima tawarannya, Spica tidak akan merepotkan kedua orang tuanya di kampung. Spica menghela napas pelan, gadis itu menutup matanya sekilas sembari mengambil keputusan.
Sedangkan Ayah Bara tersenyum samar, pria parubaya itu yakin usahanya akan berhasil. Ayah Bara yakin gadis di depannya tipe gadis yang sungkan menolak permintaan orang lain. Gadis baik yang terbungkus dengan sikap kaku dan dinginnya.
"Saya terima. Saya akan mengawasi putra Bapak."
"Keputusan yang bagus Nak. Saya sangat berterimakasih. Dan, oh ya, saya lupa menanyakan namamu..."
"Cukup panggil saya Spica."
"Spica? Bintang tercerah dalam rasi bintang Virgo sekaligus bintang tercerah kelima belas di langit malam, " Ayah Bara menerawang.
Spica mengerutkan dahinya bingung.
"Apa kau lahir di bulan September nak?" Tanya Ayah Bara.
Spica mengangguk, gadis itu heran kenapa Ayah Bara bisa mengetahui bulan lahirnya. Padahal ini pertemuan pertama mereka. "Bagaimana Bapak bisa tau?"
Ayah Bara tersenyum, "hanya menebak." Spica ber oh ria mendengar jawaban Ayah Bara.
"Untuk memudahkan komunikasi, simpan nomor ponsel saya," Ayah Bara menyodorkna ponselnya pada Spica.
Spica langsung mengeluarkan ponselnya dan mengetik nomor yang terpampang di layar ponsel Ayah Bara. "Maaf Pak, jika berkenan, boleh Bapak memberitahukan nama Bapak?"
Sedetik kemudian Ayah Bara tertawa lepas, padahal dirinya sudah berpikiran hal negatif saat Spica mengucapkan kata maaf. "Tentu saja boleh nak. Nama Saya Sujaya El Nath."
Spica mengangguk, kembali meyimpan ponselnya. "Baiklah Pak Sujaya, saya sudah menyimpan nomor Bapak. Sekarang saya pamit pulang. Saya akan mulai bekerja besok."
"Tunggu dulu nak, pesanlah makanan untuk kau bawa pulang. Kali ini tidak ada bantahan. Malu, sudah datang ke cafe tapi tidak beli apapun." Ayah Bara yang biasa dipanggil Sujaya itu menatap Spica tajam, namun hanya sekedar gurauan. Pria parubaya itu tidak mungkin sekedar mampir di cafe tanpa membeli apapun. Bisa turun seketika pamornya sebagai orang kaya.
Sedangkan Spica mengangguk patuh. Jika rezeki datang memaksa, kenapa harus ditolak?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
✨Susanti✨
nextt
2023-10-29
0