NovelToon NovelToon

NYCTOPHILIA

1. voítheia

..."Ada dua hal yang tidak bisa diubah dalam hidup, yang pertama takdir mubram dan yang kedua watak."...

Spica menuju sekolah yang berjarak seratus meter dari kos-nya. Pandangan gadis itu lurus dengan langkah terburu, seperti sedang melakukan olahraga jalan cepat. Bukan sebab bangun kesiangan dan takut terlambat. Dari dulu, Spica memang sudah seperti itu. Dirinya paling tidak bisa jalan santai, terlalu lama, dan membuang waktu.

Sampai di sekolah, Spica segera menuju ruang lima belas yang akan di gunakan untuk pelajaran dijam pertama. Setelah istirahat pertama dan kedua, barulah pelajaran akan dilakukan di LAB.

Wijaya Kusuma adalah nama sekolah dimana Spica menuntut ilmu. Sekolah itu memang menerapkan sistem rolling class. Spica tidak tahu alasan yang mendasarinya.

Spica masuk ke kelas, mencari tempat paling belakang dan mengambil topi sebelum kemudian menaruh tasnya di atas meja. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum bel berbunyi, dan Spica harus sudah standby di pintu belakang sekolah.

Dengan mengenakan topi kebanggannya, yaitu topi berwarna biru tua dengan logo minimalis yang khas, Spica tersenyum samar. Gadis itu berdiri di samping pintu, mengawasi setiap murid yang masuk ke Wijaya Kusuma lewat pintu belakang Sekolah. Ini cukup aneh memang, karena jarang ada sekolah yang membiarkan muridnya keluar masuk lewat pintu belakang. Bukan tanpa sebab, alasannya karena adanya parkiran di belakang sekolah.

Parkiran di Wijaya Kusuma memang dibagi menjadi tiga area. Area pertama berada di samping gerbang masuk utama, dimana area tersebut bersebelahan dengan area parkir guru dan staf karyawan. Dan area parkir yang ketiga berada di belakang sekolah, yang merupakan area parkir tambahan.

Murid yang lewat pintu belakang sekolah sedikit jumlahnya, karena kebanyakan melewati pintu utama. Namun di pintu belakanglah pelanggaran sering terjadi. Itulah sebabnya Spica suka berjaga di pintu belakang jika mendapat giliran tugas. Spica suka menciduk mereka yang melanggar aturan, memberikan tatapan intimidasi untuk siapapun yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan. Walau itu guru sekalipun, namun jelas berbeda kapasitasnya. Jika diukur dengan level satu sampai sepuluh, wajah datar dan kalimat memerintah Spica berada dalam level delapan. Sedangkan untuk guru, karyawan atau yang jauh lebih tua darinya, level tertingginya adalah lima. Sebab Spica masih tahu sopan santun. Itu alasannya.

Ekspresi datar itu tidak hanya di gunakan saat Spica sedang melaksanakan tugasnya, tapi dalam keseharian pun gadis itu selalu berwajah datar. Bukan disengaja, memang Spica nyaman seperti itu. Atau faktanya, memang sepeti itulah ekspresi biasa saja Spica.

Tangan Spica bergerak tidak terduga, menarik ujung kerudung murid perempuan yang melewatinya dengan gaya angkuh. Tarikannya memang pelan, tapi cukup untuk membuat murid itu berhenti melangkah dan memandang Spica dengan ekspresi penuh tanda tanya.

Spica benci manusia dengan kelakuan seperti cewek di depannya. Manusia yang selalu memasang wajah tidak berdosa padahal banyak sekali melakukan kesalahan.

"Kerudung yang kau gunakan bukan kerudung sekolah, tidak pakai romal, dan rambut masih kelihatan." Spica diam sesaat. Mengamati cewek di depannya yang malah bersedekap satu tangan dan tangan lainnya bermain kuku. Kelakuannya jelas menunjukan bahwa dia tidak peduli terhadap omongan Spica. Dan Spica pun tidak peduli dengan respons negatif gadis di depannya.

"Kaos kaki krem, sneakers colourful, dan badge kelas yang belum diganti. Pelanggaran yang kau lakukan cukup banyak," sambungnya lagi. Kali ini  dengan nada sedikit merendahkan, seperti mencemooh. Spica melakukan itu untuk mengetahui apakah cewek didepannya itu tersinggung atau tidak. Dan yeah, jawabannya tidak. Cewek itu sama sekali tidak peduli, malahan memasang wajah tidak bersalah.

Cewek itu menghela napas kasar, "udah selesai? Kalo udah gue pergi dulu."

Spica mengangguk. "Silahkan," ucapnya.

Setelah kepergian murid perempuan itu, Spica menoleh ke samping kanan, dimana adik kelasnya masih melongo melihat kejadian tadi.

"Kau catat dia, Raina Putri, kelas 12 IPS lll. Setiap jadwalku berjaga, dia selalu melupakan kewajibannya," titah Spica dengan alasan.

Adik kelas di sampingnya langsung mengangguk patuh. Dalam hati mengagumi sikap Spica, juga sedikit ngeri. Tapi dirinya suka, dalam artian lebih.

Spica kembali mengedarkan pandangan, memantau area belakang layaknya kamera CCTV. Bedanya, kepala Spica mampu berotasi seratus delapan puluh derajat. Spica kadang kala mengangguk untuk membalas adik kelas yang menyapanya, atau membalas jabatan tangan teman perempuan.

Spica tidak semenyebalkan yang orang nilai tentangnya, tergantung bagaimana cara mereka memandangnya.

Tidak berselang lama, Spica menyipitkan netra saat dari kejauhan pandangannya menangkap murid laki-laki dengan baju yang tidak dimasukkan ke dalam celana dan dasi yang tidak dipakai, malahan dibuat mainan dengan memutar-mutar dasinya sampai membelit tangan.

Spica menunggu murid itu mendekat sebelum pada akhirnya menjulurkan sebelah tangan, menghadang cowok seumurannya itu agar berhenti.

Cowok yang Spica tidak tahu namanya itu jelas kaget, langkahnya mendadak terhenti, sedangkan wajahnya menatap Spica penasaran. Terlihat polos sekali. Spica kadang heran dengan manusia yang gemar sekali memasang wajah polos. Seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, atau kesalahan apa yang membuatnya dihentikan, ditegur.

"Bajunya masukkan ke dalam celana dulu. Terus dasinya juga harus dipakai! Jangan untuk mainan!" titah Spica. Menatap cowok yang dimaksud dengan wajah datar.

Cowok itu mengerutkan dahi, sedetik kemudian wajah sengaknya terpampang jelas, "lo nyuruh gue?" Si cowok menunjuk dirinya sendiri.

"Ya."

"Sorry ya, lo bukan polisi. Jadi nggak berhak ngatur-ngatur." Si cowok menatap Spica dengan seringai menyebalkan. Seakan menantang Spica untuk berdebat.

Spica diam sesaat. Gadis itu tidak mudah terpancing emosi, kalaupun iya, Spica tidak akan menyerah. Kebetulan dirinya memang suka berdebat.

"Memangnya cuma polisi yang berhak mengatur? Saya juga berhak! Itu malah kewajiban saya, menseragamkan anak-anak yang tidak taat aturan," Spica bersedekap, menanti jawaban si cowok.

"Justru aturan dibuat untuk dilanggar," sanggah si cowok, intonasi suaranya naik satu oktaf.

"Pemikiran konyol macam apa itu?" Spica berdecak. "Saya tidak peduli dengan pemikiran konyol yang kau ungkapkan. Yang jelas jika kau sudah memutuskan sekolah di sini. Maka kau harus mematuhi aturan yang berlaku di sini," Spica menjelaskan.

Perbincangan panas mereka mulai mengundang perhatian beberapa anak. Sedangkan adik kelas yang sedari tadi berdiri di samping Spica merasa was-was, batinnya menduga perdebatan yang dilakukan kedua kakak kelasnya itu pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi keduanya sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah.

Si cowok menerawang. "Gue sebenernya juga males sekolah di sini," ungkapnya, sebelum tersadar pada apa yang di ucapannya. "Bodoamatlah, Minggir! Gue mau lewat."

Spica kembali menghadang saat si cowok akan pergi. "Rapikan dulu, baru boleh masuk." Spica sama sekali tidak gentar. "Kau tidak boleh seenaknya sendiri. Ini sekolah, bukan tongkrongan."

"Bagaimana kalau gue bilang sekolah ini milik orang tua gue," Si cowok membuat pengandaian.

Ekspresi Spica yang tadinya kesal, setelah mendengar respons cowok di depannya, kini memasang wajah datar. Sangking datarnya, adik kelasnya sampai bergidik ngeri. "Apa ekspresi saya seperti orang yang mudah percaya?"

Si cowok mengedikkan bahu acuh.

Jelas tidak ingin merespons gadis yang menurutnya menyebalkan itu.

"Sek...."

Belum selesai Spica bicara, adik kelas di sampinya menengahi. "Sudahlah Kak, biarkan Kak Bara ini lewat." Adik kelasnya itu memasang wajah takut-takut saat melihat Bara. Walaupun terlihat Bara tidak peduli, dirinya memang pantas ditakuti. Karena tidak boleh ada yang berani memerintah dirinya.

Spica menoleh ke adik kelasnya, sebelum kembali menatap si cowok yang ternyata bernama Bara. "Jadi namanya Bara?"

Ilham, adik kelasnya sedikit terkejut mendengar pertanyaan Spica. "Kak Spica baru tahu namanya?" tanyanya refleks.

"Apa itu penting untuk saya?" tanya Spica sarkas.

Bara sebenarnya tidak peduli dengan dua manusia yang tengah berbincang di depannya. Tapi saat merasa dirinya di rendahkan hati Bara terasa panas dan akhirnya memilih untuk menyanggah. "Itu penting, biar lo gak sembarangan ngatur gue," Bara menunjuk wajah Spica sesaat. "Nama gue Aldebaran El Nath. Panggil gue Bara!" ucapnya penuh pecaya diri.

Spica diam sesaat, "Aldebaran El Nath?" Spica memastikan. "Saya tidak peduli itu, yang saya pedulikan adalah peraturan."

Bara menatap tajam Spica, batinnya kesal setelah mati. "Persetan lah, aturan hanya untuk manusia yang bodohnya mau diperbudak!" Sanggahnya. Bara mendorong tubuh Spica yang menghalangi jalan, cowok itu kemudian pergi.

Spica mundur dua langkah, sambil memandang kepergian Bara dengan ekspresi tidak terbaca. "Nama yang bagus. Namun tidak untuk pemiliknya."

Ilham menoleh ke arah Spica, dalam hati membenarkan ucapan gadis itu.

II

"Cukup sekian briefing kita pada pagi ini, ada yang ingin ditanyakan?" Spica memberi jeda untuk anggota PKS bilamana ingin mengutarakan pertanyaan atau masukan. Netranya menyapu seluruh titik ruangan khusus anggota PKS inti. Semua diam, hening.

Gilang Sebastian, yang merupakan mantan ketua PKS mengangkat tangan kiri dan menunjuk jam tangannya. Memberi kode pada Spica untuk segera mengakhiri briefing.

Spica menangkap maksud Gilang, gadis itu memangguk paham. "Ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Saya mewakili teman-teman PKS angkatan 2018 - 2019 mengucapkan terimakasih sekaligus meminta maaf apabila selama memberi kalian pelatihan, kami melakukan banyak kesalahan. Apa dimaafkan?"

"Iya kak." Serentak anggota PKS angkatan baru merespons.

"Baiklah. Kami juga mengucapkan selamat kepada semua anggota PKS baru, angkatan 2019 - 2020. Kami harap kalian dapat mengerjakan tugas sebagaimana anggota PKS yang bertanggung jawab dan dapat menjadi panutan untuk adik kelas kalian." Spica diam sesaat, "cukup di sini pertemuan kita. Sampai jumpa dan selamat belajar."

Spica masih berdiri, tangannya bersedekap sambil memperhatikan adik kelasnya berhamburan keluar. Hanya tersisa beberapa anak, mereka masih betah di tempatnya sebab enggan mengikuti pelajaran atau sekedar berbincang ringan dengan temannya.

Spica mengambil duduk di kursi paling depan. Berdiam diri dengan tubuh yang tegap, kaku sekali.

Dari sudut ruangan, Ilham---adik kelas yang tadi mendampingi Spica bertugas, mendekat. Cowok itu duduk di samping Spica.

"Kak."

"Eh Ilham," Spica menoleh, menggeser sedikit duduknya, menciptakan jarak. "Ada apa?"

Ilham menggaruk tengkuknya, seketika merasa kikuk. "Hanya penasaran dengan yang Kakak pikirkan. Sebab terlihat serius."

Spica ber oh ria, "hanya berpikir kenapa ada anak-anak seperti itu di sekolah kita," jujurnya.

Ilham paham, anak yang dimaksud kakak kelas favoritnya itu pasti Bara. Cowok berandal yang hobi membolos "Itu wajar, apalagi ini sekolah swasta," responnya pelan.

Spica menoleh, "dan saya benci dengan manusia seperti itu. Apalagi dengan Bara-Bara itu, kesan pertamanya amat sangat buruk. Seperti tidak pernah mendapat didikan orang tua."

"Seperti halnya Raina Putri, namun gadis itu bukannya dari awal sudah melanggar, sepertinya dia terbawa arus negatif temannya," sambungnya lagi.

Ilham mengangguk paham. Ada setitik rasa penasaran yang mengganggu pikirannya. Dan cowok itu harus segera menyelesaikannya atau jika tidak, akan selalu terbawa pikiran. "Kakak sepertinya tidak mengenal Kak Bara..." Ilham tidak melanjutkan kalimatnya. Menunggu Spica angkat bicara.

"Saya kenal, dia sudah mengenalkan dirinya tadi."

"Bukan!" Raut wajah Ilham berubah serius, badannya bergeser merapatkan diri pada Spica. Bukan dengan maksud modus, murni karena cowok itu merasa hal yang akan di bicarakan adalah hal penting. Seperti halnya menggunjing atau ghibah, Ilham mulai bercerita dengan intonasi rendah.

"Gue gak percaya masih ada manusia seperti kakak. Tapi yang perlu kakak tau,  Kak Bara itu seperti punya pelindung, dia bertingkah semaunya sendiri di sekolah seakan tidak khawatir akan di keluarkan dari sekolah. Gue pernah sekali lihat dia minum dengan temannya di warung belakang sekolah. Tawuran dengan anak sekolah lain dan terlihat mesra dengan beberapa cewek yang dandannya seperti gadis, yaa, begitulah.... Kakak pasti tau apa maksud gue."

Ilham mengambil napas sejenak, memperhatikan raut wajah Spica yang masih datar, seperti tidak peduli dengan ceritanya. Tapi Ilham tetap akan bercerita, hati kecilnya merasa ini perlu dilakukan. Tanpa sadar, Ilham menceritakan semua keburukan cowok yang mengganggu pikiran kakak kelasnya itu. Entahlah, rasanya ada setitik rasa tidak terima jika Spica memikirkan cowok lain.

"Dan anehnya, tidak ada yang berani melaporkan hal itu pada pihak kesiswaan atau BK. Pernah ada satu kejadian, saat salah satu cowok rohis berniat melaporkan hal itu. Teman-teman Kak Bara melindunginya. Entah apa yang mereka perbuat tapi yang jelas cowok rohis itu mendadak kicep. Mungkin dia mendapat ancaman." Semua kalimat yang keluar dari mulut Ilham begitu menyakinkan, seolah-olah itu hal besar, Spica harus yakin dan langsung berpikiran tidak akan menggangu Bara.

Namun sepertinya gagal, Spica sama sekali tidak peduli dengan hal itu. Sekarang bukan lagi tugasnya untuk menegur anak-anak kurang ajar. Jabatannya sebagai wakil ketua PKS telah lengser 2 Minggu lalu, saat kegiatan LDK-PKS.

"Kau sedang mengghibah?" tanya Spica sedetik setelah Ilham selesai berbicara.

"Kakak gak percaya? Itu fakta kak." Dahi Ilham mengerut, berusaha meyakinkan Spica.

"Percaya," jawab Spica cepat. Tidak ingin meladeni Ilham.

Sedetik kemudian Ilham tersenyum tipis, tiba-tiba hatinya merasa senang Spica percaya dengan ceritanya. "Jadi..."

"Tidak ada jadinya, sekarang kau ke kelas saja. Pelajaran sudah mulai dari 10 menit yang lalu." Spica berniat mengusir Ilham.

Raut wajah Ilham berubah drastis, tidak ada yang bisa cowok itu perbuat selain menuruti perintah Spica. Ilham  beranjak dari tempatnya dengan berat hati. Meninggalkan ruang PKS, segera menuju kelasnya.

Sepeninggal Ilham, Spica langsung menelungkupkan kepala di atas meja dengan kedua tangan yang berlipat. Hari ini rasanya malas sekali mengikuti pelajaran, untung saja PKS akan melaksanakan sidak, jadi ada alasan Spica tidak memasuki kelas. Setidaknya untuk yang terakhir kali sebelum gadis itu benar-benar lepas dari tanggungjawabnya sebagai anggota PKS.

Sambil menunggu Gilang menghubungi pihak kesiswaan, Spica memejamkan netranya sejenak. Dua anggota PKS lainnya yang sedang mencatat sesuatu di meja tidak peduli. Mereka cukup paham dengan Gadis itu, jika sudah diam dalam posisinya pasti Spica tidak bisa diganggu, kecuali untuk hal penting.

Belum lama terlelap, Spica terbangun dari tidur ayamnya. Suara gaduh dari luar mengganggu indra pendengarannya. Spica beranjak, menuju sumber kegaduhan. Begitu pula 2 anggota PKS yang bersama dirinya di dalam ruangan.

Sebuah pot bunga keramik pecah di samping pintu ruang PKS. Pecahan pot dan tanah berserakan di lantai, sedangkan tak jauh dari sana, Gilang berdiri dengan wajah penuh tanda tanya, begitu pula Bu Nani--kesiswaan yang bertugas hari ini.

Spica menatap Gilang penuh tanda tanya. Namun tidak ada respon yang di dapatnya.

"Astagaa, ulah siapa nih?!" Salah satu anggota PKS yang baru saja keluar dari ruangan terkejut melihat pot yang isinya berceceran. Gadis yang biasa di panggil Rara itu menatap Spica, Gilang, dan lainnya dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Cowok, dia lari ke arah taman belakang. Gue gak bisa memastikan dia siapa, dia memakai hoodie dan kepalanya tertutup tudung," Gilang menjelaskan.

Belum ada suara yang keluar dari Bu Nani, beliau hanya diam sambil menatap pecahan pot. Wajahnya sedikit pucat. Spica tentu menyadari hal itu, seperti ada yang di tutupi dari beliau. Tak ingin berprasangka buruk, Spica kembali menatap ke arah pot. Netranya menyipit saat melihat sesuatu yang aneh. Gadis itu mendekat, mengorek tanah yang bercecer, mengambil lipatan kertas yang sudah kotor.

"Itu apa Kak?" Rara kembali bertanya. Semua mendekat ke Spica, penasaran dengan apa yang gadis itu temukan.

Spica membuka lipatan  kertas, membaca pesan singkat yang tertulis di sana. Kemudian menyodorkan kertas tersebut pada Bu Nani.

"Surat cinta."

Hanya itu yang Spica sampaikan. Gilang dan kedua anggota lainnya masih kurang puas dengan apa yang Spica katakan. Mereka tidak yakin, mana ada seseorang mengirim surat cinta dengan cara melemparkannya dengan pot keramik? Itu bahaya.

Akhirnya mereka bertanya pada Bu Nani, namun tetap saja tidak ada yang mereka dapatkan, sebab Bu Nani tidak ingin mengatakannya. Beliau lantas menitah h Gilang dan lainnya untuk mulai sidaknya, sedangkan beliau akan mengurus masalah pot.

"Tak perlu khawatir, Ibu akan mengurusnya. Anggap saja tidak terjadi apa-apa," lirih Bu Nani kepada Spica. Nada suaranya terdengar yakin, seolah ini hanya masalah sepele.

Sepeninggal Bu Nani, Spica masih diam di tempatnya. Berbeda dengan Gilang dan lainnya yang mulai dengan tugas sidaknya. Gadis itu masih bernerka-nerka siapa gerangan yang melakukan hal tersebut. Spica tidak bisa berhenti berfikir, apalagi saat tau isi surat itu di tunjukkan untuknya. Spica tahu, tentu saja. Sebab namanya tercantum dalam surat cinta tersebut.

...__________________________________...

..."Jangan sok ngatur! Lo cuma gadis PKS, bukan bapak gue. Berurusan sama gue lagi, siap² aja, idup lu gk bakal tenang!"...

...Spica sialan!...

...____________________________...

"Ayo Spica!" Seru Gilang dari kejauhan, Spica yang melamun langsung bergegas menyusul temannya.

lll

..."(Fitrah manusia) Akan timbul keinginan untuk membantu ketika melihat seseorang sedang dalam masalah."...

Malam hari, jam delapan kurang 15 menit Spica sudah rapi dengan jeans dan hoodie hitam oversize. Tidak lupa kerudung segi empat yang ujung-ujungnya di masukkan ke dalam hoodie. Belum sempat membuka pintu, gadis itu berlari ke samping dispenser, mengambil sandal jepit yang juga berwarna hitam. Yeah, Spica memang maniak warna hitam.

Selesai mengambil sandal, Gadis itu melangkah menjauhi pekarangan kos-nya. Menyusuri trotoar menuju mini market terdekat. Dengan langkah cepat, Spica hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di sana. Tidak terlalu lama, tapi kalau untuk gadis lain mungkin akan terasa lama.

Sebenarnya bisa saja Spica pergi ke mini market dengan meminjam sepeda milik anak ibu kos-nya. Tapi gadis itu lebih suka dan sudah terbiasa jalan kaki. Bahkan setiap sekolah Spica selalu jalan kaki.

Sampai di mini market Spica langsung mengambil keranjang, menyusuri lorong gondola secara berurutan. Mengambil barang yang di perlukan, seperti shampoo, sabun mandi, dan pasta gigi. Tidak lupa mie instan untuk berjaga-jaga jikalau uang kiriman orang tuanya menipis. Spica sangat perhitungan dalam beberapa hal, seperti saat berbelanja. Bahkan gadis itu mengecek tanggal kedaluwarsa semua barang yang akan dibeli dan membandingkan antara harga dengan berat isi jika gadis itu harus memilih barang pengganti, sebab barang andalannya sedang kosong.

Selesai menyusuri lorong, Spica menuju freezer, mengambil es krim dan membawanya menuju kasa bersama barang belanjaan lainnya. Tanpa bicara Spica meletakan keranjang di atas meja kasa, memasang senyum tipis untuk membalas sapaan kasir.

"Ada yang ingin di tambahkan mba?" Kasir bertanya kelewatan ramah, yang sayangnya hanya di jawab gelengan oleh Spica.

Kasir perempuan itu tersenyum tipis, sedetik kemudian langsung mentransaksi belanjaan Spica. Pekerja mini market yang satu itu memaklumi sikap apatis Spica Bahkan sudah paham dengan salah satu konsumennya itu.

Spica. Salah satu konsumen yang tidak suka bertele-tele, memilih barang dengan cekatan dan teliti, belum pernah membeli barang promo, dan yang paling di hapalnya adalah, konsumennya itu selalu membeli 2 bungkus es krim rasa coklat, vanila, dan strawberry secara bergantian setiap kali berbelanja. Dan kali ini es krim vanila yang di belinya. Walaupun begitu, pegawai perempuan itu sama sekali belum mengetahui nama konsumennya. Padahal sudah berulang kali dirinya berbasa-basi, namun hanya respon singkat yang di dapatnya. Pegawai mini market tersebut berani bertaruh, jika Spica adalah satu-satunya pelanggan aneh di muka bumi.

"Totalnya enam puluh ribu rupiah. "

Spica tersadar dari lamunannya, gadis itu refleks mengambil selembar uang seratus ribuan yang sudah di siapkannya di dalam kantong hoodie. Menukarnya dengan sekantong belanjaan dan menunggu uang kembalian.

"Kembaliannya empat puluh ribu rupiah, terimakasih mba." Kasir itu memberkan struk belanjaan, kemudian menganggukkan kepala dengan tangan menangkup di depan dada sebagai salam hormat.

Spica menyimpan struk bersama dengan kembaliannya di kantong hoodie. Tanpa sepatah kata gadis itu langsung keluar.

Kali ini Spica menyusuri trotoar dengan santai. Langkanya menggiring Spica ke kursi panjang di pinggiran taman yang jaraknya tidak jauh dari mini market tempatnya belanja. Gadis itu mengeluarkan dua bungkus es krim yang dibelinya, membuka bungkusan es krim, memakannya dengan nikmat.

Lampu jalanan yang temaran menyamarkan keberadaan Spica, apalagi ditambah dengan warna pakaian yang dikenakan. Membuat gadis itu seakan menyatu dengan kelamnya malam. Spica mengedarkan pandangannya menatap jalanan yang mulai sepi pejalan kaki. Sebenarnya daerah di tempat tinggalnya ini memang selalu sepi dengan pejalan kaki, karena memang saat ini orang-orang lebih suka berpergian dengan kendaraan daripada jalan kaki, bahkan anak dibawah umur sekalipun.

Pandangan Spica tiba-tiba terfokus pada satu titik yang menarik perhatiannya. Netra Spica menajam, mengamati gerak-gerik cowok di sebrang jalan yang menurutnya terlihat aneh. Berjalan sendiri dengan langkah pelan, sedangkan pandangan cowok itu berfokus pada ponsel yang digenggamnya. Spica bahkan melupakan es krim-nya yang mulai memeleh, apalagi saat langkah cowok itu yang mulai keluar dari jalur seharusnya.

Tersadar dari tingkah bodohnya, Spica mengalihkan pandangan, memastikan tidak ada yang memergokinya tengah mengamati cowok. Namun Spica justru merasa was-was saat dari kejauhan melihat sebuah truk yang semakin mendekat. Spica kembali menatap cowok yang baru saja sukses menarik perhatiannya, dan parahnya, langkah cowok itu semakin menengah.

"Dia bodoh atau pura-pura tidak tahu?"

Spica beranjak dari tempatnya, menyadari tangannya masih menggenggam es krim dan terkena lelehannya, Spica langsung membuang es krim yang tidak berdosa itu tersebut ke tempat sampah. Menjilat lelehan es krim yang masih menempel di tangan sebelum mengelapnya menggunakan hoodie yang dikenakan. Sama sekali tidak peduli dengan tingkah joroknya, nyawa lebih utama daripada kebersihan.

Spica berlari ke arah cowok yang jaraknya tidak terlalu jauh itu. Menyebrang jalan dengan cekatan dan mendorong cowok itu dengan keras, bunyi kelakson truk membuat suasana kian menegang. Si cowok terjatuh di trotoar bertepatan dengan truk yang melintas kencang. Spica juga jatuh dengan posisi lutut dan telapak tangan sebagai tumpuannya, gayanya persis seperti saat bermain kuda-kudaan untuk menyenangkan hati anak kecil. Napas Spica memburu, gadis itu takut sekaligus tidak menyangka dengan apa yang barusan dilakukannya. Jika telat beberapa detik saja, mungkin malah nyawanya yang terancam.

"KALAU JALAN PAKE MATA." Supir truk berenti sejenak, memarahi Spica dan cowok yang ditolong Spica yang sukses membuat jantung si sopir maraton. "DASAR BOCAH." Makinya sebelum kembali mengemudi.

Keadaan menjadi hening, entah mengapa pada saat kejadian itu, pun tidak ada satupun orang yang melintas. Seakan memang jalan dan kejadian itu sudah di khususkan untuk Spica, pengendara truk, dan si cowok.

Sedangkan cowok yang Spica selamatkan itu mengerang saat sikut kanannya terbentur trotoar, tubuhnya ambruk dengan posisi miring dan ponsel yang digenggamnya terlempar cukup jauh. Jatuh di tanah berumput di pinggiran trotoar.

"Anjing!!" Si cowok mengumpat, merasa kesal dengan orang yang telah mendorongnya.

"Manusia bodoh!" Spica juga mengumpat, namun dalam hati. Gadis itu berdiri tanpa mempedulikan lututnya yang cenat-cenut.

Spica mengerutkan dahi saat mengetahui cowok yang ditolong ternyata satu sekolah dengannya. Bara. Spica mendekat, berdiri di hadapan cowok itu tanpa ada niatan untuk membantu Bara berdiri. "Manusia lemah," Spica mencibir.

"Tidak perlu mendorongku bodoh!" Tukas Bara, wajah sengitnya dua kali lipat lebih sengit. Apalagi saat mengenal wajah orang yang mendorongnya, yaitu gadis PKS yang tadi pagi menyemprotnya dengan perintah-perintah memuakkan.

Bara beranjak dari posisinya, mengambil ponsel sebelum mensejajarkan tubuhnya dengan Spica. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak kurang lebih satu setengah meter.

"Manusia bodoh yang mengatakan orang lain bodoh? Sepertinya itu tidak tepat. Sudah begitu tidak tahu terimakasih pula," tukas Spica, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Memasang wajah tanpa dosa, walau dalam hati kesal luar biasa.

Spica menunduk sesaat, mengamati tangannya yang masih gemetar. Sungguh, kejadian tadi memacu adrenalinnya.

Sedangkan Bara menatap Spica dengan tatapan permusuhan. Mood Bara mudah sekali berubah-ubah. Namun setiap berhadapan dengan Spica, tidak ada emosi lain kecuali amarah. Entahlah, setiap kali dengan Spica, Bara merasa amarahnya selalu tersulut. Bahkan pada keadaan yang tidak tepat sekalipun. Seperti saat ini, manusia normal jika di selamatkan dari maut harusnya bersyukur bahkan sampai menangis, namun Bara malah marah dan mengumpat orang menolongnya.

"Gue gak minta lo nolongin gue!" Bara ikut melipat tangannya di depan dada. Kepalanya mendongak agak miring, memasang wajah pongah. Siapa saja yang melihat hal tersebut pasti langsung bernafsu untuk memberi bogeman mentah.

"Oh," hanya itu respons yang Spica keluarkan. Sebab gadis itu bingung mesti berkata apa. Sedangkan hatinya memanas.

Selama delapan belas tahun hidup di bumi, baru kali ini Spica menyesal telah menyelamatkan seseorang. Seharusnya Spica membiarkan Bara tertabrak saja. Biarkan saja cowok macam dia mati. Manusia seperti Bara tidak seharusnya ada, sebab hanya akan menambah sampah masyarakat saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!