Playtime And Disaster
Berlari tak tentu arah dilorong panjang sebuah tempat yang seharusnya adalah rumah tua. Aku sudah tidak ingat berapa banyak pintu dan lorong yang aku lewati untuk kabur dari mimpi buruk ini. Namun tidak peduli arah mana yang aku ambil, semuanya seolah-olah berputar ke tempat yang sama, seperti tidak mengizinkan kami keluar. Meskipun begitu, mencari jalan keluar bukanlah prioritasku sekarang. Aku harus lari dari ‘dia’.
“Nona manis berlari kencang
Semua jalan diambil agar menang
Tapi nona bodoh bagai kerang
Karena semua jalan buntung!”
Sosok badut psikopat itu terus mengulangi pantun yang sama seperti mengharapkan kekalahanku. Bunyi dari palu besar yang dia seret membuatku muak karena menghasilkan decitan kasar dilantai yang bertekstur kayu. Belum cukup dengan itu, ada suara tertawa, jeritan, dan tangisan yang mengikuti boneka badut setinggi tiga meter itu dengan didampingi tarantula plastik yang merayap di atas plafon atap bersama serangga – serangga lainnya yang mengikuti. Tarantula plastik yang beragam bentuknya itu satu per satu jatuh untuk memperlambat gerakanku yang cetaka. Tapi beruntungnya, aku dapat menghindari sabotase mereka dengan memukul menggunakan sapu yang kebetulan aku bawa. Namun, lorong yang sempit ini membatasi pergerakanku.
“Clara! Larilah lebih cepat!”
Boneka yang terpaksa aku bawa di lengan kiriku memberi nasihat yang tidak berguna. Sekarang saja aku sedang berlari dengan mempertaruhkan nyawa. Walaupun paru-paruku sesak, jantungku berdegup kencang, dan perutku sakit luar biasa, aku tidak bisa berhenti karena aku takut tertangkap dalam sedetik istirahat. Bahkan di saat kepanikan itu, aku masih sempatnya mendorong kacamataku ke tempat semula dengan tangan kanan yang sedang memegang sapu.
Didepanku, ada pintu yang mengarah ke ruangan selanjutnya terbuka dari dekat. Aku pikir kami setidaknya bisa selamat dengan keluar dari lorong ini. Akhirnya, kami berhasil pindah ke aula yang luas dan penuh tanaman hias. Walaupun tanamannya indah, aku terpaksa melemparnya ke lantai dengan sapu untuk menghentikan pergerakan badut psikopat itu bersama ‘peliharaan’ anehnya yang sedikit demi sedikit berkurang. Aku pun harus balik badan menghadap mereka agar lemparanku tepat sasaran. Lumayan sulit melakukannya dengan satu tangan sambil memperhatikan melangkahku.
Namun, dengan cerobohnya aku menabrak deretan pot tanaman lidah buaya yang besar hingga terjatuh karena terlambat berbalik. Tubuhku sakit hebat dan mulutku memuntahkan makan siang yang semula nasi dengan telur. Napasku tersengal-sengal mencari udara sampai otakku ingin meledak. Gagang kacamataku patah dan lensanya pecah saat berbenturan di lantai keramik yang dingin.
“CLARA!”
Oh tidak, kami terkepung.
Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini? Dikejar monster berwujud mainan didunia yang tidak dikenal? Hah, benar. Ini semua karena sebuah boneka yang seenaknya memintaku mematahkan kutukan rumah tua. Tidak seperti aku punya pilihan lain juga.
...🌼🌻🌼
...
Beberapa bulan sebelum ‘bencana’ terjadi.
23 Juni 2019
Pukul 12.00 sudah menunjukkan pergantian waktu dari pagi ke siang dimana cahaya matahari diatas kepala. Namun, hamparan awan lembut berwarna putih di langit biru menutupi sebagian cahaya tersebut. Membuat hari ini menjadi hari yang sempurna untuk piknik. Jalan tol hari ini tampak senggang dengan jumlah kendaraan beroda empat yang tidak lebih dari 20 buah. Memang jalanan dihari kerja saat ini hampir sepi.
Dalam mobil Inova abu-abu, sang sopir memusatkan semua fokusnya ke depan walaupun jalanan lumayan sepi. Kemungkinan karena bangku di sebelah kirinya kosong sehingga dia tidak memiliki teman berbincang. Bukan berarti sopir itu mau berbincang dengan orang asing juga. Dia hanya menjalankan tugasnya untuk mengantar pelanggannya ke tempat tujuan.
Di kursi belakang, seorang tante dan keponakannya masih duduk manis di posisi mereka masing – masing selama seperempat jam perjalanan sambil diam seribu bahasa. Keponakannya bernama Clara Paradista. Dia mengenakan jaket merah dan t-shirt putih polos didalamnya. Celana jeans yang Clara pakai panjangnya selutut sedangkan kaos kaki yang panjang menutupi sisanya sampai sepatu Nike hijau yang adalah hadiah ulang tahunnya. Sambil mengarahkan matanya ke jalanan yang berlalu dari kaca jendela kanan mobil, Clara melamun dalam pikirannya sendiri. Sesekali membetulkan kembali posisi kacamatanya ke tempat semula dengan satu jari telunjuk.
Sedangkan tantenya yang bernama Imelda Anjantianti mengenakan busana berwarna ungu dengan sedikit kain tambahan yang dijahitkan sebagai hiasan. Hijabnya memiliki motif geometri berwarna ungu lilac dan putih sebagai warna aksennya. Sedangkan kakinya mengenakan sandal modis yang biasanya digunakan untuk jalan-jalan atau pergi ke kondangan teman. Wanita berusia 39 tahun itu memperhatikan keponakannya dengan gelisah. Walaupun jarak diantara Clara dengan dirinya hanya sejengkal, tante Imelda merasa jika mereka berbeda dimensi. Seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Tante Imelda hanya bisa meremas tas kecil merek Dowa miliknya sambil menyimpan perasaan gundah ini.
Aura kecanggungan yang pekat bertebaran di atmosfer mobil karena tidak adanya interaksi sosial. Hal ini masuk akal karena mereka sudah jarang mengunjungi rumah satu sama lain selama satu tahun. Apalagi, kemarin adalah hari pemakaman kedua orang tua Clara karena kecelakaan motor. Tanpa direncanakan, tanpa berpamitan, semuanya terjadi begitu cepat. Telepon dari polisi, perjalanan ke rumah sakit, tamu – tamu berdatangan, menutupi tubuh kedua orang tuanya dengan kain kafan, lalu salam perpisahan terakhir sebelum diantar ke tempat peristirahatan terakhir mereka.
Dengan emosi yang masih tidak stabil, gadis malang ini harus berjuang mengatasi depresi ditinggalkan setelah 14 tahun hidupnya yang normal. Banyak ucapan belasungkawa dan kata – kata penyemangat yang dia dapatkan. Namun, tidak ada yang berhasil mengisi hatinya yang berlubang. Dan di saat keterpurukan itu, Tante Imelda menawarkan sebuah bantuan. Tante Imelda akan mengurus semua hal berat yang ditinggalkan bersama Clara dan mengurus gadis yang sedih itu bersama anak – anaknya dirumah yang hangat. Berharap dengan semua itu, Clara bisa bangkit kembali untuk menjalani hari tanpa memikirkan kepergian orangtuanya yang tragis. Clara yang linglung hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Berpikir ini kesempatan terbaik yang bisa diambil karena dia masih terlalu muda untuk mengerti semua hal sekaligus.
Dan sekarang Clara berkendara menuju rumah tantenya karena mereka akan tinggal bersama sebagai hasil dari menerima bantuan Tante Imelda sebelumnya. Wanita dua anak itu merasa sanggup merawat Clara sebagai walinya dan langkah pertama yang dia lakukan adalah mengajak Clara pindah ke rumahnya. Meskipun rumah Tante Imelda dan Clara berada di Jakarta, walaupun hanya dipisahkan oleh kecamatan, mereka masih menggunakan jasa sopir taksi untuk sekalian membawa barang keperluan sehari-hari Clara yang lumayan banyak. Ditambah, mobil pribadi mereka sedang berada di bengkel untuk diperbaiki tangki bensinnya.
Tapi ini bukan berarti hubungan mereka sangat renggang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments