Clara mengakhiri perdebatan mereka, lalu pergi ke ruang makan.
Di atas mejanya ada sepiring nasi dengan telur dan wortel sebagai lauknya. Bahkan ada dua piring tambahan di sebelahnya yang berisi risoles dan tahu goreng. Saat melihatnya, perut Clara keroncongan lagi karena makanan yang dia konsumsi hari ini hanya roti karena sibuk pengepak barang-barangnya untuk pindah ke rumah tante Imelda.
Namun sebelum dia duduk dikursi meja makan, Rafael datang dan ikut duduk berhadapan dengannya. Mood Clara tiba-tiba menjadi buruk saat melihat kedatangannya yang dianggap mengganggu acara makan yang tenang. Sambil menghembuskan nafas yang panjang, Clara berkata, “Eh labi-labi, lo gak bisa marah ke gue karena sebuah kenyataan.” Rafael yang merasa tersinggung mengelus dadanya sambil menunjuk ekspresi kesal. Hal ini dia lakukan sambil memikirkan adegan dramatis di sinetron favorit mamanya sebagai parodi.
Dengan sebelah alis dinaikkan, Rafael bertanya dengan nada suara membentak, “Kenapa lo manggil gue labi-labi mulu sih?!” Clara yang sedang menyantap makan siangnya melihat Rafael dengan tatapan jengkel tapi diam - diam mulutnya tersenyum kecil karena perkataan Rafael yang menurutnya lucu. “Soalnya nama elo kayak nama salah satu kura-kura ninja, Raphael. Tapi karena kura-kura masih keren, gue ganti aja jadi labi-labi.”
Rafael mengernyitkan alis matanya tidak percaya dengan mulut yang terlalu sedih sampai tidak bisa cemberut ataupun tersenyum. “Gue kasih nilai minus B untuk kreativitasnya,” balas Rafael sambil mengambil risol di piring. Clara hanya bisa tertawa kecil lalu memakan nasinya kembali.
“By the way, Clara, lo masih inget rumah berhantu dikompleks sebelah pas kita masih kecil?” Tiba-tiba Rafael membawa sebuah topik acak yang terlintas di pikirannya. Clara yang masih mengunyah menganggukan kepalanya. Lalu setelah menelannya, Clara bertanya, “Kenapa emang?”
“Yaa... Kata tante Siti, bonekanya ketemu didepan toko mainan Pak Tirta dan rumornya rumah berhantu itu punya Pak Tirta juga. Bisa jadi boneka yang sekarang lo milikin kayak spirit doll. Gue Cuma bisa bilang ‘semoga bisa tidur nyenyak malem-malem’.” Rafael mengangkat bahunya seolah-olah pasrah dengan keadaan Clara dengan risol ditangan kanan yang sudah dia gigit. Saat mendengar cerita Rafael, Clara tiba-tiba menggigit lidahnya sendiri karena marah tanpa sadar. Meskipun sakit, Clara meneguk air agar makanannya tertelan lalu membiarkan rasa perih di lidahnya menghilang.
“Tuh ‘kan. Kalo makan pelan-pelan makanya.”
“Ini salah lo! Maksud lo apa nyeritain ini?!”
Kali ini, bukan nada bercanda yang Rafael dapatkan, tapi amukan dari Clara karena sudah melampaui batas. Setelah menyelesaikan makanannya dan mencuci piring, Clara naik ke kamarnya meninggalkan Rafael yang berusaha meminta maaf. Hal terakhir yang Clara lakukan padanya hari itu adalah menutup pintu, lalu menguncinya dengan slot besi dan memutar kunci. Suara gedoran dan ucapan Rafael diabaikan oleh Clara yang sekarang sedang berhati dingin.
Rafael tidak bermaksud membuat Clara marah. Dia hanya berpikir jika mereka bercanda, Clara akan melupakan rasa sakitnya. Tapi yang dia lakukan adalah berjalan kearah granat tersembunyi karena kurang peka. Fobia Clara bukanlah sesuatu yang bisa dibercandakan dan jika kau melanggar batasnya hal ini akan lumrah terjadi. Ditambah kombinasi kejadian buruk dalam hidup Clara kemarin hanya akan memperkeruh suasana. Merasa dirinya bodoh, Rafael menautkan kedua alisnya kesal. Lalu mengetuk pintu untuk terakhir kalinya hari itu sambil berkata, “Clara, maaf.” Sebelum dia pergi ke kamarnya yang ada di sebelah kanan setelah kamar Clara, lalu Gemini.
Di lain sisi, Clara dapat mendengar semua ucapan Rafael, namun dia benci melihatnya sekarang. Clara berharap Rafael menghilang saja. Atau dia saja yang menghilang.
“Labi – labi gak ada otak.”
Clara langsung menangis saat merebahkan diri di kasur dengan motif bunga berwarna oranye. Matanya tak kuat menahan derai air mata dan dirinya tidak bisa menghentikan luapan emosi yang ditahan sejak hari dimana takdir membalikkan nasibnya. Akhir – akhir ini Clara menjadi lebih sering menangis dibanding biasanya. Perasaannya menjadi lebih sensitif jika disinggung seperti riak air dalam kolam. Dunia terasa tidak nyata hingga rasanya ingin mati.
Clara selalu berpikir, ‘Bagaimana seandainya’ tentang kematian orangtuanya.
Bagaimana seandainya mereka tidak pergi hari itu? Ayah dan ibu pasti masih ada di rumah bersamaku.
Bagaimana seandainya mereka tidak mencari makan dan memasak di dapur? Ayah dan ibu pasti masih ada di rumah bersamaku.
Bagaimana seandainya aku lebih peka? Ayah dan ibu pasti masih ada di rumah bersamaku.
Bagaimana seandainya aku menggantikan mereka? Ayah dan ibu pasti masih ada di rumah tanpaku.
“Tapi tak apa. Aku hanya tidak ingin mereka meninggalkanku.” Clara menarik selimut yang terlipat rapi di dekat kakinya dan menutupi dirinya yang masih sedih. Hari baru saja memasuki waktu sore, namun Clara hanya ingin tidur lebih awal untuk melupakan perasaan menyesakan ini. Butuh waktu agak lama untuknya agar segera masuk ke alam mimpi dan beberapa ketukan pintu dari Tante Imelda yang menanyakan kondisinya.
Clara hanya berkata jika dia ingin tidur siang karena mengantuk. Namun, Tante Imelda tahu jika anak kurang berakhlaknya sudah membuat kegaduhan di antara mereka dari pengakuan Om Husnan yang mendengar suara perkelahian mereka di dapur sampai naik ke tangga. “Clara! Tolong maafin tingkah Rafael. Nanti tante marahin dia jadi tolong dibukain pintunya. Ayo kita bicara baik – baik.”
Sekeras apa pun tante Imelda membujuk Clara, gadis itu hanya membalas dengan tawa palsu sambil berkata, “Gak apa – apa, Tante. Clara Cuma mau tidur doang. Aku capek habis dari perjalanan.” Suara sesegukan yang disamarkan. Dengan lidah yang hampir terpeleset dengan kata – kata riang, Clara mencoba untuk mengakhiri percakapan sambil berharap dia ditinggalkan sendiri untuk meratapi kesedihannya.
Clara masih ingat perkataan tantenya untuk berbagi beban bersama – sama, namun dia masih berpikir hal itu mustahil. Beban yang sekarang dia pikul diberikan untuk dirinya sendiri. Tidak ada cara untuk membaginya dan kalau pun bisa, Clara tidak menginginkannya karena hanya akan merepotkan orang lain. Dia tidak ingin merepotkan keluarga tante Imelda lebih jauh lagi. Dia akan menjadi kuat dan menjaga dirinya sendiri dengan baik. Tidak ada yang boleh melihat dirinya rapuh, bahkan cermin di dinding. Rencana Clara untuk kedepannya adalah setelah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup, Clara akan pergi meninggalkan rumah ini untuk tinggal sendirian. Mungkin akan menelepon mereka beberapa kali, namun dia akan tetap hidup sendirian bersama bebannya.
Pada akhirnya tante Imelda menyerah untuk mengeluarkan Clara dari kamar dan turun dari lantai dua sambil mencubit telinga Rafael. Bisa dibilang, hari ini akan ada orang yang telinganya panas dengan celotehan panjang. Clara merasa lega dengan kepergian mereka. Akhirnya dia bisa tidur di kasurnya. Setelah meletakan kacamata di meja rias yang dekat dengan kasur, Clara membenamkan wajahnya ke bantal yang lembut.
“Tante, maaf ya aku merepotkan. Ayah, ibu, semoga kalian sedang bersenang – senang di surga.” Ucap Clara dalam hati sambil meremas bantalnya frustrasi. Kemudian tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments