Lalu dengan langkah murka, Tante Imelda mengarahkan kakinya menuju ruang keluarga dan menemukan Rafael dengan posisi tiduran sedang memainkan tablet-nya. Tentu saja dia juga menggunakan headphone sehingga tidak mendengarkan. Muak dengan sikap tak acuh anaknya, Tante Imelda menarik paksa headphone tersebut hingga Rafael spontan mengutuk.
“Asssw… Ma… Mama?!”
“Coba ulangi, ngomong apa tadi?”
Detik itu juga, Rafael dipisahkan dengan tablet-nya untuk seminggu.
Rengekan terdengar menggema di ruang keluarga yang menjadi saksi bisu adegan romeo dan juliet yang dipisahkan oleh orangtua. Beberapa kali Rafael berusaha membujuk mamanya untuk mengembalikan sumber hiburannya, namun percuma. “Maaak! Tabletnya tolong balikiiiiin.... Rafael gak sengaja ngomong.” Sambil mengabaikan anaknya, Tante Imelda memanggil Clara kemari. Dengan langkah kecil yang cepat, Clara pergi ke sumber suara yang ada di ruang keluarga. Lalu tiba-tiba muncul di tengah ruangan. Rafael yang tidak mengetahui kedatangannya—atau lupa—tersentak kaget.
Bagaimana tidak? Sepupu yang sudah lama tidak berkunjung tiba-tiba datang saat dia sedang bersantainya alias tidak membuat persiapan apa pun yang mengesankan dan melihat adegan memalukan saat tablet miliknya diambil mama. “Fix, harga diri gue hancur.” Ucap Rafael dalam hati.
“Hai... Rafael.” Clara berusaha menyapa, tapi suara yang keluar bagai bisikan. Tapi tanpa itu juga, Rafael langsung menyambutnya. “Yo, Clara. Kamu gak langsung rebahan lagi?” Ucapan Rafael membuat Clara memutar kembali memori masa lalunya. Saat-saat Clara keseringan berkunjung ke rumah Tante Imelda yang membuatnya berasa seperti di rumah sendiri. Bahkan Clara sampai punya kamar khusus dilantai dua jika ingin menginap. Dan seperti yang Rafael katakan, hal pertama yang biasa Clara lakukan saat berkunjung adalah tiduran di sofa sambil memakan biskuit yang disediakan diatas meja, depan sofa. Wajah Clara seketika menjadi merah karena malu bukan main. “Rafael, bisa bantuin Clara bawa barang-barangnya ke kamarnya?” Rafael sedikit menggerutu karena wanita yang dia panggil ‘mama’ itu seenaknya memerintah orang yang sebelumnya sedang bersantai, lalu menyita barang berharganya. Namun, karena tidak mau terkena azab seperti di film, dengan langkah malas Rafael turuti.
“Ra, lo masih inget ‘kan kamar lama lo?” Rafael yang membawa koper kedua Clara mencoba memastikan ingatannya. Clara mengangguk tanpa memalingkan wajahnya dari lantai keramik. Seketika suasana menjadi sangat hening sampai mereka naik tangga ke lantai dua, tempat kamar Clara berada. Rafael merasa risih selama itu karena sifat pendiam Clara yang membuatnya seperti orang lain. Biasanya mereka memiliki bahan pembicaraan walaupun sepele sekalipun. Seperti kabar disekolah, rasa makanan kantin, membahas acara televisi, konspirasi elit global, maupun tingkah laku kucing oranye yang biasanya berkeliaran di sekitar kompleks. Tetapi sayangnya karena mereka tiba – tiba putus hubungan karena kehidupan yang berbeda, baik Clara maupun Rafael masing – masing kesulitan mencari topik yang nyambung.
Rafael juga perlahan – lahan memaklumi perilaku Clara yang berbeda. Kejadian traumatis kehilangan orang tua pasti menjadi pukulan terbesar yang Clara alami. Meski orangtuanya masih hidup, Rafael ikut merasakan penderitaan Clara saat pergi ke rumah Clara sebelum pemakaman. Dengan setelan serba hitam dan wajah sedih, Rafael hanya bisa memberikan kata belasungkawa seperti pengunjung lainnya di depan Clara. Saat gadis malang itu menangis deras hingga air mata dan ingusnya membasahi gaun hitam yang dia dikenakan, Rafael hanya bisa memberikan pelukan erat bersama adiknya, lalu membiarkan emosi Clara meluap.
Setelah mereka selesai shalat jenazah di masjid, Rafael pulang ke rumah karena dia merasa tidak berguna jika terus menemani ke kuburan. Padahal Clara membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Seseorang yang bisa berkata kepadanya kalau, “Kau tidak akan sendirian.”
Rafael juga sudah tahu dari mamanya jika Clara akan tinggal bersama mereka. Namun kecanggungan ini perlahan memberi jurang dalam di antara Clara dan yang lainnya. Sebagai sepupu yang baik, Rafael harus memastikan hubungan mereka akur kembali. Dan, cara pertama adalah komunikasi. “Ra, kemaren mama gue dapet boneka dari temennya. Pasti lo bakal s-u-k-a,” ucapnya dengan nada bercanda.
Tak disangka Clara langsung membalasnya dengan geram, “Eh Labi-labi! Lo tau sendiri gue gak suka boneka. Kenapa gak dikasih buat Gemini aja sih?” Rafael memiliki adik perempuan bernama Gemini dan memang rencana awalnya boneka itu diperuntukkan kepada si kecil yang aktif itu. Tetapi karena dia sedang pergi ke acara perkemahan pramuka, mau tidak mau boneka itu diberikan untuk Clara sebagai ‘hadiah penyambutan’.
Puas dengan ekspresi kesal Clara, Rafael kemudian menyanggah, “Mak gue belom kasih tau, ya? Gemini lagi di Camping ke Citajem.” Dan sungguh, suasana hati Clara semakin kecut karena fakta ini.
“Okelah, it’s fine. Gua tinggal kotakin terus masalah beres.”
“Gue bukain lagi, sih.”
“Coba aja, nanti gua tonjok muka lo. Terus kita ke Kamp lagi.”
Rafael memutar bola matanya malas sambil menggaruk batang hidungnya. Kemudian berkata, “Ogah. Seribu enggak.” Clara hanya tertawa kecil sambil menyikut lengan Rafael yang sepertinya teringat kenangan masa kecil. Saat – saat mereka harus bangun jam 5 pagi untuk berebutan kamar mandi dan sarapan. Setelah itu latihan menjadi kepribadian yang baik, belajar pelajaran sekolah, Istirahat, lalu latihan tata krama, terkadang mendengar nasibat mentor disela – sela waktu, kemudian tidur setelah mandi. Disanalah mereka juga merasakan manis dan pahitnya hidup mandiri saat mencuci pakaian sendiri lalu merapihkannya, mempersiapkan makan, sampai mempersiapkan kelas sendiri. Namun, setidaknya mereka merasakannya bersama.
“Makanya lo diem aja, labi.” Ujar Clara puas.
“Iye, iye.” Meski dia kalah dalam perdebatan ini, Rafael merasa senang. Karena Clara masih Clara.
...🍉🍈🍉
...
Sampailah mereka didepan pintu kayu berwarna cokelat. Kelapukan dipinggiran tidak membuat motif kayunya luntur. Kayu jati yang menjadi pondasinya sudah bertahun. – tahun menutupi kamar ini dan tetap berdiri kokoh sampai sekarang. Diputarlah gagangnya hingga pintu tersebut menghasilkan bunyi ‘kriiet’ pelan. Clara dan Rafael masuk ke dalam dan menemukan kamar yang sudah beberapa kali ditempati saat menginap dulu. Tidak ada debu yang menempel didalamnya setelah setahun kosong karena baru dibersihkan untuk Clara tinggali.
Jika dilihat dari posisi masuk, kamar yang luasnya 10 meter kali 10 meter itu diisi dengan kasur di sebelah kanan dengan meja rias di sebelahnya. Sedangkan disebelah kiri ada lemari baju dari kayu merah tua dan gantungan baju yang ditempelkan pada kedua pintu lemarinya. Gordennya yang berwarna biru muda terbuka lebar menyinari seisi kamar menggantikan lampu yang sedang dimatikan. Lalu cat dindingnya berwarna hijau muda yang menenangkan dan juga merupakan warna favorit Clara. Namun hal pertama yang Clara lihat adalah meja belajar ditengah yang merapat dengan tembok menghadap ke jendela dan diatasnya ada sesuatu yang samar terlihat karena pantulan cahaya yang terlalu terang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments