NovelToon NovelToon

Playtime And Disaster

Bab 1 - Memulai Kembali

Berlari tak tentu arah dilorong panjang sebuah tempat yang seharusnya adalah rumah tua. Aku sudah tidak ingat berapa banyak pintu dan lorong yang aku lewati untuk kabur dari mimpi buruk ini. Namun tidak peduli arah mana yang aku ambil, semuanya seolah-olah berputar ke tempat yang sama, seperti tidak mengizinkan kami keluar. Meskipun begitu, mencari jalan keluar bukanlah prioritasku sekarang. Aku harus lari dari ‘dia’.

“Nona manis berlari kencang

Semua jalan diambil agar menang

Tapi nona bodoh bagai kerang

Karena semua jalan buntung!”

Sosok badut psikopat itu terus mengulangi pantun yang sama seperti mengharapkan kekalahanku. Bunyi dari palu besar yang dia seret membuatku muak karena menghasilkan decitan kasar dilantai yang bertekstur kayu. Belum cukup dengan itu, ada suara tertawa, jeritan, dan tangisan yang mengikuti boneka badut setinggi tiga meter itu dengan didampingi tarantula plastik yang merayap di atas plafon atap bersama serangga – serangga lainnya yang mengikuti. Tarantula plastik yang beragam bentuknya itu satu per satu jatuh untuk memperlambat gerakanku yang cetaka. Tapi beruntungnya, aku dapat menghindari sabotase mereka dengan memukul menggunakan sapu yang kebetulan aku bawa. Namun, lorong yang sempit ini membatasi pergerakanku.

“Clara! Larilah lebih cepat!”

Boneka yang terpaksa aku bawa di lengan kiriku memberi nasihat yang tidak berguna. Sekarang saja aku sedang berlari dengan mempertaruhkan nyawa. Walaupun paru-paruku sesak, jantungku berdegup kencang, dan perutku sakit luar biasa, aku tidak bisa berhenti karena aku takut tertangkap dalam sedetik istirahat. Bahkan di saat kepanikan itu, aku masih sempatnya mendorong kacamataku ke tempat semula dengan tangan kanan yang sedang memegang sapu.

Didepanku, ada pintu yang mengarah ke ruangan selanjutnya terbuka dari dekat. Aku pikir kami setidaknya bisa selamat dengan keluar dari lorong ini. Akhirnya, kami berhasil pindah ke aula yang luas dan penuh tanaman hias. Walaupun tanamannya indah, aku terpaksa melemparnya ke lantai dengan sapu untuk menghentikan pergerakan badut psikopat itu bersama ‘peliharaan’ anehnya yang sedikit demi sedikit berkurang. Aku pun harus balik badan menghadap mereka agar lemparanku tepat sasaran. Lumayan sulit melakukannya dengan satu tangan sambil memperhatikan melangkahku.

Namun, dengan cerobohnya aku menabrak deretan pot tanaman lidah buaya yang besar hingga terjatuh karena terlambat berbalik. Tubuhku sakit hebat dan mulutku memuntahkan makan siang yang semula nasi dengan telur. Napasku tersengal-sengal mencari udara sampai otakku ingin meledak. Gagang kacamataku patah dan lensanya pecah saat berbenturan di lantai keramik yang dingin.

“CLARA!”

Oh tidak, kami terkepung.

Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini? Dikejar monster berwujud mainan didunia yang tidak dikenal? Hah, benar. Ini semua karena sebuah boneka yang seenaknya memintaku mematahkan kutukan rumah tua. Tidak seperti aku punya pilihan lain juga.

...🌼🌻🌼

...

Beberapa bulan sebelum ‘bencana’ terjadi.

23 Juni 2019

Pukul 12.00 sudah menunjukkan pergantian waktu dari pagi ke siang dimana cahaya matahari diatas kepala. Namun, hamparan awan lembut berwarna putih di langit biru menutupi sebagian cahaya tersebut. Membuat hari ini menjadi hari yang sempurna untuk piknik. Jalan tol hari ini tampak senggang dengan jumlah kendaraan beroda empat yang tidak lebih dari 20 buah. Memang jalanan dihari kerja saat ini hampir sepi.

Dalam mobil Inova abu-abu, sang sopir memusatkan semua fokusnya ke depan walaupun jalanan lumayan sepi. Kemungkinan karena bangku di sebelah kirinya kosong sehingga dia tidak memiliki teman berbincang. Bukan berarti sopir itu mau berbincang dengan orang asing juga. Dia hanya menjalankan tugasnya untuk mengantar pelanggannya ke tempat tujuan.

Di kursi belakang, seorang tante dan keponakannya masih duduk manis di posisi mereka masing – masing selama seperempat jam perjalanan sambil diam seribu bahasa. Keponakannya bernama Clara Paradista. Dia mengenakan jaket merah dan t-shirt putih polos didalamnya. Celana jeans yang Clara pakai panjangnya selutut sedangkan kaos kaki yang panjang menutupi sisanya sampai sepatu Nike hijau yang adalah hadiah ulang tahunnya. Sambil mengarahkan matanya ke jalanan yang berlalu dari kaca jendela kanan mobil, Clara melamun dalam pikirannya sendiri. Sesekali membetulkan kembali posisi kacamatanya ke tempat semula dengan satu jari telunjuk.

Sedangkan tantenya yang bernama Imelda Anjantianti mengenakan busana berwarna ungu dengan sedikit kain tambahan yang dijahitkan sebagai hiasan. Hijabnya memiliki motif geometri berwarna ungu lilac dan putih sebagai warna aksennya. Sedangkan kakinya mengenakan sandal modis yang biasanya digunakan untuk jalan-jalan atau pergi ke kondangan teman. Wanita berusia 39 tahun itu memperhatikan keponakannya dengan gelisah. Walaupun jarak diantara Clara dengan dirinya hanya sejengkal, tante Imelda merasa jika mereka berbeda dimensi. Seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Tante Imelda hanya bisa meremas tas kecil merek Dowa miliknya sambil menyimpan perasaan gundah ini.

Aura kecanggungan yang pekat bertebaran di atmosfer mobil karena tidak adanya interaksi sosial. Hal ini masuk akal karena mereka sudah jarang mengunjungi rumah satu sama lain selama satu tahun. Apalagi, kemarin adalah hari pemakaman kedua orang tua Clara karena kecelakaan motor. Tanpa direncanakan, tanpa berpamitan, semuanya terjadi begitu cepat. Telepon dari polisi, perjalanan ke rumah sakit, tamu – tamu berdatangan, menutupi tubuh kedua orang tuanya dengan kain kafan, lalu salam perpisahan terakhir sebelum diantar ke tempat peristirahatan terakhir mereka.

Dengan emosi yang masih tidak stabil, gadis malang ini harus berjuang mengatasi depresi ditinggalkan setelah 14 tahun hidupnya yang normal. Banyak ucapan belasungkawa dan kata – kata penyemangat yang dia dapatkan. Namun, tidak ada yang berhasil mengisi hatinya yang berlubang. Dan di saat keterpurukan itu, Tante Imelda menawarkan sebuah bantuan. Tante Imelda akan mengurus semua hal berat yang ditinggalkan bersama Clara dan mengurus gadis yang sedih itu bersama anak – anaknya dirumah yang hangat. Berharap dengan semua itu, Clara bisa bangkit kembali untuk menjalani hari tanpa memikirkan kepergian orangtuanya yang tragis. Clara yang linglung hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Berpikir ini kesempatan terbaik yang bisa diambil karena dia masih terlalu muda untuk mengerti semua hal sekaligus.

Dan sekarang Clara berkendara menuju rumah tantenya karena mereka akan tinggal bersama sebagai hasil dari menerima bantuan Tante Imelda sebelumnya. Wanita dua anak itu merasa sanggup merawat Clara sebagai walinya dan langkah pertama yang dia lakukan adalah mengajak Clara pindah ke rumahnya. Meskipun rumah Tante Imelda dan Clara berada di Jakarta, walaupun hanya dipisahkan oleh kecamatan, mereka masih menggunakan jasa sopir taksi untuk sekalian membawa barang keperluan sehari-hari Clara yang lumayan banyak. Ditambah, mobil pribadi mereka sedang berada di bengkel untuk diperbaiki tangki bensinnya.

Tapi ini bukan berarti hubungan mereka sangat renggang.

Bab 2 – Memulai Kembali (2)

Meski mereka sudah setahun tidak saling berkunjung, kedua keluarga ini masih suka berkomunikasi satu sama lain jika ada kesempatan. Bahkan, teman masa kecil Clara salah satunya adalah sepupu laki – lakinya yang lumayan berandalan saat itu. Namanya adalah Rafaelino Adhitama dan mereka sering membuat masalah bersama sampai dikirim ke Kamp Pelatihan Diri agar bertaubat dan berpikiran dewasa. Dia adalah anak pertama dari Tante Imelda. Namun, karena waktu sudah berubah, jarak di antara mereka semakin terasa. Karena mereka sudah ditahun terakhir SMP, jadi lebih mementingkan masalah sekolah masing – masing dan lebih suka bergaul dengan teman sekelas. Lambat laun, hubungan mereka terputus begitu saja.

Lalu secara ajaib mereka disatukan lagi oleh takdir setelah Clara ditimpa musibah. Beruntung ataupun sial sebutannya.

Tidak tahan dengan keheningan, Tante Imelda pun berusaha memikirkan sebuah topik obrolan yang bisa dibicarakan untuk mencairkan gunung es diantara mereka. Meskipun baginya anak muda sangat sulit dimengerti, Tante Imelda akan mencobanya. “Clara, kamu masih inget anaknya Tante, si Rafael? Nanti kalian sekolahnya bareng, jadi jangan sungkem ya.”

Clara memperhatikan sebentar, mengangguk, kemudian kembali melihat jalanan.

Melihat responnya yang pasif, Tante Imelda menghembuskan napas panjang. Lalu membalas, “Clara, Tante tahu ini berat. Jadi biarkan kita berbagi bebannya bareng – bareng. Tante gak mau kamu sedih terus, nanti ibu-ayah kamu gak tenang di atas sana.” Clara kembali mengangguk. Sebenarnya dia ingin berkata sesuatu, tetapi pita suaranya seperti terputus oleh getaran. Getaran yang berasal dirinya yang ketakutan dengan perubahan ini. Namun sebisa mungkin dia sembunyikan.

Tante Imelda menghembuskan nafas yang panjang. Jari – jarinya yang lentik mengurut keningnya yang pusing. Meskipun dia bergumam, Clara dapat mendengar keluh kesanya dari dekat. Hal ini memberikan tekanan batin baginya.

Dalam hati, Clara memaksa dirinya bersuara. Meski hanya sedikit, mungkin beban ini akan hilang. Beban dari rasa penyesalan karena terlihat acuh. Tapi setiap dia memaksanya, hati Clara seolah teriris pisau yang tajam.

Aku ingin sendirian. Abaikan aku.

Cepat beri balasan!

Dua kubu dikepada Clara seolah berbentrokan. Lalu setelah satu ledakan tegas, dia memutuskan untuk bertindak. Clara menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya, lalu akhirnya berbicara. “Tante, Rafael gi… gimana kabarnya?” Tante Imelda terkejut karena Clara balas bertanya. Menurutnya ini merupakan kemajuan yang baik.

Tanpa basa-basi lagi, Tante Imelda langsung membalas, “Rafael sehat-sehat aja. Emang sering ngeluh banyak PR. Gak kayak Clara yang pinter!” Clara merasa tersanjung sekaligus malu. Namun, mereka tetap berusaha meneruskan percakapan. Dari kabar kerabat, sekolah, tapi kebanyakan menanyakan kondisi Clara.

“Masih sakit, Tante. Tapi Clara berusaha bangkit lagi,” ucap Clara sambil menggigit roti srikaya yang dia buka dari kantong plastik pemberian Tante Imelda. Lamanya perjalanan sudah diprediksi oleh Tante Imelda. Oleh sebab itu mereka mempersiapkan bekal berupa snack dan roti.

“Clara hebat sekali! Saat sudah sampai dirumah, langsung ke kamar lalu rapihin barang – barang kamu karena sekarang rumahnya tante juga rumah kamu, Clara.” Ini sudah keseratus kalinya Clara mengucapkan terima kasih kepada Tante Imelda tanda bosan.

“Oh iya,” lanjut Tante Imelda, “ada hadiah di kamar Clara juga. Diterima ya.”

“Apaan, Tante?” Rasa penasaran Clara pun tumbuh. Hadiah apa yang tante berikan? Apakah Buku? Baju? Alat tulis? Apa pun itu Clara hanya bisa mengira-ngira.

Melihat keantusiasan di mata Clara, tante Imelda akhirnya menjawab rasa penasaran itu. “Hadiahnya adalah boneka dari anak temen Tante. Karena anaknya udah gak suka, jadi dikasih ke Tante. Mungkin aja Clara suka.”

Suara petir di siang bolong seperti terdengar di telinga Clara. Semangat yang susah payah datang akhirnya menghilang karena satu kata. ‘Boneka’. Dan yang lebih suram lagi, bonekanya bekas ‘anak temannya Tante’. Sudah dipastikan tidak akan berwujud normal seperti awal penampilan boneka tersebut, mengingat pemilik sebelumnya adalah anak yang umurnya pasti kurang dari 10 tahun. Otak mereka yang sangat aktif pasti akan menyalurkan kreativitas kasar mereka ke boneka tak bersalah itu. Tapi ini bukan berarti Clara akan kasihan pada benda tak bernyawa itu. Sebaliknya, Clara ingin melempar boneka itu keluar jendela jika dia bisa. Boneka, benda yang ‘mencoba’ menyerupai makhluk hidup itu memberikan Clara kenangan yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup karena sebuah insiden yang terjadi saat Clara berumur empat tahun.

“Clara, kamu ‘kan sudah besar jadi bonekanya tidak akan seram lagi bagimu.” Tante Imelda bermaksud baik agar Clara mendapat ‘teman’ yang dapat menghibur disaat Clara tidak bisa membicarakan isi pikirannya dengan orang lain. Mungkin saja Clara lebih nyaman meluapkan emosinya dengan sesuatu yang seperti makhluk hidup, tapi bukan makhluk hidup.

Sayangnya, itu bukan hal yang Clara inginkan. Karena pengalaman yang Clara rasakan saat kecil itu membuatnya menumbuhkan suatu fobia bernama Pediophobia. Ketakutan abnormal kepada boneka.

Memberikan penderitanya ketakutan yang ingin dia hindari hanya akan berakhir seperti penyiksaan. Dan secara tidak langsung, Tante Imelda memberikan alasan lagi untuk Clara membenci kehidupannya sekarang. Tapi dengan terpaksa, Clara harus menerima hadiah tersebut karena niat baik Tante Imelda. Dalam hati, Clara mengutuki hadiah yang bahkan dia tidak tahu bentuknya. Namun dia berusaha positif.

“Ah, aku memang sudah besar. Jadi aku harus berpikir seperti orang dewasa juga. Boneka doang, tinggal dikotakin.”

🌵🏵️🌵

Di dalam sebuah kompleks bernama Sari Madu, berdirilah rumah lantai dua bernuansa era Hindia Belanda. Temboknya dicat berwarna hijau kekuningan dan putih dengan dilengkapi pagar hitam dihalaman depannya. Pagar paling kanan dari tampak depan rumahnya ditempeli tanda tertuliskan nomor 37, nomor rumahnya. Dan didepan rumah ada pohon jambu rindang yang membuat bayangan meneduhkan. Inilah deskripsi singkat dari rumah Tante Imelda yang juga adalah rumah baru Clara. Tidak ada perubahan drastis setelah setahun berlalu sejak kunjungan terakhir Clara bersama orang tuanya ke sini. Mungkin perbedaan yang sekarang sangat terasa adalah Clara pergi bersama Tante Imelda seorang, bersama koper berat di sampingnya. Tanpa ayah dan ibunya.

Setelah mobil tumpangan mereka sampai di depan teras rumah, om Husnan—suami Tante Imelda—membantu membuka pintu bagasi mobil dan mengeluarkan 2 koper berisi barang – barang Clara.

“Selamat datang, Nak,” sambut Om Husnan ramah. Lalu diteruskan, “Saya turut berduka cita untuk orang tuamu, Clara.” Sambil memberikan Clara kopernya yang berisi pakaian dan peralatan mandi. Clara merespons dengan wajah datar dan anggukan kecil.

Setelah mengambil tas selempangnya, Clara menarik koper masuk ke dalam rumah.

“Assalamualaikum,” Ucap Tante Imelda dan Clara bersamaan, namun tidak ada balasan. Kesal, Tante Imelda tiba-tiba berteriak, “Rafaelino! Jawab salam.” Sekali lagi, Hening. Tante Imelda sepertinya bisa menebak apa yang sekarang anaknya sedang lakukan.

• Bab 3 – Tidak Asing, Namun Baru

Lalu dengan langkah murka, Tante Imelda mengarahkan kakinya menuju ruang keluarga dan menemukan Rafael dengan posisi tiduran sedang memainkan tablet-nya. Tentu saja dia juga menggunakan headphone sehingga tidak mendengarkan. Muak dengan sikap tak acuh anaknya, Tante Imelda menarik paksa headphone tersebut hingga Rafael spontan mengutuk.

“Asssw… Ma… Mama?!”

“Coba ulangi, ngomong apa tadi?”

Detik itu juga, Rafael dipisahkan dengan tablet-nya untuk seminggu.

Rengekan terdengar menggema di ruang keluarga yang menjadi saksi bisu adegan romeo dan juliet yang dipisahkan oleh orangtua. Beberapa kali Rafael berusaha membujuk mamanya untuk mengembalikan sumber hiburannya, namun percuma. “Maaak! Tabletnya tolong balikiiiiin.... Rafael gak sengaja ngomong.” Sambil mengabaikan anaknya, Tante Imelda memanggil Clara kemari. Dengan langkah kecil yang cepat, Clara pergi ke sumber suara yang ada di ruang keluarga. Lalu tiba-tiba muncul di tengah ruangan. Rafael yang tidak mengetahui kedatangannya—atau lupa—tersentak kaget.

Bagaimana tidak? Sepupu yang sudah lama tidak berkunjung tiba-tiba datang saat dia sedang bersantainya alias tidak membuat persiapan apa pun yang mengesankan dan melihat adegan memalukan saat tablet miliknya diambil mama. “Fix, harga diri gue hancur.” Ucap Rafael dalam hati.

“Hai... Rafael.” Clara berusaha menyapa, tapi suara yang keluar bagai bisikan. Tapi tanpa itu juga, Rafael langsung menyambutnya. “Yo, Clara. Kamu gak langsung rebahan lagi?” Ucapan Rafael membuat Clara memutar kembali memori masa lalunya. Saat-saat Clara keseringan berkunjung ke rumah Tante Imelda yang membuatnya berasa seperti di rumah sendiri. Bahkan Clara sampai punya kamar khusus dilantai dua jika ingin menginap. Dan seperti yang Rafael katakan, hal pertama yang biasa Clara lakukan saat berkunjung adalah tiduran di sofa sambil memakan biskuit yang disediakan diatas meja, depan sofa. Wajah Clara seketika menjadi merah karena malu bukan main. “Rafael, bisa bantuin Clara bawa barang-barangnya ke kamarnya?” Rafael sedikit menggerutu karena wanita yang dia panggil ‘mama’ itu seenaknya memerintah orang yang sebelumnya sedang bersantai, lalu menyita barang berharganya. Namun, karena tidak mau terkena azab seperti di film, dengan langkah malas Rafael turuti.

“Ra, lo masih inget ‘kan kamar lama lo?” Rafael yang membawa koper kedua Clara mencoba memastikan ingatannya. Clara mengangguk tanpa memalingkan wajahnya dari lantai keramik. Seketika suasana menjadi sangat hening sampai mereka naik tangga ke lantai dua, tempat kamar Clara berada. Rafael merasa risih selama itu karena sifat pendiam Clara yang membuatnya seperti orang lain. Biasanya mereka memiliki bahan pembicaraan walaupun sepele sekalipun. Seperti kabar disekolah, rasa makanan kantin, membahas acara televisi, konspirasi elit global, maupun tingkah laku kucing oranye yang biasanya berkeliaran di sekitar kompleks. Tetapi sayangnya karena mereka tiba – tiba putus hubungan karena kehidupan yang berbeda, baik Clara maupun Rafael masing – masing kesulitan mencari topik yang nyambung.

Rafael juga perlahan – lahan memaklumi perilaku Clara yang berbeda. Kejadian traumatis kehilangan orang tua pasti menjadi pukulan terbesar yang Clara alami. Meski orangtuanya masih hidup, Rafael ikut merasakan penderitaan Clara saat pergi ke rumah Clara sebelum pemakaman. Dengan setelan serba hitam dan wajah sedih, Rafael hanya bisa memberikan kata belasungkawa seperti pengunjung lainnya di depan Clara. Saat gadis malang itu menangis deras hingga air mata dan ingusnya membasahi gaun hitam yang dia dikenakan, Rafael hanya bisa memberikan pelukan erat bersama adiknya, lalu membiarkan emosi Clara meluap.

Setelah mereka selesai shalat jenazah di masjid, Rafael pulang ke rumah karena dia merasa tidak berguna jika terus menemani ke kuburan. Padahal Clara membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Seseorang yang bisa berkata kepadanya kalau, “Kau tidak akan sendirian.”

Rafael juga sudah tahu dari mamanya jika Clara akan tinggal bersama mereka. Namun kecanggungan ini perlahan memberi jurang dalam di antara Clara dan yang lainnya. Sebagai sepupu yang baik, Rafael harus memastikan hubungan mereka akur kembali. Dan, cara pertama adalah komunikasi. “Ra, kemaren mama gue dapet boneka dari temennya. Pasti lo bakal s-u-k-a,” ucapnya dengan nada bercanda.

Tak disangka Clara langsung membalasnya dengan geram, “Eh Labi-labi! Lo tau sendiri gue gak suka boneka. Kenapa gak dikasih buat Gemini aja sih?” Rafael memiliki adik perempuan bernama Gemini dan memang rencana awalnya boneka itu diperuntukkan kepada si kecil yang aktif itu. Tetapi karena dia sedang pergi ke acara perkemahan pramuka, mau tidak mau boneka itu diberikan untuk Clara sebagai ‘hadiah penyambutan’.

Puas dengan ekspresi kesal Clara, Rafael kemudian menyanggah, “Mak gue belom kasih tau, ya? Gemini lagi di Camping ke Citajem.” Dan sungguh, suasana hati Clara semakin kecut karena fakta ini.

“Okelah, it’s fine. Gua tinggal kotakin terus masalah beres.”

“Gue bukain lagi, sih.”

“Coba aja, nanti gua tonjok muka lo. Terus kita ke Kamp lagi.”

Rafael memutar bola matanya malas sambil menggaruk batang hidungnya. Kemudian berkata, “Ogah. Seribu enggak.” Clara hanya tertawa kecil sambil menyikut lengan Rafael yang sepertinya teringat kenangan masa kecil. Saat – saat mereka harus bangun jam 5 pagi untuk berebutan kamar mandi dan sarapan. Setelah itu latihan menjadi kepribadian yang baik, belajar pelajaran sekolah, Istirahat, lalu latihan tata krama, terkadang mendengar nasibat mentor disela – sela waktu, kemudian tidur setelah mandi. Disanalah mereka juga merasakan manis dan pahitnya hidup mandiri saat mencuci pakaian sendiri lalu merapihkannya, mempersiapkan makan, sampai mempersiapkan kelas sendiri. Namun, setidaknya mereka merasakannya bersama.

“Makanya lo diem aja, labi.” Ujar Clara puas.

“Iye, iye.” Meski dia kalah dalam perdebatan ini, Rafael merasa senang. Karena Clara masih Clara.

...🍉🍈🍉

...

Sampailah mereka didepan pintu kayu berwarna cokelat. Kelapukan dipinggiran tidak membuat motif kayunya luntur. Kayu jati yang menjadi pondasinya sudah bertahun. – tahun menutupi kamar ini dan tetap berdiri kokoh sampai sekarang. Diputarlah gagangnya hingga pintu tersebut menghasilkan bunyi ‘kriiet’ pelan. Clara dan Rafael masuk ke dalam dan menemukan kamar yang sudah beberapa kali ditempati saat menginap dulu. Tidak ada debu yang menempel didalamnya setelah setahun kosong karena baru dibersihkan untuk Clara tinggali.

Jika dilihat dari posisi masuk, kamar yang luasnya 10 meter kali 10 meter itu diisi dengan kasur di sebelah kanan dengan meja rias di sebelahnya. Sedangkan disebelah kiri ada lemari baju dari kayu merah tua dan gantungan baju yang ditempelkan pada kedua pintu lemarinya. Gordennya yang berwarna biru muda terbuka lebar menyinari seisi kamar menggantikan lampu yang sedang dimatikan. Lalu cat dindingnya berwarna hijau muda yang menenangkan dan juga merupakan warna favorit Clara. Namun hal pertama yang Clara lihat adalah meja belajar ditengah yang merapat dengan tembok menghadap ke jendela dan diatasnya ada sesuatu yang samar terlihat karena pantulan cahaya yang terlalu terang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!