Meski mereka sudah setahun tidak saling berkunjung, kedua keluarga ini masih suka berkomunikasi satu sama lain jika ada kesempatan. Bahkan, teman masa kecil Clara salah satunya adalah sepupu laki – lakinya yang lumayan berandalan saat itu. Namanya adalah Rafaelino Adhitama dan mereka sering membuat masalah bersama sampai dikirim ke Kamp Pelatihan Diri agar bertaubat dan berpikiran dewasa. Dia adalah anak pertama dari Tante Imelda. Namun, karena waktu sudah berubah, jarak di antara mereka semakin terasa. Karena mereka sudah ditahun terakhir SMP, jadi lebih mementingkan masalah sekolah masing – masing dan lebih suka bergaul dengan teman sekelas. Lambat laun, hubungan mereka terputus begitu saja.
Lalu secara ajaib mereka disatukan lagi oleh takdir setelah Clara ditimpa musibah. Beruntung ataupun sial sebutannya.
Tidak tahan dengan keheningan, Tante Imelda pun berusaha memikirkan sebuah topik obrolan yang bisa dibicarakan untuk mencairkan gunung es diantara mereka. Meskipun baginya anak muda sangat sulit dimengerti, Tante Imelda akan mencobanya. “Clara, kamu masih inget anaknya Tante, si Rafael? Nanti kalian sekolahnya bareng, jadi jangan sungkem ya.”
Clara memperhatikan sebentar, mengangguk, kemudian kembali melihat jalanan.
Melihat responnya yang pasif, Tante Imelda menghembuskan napas panjang. Lalu membalas, “Clara, Tante tahu ini berat. Jadi biarkan kita berbagi bebannya bareng – bareng. Tante gak mau kamu sedih terus, nanti ibu-ayah kamu gak tenang di atas sana.” Clara kembali mengangguk. Sebenarnya dia ingin berkata sesuatu, tetapi pita suaranya seperti terputus oleh getaran. Getaran yang berasal dirinya yang ketakutan dengan perubahan ini. Namun sebisa mungkin dia sembunyikan.
Tante Imelda menghembuskan nafas yang panjang. Jari – jarinya yang lentik mengurut keningnya yang pusing. Meskipun dia bergumam, Clara dapat mendengar keluh kesanya dari dekat. Hal ini memberikan tekanan batin baginya.
Dalam hati, Clara memaksa dirinya bersuara. Meski hanya sedikit, mungkin beban ini akan hilang. Beban dari rasa penyesalan karena terlihat acuh. Tapi setiap dia memaksanya, hati Clara seolah teriris pisau yang tajam.
Aku ingin sendirian. Abaikan aku.
Cepat beri balasan!
Dua kubu dikepada Clara seolah berbentrokan. Lalu setelah satu ledakan tegas, dia memutuskan untuk bertindak. Clara menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya, lalu akhirnya berbicara. “Tante, Rafael gi… gimana kabarnya?” Tante Imelda terkejut karena Clara balas bertanya. Menurutnya ini merupakan kemajuan yang baik.
Tanpa basa-basi lagi, Tante Imelda langsung membalas, “Rafael sehat-sehat aja. Emang sering ngeluh banyak PR. Gak kayak Clara yang pinter!” Clara merasa tersanjung sekaligus malu. Namun, mereka tetap berusaha meneruskan percakapan. Dari kabar kerabat, sekolah, tapi kebanyakan menanyakan kondisi Clara.
“Masih sakit, Tante. Tapi Clara berusaha bangkit lagi,” ucap Clara sambil menggigit roti srikaya yang dia buka dari kantong plastik pemberian Tante Imelda. Lamanya perjalanan sudah diprediksi oleh Tante Imelda. Oleh sebab itu mereka mempersiapkan bekal berupa snack dan roti.
“Clara hebat sekali! Saat sudah sampai dirumah, langsung ke kamar lalu rapihin barang – barang kamu karena sekarang rumahnya tante juga rumah kamu, Clara.” Ini sudah keseratus kalinya Clara mengucapkan terima kasih kepada Tante Imelda tanda bosan.
“Oh iya,” lanjut Tante Imelda, “ada hadiah di kamar Clara juga. Diterima ya.”
“Apaan, Tante?” Rasa penasaran Clara pun tumbuh. Hadiah apa yang tante berikan? Apakah Buku? Baju? Alat tulis? Apa pun itu Clara hanya bisa mengira-ngira.
Melihat keantusiasan di mata Clara, tante Imelda akhirnya menjawab rasa penasaran itu. “Hadiahnya adalah boneka dari anak temen Tante. Karena anaknya udah gak suka, jadi dikasih ke Tante. Mungkin aja Clara suka.”
Suara petir di siang bolong seperti terdengar di telinga Clara. Semangat yang susah payah datang akhirnya menghilang karena satu kata. ‘Boneka’. Dan yang lebih suram lagi, bonekanya bekas ‘anak temannya Tante’. Sudah dipastikan tidak akan berwujud normal seperti awal penampilan boneka tersebut, mengingat pemilik sebelumnya adalah anak yang umurnya pasti kurang dari 10 tahun. Otak mereka yang sangat aktif pasti akan menyalurkan kreativitas kasar mereka ke boneka tak bersalah itu. Tapi ini bukan berarti Clara akan kasihan pada benda tak bernyawa itu. Sebaliknya, Clara ingin melempar boneka itu keluar jendela jika dia bisa. Boneka, benda yang ‘mencoba’ menyerupai makhluk hidup itu memberikan Clara kenangan yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup karena sebuah insiden yang terjadi saat Clara berumur empat tahun.
“Clara, kamu ‘kan sudah besar jadi bonekanya tidak akan seram lagi bagimu.” Tante Imelda bermaksud baik agar Clara mendapat ‘teman’ yang dapat menghibur disaat Clara tidak bisa membicarakan isi pikirannya dengan orang lain. Mungkin saja Clara lebih nyaman meluapkan emosinya dengan sesuatu yang seperti makhluk hidup, tapi bukan makhluk hidup.
Sayangnya, itu bukan hal yang Clara inginkan. Karena pengalaman yang Clara rasakan saat kecil itu membuatnya menumbuhkan suatu fobia bernama Pediophobia. Ketakutan abnormal kepada boneka.
Memberikan penderitanya ketakutan yang ingin dia hindari hanya akan berakhir seperti penyiksaan. Dan secara tidak langsung, Tante Imelda memberikan alasan lagi untuk Clara membenci kehidupannya sekarang. Tapi dengan terpaksa, Clara harus menerima hadiah tersebut karena niat baik Tante Imelda. Dalam hati, Clara mengutuki hadiah yang bahkan dia tidak tahu bentuknya. Namun dia berusaha positif.
“Ah, aku memang sudah besar. Jadi aku harus berpikir seperti orang dewasa juga. Boneka doang, tinggal dikotakin.”
🌵🏵️🌵
Di dalam sebuah kompleks bernama Sari Madu, berdirilah rumah lantai dua bernuansa era Hindia Belanda. Temboknya dicat berwarna hijau kekuningan dan putih dengan dilengkapi pagar hitam dihalaman depannya. Pagar paling kanan dari tampak depan rumahnya ditempeli tanda tertuliskan nomor 37, nomor rumahnya. Dan didepan rumah ada pohon jambu rindang yang membuat bayangan meneduhkan. Inilah deskripsi singkat dari rumah Tante Imelda yang juga adalah rumah baru Clara. Tidak ada perubahan drastis setelah setahun berlalu sejak kunjungan terakhir Clara bersama orang tuanya ke sini. Mungkin perbedaan yang sekarang sangat terasa adalah Clara pergi bersama Tante Imelda seorang, bersama koper berat di sampingnya. Tanpa ayah dan ibunya.
Setelah mobil tumpangan mereka sampai di depan teras rumah, om Husnan—suami Tante Imelda—membantu membuka pintu bagasi mobil dan mengeluarkan 2 koper berisi barang – barang Clara.
“Selamat datang, Nak,” sambut Om Husnan ramah. Lalu diteruskan, “Saya turut berduka cita untuk orang tuamu, Clara.” Sambil memberikan Clara kopernya yang berisi pakaian dan peralatan mandi. Clara merespons dengan wajah datar dan anggukan kecil.
Setelah mengambil tas selempangnya, Clara menarik koper masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum,” Ucap Tante Imelda dan Clara bersamaan, namun tidak ada balasan. Kesal, Tante Imelda tiba-tiba berteriak, “Rafaelino! Jawab salam.” Sekali lagi, Hening. Tante Imelda sepertinya bisa menebak apa yang sekarang anaknya sedang lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments