Rafael memberikan ruang agar Clara dapat merapihkan barang – barangnya lalu meletakan kopernya didekat ranjang tidur. Setelah itu Rafael pamit pergi. “Ra, kalo lo udah kelar, nanti ke ruang makan ya.” Clara menunjukkan senyuman manisnya dan mengangguk. “Oke. Sekarang sono pergi, hush hush.” Tingkah Clara yang mengusirnya membuat Rafael tertawa gemas.
“Yaelah, iya deh. Cewek kalo lagi buat persiapan nunggunya seabad lagi.”
“Enak aja!”
Dan Rafael pun kabur sambil menutup pintu kamar Clara. Kata-kata terakhirnya sebelum dia pergi adalah, “Have fun sama mister b-o-n-e-k-a.”
Sontak, Clara diingatkan kembali kenyataan mengerikan ini. Dan betul saja, saat dia membalikan badannya untuk membuka koper, sebuah siluet anak kecil duduk manis diatas meja belajar. Pantulan cahaya dari jendela dibelakangnya seperti menunjukan keberadaan boneka itu yang misterius. Clara pun menjerit dalam hati dan melangkah mundur karena terkejut. Dia mengusap dadanya perlahan sambil mengatakan dalam hatinya, “Masih siang, masih siang.” Karena menurut teorinya, hal supranatural tidak akan terjadi selama matahari masih bertengger di langit. Setelah sadar dari syoknya, Clara berdiri dan berjalan mendekati boneka itu untuk menginspeksinya dengan ujung bibir yang digigit.
Ukuran boneka tersebut lebih kecil dari anak berumur tiga tahun. Memakai T-shirt putih dan ditimpa dengan jumpsuit biru dongker pucat. Di lehernya ada dasi kupu-kupu berwarna putih dengan garis berpola jingga-jingga-hijau toska dan terdapat robek kecil di ujung pita sebelah kanan. Boneka ini juga mengenakan sepatu mungil berwarna hitam dan kaus kaki putih yang panjangnya selutut. Matanya dari kancing besar berwarna berbeda, yaitu kuning sebagai mata kanan dan pink sebagai mata kiri. Bibirnya dibuat dengan menjahitkan benang berwarna coklat tua membentuk senyum simpul di wajahnya. Sekumpulan benang wol disusun satu per satu menjadi rambut yang lembut di atas kepalanya dan bermodel seperti mangkok.
Clara memperhatikan boneka tersebut lekat-lekat, ada perasaan yang tidak enak. Bukan dari ketakutanya dengan boneka. Tapi entahlah, sesuatu yang tidak bisa dia deskripsikan saat mata mereka bertemu pandang. Tatapan kosong khas boneka tidak terasa pada boneka ini. Misterius. Lalu sambil merapalkan doa – doa, Clara mengangkat boneka yang ‘kelihatannya’ tidak berbahaya itu dari meja. “Kotak sepatu ada di mana?” Sambil celingak-celinguk mencari kotak, Clara menggendong boneka itu di tangannya dan di luar dugaan boneka ternyata berat.
Ctek, ctek, brak.
Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh. Mungkin dari kalung atau tali yang diikat pada benda berat. Tetapi kenyataannya suara itu berasal dari sebuah tali rafia yang diikatkan pada dua stik es krim. Dari tali tersebut, Clara menelusuri asalnya yang berakhir di tangan, kaki, dan kepala boneka tersebut. “Eh?” Clara baru menyadari benda tersebut diikatkan ke boneka dan dia pun dibuat keheranan. Boneka yang sedang dia pegang ini bukanlah boneka Marionett, Ventriloquist, maupun Porselin.
Tapi boneka dari kain flanel dengan busa lembut di dalamnya. Semua bagian dari boneka tersebut squishy, namun sayangnya berbau khas anak bocah belum mandi. Clara bisa menebak sekreatif apa anak yang menjadi pemilik pertamanya saat melihat dua stik es krim tersebut. Clara berpikir anak itu menginginkan boneka Marionett dari film yang dia tonton atau dari sumber lainnya. Tetapi ibunya malah membelikan boneka yang tidak sesuai dengan keinginannya. Alhasil, anak itu memutar otak dan menyulap boneka itu menjadi sesuatu yang lain. “Kasihannya,” gumam Clara simpatik.
Tiba-tiba Clara meletakkan kembali boneka itu ke tempatnya semula—meja belajar—dan melepaskan tali rafia yang mengekangnya dengan hati-hati. “Bonekanya buat gua juga,” batin Clara yang akhirnya mengakui kepemilikan boneka ini dan karena dia juga baru sadar kalau Gemini sudah pulang, bocah itu akan mengganggunya dengan boneka ini jika tidak mau bermain dengannya. Jadi, untuk sementara boneka flanel ini akan ada di bawah pengawasan dan persembunyian Clara.
Setelah Clara membuka beberapa simpul mati di semua bagian boneka itu, dia membentangkan tali rafia berwarna merah maroon tersebut, kemudian diputar-putar membentuk lingkaran ditangannya. Setelah ujungnya kelihatan, Clara memutarnya secara horizontal dan mengikat akses keluarnya agar tidak lepas, lalu membuangnya ke tong sampah dekat dengan pintu bersama dua stik es krimnya. Merasa urusannya belum selesai, Clara mengangkat kembali boneka tersebut, membuka pintu lemari baju, lalu meletakkan bonekanya di rak yang paling atas dekat dengan barang-barang lainnya.
Krek kek kek.
Pintu lemari ditutup dan Clara menguncinya dengan kunci yang sudah ada di lubang pintu, lalu menariknya. Kunci tersebut diletakkan oleh Clara didalam laci meja belajar dengan pemikiran bahwa boneka tersebut tidak akan bisa keluar dengan mudah. Walaupun kenyataannya ini sangat bodoh dan Clara pun mengakuinya, tapi fobia lebih mengungguli sifat rasionalnya. Mau dia mengadakan perdebatan batin juga, Clara tetap akan memilih keselamatannya dengan mengurung boneka itu dilemari dan tidak akan pernah membukanya lagi. Sekarang pun Clara berpikir menggunakan kopernya untuk menyimpan pakaian berhubung lemari sedang dipakai untuk ‘menahan’ potensi berbahaya.
Karena sekarang lemarinya sedang disegel, Clara tidak jadi menaruh pakaiannya. Dia pun langsung melepas jaket dan tas selempang, lalu meletakkannya digantungan baju tepat di pintu lemari. Setelah itu keluar dari kamar untuk mengambil makan siang di dapur.
Saat turun, Clara melihat Om Husnan sedang menonton berita di ruang keluarga bersama Rafael yang berwajah masam. “Heeerk...” Suara gerutu Rafael di kursi panjang. Dari bahasa tubuhnya yang menyilangkan kaki dan tangannya, Clara dan Om Husnan tahu remaja ini sedang kesal dan tidak bisa mencari hiburan lain. Lalu dengan terpaksa menonton TV walaupun dia tidak tertarik. Om Husnan yang melihat tingkah putranya yang merajuk hanya menertawakan kemalangannya sendiri lalu memberikan kata-kata bijak, “Makanya, kamu punya mulut dijaga,” sambil tersenyum jail. Tidak diberitahu pun Rafael tahu kalau mulutnya harus dijaga. Namun, terkadang dia tidak bisa mengendalikan ucapannya jika diganggu seperti yang Tante Imelda lakukan pada headphone-nya siang ini. Ditarik secara paksa hanya akan membuatnya terkejut dan spontan mengatakan hal yang dia sesali kemudian. Tapi nasi sudah jadi bubur, Rafael sekarang harus menahan hukuman ini seperti yang sering dia lakukan sebelumnya.
Figur Clara yang sedang memperhatikan TV dilihat oleh Om Husnan. Kemudian pria itu memanggil Clara, “Clara, makanan ada di meja makan. Kalau kurang pedes, ada sambel di deket rice cooker.” Clara membalasnya dengan anggukan lalu membalas, “Iya makasih, Om. Tapi saya gak suka sambel.” Tidak seperti sebelumnya, Clara berhasil menciptakan serangkaian kata untuk membalas perkataan lawan bicaranya. Kemungkinan getaran dalam dirinya telah berhenti, walaupun sementara. “Haha, Clara masih gak doyan sambel, ya?” Balasan Om Husnan tepat sekali. Clara tidak tahan rasa pedas yang perlahan membakar lidahnya lalu menyiksa perutnya seharian. Dia lebih memilih kecap manis yang aman. “Kau payah, Clara,” ucap Rafael mengejek sambil memperhatikan Clara dengan tatapan merendahkan. Korban yang dia ejek hanya memutar bola matanya malas sambil mendengus kasar. Lalu membalas dengan ketus, “Mohon berkaca pada diri sendiri yang tidak bisa minum obat. Gemini aja lebih hebat daripada kamu.”
Balasan Clara membuat Rafael menelan ludahnya sendiri karena pada kenyataannya, seorang kakak tertua tidak bisa meminum obat berbentuk pil padat. Bahkan yang berbentuk kapsul pun harus dipotong dulu kulitnya untuk mengeluarkan cairan obat di dalamnya. Tante Imelda dan Om Husnan selalu kesusahan jika Rafael sakit dan harus minum obat berbentuk pil karena harus digerus terlebih dahulu sebelum diminum Rafael karena mereka tidak ingin anak sulungnya tersedak. Tidak lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments