Marry Din

Marry Din

Part 1

Delia memutuskan untuk rehat sejenak setelah menyelesaikan pasca-sarjana. Seperti beban dalam hidupnya sedikit berkurang dari hari ke hari. Yang ia perlukan hanyalah bersantai dan menagih janji sang ayah. Tiket liburan ke Swiss.

"Nggak sabar ih!" Delia mencium layar ponselnya. "Welcome Swiss!"

Gadis berusia dua puluh lima tahun itu tertawa seorang diri di kamar selama beberapa menit.

"Mulai gila ya?" Saras datang membawa camilan. Dua orang yang baru saja menyelesaikan pasca-sarjana di bidang komunikasi pemasaran strategis berkumpul.

"Abis gimana nih Ras, kayaknya gue bisa ketemuan sama Mark!" Delia memoyongkan bibirnya dan bertingkah imut. "Duh nggak sabar! Ih nggak kuat! Astaga!"

Saras mencubit tangan Delia keras, "Ya Tuhan, teman gue emang cantik tapi nggak dengan akhlak dia yang makin menjadi."

"Ya ampun, bestie!" Delia memeluk Saras, "Gimana nih kalau beneran ketemu Mark! Padahal kita kenalan baru dua tahun lalu lewat aplikasi."

"Tada! Semoga kalian langgeng dan gue dapat keponakan berambut blonde kan lucu."

Saras yang tidak suka basa-basi, langsung memberitahu sebuah kejadian yang cukup langka dan Delia akan lebih heboh lagi. "Ini beneran, gue beneran lihat!"

"Lanjut..."

"Din si red flag itu, Del! Dia so sweet banget pas di acara reunian SMA!"

"Hahaha!" Delia menganggap lelucon Saras kali ini lumayan.

Saras tidak kekurangan akal, ia merekam momen romantis Din. "Ini terlalu sweet untuk Bad Boy seperti dia kan?"

Delia memutar kembali video yang Saras tunjukkan. Ah, iya itu memang benar Din. Dia datang dengan membawa bunga mawar putih.

Keesokan harinya.

Delia terbiasa hidup dengan rajin sejak belia. Ia bangun saat fajar, menunaikan ibadah berjamaah di masjid kompleks lalu menemani sang ayah olahraga pagi. Orang-orang di kompleks Andaro menyebutnya gadis berbakti.

"Pokoknya Papa itu pria nomor satu di bumi, cinta pertamaku deh!" Delia terang-terangan manja kepada sang ayah.

"Kamu juga bilang kalau Lucky itu cinta pertamamu di bumi saat SMA." Pak Indra menggoda putri bungsunya. Delia terkadang begitu manja di area publik.

"Ih, Papa! Stop jangan bahas kecoak pas kita lagi mau makan bubur ayam."

"Loh itu faktanya, Delia kan dulu bucin Lucky anak Pak Haji.''

Setelah menyarap bubur ayam terenak di kompleks, mereka pulang dan disambut oleh keisengan seorang bujangan berambut panjang.

"Harusnya kalau makan bubur, kalian beliin juga dong buat Abang." Bu Marini sudah bersiap untuk berangkat kerja tapi ia tetap membantu menyiapkan sarapan untuk kakak Delia.

"Roti bakar Mama emang paling enak," ucapnya begitu manis. "Jadi Ibu Marini alias Ibu Direktur jangan lupa lihat proposal saya."

"Okay, Son." Bu Marini mengelus rambut putra sulungnya, tak lupa ia juga mencubit putri cantiknya. "Mama love you guys!"

"Papa juga harus siap ngantor anak-anak."

Setelah penghuni rumah pergi untuk bekerja. Delia merasakan sepi. Padahal beberapa menit lalu, Bang Ryan baru melemparnya kaos kaki bau. "Si jorok itu juga sibuk."

Ia mengabiskan waktu di rumah, terkadang Delia membuat roti, berlatih resep masakan baru yang sedang viral. Kali ini, ia memasak sop tahu dan keasinan.

"Jangan-jangan ini pertanda Mbak Delia nanti cepat menikah," ucap Bi Surti.

"Apa benar begitu Bi?'' tanyanya dengan mata berbinar. Ia membayangkan betapa bahagia menjadi istri Mark nantinya dan hidup di pedalaman Swiss. "Duh jadi nggak sabar mau ke Swiss!"

"Coba bibi mau lihat foto pacar Mbak Delia."

Delia langsung menunjukan foto wajah Mark. Seorang pria asing berambut coklat muda dengan mata biru indah. "Ini foto Mark di dekat rumahnya."

"Tapi menurut bibi, masih gantengan Mas Din loh. Mas Din juga tinggi, putih, rambutnya hitam, alisnya tebal kaya artis."

"Halah Din."

***

Jam empat sore adalah waktu yang penting untuk beberapa orang di kompleks Andaro karena seseorang yang berharga datang menyelamatkan beberapa warga.

"Mang Saswi!" Delia dan Saras berteriak dan mencegat gerobak batagor keliling yang terkenal memiliki rasa lezat dan berhasil masuk channel youtube Sultan Andaro.

"Bungkus empat porsi Mang." Delia tidak bisa menolak bau harum batagor Mang Saswi.

"Empat porsi jumbo!" Saras bersemangat.

"Aduh maafin... Ini semua sudah dipesan sama Mas Din."

Delia melihat sekitar. Din membukakan gerbang. Beberapa mobil mewah yang mungkin teman-temannya itu juga terlihat tidak sabar menunggu kedatangan Mang Saswi.

"Licik lo!" Delia mengumpat kesal.

"Harusnya Mang Saswi bikin tulisan booked atau dipesan gitu dong," Din melempar kesalahan.

"Tapi Din, kali ini aja, gue mohon." Saras memegang kerah jaket Gucci Din. "Sisain dua porsi buat kami, plis!"

"Lagi mohon atau ngancam?" tanya balik Din.

"Delia ngidam batagor, Din, kasihan," Saras memasang wajah memelas.

"Kapan gue hamilnya, sialan!" Delia menginjak sandal Saras.

"Gue nggak peduli tuh." Din tetap acuh, "Coba nanti kalau ada sisa alias remahan batagor. Dengan senang hati gue antarkan."

"Dasar!" Delia ingin memukul kepala Din, tetapi ia melihat kekasih Din terus memperhatikan dari teras rumah. Tatapannya sedikit menganggu. Ia akan menahan amarah dan bersikap bijak.

"Yaudah, Din. Kalau memang nggak ada, nggak usah diantar ya. Kami baik-baik aja kok tanpa batagor dan remah-remahannya." Delia memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Memberikan kesan manis.

Saras seperti melihat ibu peri dalam dongeng klasik, "Del, lo pantas dapat julukan Ibu Peri. Fix, gue bakal ganti nama kontak lo!"

"Halah, ibu peri apaan!" Din berlalu. Ia lupa kalau sang kekasih sudah menunggu.

Beberapa jam kemudian.

Din membawa dua porsi batagor yang sengaja ia sisakan untuk Delia dan Saras. Rumah Delia tidak terlalu jauh dari rumahnya. Berjalan kaki hanya beberapa menit.

"Nggak!" suara teriakan seseorang membuatnya berhenti sejenak, "Siapa yang berteriak malam-malam di jalan coba?"

"Nggak! Tolong! Someone help me, please!"

Suara teriakan Delia. Din berlari menuju sumber suara. Dan beruntungnya menemukan Delia dengan cepat.

"Din?" Delia melotot, "Kok lo berlari sambil bawa makanan?"

Ia senang melihat Delia baik-baik saja tapi sungguh mengesalkan rasanya mengetahui bahwa teriakan itu bukan pertanda bahaya.

"Ayo main lato-lato lagi, Kak Delia." Dua bocah berusia sembilan tahun sedang asik memainkan lato-lato.

"Nggak! Someone help me, please! Jauhkan dari bocil lato-lato!" Delia kegirangan, ia sudah mencoba bermain beberapa menit.

"Ayo lagi, Kak! bujuk dua bocah tersebut kompak.

"Nggak! Tidak! No!" Delia memasang wajah menyerah.

Din terus menatap Delia. Seorang gadis sebaya dengannya sedang tertawa riang hanya karena sebuah lelucon anak-anak. "Para bocil berkumpul."

Dua bocah itu iseng, ia mendorong Delia.

"Hap!" Din menangkapnya tepat dengan tangan yang kerepotan karena ia juga membawa batagor. "Kalian, awas ya! Kakak aduin ke orang tua kalian nanti."

Dua bocah itu kabur dan meringis.

Delia mulai setuju dengan Bi Surti. Din memang lebih dari tampan. Dengan gaya berpakaian ala bad boy, ia juga memiliki tangan kekar dan bau wangi khas cowok maskulin yang membuat seorang peri lupa diri.

"Tunggu, Del. Kenapa lo malah jadi melingkarkan tangan di leher gue?'' tanya Din.

"Ups!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!