NovelToon NovelToon

Marry Din

Part 1

Delia memutuskan untuk rehat sejenak setelah menyelesaikan pasca-sarjana. Seperti beban dalam hidupnya sedikit berkurang dari hari ke hari. Yang ia perlukan hanyalah bersantai dan menagih janji sang ayah. Tiket liburan ke Swiss.

"Nggak sabar ih!" Delia mencium layar ponselnya. "Welcome Swiss!"

Gadis berusia dua puluh lima tahun itu tertawa seorang diri di kamar selama beberapa menit.

"Mulai gila ya?" Saras datang membawa camilan. Dua orang yang baru saja menyelesaikan pasca-sarjana di bidang komunikasi pemasaran strategis berkumpul.

"Abis gimana nih Ras, kayaknya gue bisa ketemuan sama Mark!" Delia memoyongkan bibirnya dan bertingkah imut. "Duh nggak sabar! Ih nggak kuat! Astaga!"

Saras mencubit tangan Delia keras, "Ya Tuhan, teman gue emang cantik tapi nggak dengan akhlak dia yang makin menjadi."

"Ya ampun, bestie!" Delia memeluk Saras, "Gimana nih kalau beneran ketemu Mark! Padahal kita kenalan baru dua tahun lalu lewat aplikasi."

"Tada! Semoga kalian langgeng dan gue dapat keponakan berambut blonde kan lucu."

Saras yang tidak suka basa-basi, langsung memberitahu sebuah kejadian yang cukup langka dan Delia akan lebih heboh lagi. "Ini beneran, gue beneran lihat!"

"Lanjut..."

"Din si red flag itu, Del! Dia so sweet banget pas di acara reunian SMA!"

"Hahaha!" Delia menganggap lelucon Saras kali ini lumayan.

Saras tidak kekurangan akal, ia merekam momen romantis Din. "Ini terlalu sweet untuk Bad Boy seperti dia kan?"

Delia memutar kembali video yang Saras tunjukkan. Ah, iya itu memang benar Din. Dia datang dengan membawa bunga mawar putih.

Keesokan harinya.

Delia terbiasa hidup dengan rajin sejak belia. Ia bangun saat fajar, menunaikan ibadah berjamaah di masjid kompleks lalu menemani sang ayah olahraga pagi. Orang-orang di kompleks Andaro menyebutnya gadis berbakti.

"Pokoknya Papa itu pria nomor satu di bumi, cinta pertamaku deh!" Delia terang-terangan manja kepada sang ayah.

"Kamu juga bilang kalau Lucky itu cinta pertamamu di bumi saat SMA." Pak Indra menggoda putri bungsunya. Delia terkadang begitu manja di area publik.

"Ih, Papa! Stop jangan bahas kecoak pas kita lagi mau makan bubur ayam."

"Loh itu faktanya, Delia kan dulu bucin Lucky anak Pak Haji.''

Setelah menyarap bubur ayam terenak di kompleks, mereka pulang dan disambut oleh keisengan seorang bujangan berambut panjang.

"Harusnya kalau makan bubur, kalian beliin juga dong buat Abang." Bu Marini sudah bersiap untuk berangkat kerja tapi ia tetap membantu menyiapkan sarapan untuk kakak Delia.

"Roti bakar Mama emang paling enak," ucapnya begitu manis. "Jadi Ibu Marini alias Ibu Direktur jangan lupa lihat proposal saya."

"Okay, Son." Bu Marini mengelus rambut putra sulungnya, tak lupa ia juga mencubit putri cantiknya. "Mama love you guys!"

"Papa juga harus siap ngantor anak-anak."

Setelah penghuni rumah pergi untuk bekerja. Delia merasakan sepi. Padahal beberapa menit lalu, Bang Ryan baru melemparnya kaos kaki bau. "Si jorok itu juga sibuk."

Ia mengabiskan waktu di rumah, terkadang Delia membuat roti, berlatih resep masakan baru yang sedang viral. Kali ini, ia memasak sop tahu dan keasinan.

"Jangan-jangan ini pertanda Mbak Delia nanti cepat menikah," ucap Bi Surti.

"Apa benar begitu Bi?'' tanyanya dengan mata berbinar. Ia membayangkan betapa bahagia menjadi istri Mark nantinya dan hidup di pedalaman Swiss. "Duh jadi nggak sabar mau ke Swiss!"

"Coba bibi mau lihat foto pacar Mbak Delia."

Delia langsung menunjukan foto wajah Mark. Seorang pria asing berambut coklat muda dengan mata biru indah. "Ini foto Mark di dekat rumahnya."

"Tapi menurut bibi, masih gantengan Mas Din loh. Mas Din juga tinggi, putih, rambutnya hitam, alisnya tebal kaya artis."

"Halah Din."

***

Jam empat sore adalah waktu yang penting untuk beberapa orang di kompleks Andaro karena seseorang yang berharga datang menyelamatkan beberapa warga.

"Mang Saswi!" Delia dan Saras berteriak dan mencegat gerobak batagor keliling yang terkenal memiliki rasa lezat dan berhasil masuk channel youtube Sultan Andaro.

"Bungkus empat porsi Mang." Delia tidak bisa menolak bau harum batagor Mang Saswi.

"Empat porsi jumbo!" Saras bersemangat.

"Aduh maafin... Ini semua sudah dipesan sama Mas Din."

Delia melihat sekitar. Din membukakan gerbang. Beberapa mobil mewah yang mungkin teman-temannya itu juga terlihat tidak sabar menunggu kedatangan Mang Saswi.

"Licik lo!" Delia mengumpat kesal.

"Harusnya Mang Saswi bikin tulisan booked atau dipesan gitu dong," Din melempar kesalahan.

"Tapi Din, kali ini aja, gue mohon." Saras memegang kerah jaket Gucci Din. "Sisain dua porsi buat kami, plis!"

"Lagi mohon atau ngancam?" tanya balik Din.

"Delia ngidam batagor, Din, kasihan," Saras memasang wajah memelas.

"Kapan gue hamilnya, sialan!" Delia menginjak sandal Saras.

"Gue nggak peduli tuh." Din tetap acuh, "Coba nanti kalau ada sisa alias remahan batagor. Dengan senang hati gue antarkan."

"Dasar!" Delia ingin memukul kepala Din, tetapi ia melihat kekasih Din terus memperhatikan dari teras rumah. Tatapannya sedikit menganggu. Ia akan menahan amarah dan bersikap bijak.

"Yaudah, Din. Kalau memang nggak ada, nggak usah diantar ya. Kami baik-baik aja kok tanpa batagor dan remah-remahannya." Delia memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Memberikan kesan manis.

Saras seperti melihat ibu peri dalam dongeng klasik, "Del, lo pantas dapat julukan Ibu Peri. Fix, gue bakal ganti nama kontak lo!"

"Halah, ibu peri apaan!" Din berlalu. Ia lupa kalau sang kekasih sudah menunggu.

Beberapa jam kemudian.

Din membawa dua porsi batagor yang sengaja ia sisakan untuk Delia dan Saras. Rumah Delia tidak terlalu jauh dari rumahnya. Berjalan kaki hanya beberapa menit.

"Nggak!" suara teriakan seseorang membuatnya berhenti sejenak, "Siapa yang berteriak malam-malam di jalan coba?"

"Nggak! Tolong! Someone help me, please!"

Suara teriakan Delia. Din berlari menuju sumber suara. Dan beruntungnya menemukan Delia dengan cepat.

"Din?" Delia melotot, "Kok lo berlari sambil bawa makanan?"

Ia senang melihat Delia baik-baik saja tapi sungguh mengesalkan rasanya mengetahui bahwa teriakan itu bukan pertanda bahaya.

"Ayo main lato-lato lagi, Kak Delia." Dua bocah berusia sembilan tahun sedang asik memainkan lato-lato.

"Nggak! Someone help me, please! Jauhkan dari bocil lato-lato!" Delia kegirangan, ia sudah mencoba bermain beberapa menit.

"Ayo lagi, Kak! bujuk dua bocah tersebut kompak.

"Nggak! Tidak! No!" Delia memasang wajah menyerah.

Din terus menatap Delia. Seorang gadis sebaya dengannya sedang tertawa riang hanya karena sebuah lelucon anak-anak. "Para bocil berkumpul."

Dua bocah itu iseng, ia mendorong Delia.

"Hap!" Din menangkapnya tepat dengan tangan yang kerepotan karena ia juga membawa batagor. "Kalian, awas ya! Kakak aduin ke orang tua kalian nanti."

Dua bocah itu kabur dan meringis.

Delia mulai setuju dengan Bi Surti. Din memang lebih dari tampan. Dengan gaya berpakaian ala bad boy, ia juga memiliki tangan kekar dan bau wangi khas cowok maskulin yang membuat seorang peri lupa diri.

"Tunggu, Del. Kenapa lo malah jadi melingkarkan tangan di leher gue?'' tanya Din.

"Ups!"

Part 2

Delia mulai menyadari dua hari ini setiap kali melihat Din, ia merasa malu. Bisa-bisanya ia malah menikmati dalam pelukan Din. Padahal ia memiliki seseorang yang ia sukai dalam diam. Mark. Din juga sudah memiliki kekasih. Gadis yang dulu pernah sekelas dengannya saat SMA.

"Tapi menurut lo juga Din itu ganteng?" Delia memberanikan bertanya kepada Saras.

"Ya jelas, gue aja mengakui dia udah setampan seleb Asia yang dinobatkan itu loh. Cuma sayang akhlaknya minus."

"Ah, benar juga."

Bahkan Din Sjarier yang menurutnya menyebalkan bisa mendapatkan kekasih juga. Delia terus saja kesal. Hidup begitu adil, jadi mungkin beberapa tahun lagi giliran Mark datang untuk melamarnya.

"Uh... " Delia terus membayangkan hal-hal indah berkaitan dengan Mark.

Saat sore hari, ia berniat untuk mengeluarkan mobil. Tiba-tiba Din dengan heboh adu mulut dengan penghuni baru hanya karena suara knalpot murahan yang menurutnya bising.

"Lebih baik lo copot knalpot rongsokan itu deh!" Din terlihat kesal.

Delia tidak ingin melerai, ia justru mengambil foto Din yang sedang marah. "Saras ketinggalan berita lo."

"Jangan sombong lo! Lo itu cuma beban hidup di rumah!" tetangga baru memang agak usil. Ia terlalu berani menyinggung Din.

"Apa kata lo?!" Din melotot, ia ingin sekali meninju wajah tetangga baru tersebut namun ia selalu ingat nasihat keluarga.

"Gunakan tinju di ring." Delia mendekat, ia takut jika Din menghajar seseorang di hari sabtu sore yang cerah. "Jadi... Kalian berdamailah."

Delia berhasil mencegah pertengkaran. Tapi ia harus menerima omelan dari Din.

"Anak itu songong!" ucap Din kesal.

"Lo juga sombong, Din. Ngapain coba ngatain milik orang lain rongsokan. Itu menyakitkan banget buat dia tadi." Delia tersenyum seperti ibu peri. Ia sudah bersiap untuk hang out dengan Saras. Menata rambut sejam lebih. Ia tidak ingin menghancurkan mood sore yang indah.

"Tapi suara bising kan bikin nggak nyaman. Ah, lo mana tahu! Apa lo nggak dengar tadi dia bilang gue itu beban!"

Masih mengajukan protes berlanjut.

"Tapi memang benar kan? Mau sampai kapan cuma main-main motor? Memang nggak ada niatan buat bekerja terus menikah? Lo udah punya pacar dan udah mau tunangan kan?"

"Itu bukan urusan lo, Del." Din menatap dekat Delia, "Lo kayaknya operasi plastik ya pas liburan di Korea?"

"Nggak!" Delia menyilangkan kedua tangannya. "Ini wajah alami seorang peri. Permisi, ibu peri mau pergi ke Mall."

"Gue pikir lo tambah cantik karena operasi plastik loh."

"Maaf kalau lo terpesona sama kecantikan gue, tapi tipe gue bukan lo."

Din tertawa terpingkal. Begitulah Delia, selalu saja menganggap dirinya sebagai peri. Setelah insiden beberapa waktu lalu, Delia memang sepertinya agak malu. "Jadi ibu peri kami, kapan bapak peri itu datang ya?"

"Sialan," gumam Delia.

"Tapi... Del, ada satu hal yang mau gue bilang serius."

"Apa?"

Din mendekat, jarak mereka hanya beberapa senti. Ia juga berbisik, "Lo juga beban hidup! Hahaha!"

"Lo kalian lagi ngapain?" Saras menangkap basah Delia dan Din yang sedang berbisik. Dari kejauhan terlihat mesra, semakin dekat itu seperti bencana.

"Hei!" Delia hampir meledak tapi ia melihat sekelompok bocah bermain lato-lato yang bergerak lewat. "Lo nggak boleh kaya gitu sama orang lain, Din. Adik-adik lato-lato, kalian jangan saling mengejek ya. Itu sikap bocah terkutuk."

"Siap!" ucap mereka kompak.

***

Nama itu terkenal, bukan karena cucu konglomerat turun temurun tapi karena dia adalah Din Sjarier. Cucu laki-laki kedua keluarga Sjarier. Din sejak kecil terkenal urakan. Dia tidak bisa diatur. Dia juga memiliki hobi yang unik.

"Apa?!" semua orang terkejut begitu mengetahui seorang anak kelas lima SD ingin mendirikan sebuah yayasan untuk kesejahterahan hewan.

"Duh, Sayangku, itu agak sulit ya." Bu Almira begitu tercengang. "Lagian kamu kan nggak suka tuh bermain sama binatang. Mami takut kalau kamu itu nanti lupa ngasih makan"

"Iya dia juga membenci jerapah karena nggak punya motif seperti zebra," tambah sang ayah.

"Aku mau menyelematkan para tokek!"

Itu kejadian paling tidak bisa dilupakan. Bahkan Delia adalah saksi bahwa Din mendirikan yayasan kecilnya, "Survive Tokek".

"Selamat ya atas berdirinya yayasan ini, hehehe... " Bang Ryan sampai meringis. Ia tidak menyangka pembukaan yayasan kecil itu berlangsung mewah.

Delia masih menyimpan kaos bergambar tokek besar pemberian Din sebagai hadiah bagi anggota yayasan.

"Dia membuat masa kecil gue yang indah jadi terlihat menyeramkan."

Pada kenyataannya Din Sjarier terkenal dengan berbagai julukan. Untuk wajahnya tidak ada yang meragukan keturunan Sjarier apalagi dia lebih tinggi dari teman-temannya. Tidak, tepatnya dia lebih tinggi untuk ukuran pemuda biasa.

"Berapa tinggi lo?"

"Well, 189 cm."

Delia pernah membandingkan tingginya dengan Din, "Haha kita cuma beda dua puluh empat senti tuh."

"Tapi lo tetap pendek, Del." Din merangkul Delia, "Mau kakak ajarin buat tumbuh tinggi lagi nggak dek?"

"Diem lo!" Delia menutup mulut Din dengan tangan.

Semakin dewasa, Delia membatasi diri. Meski mengenal sejak kecil, Din juga sudah memiliki pacar. Sejak SMP, ia sudah sering disalahpahami sebagai teman tapi mesra Din.

"Pacarnya menatap gue kemarin, Ras. Serem."

"Kenapa segitunya? Padahal lo punya gebetan sekelas Mark dari Swiss." Saras menepuk bahu sahabatnya. "Kalau lo nikahnya nanti sama Din, beliin gue tas Prada oke?"

"Ya mustahil deh, membayangkan ciuman sama dia aja gue mual, uh... " Delia menghela nafas.

"Tapi Din menurut gue jago dalam hal-hal percintaan daripada lo, noob!"

Delia terdiam, ia memang payah dalam beberapa hal. Bisa-bisanya hanya memiliki satu mantan, Lucky. Sedangkan Din, sejak SMP sudah gemar berpacaran. Kemungkinan dia akan menikah segera.

Suatu hari, Delia menjenguk Oma Aliyah, nenek Din. Tidak ada siapa-siapa di ruangan kamar VVIP RS Sjarier selain nenek dan seorang perawat.

"Deliana... "

Delia langsung memeluk Oma Aliyah, "Oma... Aku kangen banget sama Oma. Maaf baru datang menjenguk."

"Oma senang karena Delia yang datang. Cucuku yang paling cantik ini kapan akan menikah ya?"

"Ih, Oma. Yang akan menikah duluan itu Din. Dia sudah punya pacar cantik, teman SMA kami. Namanya Rasti."

Oma Aliyah mengelus wajah Delia, "Kamu itu tetap yang paling cantik bagi Oma. Kamu memiliki hati yang cantik. Aku harap Din menikah dengan Delia."

Setelah melepas rasa rindu dalam perbincangan. Delia tertidur, ia menjaga Oma Aliyah. Beberapa perawat bergunjing dengan keras bahwa akan ada pernikahan sebentar lagi.

Din datang tengah malam, ia sengaja tidak ingin terlihat oleh neneknya. Ia akan pulang pukul lima pagi.

"Loh baru datang?" salah satu perawat terkejut melihat Din, "Aku pikir pacar Mas Din yang jaga hari ini. Dari siang Oma terlihat happy."

Ternyata bukan hanya perawat yang terkejut, Din lebih terkejut. Ia mendapati Delia tidur di kursi dekat ranjang Oma.

"Ternyata yang datang dia ya?"

Part 3

"Sebutkan salah satu teman terbaik yang pernah ada di hidup kalian.'' Guru Bahasa Indonesia saat itu memberikan pelajaran tentang puisi. "Buatlah sebuah puisi indah untuknya dan tugas dikumpulkan besok."

Delia menatap seseorang dari kelas sebelah. Lelaki yang sedang bermain basket dengan senyum mengembang. Din adalah teman dekatnya tapi sayangnya tidak bisa dibilang terbaik. Memikirkan sikapnya yang begitu menyebalkan dari hari ke hari membuat Delia geram.

"Jangan ditatap melulu dong, Del.'' Saras merangkul sahabatnya, "Din udah jadian ya sama Kak Amelia?"

"Gue nggak tahu dan nggak peduli," ucap Delia.

Din terkenal, selain dirinya yang mencolok. Motor yang ia bawa ke sekolah lebih menyebalkan lagi. Tapi, Delia, tidak pernah tertarik untuk membonceng motor Din.

Para gadis yang menyukai tipikal bad boy pasti akan gembira jika berkencan dengan Din. Sayangnya, Delia tidak pernah memasukan istilah bad boy sebagai tipe kekasih. Ia cenderung menyukai lelaki cerdas.

"Lihatlah dia... " Delia menghela nafas begitu melihat Din melepas seragam SMA dan mengganti dengan kaos bergambar ular menjulur.

Saras percaya setiap orang mempunyai selera fashion masing-masing. Tapi, semenjak melihat Din, ia lebih percaya lagi bahwa lelaki tampan tidak akan mendapat kritik meski seleranya aneh.

"Din pakai kaos-kaos branded padahal, sangat disayangkan gambarnya binatang melatah."

"Padahal dia keren pakai kaos baseball kalau nggak basket," imbuh Delia.

Mereka sedang membicarakan masa SMA hingga masa dimana mereka tertampar kenyataan hidup. Dua orang gadis berusia seperempat abad, masih lajang dan menganggur.

"Dan dua pengangguran ini lebih suka nongki di kafe daripada lihat info loker... "

Delia memeluk Saras, "Padahal gue udah mencoba cari pekerjaan tanpa nepotisme, Ras. Hasilnya nihil!"

"Bahkan gue belum mendapat panggilan interview dari SD Interitz, Del."

Sedang merenung dan memahami alasan penolakan resume mereka. Delia meneliti resume Saras begitupun sebaliknya.

Setelah beberapa menit.

"Gue tahu alasan lo ditolak,'' Delia membuka obrolan berat, ia juga dengan anggun memakai kaca mata.

"Apa?"

"Ternyata lo lebih cocok jadi pelawak kalau nggak open mic, Ras." Delia menahan tawa selama beberapa menit.

"Sial, gue pikir ada typo di resume gue."

Mereka sedang duduk sambil menikmati makanan dan es coklat di kafe kompleks Andaro. Tidak terlalu ramai, kafe yang letaknya di depan area masuk perumahan sudah menjadi perbincangan warga karena pemiliknya adalah selebriti kebanggaan warga Andaro.

Delia melihat sekeliling, tidak ada jejak Gecko alias Din. Biasanya di jam rawan lapar, Din akan datang untuk makan mi goreng telor ceplok di kafe.

"Lihat meja depan kaca, Del," Saras memaksa Delia untuk ikut melihat sebuah pemandangan.

Delia berdeham, ia tidak mengira akan melihat seseorang menyemburkan biji lemon sembarangan dan hampir mengenai pelayan kafe. "Gila, ini sebuah hal tak terlupakan."

"Wow... " Saras terkejut karena Din memang datang di jam genting kelaparan, "Omongan lo emang nyata adanya, Del."

Delia melihat lebih dekat. Din yang mengenakan kaos band Ramones dengan sandal jepit merek Hermes kebanggaannya. "Dia tetap bukan tipe gue, Ras."

"Gue tahu tipe lo kan yang mirip Lucky, hahaha... " Saras agak sarkas tapi ia berbicara fakta. Sebuah kebenaran yang tidak diduga siapa saja. Bagaimana bisa Delia bisa berkencan dengan Lucky.

"Kalian harus banget ya selalu bergibah terang-terangan gini?" Din mendekat. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Delia.

"Hei, Gecko." Delia tersenyum seperti biasa.

"Hei, Din Sjarier!" Saras memberi hormat, "Kami lagi nunggu undangan pernikahan lo sama Rasti."

Wajah Din murung ketika Saras menyebutkan pernikahan. Sesuatu pasti terjadi tanpa sepengetahuan Delia. Din akhir-akhir ini lebih diam.

***

Din mengunci pintu kamar, tidak ingin terlibat percakapan lebih rumit lagi dengan anggota keluarga lain apalagi orang tua yang kurang memahami anaknya sendiri.

"Bagaimana ini?" Din terlihat kebingungan untuk membalas chat Rasti, "Harus jawab gimana?"

Sembari mondar-mandir di dekat cermin, Din lumayan terkejut dengan apa yang Oma Aliyah sampaikan.

"Oma bilang nggak, Din. Oma menolak. Oma mau punya cucu menantu seperti Deliana."

Belum lama ini ia membicarakan pernikahan dengan orang rumah. Papi tidak merespon banyak, hanya menunggu persetujuan Mami. Sementara Mami merasa Din terlalu buru-buru. Ia menangis semalaman karena belum rela anak tampan kesayangannya menikah.

"Mami belum memberikan restu pokoknya... Kamu itu masih dua puluh lima tahun, masih bayi bagi Mami."

"Mi... " Din memegang tangan Mami, "Kayaknya aku udah seperempat abad deh. Dulu kan Mami sama Papi juga nikah di usia dua puluh lima tahun."

Mami masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Din kesayangannya akan menikah lalu waktunya akan terbagi. Meski sudah bertemu dengan Rasti, Mami belum sepenuhnya yakin. Terkadang seorang ibu memiliki sudut pandang lain dalam menilai calon menantu mereka. Begitupun dirinya.

Apa gadis pilihan ini bisa mencintai sang putra dengan tulus?

Rencana Oma untuk menikahkan Din dan Delia bukanlah candaan. Ia bahkan sudah menambahkan sebuah syarat di surat wasiat, jikan Din tidak menikah dengan Delia, ia kehilangan hak waris. Tetapi, jika menikah dan bercerai, ia juga tetap kehilangan hak waris. Tidak ada toleransi untuk perselingkuhan di keluarga Sjarier.

"Kami sebagai orang tua Delia ikut senang jika memang itu juga pilihan Delia dan Din." Pak Indra menghadiri temu keluarga di rumah Din.

"Deliana itu sudah seperti cucu bagiku, jadi aku percaya dengan penilainku dan keputusan untuk menikahkan mereka." Oma Aliyah sudah pulang ke rumah setelah dirawat dua minggu. "Aku harap pernikahan dapat dilakukan segera."

Delia dan Ryan saling tatap meski kaki mereka saling menginjak satu sama lain.

Din tidak banyak bicara. Malam itu ia dipaksa oleh kedua orang tua untuk tampil rapi, tidak mengenakan pakaian khas bad boy miliknya.

Sejam kemudian setelah makan malam.

Din duduk di balkon lantai dua. Ia ingin menyendiri sambil menjernihkan pikiran. Mengatur perasaannya. "Bagaimana ya gue bilang ini semua ke Rasti?''

Sementara Deliana yang terlihat ceria, ia sedang memikirkan juga bagaimana cara membicarakan ini semua dengan Mark. Belum juga memenuhi janji untuk bertemu di Swiss, eh sudah mau jadi istri orang. "Apa Mark akan kecewa?"

Mereka tidak sengaja bertemu dan akhirnya duduk canggung di ruang tengah. Biasanya Din akan meledek Delia. Kali ini, ia terlihat murung.

"Rasti... Bagaimana lo akan bilang ke dia?" Delia memegang ujung lengan kemeja Din.

"Gue bingung, Del. Lo juga pasti punya crush kan?"

"Yes, of course."

"Emang lo mau nikah sama gue? Inget ya peraturan di keluarga ini. Setelah nikah, lo harus pakai bahasa sopan, nggak bisa sebut lo-gue di dalam rumah. Gue yakin lo bakal tertekan." Din membeberkan fakta. Ia juga menyadari bahwa sang kakak ipar sempat depresi karena peraturan keluarga.

"Mau coba kissing nggak?" tanya Delia.

"Hah? Lo gila, Del. Gue emang terlihat berandalan tapi gue berakhlak, masa punya pacar cantik ciuman sama dedemit."

Ya, begitulah Din. Dia tidak mengangap Delia sebagai seorang manusia apalagi wanita.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!