Part 3

"Sebutkan salah satu teman terbaik yang pernah ada di hidup kalian.'' Guru Bahasa Indonesia saat itu memberikan pelajaran tentang puisi. "Buatlah sebuah puisi indah untuknya dan tugas dikumpulkan besok."

Delia menatap seseorang dari kelas sebelah. Lelaki yang sedang bermain basket dengan senyum mengembang. Din adalah teman dekatnya tapi sayangnya tidak bisa dibilang terbaik. Memikirkan sikapnya yang begitu menyebalkan dari hari ke hari membuat Delia geram.

"Jangan ditatap melulu dong, Del.'' Saras merangkul sahabatnya, "Din udah jadian ya sama Kak Amelia?"

"Gue nggak tahu dan nggak peduli," ucap Delia.

Din terkenal, selain dirinya yang mencolok. Motor yang ia bawa ke sekolah lebih menyebalkan lagi. Tapi, Delia, tidak pernah tertarik untuk membonceng motor Din.

Para gadis yang menyukai tipikal bad boy pasti akan gembira jika berkencan dengan Din. Sayangnya, Delia tidak pernah memasukan istilah bad boy sebagai tipe kekasih. Ia cenderung menyukai lelaki cerdas.

"Lihatlah dia... " Delia menghela nafas begitu melihat Din melepas seragam SMA dan mengganti dengan kaos bergambar ular menjulur.

Saras percaya setiap orang mempunyai selera fashion masing-masing. Tapi, semenjak melihat Din, ia lebih percaya lagi bahwa lelaki tampan tidak akan mendapat kritik meski seleranya aneh.

"Din pakai kaos-kaos branded padahal, sangat disayangkan gambarnya binatang melatah."

"Padahal dia keren pakai kaos baseball kalau nggak basket," imbuh Delia.

Mereka sedang membicarakan masa SMA hingga masa dimana mereka tertampar kenyataan hidup. Dua orang gadis berusia seperempat abad, masih lajang dan menganggur.

"Dan dua pengangguran ini lebih suka nongki di kafe daripada lihat info loker... "

Delia memeluk Saras, "Padahal gue udah mencoba cari pekerjaan tanpa nepotisme, Ras. Hasilnya nihil!"

"Bahkan gue belum mendapat panggilan interview dari SD Interitz, Del."

Sedang merenung dan memahami alasan penolakan resume mereka. Delia meneliti resume Saras begitupun sebaliknya.

Setelah beberapa menit.

"Gue tahu alasan lo ditolak,'' Delia membuka obrolan berat, ia juga dengan anggun memakai kaca mata.

"Apa?"

"Ternyata lo lebih cocok jadi pelawak kalau nggak open mic, Ras." Delia menahan tawa selama beberapa menit.

"Sial, gue pikir ada typo di resume gue."

Mereka sedang duduk sambil menikmati makanan dan es coklat di kafe kompleks Andaro. Tidak terlalu ramai, kafe yang letaknya di depan area masuk perumahan sudah menjadi perbincangan warga karena pemiliknya adalah selebriti kebanggaan warga Andaro.

Delia melihat sekeliling, tidak ada jejak Gecko alias Din. Biasanya di jam rawan lapar, Din akan datang untuk makan mi goreng telor ceplok di kafe.

"Lihat meja depan kaca, Del," Saras memaksa Delia untuk ikut melihat sebuah pemandangan.

Delia berdeham, ia tidak mengira akan melihat seseorang menyemburkan biji lemon sembarangan dan hampir mengenai pelayan kafe. "Gila, ini sebuah hal tak terlupakan."

"Wow... " Saras terkejut karena Din memang datang di jam genting kelaparan, "Omongan lo emang nyata adanya, Del."

Delia melihat lebih dekat. Din yang mengenakan kaos band Ramones dengan sandal jepit merek Hermes kebanggaannya. "Dia tetap bukan tipe gue, Ras."

"Gue tahu tipe lo kan yang mirip Lucky, hahaha... " Saras agak sarkas tapi ia berbicara fakta. Sebuah kebenaran yang tidak diduga siapa saja. Bagaimana bisa Delia bisa berkencan dengan Lucky.

"Kalian harus banget ya selalu bergibah terang-terangan gini?" Din mendekat. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Delia.

"Hei, Gecko." Delia tersenyum seperti biasa.

"Hei, Din Sjarier!" Saras memberi hormat, "Kami lagi nunggu undangan pernikahan lo sama Rasti."

Wajah Din murung ketika Saras menyebutkan pernikahan. Sesuatu pasti terjadi tanpa sepengetahuan Delia. Din akhir-akhir ini lebih diam.

***

Din mengunci pintu kamar, tidak ingin terlibat percakapan lebih rumit lagi dengan anggota keluarga lain apalagi orang tua yang kurang memahami anaknya sendiri.

"Bagaimana ini?" Din terlihat kebingungan untuk membalas chat Rasti, "Harus jawab gimana?"

Sembari mondar-mandir di dekat cermin, Din lumayan terkejut dengan apa yang Oma Aliyah sampaikan.

"Oma bilang nggak, Din. Oma menolak. Oma mau punya cucu menantu seperti Deliana."

Belum lama ini ia membicarakan pernikahan dengan orang rumah. Papi tidak merespon banyak, hanya menunggu persetujuan Mami. Sementara Mami merasa Din terlalu buru-buru. Ia menangis semalaman karena belum rela anak tampan kesayangannya menikah.

"Mami belum memberikan restu pokoknya... Kamu itu masih dua puluh lima tahun, masih bayi bagi Mami."

"Mi... " Din memegang tangan Mami, "Kayaknya aku udah seperempat abad deh. Dulu kan Mami sama Papi juga nikah di usia dua puluh lima tahun."

Mami masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Din kesayangannya akan menikah lalu waktunya akan terbagi. Meski sudah bertemu dengan Rasti, Mami belum sepenuhnya yakin. Terkadang seorang ibu memiliki sudut pandang lain dalam menilai calon menantu mereka. Begitupun dirinya.

Apa gadis pilihan ini bisa mencintai sang putra dengan tulus?

Rencana Oma untuk menikahkan Din dan Delia bukanlah candaan. Ia bahkan sudah menambahkan sebuah syarat di surat wasiat, jikan Din tidak menikah dengan Delia, ia kehilangan hak waris. Tetapi, jika menikah dan bercerai, ia juga tetap kehilangan hak waris. Tidak ada toleransi untuk perselingkuhan di keluarga Sjarier.

"Kami sebagai orang tua Delia ikut senang jika memang itu juga pilihan Delia dan Din." Pak Indra menghadiri temu keluarga di rumah Din.

"Deliana itu sudah seperti cucu bagiku, jadi aku percaya dengan penilainku dan keputusan untuk menikahkan mereka." Oma Aliyah sudah pulang ke rumah setelah dirawat dua minggu. "Aku harap pernikahan dapat dilakukan segera."

Delia dan Ryan saling tatap meski kaki mereka saling menginjak satu sama lain.

Din tidak banyak bicara. Malam itu ia dipaksa oleh kedua orang tua untuk tampil rapi, tidak mengenakan pakaian khas bad boy miliknya.

Sejam kemudian setelah makan malam.

Din duduk di balkon lantai dua. Ia ingin menyendiri sambil menjernihkan pikiran. Mengatur perasaannya. "Bagaimana ya gue bilang ini semua ke Rasti?''

Sementara Deliana yang terlihat ceria, ia sedang memikirkan juga bagaimana cara membicarakan ini semua dengan Mark. Belum juga memenuhi janji untuk bertemu di Swiss, eh sudah mau jadi istri orang. "Apa Mark akan kecewa?"

Mereka tidak sengaja bertemu dan akhirnya duduk canggung di ruang tengah. Biasanya Din akan meledek Delia. Kali ini, ia terlihat murung.

"Rasti... Bagaimana lo akan bilang ke dia?" Delia memegang ujung lengan kemeja Din.

"Gue bingung, Del. Lo juga pasti punya crush kan?"

"Yes, of course."

"Emang lo mau nikah sama gue? Inget ya peraturan di keluarga ini. Setelah nikah, lo harus pakai bahasa sopan, nggak bisa sebut lo-gue di dalam rumah. Gue yakin lo bakal tertekan." Din membeberkan fakta. Ia juga menyadari bahwa sang kakak ipar sempat depresi karena peraturan keluarga.

"Mau coba kissing nggak?" tanya Delia.

"Hah? Lo gila, Del. Gue emang terlihat berandalan tapi gue berakhlak, masa punya pacar cantik ciuman sama dedemit."

Ya, begitulah Din. Dia tidak mengangap Delia sebagai seorang manusia apalagi wanita.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!