My Annoying Chef
Hujan turun dengan sangat deras, disertai angin kencang, dan gemerlap cahaya kemerahan terus terlihat, kala petir menyambar dan menimbulkan suara yang sangat menggelegar, menemani seorang perempuan yang saat ini tengah berkutik di area dapur, dengan bahan-bahan masakan dan perkakas dapur.
Satu mangkuk berukuran besar berisikan nasi putih yang masih mengepulkan asap hangat diletakkan di atas meja makan. Tak lupa dengan dengan sepiring potongan sayang ayam yang dikukus bersama beberapa rempah, dimana terdapat daun bawang di atasnya, dengan bau lezat yang menggugah selera.
"Ayam kukus jahe sangat cocok jika di makan saat cuaca dingin seperti sekarang ini." Gadis yang akrab disapa Farah itu menjelaskan kepada seorang sahabat yang berada di sana bersamanya, duduk menunggu di kursi meja makan.
Dia tersenyum manis, kemudian menyusul duduk di kursi meja makan, yang memiliki ukuran tidak terlalu besar.
"Kamu memang pandai menyajikan makanan. Jadi keputusanmu mengikuti sebuah kontes memasak terbesar di Indonesia sudah sangat benar." Temannya memuji.
"Ya, tapi aku gugup. Hidangan apa yang akan aku bawa nanti ke Galeri!"
Mereka meraih piring masing-masing, mengisinya dengan nasi sesuai porsi yang diinginkan, lalu menambahkan sayap ayam yang baru saja selesai dimasak oleh Farah.
"Kamu bisa mengolah segala macam masakan. Percaya deh, kamu pasti berhasil."
"Hemmm, … doakan saja agar Juri cocok dengan masakan aku nantinya. Tapi aku sedikit takut, mental aku belum cukup kuat untuk mendengar cacian Juri yang sudah terkenal dengan cara bicaranya yang ketus dan ceplas-ceplos."
Farah menyendok nasi dan sedikit suwiran daging, lalu menjejalkan ya kedalam mulut. Hal yang sama temannya lakukan sampai keduanya diam untuk beberapa waktu, menikmati makanan yang terhidang di sana.
"Itu mah cuma gimik, formalitas saat sedang di depan kamera. Kayaknya kalau kamera mati dia baik juga deh!" Devi berujar.
Farah hanya mengulum senyum, mengangguk, dan mulai memfokuskan diri pada makanan di hadapannya.
Untuk beberapa waktu keadaan menjadi hening, hanya terdengar denting piring yang beradu dengan sendok, di selingi suara gemuruh guntur, dan derasnya air hujan yang disertai angin.
Sementara itu di lain tempat.
Seorang wanita paruh baya duduk di sofa besar ruang tengah, menatap lurus ke arah televisi yang menyala, dimana terlihat iklan sebuah acara kompetisi memasak yang cukup besar. Dan salah satu yang akan menjadi jurinya adalah sang putra, pria yang saat ini tengah duduk di sampingnya, menatap layar ponsel sembari melihat-lihat foto yang ada di sosial media.
"Audisinya sudah dimulai?"
"Sudah. Dan Minggu depan aku harus sudah ada di Jakarta, … mungkin tidak akan pulang sampai acaranya benar-benar selesai." Jelas pria itu tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
"Memangnya kamu sesibuk itu? Dan kamu tega meninggalkan Mama dengan adik-adikmu disini? Sementara satu-satunya pria di keluarga ini akan pergi dengan sejuta kesibukannya?"
Pria tampan bernama Loka Paramayoga itu mengalihkan pandangan dari layar handphone sana, melihat wajah wanita renta yang saat ini duduk di sampingnya lekat-lekat.
"Aku hanya pergi bekerja Mam. Ada Friska dan Gwen yang akan menemani Mama disini, … atau kapan-kapan kalian bisa datang ke Jakarta saat mereka libur membuka kedai."
"Ah tetap saja kamu tidak ada disini!"
"Mama bisa lihat aku di tv." Loka tertawa.
"Tapi hanya seminggu dua kali. Hanya Sabtu dan Minggu, … sementara kalau kamu sedang di rumah, Mama bisa melihat kamu setiap hari."
Loka menghirup nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dan dia ulangi sebanyak beberapa kali sampai dirinya merasa lega.
"Lalu bagaimana? Mama mau aku membatalkan kontrak kerjaku?" Dia mengerti kesedihan ibunya.
"Tidak begitu. Tapi kalau kamu sudah menjadi artis, kamu akan sibuk. Bahkan kesibukan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, saat kamu mulai menjadi Juri di kontes memasak itu!" Linda berujar.
"Aku bukan artis. Aku hanya tukang masak, yang kali ini dipercaya untuk menjadi Chef judges. Dan ini tawaran langka." Pria itu menjelaskan lagi.
"Ya, memang itu cita-citamu bukan? Sampai hanya memikirkannya dan lupa melakukan hal lain. Seperti mencari calon pendamping hidup misalnya. Tahun ini kamu berusia 34 tahun, Loka!"
Loka tiba-tiba tertawa kencang, membuat dia orang gadis yang baru saja tiba di kediamannya terlonjak kaget.
"Kamu kalo Mama bahas ini pasti tertawa!" Linda menggerutu.
"Dih, lagi bahagia kali yah!"
Salah satu dari adik kembarnya menyahut, terus berjalan mendekat lalu menepuk pundak Kakak laki-lakinya.
"Gwen!" Pria itu memekik.
"Aneh. Kakak ketawa-ketawa, sementara raut wajah Mama kelihatan muram! Kenapa? Nggak rela yah ditinggal anak bujangnya lagi?" Friska menimpali, dengan kekehan pelan.
"Ya, mungkin kalian kurang baik menjaga Mama. Sampai Mama merasa sedih saat aku akan pergi."
Dua perempuan berusia 25 tahun itu duduk menghimpit sang ibu dan Kakak laki-lakinya, lalu saling merangkul satu sama lain.
"Ah, … andai saja ayah kalian masih ada! Pasti dia bangga dengan setiap pencapaian yang sudah kalian raih. Loka menjadi Chef profesional, dan kalian membuka usaha dengan baik, bahkan semakin hari kedai kalian semakin ramai pengunjung." Linda berujar.
Suaranya terdengar bergetar, dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
"Papa sudah tenang disana, Ma. Sudah tidak sakit lagi, jadi Mama harus ikhlas! Dan tidak boleh terlalu mengekang Loka hanya karena takut kembali kehilangan, Loka pasti baik-baik saja."
"Baik. Tapi berjanjilah untuk menjaga dirimu dengan baik, jauhi makanan-makanan yang tidak sehat. Apalagi kopi instan, rokok dan minuman beralkohol!" Linda memperingati.
Dan pria yang di maksud menganggukan kepala, merangkul tubuh ibunya dengan sangat erat, lalu kemudian mencium keningnya berkali-kali.
"Kami sangat mencintai Mama. Mama tahu tidak? Kami khawatir kalau Mama terus bersikap seperti ini?" Friska berujar.
Dia menatap sang ibu yang ada di dalam dekapan penuh cinta Kakak pertamanya.
"Jangan membuat kami merasa tidak berguna." Gwen ikut berbicara.
"Tidak, tidak. Kalian sangat berarti bagi Mama! Hanya saja Mama masih belum bisa menerima jika Papa kalian sudah pergi, meninggalkan kita hanya berempat saja."
"Kita sudah berjanji akan baik-baik saja bukan? Jadi ayolah jangan bersedih lagi!" Ucap Loka.
Mereka mengurai rangkulan tangan masing-masing, lalu saling menatap bergantian.
"Kakak? Ayo buatkan makanan yang enak untuk kami. Sore-sore begini sepertinya enak makan yang gurih-gurih pedas."
Loka tampak berpikir.
"Ayolah!" Gwen sedikit merengek.
"Ya ya ya. Terserah kalian saja! Padahal di kedai kalian juga masak, lalu kenapa tidak memasak sendiri?" Dia menggerutu.
Loka bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki ke arah dapur, meraih apron dan memakainya dengan segera. Membuat dua perempuan kembar identik itu bersorak kegirangan.
"Yeay! Kakak memang yang terbaik." Teriak keduanya bersamaan.
"Haih kalian ini. Padahal Loka baru saja selesai melakukan zoom meeting, mungkin saja dia masih lelah karena berpikir, tapi kalian sudah membuatnya sibuk kembali." Linda mencubit kedua pipinya bersamaan.
"Kakak cuma zoom meeting. Sementara kita sibuk melayani para pembeli." Friska menyahut.
"Lalu kenapa sudah pulang? Bukankah seharusnya kedai kalian tutup jam sembilan malam?"
Loka berteriak dari arah dapur.
"Kalo kita masih bersusah payah, lalu gunanya karyawan apa? Kita hanya perlu memantau, dan sisanya mereka yang mengerjakan." Ucap Friska lagi dengan bangga.
Sementara Linda hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan rasa tidak menyangka, karena anak-anak sudah tumbuh besar, dan sukses di bidang masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Lina Zascia Amandia
Kak yg ini udah kontrak, terpilih20 terbaik langsung gak? pnsrn nih.
2023-07-26
1
Tri Sulistyowati
datang Thor.. semangat ya....
2023-07-05
2
ik@
hadir Lg teteh author
ketemu loka dan Farah lg
2023-06-17
1