Hujan turun dengan sangat deras, disertai angin kencang, dan gemerlap cahaya kemerahan terus terlihat, kala petir menyambar dan menimbulkan suara yang sangat menggelegar, menemani seorang perempuan yang saat ini tengah berkutik di area dapur, dengan bahan-bahan masakan dan perkakas dapur.
Satu mangkuk berukuran besar berisikan nasi putih yang masih mengepulkan asap hangat diletakkan di atas meja makan. Tak lupa dengan dengan sepiring potongan sayang ayam yang dikukus bersama beberapa rempah, dimana terdapat daun bawang di atasnya, dengan bau lezat yang menggugah selera.
"Ayam kukus jahe sangat cocok jika di makan saat cuaca dingin seperti sekarang ini." Gadis yang akrab disapa Farah itu menjelaskan kepada seorang sahabat yang berada di sana bersamanya, duduk menunggu di kursi meja makan.
Dia tersenyum manis, kemudian menyusul duduk di kursi meja makan, yang memiliki ukuran tidak terlalu besar.
"Kamu memang pandai menyajikan makanan. Jadi keputusanmu mengikuti sebuah kontes memasak terbesar di Indonesia sudah sangat benar." Temannya memuji.
"Ya, tapi aku gugup. Hidangan apa yang akan aku bawa nanti ke Galeri!"
Mereka meraih piring masing-masing, mengisinya dengan nasi sesuai porsi yang diinginkan, lalu menambahkan sayap ayam yang baru saja selesai dimasak oleh Farah.
"Kamu bisa mengolah segala macam masakan. Percaya deh, kamu pasti berhasil."
"Hemmm, … doakan saja agar Juri cocok dengan masakan aku nantinya. Tapi aku sedikit takut, mental aku belum cukup kuat untuk mendengar cacian Juri yang sudah terkenal dengan cara bicaranya yang ketus dan ceplas-ceplos."
Farah menyendok nasi dan sedikit suwiran daging, lalu menjejalkan ya kedalam mulut. Hal yang sama temannya lakukan sampai keduanya diam untuk beberapa waktu, menikmati makanan yang terhidang di sana.
"Itu mah cuma gimik, formalitas saat sedang di depan kamera. Kayaknya kalau kamera mati dia baik juga deh!" Devi berujar.
Farah hanya mengulum senyum, mengangguk, dan mulai memfokuskan diri pada makanan di hadapannya.
Untuk beberapa waktu keadaan menjadi hening, hanya terdengar denting piring yang beradu dengan sendok, di selingi suara gemuruh guntur, dan derasnya air hujan yang disertai angin.
Sementara itu di lain tempat.
Seorang wanita paruh baya duduk di sofa besar ruang tengah, menatap lurus ke arah televisi yang menyala, dimana terlihat iklan sebuah acara kompetisi memasak yang cukup besar. Dan salah satu yang akan menjadi jurinya adalah sang putra, pria yang saat ini tengah duduk di sampingnya, menatap layar ponsel sembari melihat-lihat foto yang ada di sosial media.
"Audisinya sudah dimulai?"
"Sudah. Dan Minggu depan aku harus sudah ada di Jakarta, … mungkin tidak akan pulang sampai acaranya benar-benar selesai." Jelas pria itu tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali.
"Memangnya kamu sesibuk itu? Dan kamu tega meninggalkan Mama dengan adik-adikmu disini? Sementara satu-satunya pria di keluarga ini akan pergi dengan sejuta kesibukannya?"
Pria tampan bernama Loka Paramayoga itu mengalihkan pandangan dari layar handphone sana, melihat wajah wanita renta yang saat ini duduk di sampingnya lekat-lekat.
"Aku hanya pergi bekerja Mam. Ada Friska dan Gwen yang akan menemani Mama disini, … atau kapan-kapan kalian bisa datang ke Jakarta saat mereka libur membuka kedai."
"Ah tetap saja kamu tidak ada disini!"
"Mama bisa lihat aku di tv." Loka tertawa.
"Tapi hanya seminggu dua kali. Hanya Sabtu dan Minggu, … sementara kalau kamu sedang di rumah, Mama bisa melihat kamu setiap hari."
Loka menghirup nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dan dia ulangi sebanyak beberapa kali sampai dirinya merasa lega.
"Lalu bagaimana? Mama mau aku membatalkan kontrak kerjaku?" Dia mengerti kesedihan ibunya.
"Tidak begitu. Tapi kalau kamu sudah menjadi artis, kamu akan sibuk. Bahkan kesibukan itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, saat kamu mulai menjadi Juri di kontes memasak itu!" Linda berujar.
"Aku bukan artis. Aku hanya tukang masak, yang kali ini dipercaya untuk menjadi Chef judges. Dan ini tawaran langka." Pria itu menjelaskan lagi.
"Ya, memang itu cita-citamu bukan? Sampai hanya memikirkannya dan lupa melakukan hal lain. Seperti mencari calon pendamping hidup misalnya. Tahun ini kamu berusia 34 tahun, Loka!"
Loka tiba-tiba tertawa kencang, membuat dia orang gadis yang baru saja tiba di kediamannya terlonjak kaget.
"Kamu kalo Mama bahas ini pasti tertawa!" Linda menggerutu.
"Dih, lagi bahagia kali yah!"
Salah satu dari adik kembarnya menyahut, terus berjalan mendekat lalu menepuk pundak Kakak laki-lakinya.
"Gwen!" Pria itu memekik.
"Aneh. Kakak ketawa-ketawa, sementara raut wajah Mama kelihatan muram! Kenapa? Nggak rela yah ditinggal anak bujangnya lagi?" Friska menimpali, dengan kekehan pelan.
"Ya, mungkin kalian kurang baik menjaga Mama. Sampai Mama merasa sedih saat aku akan pergi."
Dua perempuan berusia 25 tahun itu duduk menghimpit sang ibu dan Kakak laki-lakinya, lalu saling merangkul satu sama lain.
"Ah, … andai saja ayah kalian masih ada! Pasti dia bangga dengan setiap pencapaian yang sudah kalian raih. Loka menjadi Chef profesional, dan kalian membuka usaha dengan baik, bahkan semakin hari kedai kalian semakin ramai pengunjung." Linda berujar.
Suaranya terdengar bergetar, dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
"Papa sudah tenang disana, Ma. Sudah tidak sakit lagi, jadi Mama harus ikhlas! Dan tidak boleh terlalu mengekang Loka hanya karena takut kembali kehilangan, Loka pasti baik-baik saja."
"Baik. Tapi berjanjilah untuk menjaga dirimu dengan baik, jauhi makanan-makanan yang tidak sehat. Apalagi kopi instan, rokok dan minuman beralkohol!" Linda memperingati.
Dan pria yang di maksud menganggukan kepala, merangkul tubuh ibunya dengan sangat erat, lalu kemudian mencium keningnya berkali-kali.
"Kami sangat mencintai Mama. Mama tahu tidak? Kami khawatir kalau Mama terus bersikap seperti ini?" Friska berujar.
Dia menatap sang ibu yang ada di dalam dekapan penuh cinta Kakak pertamanya.
"Jangan membuat kami merasa tidak berguna." Gwen ikut berbicara.
"Tidak, tidak. Kalian sangat berarti bagi Mama! Hanya saja Mama masih belum bisa menerima jika Papa kalian sudah pergi, meninggalkan kita hanya berempat saja."
"Kita sudah berjanji akan baik-baik saja bukan? Jadi ayolah jangan bersedih lagi!" Ucap Loka.
Mereka mengurai rangkulan tangan masing-masing, lalu saling menatap bergantian.
"Kakak? Ayo buatkan makanan yang enak untuk kami. Sore-sore begini sepertinya enak makan yang gurih-gurih pedas."
Loka tampak berpikir.
"Ayolah!" Gwen sedikit merengek.
"Ya ya ya. Terserah kalian saja! Padahal di kedai kalian juga masak, lalu kenapa tidak memasak sendiri?" Dia menggerutu.
Loka bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki ke arah dapur, meraih apron dan memakainya dengan segera. Membuat dua perempuan kembar identik itu bersorak kegirangan.
"Yeay! Kakak memang yang terbaik." Teriak keduanya bersamaan.
"Haih kalian ini. Padahal Loka baru saja selesai melakukan zoom meeting, mungkin saja dia masih lelah karena berpikir, tapi kalian sudah membuatnya sibuk kembali." Linda mencubit kedua pipinya bersamaan.
"Kakak cuma zoom meeting. Sementara kita sibuk melayani para pembeli." Friska menyahut.
"Lalu kenapa sudah pulang? Bukankah seharusnya kedai kalian tutup jam sembilan malam?"
Loka berteriak dari arah dapur.
"Kalo kita masih bersusah payah, lalu gunanya karyawan apa? Kita hanya perlu memantau, dan sisanya mereka yang mengerjakan." Ucap Friska lagi dengan bangga.
Sementara Linda hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan rasa tidak menyangka, karena anak-anak sudah tumbuh besar, dan sukses di bidang masing-masing.
Keesokan harinya.
Loka mendorong sebuah koper hitam berukuran besar, kemudian dia mengangkat ke atas tempat tidur, dimana sudah terdapat baju-baju dan segala macam kebutuhan yang sudah pria itu siapkan selama berada di Jakarta, untuk kemudian membukanya sampai kedua sisi benda itu terlihat dengan jelas.
Satu-persatu Loka memasukan apa saja yang mau dia bawa. Beberapa kemeja, kaos lengan pendek, celana jeans, dan perlengkapan-perlengkapan lainnya.
"Kapan kamu berangkat?"
Tiba-tiba saja suara sang ibu terdengar, membuat Loka segera menoleh ke arah suara, dan menatap Linda yang tengah berdiri di ambang pintu masuk kamar sambil tersenyum.
"Mama, bikin aku terkejut saja tiba-tiba ada disana? Kenapa tidak masuk? Kemarilah bantu aku memasukan baju-bajunya agar rapi." Ujar Loka seraya tersenyum samar dan menggerak-gerakan alisnya naik turun.
"Kenapa tidak minta tolong? Kamu sendiri yang mau mengerjakan ini sampai tidak bilang-bilang ke Mama." Linda mendekat.
Kemudian dia mendekat, dan ikut membantu Loka memasukan segala keperluannya.
"Tinggal di apartemen lagi?" Tanya Linda.
Loka tidak langsung menjawab, dia hanya asik menatap wajah Linda. Wanita yang sangat tegar, dan mampu membesarkan ketiga anaknya sendirian, saat pria yang sangat dia cintai pergi lebih dulu, karena sakit paru-paru yang sudah sangat lama dideritanya.
"Iya. Kan memang begitu biasanya juga. Itu sudah fasilitas dari sana kan? Aku hanya tinggal datang, dan bekerja sebagai juri seperti biasa." Jelas Loka.
Linda mengangguk.
"Satu hal yang harus selalu kamu ingat. Jangan pernah merasa karena kamu tinggal sendiri dan kamu bisa bebas. Tidak boleh ada perempuan yang masuk ke dalam apartemen kamu, mungkin konteksnya akan berbeda saat bersama teman-teman yang lain, yang tidak boleh itu hanya berduaan." Wanita itu memperingati.
Dia mengingat banyak hal. Salah satunya ketika sang putra digosipkan dengan beberapa perempuan, dan itu cukup membuatnya khawatir, apalagi bebasnya dunia entertainment sudah bukan hal tabu, mungkin tidak semua, tapi kebanyakan mereka menghalalkan segala cara. Sementara Loka diam, dia cukup menyesali apa yang sudah beredar di publik satu tahun belakangan. Privasinya sudah tidak ada lagi, meskipun kini Loka dan sang kekasih sudah lama putus, tapi tetap saja media selalu menyangkut pautkan mereka berdua tentang kabar, dan isu miring.
"Dan satu lagi! Jagalah citramu di hadapan semua orang."
Kening Loka menjengit, dengan raut wajah sedikit bingung atas apa yang baru saja ibunya katakan.
"Maksud Nama bagaimana?" Pria itu segera bertanya.
Linda menghela nafas, lalu menegakan tubuh dan menatap wajah putra pertamanya lekat-lekat.
"Bersikaplah lembut, jaga setiap ucapan kamu, dan biarkan masyarakat mengenalmu sebagai Loka yang baik. Bukan seorang yang suka berbicara ceplas-ceplos, ketus, dan tidak bersahabat. Kamu tahu tidak? Para pelanggang kedai Gwen dan Friska itu selalu bertanya, apa Kakaknya bersikap demikian di dunia nyata? Ya tidak masalah sih kalau hanya bertanya, tapi Mama cuma berpikir, bagaimana kalau semua wanita menganggap kamu adalah pria yang jahat dalam tata cara berbicara!" Setelah mengatakan banyak hal Linda kembali merapikan barang bawaan milik Loka ke dalam koper sana.
Loka terkekeh pelan.
"Ya memang harus begitu, Mam!" Kekehan Loka semakin terdengar kencang.
"Jika kamu berbicara dengan Mama, atau adik-adikmu kami akan merasa biasa saja, karena memang gaya bicaramu seperti itu! Tapi jika kamu berbicara sembarangan kepada kontestan, … mereka akan merasa sangat tersinggung!"
"Memangnya pernah ada yang bilang kalau mereka tersinggung? Aku sudah lima kali menjadi juri di sana belum pernah ada yang protes, justru aku melakukan ini untuk melatih mental mereka." Loka tampak tidak mau kalah.
Linda tidak kembali bersuara, dia hanya memfokuskan diri pada koper besar di hadapannya, menarik masing-masing resleting dari kedua belah sisi sampai tertutup dengan sangat rapat.
"Sudah selesai. Kamu bisa berangkat kapanpun kamu mau." Ucap Linda.
Raut wajahnya terlihat sedikit masam. Dan kekesalannya segera timbul saat Loka terus menjawab, seolah sedang membenarkan apa yang pria itu lakukan. Berbicara asal, memasang mimik wajah menyebalkan, dan menurut Linda, kelakuan Loka yang itu terlihat sangat menyebalkan.
"Sebelum kamera on. Itu kita di briefing dulu, apa yang harus kita lakukan, dan bagaimana aku harus bersikap. Jadi semuanya sudah diatur, kalau mereka tersinggung itu urusan mereka bukan urusan aku, seharusnya mereka tahu dong kalau ini shooting, lalu kenapa harus tersinggung?"
Loka menyentuh lengan ibunya, lalu dia menarik wanita itu, dan mendekap erat.
"Bagaimanapun penilaian orang lain. Aku tetap anak Mama, … dan tidak ada ibu yang melihat anaknya buruk. Mungkin ada beberapa ibu yang berlaku demikian, tapi aku yakin Mama tidak termasuk pada golongan tersebut. Mama adalah tipikal ibu, yang seburuk apapun aku melakukan kesalahan, tapi Mama akan menutupi aibku, sebagaimana Tuhan menutupi aib hamba-nya." Loka melembutkan suaranya.
Namun, Linda segera mencubit pinggang sang putra, sampai Loka mengaduh kesakitan, lalu mengusap-usap bekas cubitan Linda ketika rasa sedikit panas menjalar di area sana.
"Kamu ini kenapa sulit sekali untuk di kasih tau!"
"Ya memang inilah, Loka. Loka tetap Loka, tidak akan pernah menjadi orang lain."
Linda menghela nafas.
"Adik-adik sudah berangkat ke kedai?" Pria itu mengalihkan arah pembicaraan.
"Belum, mereka masih ada di kamarnya. Mungkin sebentar lagi, ini baru jam setengah sembilan, mereka akan pergi pukul sepuluh nanti." Jelas Linda.
Dia mengurai pelukan dari putranya, kemudian berbalik badan, dan berjalan ke arah luar diikuti Loka yang berjalan pelan dari belakang.
"Kamu berangkat pagi besok?" Linda bertanya.
"Iya, tidak apa-apa kan?"
Linda melirik Loka yang sudah berjalan di sampingnya.
"Tidak apa-apa, ada kedua adikmu." Tampaknya kali ini Linda berbesar hati. Karena ketentuannya memang seperti itu.
Klek!!
Salah satu pintu ruangan di rumah itu terbuka.
Dan tampaklah dua perempuan cantik, keluar dari dalam kamar bersamaan, berpakaian rapi dengan warna senada. Mereka mengenakan celana jeans hitam, dengan kaos lengan pendekat berwarna ungu muda.
"Abang belum berangkat?" Gwen bertanya.
Loka mengulum senyum, kemudian menganggukan kepala.
"Masih ada waktu sampai besok pagi, hari ini hanya berkemas saja, … agar besok tidak terburu-buru." Jelas Loka kepada salah satu adik kembarnya.
"Hemm, … kalau ada yang kelupaan sedikit berabe. Batam-Jakarta cukup jauh." Sambung Friska.
"Kalian pintar." Loka tertawa.
Mereka bertiga duduk di sofa ruang tengah. Sementara Linda berjalan ke arah ruangan paling belakang dimana area kamar asisten rumah dan dapur kotor berada.
"Abang? Berapa lama di Jakarta nanti?" Tanya Gwen.
"Mungkin dua sampai tiga bulan, kenapa?"
"Nggak. Aku cuma mau minta saran menu terbaru nanti untuk di kedai." Gwen menatap saudara kembarnya, kemudian tersenyum. Hal sama yang Friska lakukan, sampai keduanya selalu terlihat kompak.
Loka menatap keduanya bergantian.
"Maksudnya minta menu gimana?" Dia memperjelas ucapan dari adiknya.
"Iya, kita eksperimen bareng. Biar ada menu baru dan kedai kita berbeda dari kedai kebanyakan." Perempuan itu tersenyum gugup.
Apalagi saat Loka menatap ke arahnya dengan sorot mata tajam.
Tidak lama setelah itu Linda kembali, membawa satu nampang, dimana terdapat piring besar di atasnya.
"Mama bikin apa?" Loka langsung bereaksi, dan wajahnya tampak berbinar.
"Luti gendang."
Linda menjawab, kemudian dia membungkuk, meletakan nampan itu di atas meja, dan segera bergabung duduk bersama putra-putrinya.
"Kapan Mama bikin Luti gendang?" Kata Friska, seraya membawa roti berbentuk bulat berukuran kecil, dengan isian abon sapi.
"Yang bikin Mbak. Mama cuma minta di buatkan saja, sebelum kalian berangkat."
"Ah, … Luti bikinan rumah ini memang nggak ada duanya. Mau bikinan Mama, mau bikinan Mbak, rasanya sama. Sama-sama sangat sulit untuk dilupakan."
Loka meraih makanan berbentuk bulat tersebut, kemudian memakannya dengan lahap. Pun dengan Gwen dan Friska, sementara Linda hanya memperhatikan mereka dengan hati yang terasa lapang.
Cuaca terlihat begitu cerah. Bahkan cahaya matahari terasa sangat terik, ketika langit terlihat berwarna biru bersih membuat suasana terasa panas.
Farah mulai berjalan memasuki sebuah gerbang masuk, dimana sebuah lapangan yang sangat luas dan terdapat tenda-tenda yang berdiri disana setelah memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Dan ketika Farah berjalan semakin masuk kedalam, lautan manusia terlihat memenuhi area sana.
"Astaga. Aku kira hanya audisi menyanyi saja yang akan banyak diikuti orang-orang. Ternyata masak juga mereka se antusias ini yah!?" Batin Farah berbicara.
Gadis itu celingukan, melihat ke segala arah. Berharap menemukan seseorang yang mungkin dia kenali disana. Sayang, tampaknya dia tidak menemukan siapapun, selain orang baru yang mungkin saja berasal dari berbagai daerah. Suasana semakin riuh, kala seorang pembawa acara mulai menyapa juga mengucapkan kata-kata pembuka. Dan menyebutkan urutan nomor peserta agar segera mendekati tempat yang sudah disiapkan.
Termasuk nomor peserta milik Farah yang juga disebutkan oleh seorang pembawa acara.
"Hhheuh, … aku masuk di putaran pertama." Farah membatin.
"Are you guys ready?"
"Yes!!" Semua peserta yang berdiri di balik meja menjawab.
Dan Farah terlihat begitu semangat. Bagaimana tidak, masuk ke galeri adalah salah satu impian terbesarnya, dan keberadaan dia disana sekarang adalah untuk berjuang, juga sebagai penentu dirinya layak masuk ke audisi selanjutnya atau tidak.
"Disana sudah ada berbagai macam jenis pisau. Satu tatakan, dan satu ayam utuh." Jelas seorang pria yang mulai terlihat terus melangkahkan kakinya kesana dan kemari. "Tugas kalian adalah memisahkan daging dari tulangnya, atau membuat ayam filet. Waktu kalian tiga puluh menit, dimulai dari sekarang!" Tegas sang pembawa acara.
"Oh iya, … siapapun yang sudah selesai, boleh mengangkat tangan, dan judges akan menilai serapih apa filet daging ayam milik kalian."
Membuat Farah segera membasuh tangan, lalu mengeringkannya. Meraih tisu dapur yang dia pakai untuk memastikan permukaan kulit ayam miliknya benar-benar kering, kemudian mulai memilah pisau, dan mencari titik yang tepat untuk melakukan sayatan kecil.
Tentu saja ini hal yang sangat mudah, karena Farah sering melakukannya. Namun mengingat ini sebuah audisi, juga seorang pengawas mendatangi mejanya, membuat tangan perempuan itu sedikit bergetar.
"Halo? Dengan kakak siapa saya berbicara?" Seseorang bertanya.
Farah menghentikan kegiatannya untuk beberapa saat, lalu menoleh.
"Farah Arsena." Jawab perempuan itu.
"Bagaimana? Bisa? Atau tantangan ini sudah membuat anda sangat kesulitan?" Dia bertanya lagi.
Farah mengangkat pandangan beberapa detik, mengulum senyum lalu menganggukan kepala. Dan setelahnya dia kembali melakukan apa yang sempat terjeda, agar dapat menyelesaikan tantangan sebelum waktunya habis.
"Aku sering melakukannya. Jadi sepertinya tidak akan terlalu menyulitkan." Jelas Farah.
Dua orang pembawa acara itu mengangguk-anggukan kepala, menatap kelihaian Farah dalam melakukan sebuah tantangan.
"Jika bisa menaklukan tantangan filet ayam ini dengan mudah. Maka sudah dipastikan akan lanjut masuk ke galeri."
"Ya, aku harap ayam ini bisa membawa aku masuk galeri sana, dimana mungkin aku bisa mewujudkan mimpi, dan menjadi juara selanjutnya di season sekarang." Farah tersenyum.
Tidak lama setelah itu, seorang wanita yang akrab disapa Chef Alia datang mendekati area. Lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan, dan menunggu kontestan yang saat ini sedang disibukkan dengan beberapa kesulitan karena harus memisahkan tulang juga daging ayam. Yang tentunya menurut beberapa sangatlah tidak mudah.
"Sudah berapa menit?" Alia bertanya kepada beberapa panitia.
"Sepuluh."
"Baiklah waktu kalian tinggal dua puluh menit lagi!" Alia berteriak.
Tidak lama setelah itu seorang peserta mengangkat tangan. Sehingga membuat Alia segera bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekat.
"Bagaimana? Apa sulit?"
"Sedikit Chef." Katanya.
Alia tersenyum, mengarahkan pandangan pada tulang dan daging ayam yang sudah terpisah bergantian.
"Masih banyak daging yang menempel disini!" Alia menunjuk bagian tulang yang terkumpul. "Tapi sejauh ini bagus, kamu dapat menyelesaikan tantangan dengan cepat. Ingat! Di galeri nanti tidak hanya kemampuan memasakmu yang menjadi tolak ukur, tapi juga bagaimana cara kita memanajemen waktu." Alia tersenyum.
"Siap Chef!"
"Baiklah. Tunggu hasil penilaian nanti yah? Semoga kamu lolos." Kata Alia, yang langsung dijawab anggukan oleh sang peserta.
Farah meletakan pisaunya dengan segera, lalu dia mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi, membuat perhatian Alia segera tertuju padanya.
"Chef!" Farah memanggil.
Pandangan Alia menunduk, menatap satu ekor ayam yang sudah terpisah dari tulangnya. Lalu kemudian dia menatap Farah dan tersenyum ramah penuh arti.
"Kamu sudah sering melakukannya?" Tanya Alia.
Dan Farah segera menganggukan kepalanya sembari mengulum senyum. Dadanya berdebar-debar, dengan rasa gugup yang seketika menyerang dirinya.
"Bagus. Setiap sayatan terlihat rapi, dan tidak tersisa daging sedikitpun di tulangnya, … saya sudah bisa pastikan kamu lolos masuk galeri." Alia sambil tersenyum.
Sementara Farah mengepalkan kedua tangan, yang segera dia letakan di atas dada, kemudian berjingkrak.
"Jangan senang dulu. Di galeri sana masih ada banyak peserta dengan kemampuan yang lebih baik. Ingat! Itu hanya ayam fillet, dan tantangan sesungguhnya bukan ini, melainkan di galeri nanti, itupun jika kamu bisa mendapatkan apron dari Chef judges." Alia berujar.
Seketika Farah terdiam.
Alia tersenyum miring, berbalik arah dan segera meninggalkan Farah begitu saja. Mendekati para peserta lain yang juga sudah menyelesaikan tantangan.
***
Klek!!
Loka mendorong pintu apartemen setelah menempelkan access card nya terlebih dahulu.
Sebuah bagunan yang cukup luas. Terdapat sofa besar dengan desain mewah terletak di tengah-tengah ruangan, tak lupa dengan meja kaca berbentuk bundar, juga furniture yang terlihat sangat indah memenuhi setiap sudut ruangan yang akan pria itu tempati selama beberapa bulan kedepan.
Kakinya maju beberapa langkah, seraya mendorong koper besar miliknya, dan menutup pintu apartemen terlebih dulu, sebelum akhirnya dia menghempaskan diri pada sofa berukuran besar yang berada disana.
Brughh!!
Dia merebahkan punggungnya pada sandaran sofa, berusaha menormalkan rasa lelah yang sedikit Loka rasakan.
"Kembali lagi pada dunia. Dimana kamu berada di tempat ramai, namun selalu merasa sangat kesepian." Gumam Loka, seraya menatap langit-langit ruangan dengan cat abu-abu muda yang mendominasi.
Loka merogoh saku jaket yang masih melekat di tubuhnya, membawa sebuah benda berbentuk pipih keluar, dan segera menyalakannya untuk mengirimkan pesan kepada nomor sang ibunda tercinta.
"Loka baru saja sampai, Ma. Mau istirahat sebentar sebelum nanti sore bertemu dengan Alia dan Andrew."
Loka menekan tombol panah berwarna hijau, dan pesan itu segera terkirim, dengan tanda ceklis dua yang terlihat.
Setelah mengirimkan pesan itu Loka menonaktifkan ponselnya terlebih dulu, bangkit dari duduk, dan berjalan ke arah pintu kamar yang tertutup dengan rapat, berniat mengistirahatkan diri di dalam sana.
Loka membuka jaket, melemparkan benda itu ke sembarang arah, lalu kemudian menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur sana, dan mulai memejamkan mata dengan perasaan tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!