Hear My Wish

Hear My Wish

Chapter 1 - Senja

Noel menatap sekelilingnya. Pejalan kaki dan kendaraan bermotor mulai

memadati jalanan. Tak hanya itu, bising juga turut serta hadir. Dua hal yang

menjadi ‘ciri khas’ kota Jakarta  itu

benar-benar tak dapat dipisahkan.

Langit sudah terselimuti warna jingga dengan sempurna. Kilau keemasan dari

benda setengah lingkaran itu seolah menyapa semua orang untuk memandangnya.

Akan tetapi, adakah orang yang rela meluangkan waktunya sejenak, bahkan sedetik

untuk mengalihkan pandangannya, menatap mentari? Sayangnya, tidak ada. Tak

seorangpun yang peduli, tak terkecuali Noel.

Seterang apa pun matahari itu menyinari Noel, matanya tak kunjung melirik

ke arah langit. Ia terlalu sibuk mengamati keadaan sekitarnya, berharap peluang

keberuntungan hadir di tengah-tengah padatnya senja hari ini. Kedua tangannya

tak menggenggam selembar maupun sekeping uang, melainkan hanya debu dan

keringat.

Ia memejamkan kedua matanya. Daun telinganya dipegangnya, seakan-akan itu

dapat menambah ketajaman pendengarannya.

Tak diduga-duga, harapannya terkabul. Noel mendengar sesuatu terjatuh di sekitarnya,

terpantul satu sampai dua kali dengan suara lembut. Ia tahu persis, itu bukan

suara langkah kaki.

Matanya mengikuti komando telinganya. Warna coklat terang di matanya

terlihat begitu jelas, berkilau oleh sinar mentari senja dan berbinar penuh

harap. Tanpa rasa sungkan sedikit pun, tubuh mungilnya gesit bergegas

menyelinap di antara kerumunan di sisi trotoar. Tangan kotornya cepat

menjangkau dompet hitam yang tergeletak di trotoar itu seperti orang dehidrasi

yang menemukan air di tengah padang pasir.

Harapannya pupus seketika saat menyadari benda itu telah diambil oleh

seorang pria yang jauh lebih gesit dan cepat darinya. Wajahnya terlihat tak mau

kalah. Matanya membalas tatapan Noel dengan sombong dan penuh kemenangan.

Orang ini tak mungkin mengalah padanya dan tak mungkin dikalahkan olehnya.

Noel berbalik dengan lemas tanpa berkata apa pun.

Baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, tangan mungilnya yang kotor

dan penuh bekas luka ditarik oleh Sylvia. Noel sudah tak bertenaga lagi, ia

lelah batin dan fisik. Dibiarkannya seluruh badannya ditarik gadis itu.

Anak itu tahu persis ke mana ia akan dibawa gadis itu.

Gang kecil yang sepi, kotor, bau, dan gelap. Sebuah tempat yang jauh dari

kata ‘indah’, tempat yang tersembunyi dibalik gedung-gedung pencakar langit

Jakarta yang berdiri megah.

“Dapet berapa lo hari ini?” tanya gadis itu sambil berkacak pinggang.

Mulutnya terlalu berat untuk berucap. Noel merogoh kedua saku celananya hanya

untuk menunjukkan isinya yang masih bersih dan kosong melompong, tanpa uang

maupun benda berharga.

Sylvia mendecak-decakkan lidahnya sambil memegang dahinya, seperti seorang

ibu yang melihat anaknya setelah bermain lumpur sampai seluruh badannya kecoklatan.

Noel hanya tertunduk diam.

Gadis itu merogoh sakunya lalu memberikan anak itu beberapa lembar uang,

“Nih. Gue gak bisa kasih lebih, gue mau beli rokok,” kata gadis itu. Noel

menerima uang berjumlah lima puluh ribu yang diberikan padanya. Ini bukan hal

asing lagi bagi Noel, setiap kali ia gagal mencuri, Sylvia rela memberikan

sebagian hasilnya secara cuma-cuma, tanpa menagih balasan sama sekali.

“Pake acara diem lagi. Cepetan jalan, pulang! Lo mau dihajar bang

Gondrong?” bentak gadis itu, sampai-sampai bahu Noel terangkat karena

tersentak. “Pulang!” seruannya kali ini membuat Noel lari terbirit-birit

meninggalkan Sylvia, seolah gadis itu jauh lebih menakutkan dibandingkan pria

yang kerap disapa bang Gondrong itu.

***

“Cepetan! Duit! Duit!” Pria berambut pirang lusuh panjang itu menagih uang

hasil curian para anak jalanan yang tak lain adalah bawahannya. Mau tak mau,

anak-anak itu harus menyerahkan hasil jerih payah mereka pada pria bertubuh

kekar dan tegap itu.

Noel termenung sambil menatap bulan purnama dibalik kaca jendela yang sudah

pecah. “WOI!” teriak bang Gondrong tepat di telinga anak itu. Noel tersentak.

“Pake bengong lagi. Mana duit lo?! Kasih ke gue cepetan!”

Anak itu mengeluarkan seluruh uang dari sakunya.

“Cuma segini, ha?” Ia menampar lembaran kertas itu pada Noel. “APA-APAAN

INI?! INI MAH GUE JUGA BISA DAPET! LU PIKIR GUE BISA HIDUP PAKE UANG SEGINI?!”.

Anak itu hanya tertunduk diam, tak berani menatap pria yang sedang marah di hadapannya.

“AWAS KALO BESOK CUMA DAPET SEGINI! GUE PECAHIN NIH PALA!” bentaknya sambil

menoyor kepala Noel.

 “Dah, sono bubar lo pada!” perintah

bang Gondrong sambil mengayun-ayunkan tangannya, seolah mengusir anak-anak ayam

yang menghalangi jalan. Anak-anak pun bergegas keluar.

“Eh, Den! Den! Bentar, Den! Sini dulu”

Denis menoleh dan menghampiri bang Gondrong, “Kenapa bang?” tanyanya.

Pria itu mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, “Nih, ambil. Buat lo

pada kalo mau jajan. Kalo nggak, ya, sisanya balikin lagi ke gue,” ucapnya

sambil mengulurkan uang itu.

“Lah? Bang, kalo cuma segini beli nasi putih dapet lima doang, bang! Kita

kan ada enam!”

“MASIH PROTES AJA LO! MASIH SYUKUR GUE KASIH!” bentak pria berlengan penuh

tato itu, “LO MAU KAGAK?!”

“Eh, iye, iye, bang! Maap!” Denis segera mengambil uang itu dan bergegas

pergi ke warung langganannya.

***

Sylvia duduk di teras rumahnya. Kakinya terangkat sebelah, sebuah puntung

rokok yang masih menyala terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Tubuhnya

bersandar pada dinding, kedua mata gelapnya menatap langit bertabur bintang.

“Woi! Syl!”

Seruan itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh. “Nih, punya lo!” Denis

melemparkan sebuah bungkusan coklat ke arah gadis itu. Tangan halus gadis itu

reflek menangkapnya, tanpa mengucapkan ‘terima kasih’ pada Denis, ia langsung membuka

bungkusan itu.

Tepat seperti yang dipikirannya. Nasi putih tanpa lauk atau sayur apapun.

Noel hanya diam menatap sebungkus nasi yang baru saja dibuka oleh Sylvia.

Meski dirinya sangat lapar, ia tak beranjak dari tempatnya. Bahkan, mulutnya

tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya untuk meminta.

 

 

Gadis itu baru saja makan sesuap nasi. Namun, ia sudah berdiri, beranjak

dari tempatnya.

Ia menghampiri Denis, anak lelaki yang tadi membagi-bagikan makanan pada

anak-anak jalanan lainnya. Diliriknya sebuah bungkusan plastik bening yang

masih berisi sebungkus nasi. Tanpa ragu, Sylvia mengambilnya lalu kembali ke

tempatnya.

“WOI! PUNYA GUE ITU!” seru Denis sambil mengejar Sylvia saat ia sadar

makanannya diambil.

Sylvia mengeluarkan bungkusan coklat itu dan melemparnya ke arah Noel.

“Nih, punya lo kan?” ia mengembalikan kantong plastik bening yang sudah

kosong pada Denis.

Raut wajah Denis berubah jengkel. “Eh, Syl, lo jangan mentang-mentang cewek

bisa seenaknya gitu di sini.” Ia bangkit dari duduknya.

“Gue cuma ngambilin punya si Noel kok,” jawab gadis itu sambil mendongakkan

kepalanya.

“Itu punya gue! Bukan Noel!”

“Punya lo? Terus tuh anak gak dikasih makan?”

“Ya, nggaklah! Gue tadi cuma dikasih dua puluh ribu selembar ama bang

Gondrong! Nasi putih harganya empat ribu! Dapetnya cuma lima!”

“Oh, gitu” Sylvia mengangguk-angguk lalu membalikkan badannya, bermaksud

untuk kembali melanjukan makan malamnya.

Denis menahan bahu Sylvia, “Eh, enak aja lo, main pergi gitu aja!”

tegurnya. “Balikin makanan gue! Lagian juga, kalo si Noel gak dapet makan yang

laper juga dia, bukan lo, kan?”

Sylvia membalikkan badannya, “Terus kalo gue mau kasih dia makan, lo mau

apa?” ia balik bertanya sambil berkacak pinggang. “Lo pasti ada uang lebih kan

hari ini?”

Gadis itu mengangkat alisnya. “Kan kalo lo ada uang lebih bisa beli nasi

buat si Noel!”

“Tapi sayang, gue udah biasa beli rokok kalo ada uang lebih” ucapnya tanpa

rasa bersalah, sambil kembali menghisap rokoknya.

Pemuda itu mendecak kesal, “Kebiasaan lo! Untung aja gue masih sabar kalo

ama cewek. Coba kalo lo cowok. Lo pasti udah gue bikin babak belur!”

“Oh gitu, ya? Bodo amat,” jawab gadis itu sambil pergi meninggalkan Denis.

Pemuda itu mendengus kesal. Namun apa daya, kesabaran dalam hati masih

merangkulnya erat-erat.

Sylvia kembali duduk, melemparkan puntung rokoknya yang sudah pendek, lalu

menginjaknya. Ia menoleh, memandang Noel sejenak lalu kembali melanjutkan makan

malamnya. “Bilang ‘makasih’ kek. Gue udah ambilin makanan lo juga,” katanya

dengan nada sedikit jengkel, menyadari anak ini terus bergantung padanya.

“Makasih,” ucap anak itu dengan nada datar, nyaris tak terdengar.

***

Semalam telah berlalu. Pagi ini, matahari bersinar terang. Bahkan,

hangatnya terasa meski terhalang kaca jendela dan gorden.

“Woi, Noel. Bangun!” Sylvia mengguncang-guncangkan tubuh mungil anak itu

yang masih terlelap. ‘Sial, anak ini

susah sekali bangun’  umpatnya dalam

hati. Gadis itu mengambil sebuah karet gelang. Diselipkannya telunjuk kiri di

tengah lingkaran karet itu. Lalu, dijepitnya ujung dari karet itu oleh ibu jari

dan telunjuk kanannya dan menariknya.

CTAK!

Noel tersentak, matanya terbelalak, jantungnya menggedor-gedor dadanya,

keringat dingin muncul dari tubuh kurusnya. Ia mengusap-usap kulitnya yang

merah dan pedas itu sambil mencari-cari apa yang barusan menamparnya dari alam

mimpi.

“Daritadi disuruh bangun, susah amat, sih!” Protes gadis itu sambil

memungut karet gelang yang terpelanting. Ia menggigit karet itu, sambil menata

rambut hitamnya yang kusam dan lusuh menyerupai ekor kuda dan menguncirnya.

Sepasang matanya kembali melirik Noel yang masih terbaring di atas tikar kotor

berwarna biru tua itu. Tak beranjak sama sekali.

Kesabaran gadis itu lagi-lagi diuji. Ia menghela nafas.

“WOI! BANGUN!” serunya sambil menendang-nendangi punggung anak itu.

Akhirnya, anak itu memutuskan untuk bangun meskipun sebenarnya ia masih

mengantuk. Ia merasa keputusannya lebih baik dilaksanakan sebelum gadis itu

meneriakinya lagi, membantingnya, atau mungkin bisa jauh lebih buruk dari itu.

Noel mengucek matanya dan berdiri.

***

Mencari uang tak kenal hari, tak kenal waktu, tak kenal cuaca. Entah panas,

hujan, ataupun angin kencang mengamuk, menyapu setiap tapakan, kaki-kaki kurus

ceking mereka tak akan beranjak dari jalan, demi mencari uang dalam bentuk apa pun.

Meski harus mencopet, memungut, dan meminta dengan wajah memaksa belas kasih,

mengais sampah. Apa pun mereka lakukan demi mendapat lembaran kertas

warna-warni yang disebut ‘uang’.

Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong, yang menyiratkan anak-anak

itu membawa kesialan dan musibah bagi dirinya sendiri. Seperti hukum rimba,

‘yang kuat menindas yang lemah’, predator akan menerkam, lalu memangsa

herbivora buruannya, meski makhluk itu tak berdosa. Begitu pula dengan

anak-anak jalanan ini, yang kecil dan lemah, rela tak rela, harus menyisihkan

uangnya demi yang besar dan kuat.

Anak-anak jalanan, tak sedikit lagu tentang mereka dinyanyikan agar banyak

orang dapat bersimpati pada mereka. Namun, apa yang mereka lakukan? Mereka

hanya mendengar dengan kedua mata tertutup rapat, tak dapat melihat realita

yang ada.

Pernah sekali mereka berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk saat

tidur dan menginginkan mimpi buruk itu tak datang lagi. Tapi seiring

berjalannya waktu, mereka sadar. Itu hanyalah angan-angan, sangat mustahil

untuk terkabulkan, seperti menginginkan kedua kaki ini menginjak awan putih di

langit biru cerah.

Kenyataan itu menyayat hati.

Itulah mengapa, tak ada satu pun anak yang berani menyakiti dirinya lagi

dengan berharap, meski hanya sesaat.

Terpopuler

Comments

Fikri Aini

Fikri Aini

umur berapa nih gadis

2023-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!