Hear My Wish
Noel menatap sekelilingnya. Pejalan kaki dan kendaraan bermotor mulai
memadati jalanan. Tak hanya itu, bising juga turut serta hadir. Dua hal yang
menjadi ‘ciri khas’ kota Jakarta itu
benar-benar tak dapat dipisahkan.
Langit sudah terselimuti warna jingga dengan sempurna. Kilau keemasan dari
benda setengah lingkaran itu seolah menyapa semua orang untuk memandangnya.
Akan tetapi, adakah orang yang rela meluangkan waktunya sejenak, bahkan sedetik
untuk mengalihkan pandangannya, menatap mentari? Sayangnya, tidak ada. Tak
seorangpun yang peduli, tak terkecuali Noel.
Seterang apa pun matahari itu menyinari Noel, matanya tak kunjung melirik
ke arah langit. Ia terlalu sibuk mengamati keadaan sekitarnya, berharap peluang
keberuntungan hadir di tengah-tengah padatnya senja hari ini. Kedua tangannya
tak menggenggam selembar maupun sekeping uang, melainkan hanya debu dan
keringat.
Ia memejamkan kedua matanya. Daun telinganya dipegangnya, seakan-akan itu
dapat menambah ketajaman pendengarannya.
Tak diduga-duga, harapannya terkabul. Noel mendengar sesuatu terjatuh di sekitarnya,
terpantul satu sampai dua kali dengan suara lembut. Ia tahu persis, itu bukan
suara langkah kaki.
Matanya mengikuti komando telinganya. Warna coklat terang di matanya
terlihat begitu jelas, berkilau oleh sinar mentari senja dan berbinar penuh
harap. Tanpa rasa sungkan sedikit pun, tubuh mungilnya gesit bergegas
menyelinap di antara kerumunan di sisi trotoar. Tangan kotornya cepat
menjangkau dompet hitam yang tergeletak di trotoar itu seperti orang dehidrasi
yang menemukan air di tengah padang pasir.
Harapannya pupus seketika saat menyadari benda itu telah diambil oleh
seorang pria yang jauh lebih gesit dan cepat darinya. Wajahnya terlihat tak mau
kalah. Matanya membalas tatapan Noel dengan sombong dan penuh kemenangan.
Orang ini tak mungkin mengalah padanya dan tak mungkin dikalahkan olehnya.
Noel berbalik dengan lemas tanpa berkata apa pun.
Baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, tangan mungilnya yang kotor
dan penuh bekas luka ditarik oleh Sylvia. Noel sudah tak bertenaga lagi, ia
lelah batin dan fisik. Dibiarkannya seluruh badannya ditarik gadis itu.
Anak itu tahu persis ke mana ia akan dibawa gadis itu.
Gang kecil yang sepi, kotor, bau, dan gelap. Sebuah tempat yang jauh dari
kata ‘indah’, tempat yang tersembunyi dibalik gedung-gedung pencakar langit
Jakarta yang berdiri megah.
“Dapet berapa lo hari ini?” tanya gadis itu sambil berkacak pinggang.
Mulutnya terlalu berat untuk berucap. Noel merogoh kedua saku celananya hanya
untuk menunjukkan isinya yang masih bersih dan kosong melompong, tanpa uang
maupun benda berharga.
Sylvia mendecak-decakkan lidahnya sambil memegang dahinya, seperti seorang
ibu yang melihat anaknya setelah bermain lumpur sampai seluruh badannya kecoklatan.
Noel hanya tertunduk diam.
Gadis itu merogoh sakunya lalu memberikan anak itu beberapa lembar uang,
“Nih. Gue gak bisa kasih lebih, gue mau beli rokok,” kata gadis itu. Noel
menerima uang berjumlah lima puluh ribu yang diberikan padanya. Ini bukan hal
asing lagi bagi Noel, setiap kali ia gagal mencuri, Sylvia rela memberikan
sebagian hasilnya secara cuma-cuma, tanpa menagih balasan sama sekali.
“Pake acara diem lagi. Cepetan jalan, pulang! Lo mau dihajar bang
Gondrong?” bentak gadis itu, sampai-sampai bahu Noel terangkat karena
tersentak. “Pulang!” seruannya kali ini membuat Noel lari terbirit-birit
meninggalkan Sylvia, seolah gadis itu jauh lebih menakutkan dibandingkan pria
yang kerap disapa bang Gondrong itu.
***
“Cepetan! Duit! Duit!” Pria berambut pirang lusuh panjang itu menagih uang
hasil curian para anak jalanan yang tak lain adalah bawahannya. Mau tak mau,
anak-anak itu harus menyerahkan hasil jerih payah mereka pada pria bertubuh
kekar dan tegap itu.
Noel termenung sambil menatap bulan purnama dibalik kaca jendela yang sudah
pecah. “WOI!” teriak bang Gondrong tepat di telinga anak itu. Noel tersentak.
“Pake bengong lagi. Mana duit lo?! Kasih ke gue cepetan!”
Anak itu mengeluarkan seluruh uang dari sakunya.
“Cuma segini, ha?” Ia menampar lembaran kertas itu pada Noel. “APA-APAAN
INI?! INI MAH GUE JUGA BISA DAPET! LU PIKIR GUE BISA HIDUP PAKE UANG SEGINI?!”.
Anak itu hanya tertunduk diam, tak berani menatap pria yang sedang marah di hadapannya.
“AWAS KALO BESOK CUMA DAPET SEGINI! GUE PECAHIN NIH PALA!” bentaknya sambil
menoyor kepala Noel.
“Dah, sono bubar lo pada!” perintah
bang Gondrong sambil mengayun-ayunkan tangannya, seolah mengusir anak-anak ayam
yang menghalangi jalan. Anak-anak pun bergegas keluar.
“Eh, Den! Den! Bentar, Den! Sini dulu”
Denis menoleh dan menghampiri bang Gondrong, “Kenapa bang?” tanyanya.
Pria itu mengeluarkan selembar uang berwarna hijau, “Nih, ambil. Buat lo
pada kalo mau jajan. Kalo nggak, ya, sisanya balikin lagi ke gue,” ucapnya
sambil mengulurkan uang itu.
“Lah? Bang, kalo cuma segini beli nasi putih dapet lima doang, bang! Kita
kan ada enam!”
“MASIH PROTES AJA LO! MASIH SYUKUR GUE KASIH!” bentak pria berlengan penuh
tato itu, “LO MAU KAGAK?!”
“Eh, iye, iye, bang! Maap!” Denis segera mengambil uang itu dan bergegas
pergi ke warung langganannya.
***
Sylvia duduk di teras rumahnya. Kakinya terangkat sebelah, sebuah puntung
rokok yang masih menyala terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Tubuhnya
bersandar pada dinding, kedua mata gelapnya menatap langit bertabur bintang.
“Woi! Syl!”
Seruan itu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh. “Nih, punya lo!” Denis
melemparkan sebuah bungkusan coklat ke arah gadis itu. Tangan halus gadis itu
reflek menangkapnya, tanpa mengucapkan ‘terima kasih’ pada Denis, ia langsung membuka
bungkusan itu.
Tepat seperti yang dipikirannya. Nasi putih tanpa lauk atau sayur apapun.
Noel hanya diam menatap sebungkus nasi yang baru saja dibuka oleh Sylvia.
Meski dirinya sangat lapar, ia tak beranjak dari tempatnya. Bahkan, mulutnya
tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya untuk meminta.
Gadis itu baru saja makan sesuap nasi. Namun, ia sudah berdiri, beranjak
dari tempatnya.
Ia menghampiri Denis, anak lelaki yang tadi membagi-bagikan makanan pada
anak-anak jalanan lainnya. Diliriknya sebuah bungkusan plastik bening yang
masih berisi sebungkus nasi. Tanpa ragu, Sylvia mengambilnya lalu kembali ke
tempatnya.
“WOI! PUNYA GUE ITU!” seru Denis sambil mengejar Sylvia saat ia sadar
makanannya diambil.
Sylvia mengeluarkan bungkusan coklat itu dan melemparnya ke arah Noel.
“Nih, punya lo kan?” ia mengembalikan kantong plastik bening yang sudah
kosong pada Denis.
Raut wajah Denis berubah jengkel. “Eh, Syl, lo jangan mentang-mentang cewek
bisa seenaknya gitu di sini.” Ia bangkit dari duduknya.
“Gue cuma ngambilin punya si Noel kok,” jawab gadis itu sambil mendongakkan
kepalanya.
“Itu punya gue! Bukan Noel!”
“Punya lo? Terus tuh anak gak dikasih makan?”
“Ya, nggaklah! Gue tadi cuma dikasih dua puluh ribu selembar ama bang
Gondrong! Nasi putih harganya empat ribu! Dapetnya cuma lima!”
“Oh, gitu” Sylvia mengangguk-angguk lalu membalikkan badannya, bermaksud
untuk kembali melanjukan makan malamnya.
Denis menahan bahu Sylvia, “Eh, enak aja lo, main pergi gitu aja!”
tegurnya. “Balikin makanan gue! Lagian juga, kalo si Noel gak dapet makan yang
laper juga dia, bukan lo, kan?”
Sylvia membalikkan badannya, “Terus kalo gue mau kasih dia makan, lo mau
apa?” ia balik bertanya sambil berkacak pinggang. “Lo pasti ada uang lebih kan
hari ini?”
Gadis itu mengangkat alisnya. “Kan kalo lo ada uang lebih bisa beli nasi
buat si Noel!”
“Tapi sayang, gue udah biasa beli rokok kalo ada uang lebih” ucapnya tanpa
rasa bersalah, sambil kembali menghisap rokoknya.
Pemuda itu mendecak kesal, “Kebiasaan lo! Untung aja gue masih sabar kalo
ama cewek. Coba kalo lo cowok. Lo pasti udah gue bikin babak belur!”
“Oh gitu, ya? Bodo amat,” jawab gadis itu sambil pergi meninggalkan Denis.
Pemuda itu mendengus kesal. Namun apa daya, kesabaran dalam hati masih
merangkulnya erat-erat.
Sylvia kembali duduk, melemparkan puntung rokoknya yang sudah pendek, lalu
menginjaknya. Ia menoleh, memandang Noel sejenak lalu kembali melanjutkan makan
malamnya. “Bilang ‘makasih’ kek. Gue udah ambilin makanan lo juga,” katanya
dengan nada sedikit jengkel, menyadari anak ini terus bergantung padanya.
“Makasih,” ucap anak itu dengan nada datar, nyaris tak terdengar.
***
Semalam telah berlalu. Pagi ini, matahari bersinar terang. Bahkan,
hangatnya terasa meski terhalang kaca jendela dan gorden.
“Woi, Noel. Bangun!” Sylvia mengguncang-guncangkan tubuh mungil anak itu
yang masih terlelap. ‘Sial, anak ini
susah sekali bangun’ umpatnya dalam
hati. Gadis itu mengambil sebuah karet gelang. Diselipkannya telunjuk kiri di
tengah lingkaran karet itu. Lalu, dijepitnya ujung dari karet itu oleh ibu jari
dan telunjuk kanannya dan menariknya.
CTAK!
Noel tersentak, matanya terbelalak, jantungnya menggedor-gedor dadanya,
keringat dingin muncul dari tubuh kurusnya. Ia mengusap-usap kulitnya yang
merah dan pedas itu sambil mencari-cari apa yang barusan menamparnya dari alam
mimpi.
“Daritadi disuruh bangun, susah amat, sih!” Protes gadis itu sambil
memungut karet gelang yang terpelanting. Ia menggigit karet itu, sambil menata
rambut hitamnya yang kusam dan lusuh menyerupai ekor kuda dan menguncirnya.
Sepasang matanya kembali melirik Noel yang masih terbaring di atas tikar kotor
berwarna biru tua itu. Tak beranjak sama sekali.
Kesabaran gadis itu lagi-lagi diuji. Ia menghela nafas.
“WOI! BANGUN!” serunya sambil menendang-nendangi punggung anak itu.
Akhirnya, anak itu memutuskan untuk bangun meskipun sebenarnya ia masih
mengantuk. Ia merasa keputusannya lebih baik dilaksanakan sebelum gadis itu
meneriakinya lagi, membantingnya, atau mungkin bisa jauh lebih buruk dari itu.
Noel mengucek matanya dan berdiri.
***
Mencari uang tak kenal hari, tak kenal waktu, tak kenal cuaca. Entah panas,
hujan, ataupun angin kencang mengamuk, menyapu setiap tapakan, kaki-kaki kurus
ceking mereka tak akan beranjak dari jalan, demi mencari uang dalam bentuk apa pun.
Meski harus mencopet, memungut, dan meminta dengan wajah memaksa belas kasih,
mengais sampah. Apa pun mereka lakukan demi mendapat lembaran kertas
warna-warni yang disebut ‘uang’.
Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong, yang menyiratkan anak-anak
itu membawa kesialan dan musibah bagi dirinya sendiri. Seperti hukum rimba,
‘yang kuat menindas yang lemah’, predator akan menerkam, lalu memangsa
herbivora buruannya, meski makhluk itu tak berdosa. Begitu pula dengan
anak-anak jalanan ini, yang kecil dan lemah, rela tak rela, harus menyisihkan
uangnya demi yang besar dan kuat.
Anak-anak jalanan, tak sedikit lagu tentang mereka dinyanyikan agar banyak
orang dapat bersimpati pada mereka. Namun, apa yang mereka lakukan? Mereka
hanya mendengar dengan kedua mata tertutup rapat, tak dapat melihat realita
yang ada.
Pernah sekali mereka berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk saat
tidur dan menginginkan mimpi buruk itu tak datang lagi. Tapi seiring
berjalannya waktu, mereka sadar. Itu hanyalah angan-angan, sangat mustahil
untuk terkabulkan, seperti menginginkan kedua kaki ini menginjak awan putih di
langit biru cerah.
Kenyataan itu menyayat hati.
Itulah mengapa, tak ada satu pun anak yang berani menyakiti dirinya lagi
dengan berharap, meski hanya sesaat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Fikri Aini
umur berapa nih gadis
2023-02-09
0